Feeds:
Posts
Comments

Archive for September, 2014

LEGALISASI NIKAH BEDA AGAMA?

Heru Susetyo

Staf Pengajar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia

             Permohonan  uji materil oleh sekelompok alumni dan mahasiswa Universitas Indonesia terhadap Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan pada Agustus 2014 seperti membuka kotak Pandora yang telah lama terkunci rapat.    Dalam arti,  sudah empat puluh tahun pasal tersebut eksis sebagai bagian tak terpisahkan dari UU Perkawinan,  namun sedikit yang mempermasalahkannya.  Lebih sedikit lagi yang berfikir dan berani untuk mengajukan pembatalan pasal tersebut ke hadapan Mahkamah Konstitusi.

Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan menyebutkan bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya itu.  Pasal ini bermakna bahwa hukum agama adalah lebih superior dalam mengatur urusan perkawinan daripada hukum negara.  Sah atau tidaknya perkawinan disebutkan bukanlah datang dari otoritas negara, namun ditentukan oleh institusi agama masing-masing.  Sedangkan,  tugas negara adalah memberikan kekuatan hukum terhadap pernikahan tersebut melalui pencatatan perkawinan.  Konsekuensinya,  perkawinan yang tidak tercatat pada institusi negara tidak bisa dikatakan tidak sah.  Namun pastinya adalah tidak berkekuatan hukum.  Seperti yang termaktub pada pasal 2 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974.

Ihwal pencatatan perkawinan ini, pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan dari UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa  pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama(KUA).  Kemudian bagi mereka yang beragama selain Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil

Kembali pada asal muasal permohonan uji materiil tersebut,  para pemohon mengajukan dalil bahwa dengan tetap tercantumnya pasal 2 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974,  adalah menutup kemungkinan terjadinya pernikahan di antara pasangan yang berbeda agama.   Karena, beberapa agama menutup kemungkinan terjadinya pernikahan antara pasangan berbeda agama.  Akibatnya,  pasangan-pasangan berbeda agama yang ingin menikah tidak memperoleh kepastian hukum.  Sebagian menikah di yurisdiksi lain (negara lain yang memungkinkan proses tersebut), sebagian lagi melakukan ‘penyelundupan hukum’, alias untuk kebutuhan pencatatan perkawinan saja kemudian masuk atau berpindah sementara ke agama salah satu pasangannya , namun kemudian berbalik ke agama semula setelah proses pencatatan selesai.

Akan halnya larangan nikah beda agama memang dijumpai pada beberapa agama. Sebutlah dalam ajaran Islam, selaku agama yang dianut mayoritas rakyat Indonesia.  Dalam Al Qur’an pada  surat Al Baqarah ayat 221 dan Al Maidah ayat 5, terpampang hukum yang tidak membuka kemungkinan wanita muslim untuk menikah dengan pria non muslim.  Akan halnya apakah pria muslim dapat menikah dengan wanita non muslim dari golongan ahlul kitab, ulama berbeda pendapat.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1980 yang ditandatangani oleh Buya Hamka memilih untuk menyatakan haram pernikahan yang dilakukan beda agama, baik muslimah yang menikah dengan pria non muslim, maupun pria muslim yang menikah dengan wanita non muslim (ahlul kitab).  Ketentuan  ini dipertegas dengan Fatwa MUI tahun 2005 pada Munas VII tanggal 29 Juli 2005 yang menyatakan bahwa nikah beda agama adalah haram dan tidak sah. Lalu, Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad (pendapat yang disepakati), adalah haram dan tidak sah.

Senada dengan fatwa MUI,  Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disebarluaskan dengan Inpres No. 1 tahun 1991 juga menyatakan secara eksplisit pada pasal 40 dan 44 bahwa pernikahan beda agama,  apakah muslimah menikah dengan pria non muslim dan muslim menikah dengan wanita non muslim adalah dilarang.

Masalahnya adalah,  seberapa jauh kekuatan fatwa MUI dan Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam mengikat dan memaksa warga muslim Indonesia untuk tidak menikah berbeda agama?   Karena, ketaatan terhadap kedua produk hukum tersebut membutuhkan tak sekedar ketaatan sebagai warganegara, tapi juga ketundukan pada ajaran agama Islam.

Larangan untuk menikah beda agama tersebut, yang datang dari ajaran agama Islam dan dikukuhkan antara lain oleh Fatwa MUI dan Kompilasi Hukum Islam kemudian memberi batu pijakan kepada Petugas Pencatat Nikah di Kantor Urusan Agama (KUA)  untuk tidak mencatatkan pernikahan pasangan yang berbeda agama.

Pasal 8 huruf (f) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa salah satu jenis perkawinan yang dilarang adalah perkawinan yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku adalah dilarang.  Kemudian,  Pasal 20  UU yang sama menyebutkan bahwa pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.

Disinilah pangkal permasalahannya.  Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa nikah beda agama itu dilarang.   Lebih jauh lagi,  sahnya perkawinan disebutkan adalah bukan urusan negara melainkan urusan dari institusi agama dan kepercayaan seperti yang tersurat pada penjelasan pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan :  “Dengan perumusan pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini”.

Adanya larangan untuk menikah beda agama ada pada institusi agama.  Untuk perkawinan Islam paling tidak hal itu ditemui pada Fatwa MUI dan Kompilasi Hukum Islam.  Kedua produk hukum itu tidak dapat disebut sebagai hukum negara yang bersifat mengatur, mengikat dan memaksa.  Walaupun merupakan suatu hukum yang hidup dalam masyarakat dan menjadi rujukan bagi masyarakat maupun para petugas KUA dan para hakim di pengadilan agama.

Adanya larangan tersebut pada gilirannya membuat petugas pencatat nikah di Kantor Urusan Agama (KUA) tak dapat mencatatkan pernikahan beda agama tersebut.  Akibat nikah yang tidak tercatat,  maka pernikahan tersebut adalah tidak berkekuatan hukum di hadapan hukum negara.

Sejatinya bukan hanya pernikahan beda agama yang tidak dapat dicatatkan di hadapan petugas pencatat nikah dari KUA.  Pernikahan dengan mempelai di bawah umur,  pernikahan poligami yang tidak dilakukan dengan ijin dari pengadilan agama (sesuai pasal 3 dan pasal 5 UU No. 1 tahun 1974)  dan pernikahan-pernikahan yang melanggar larangan perkawinan pada pasal 8, 9 dan 10 UU No. 1 tahun 1974 adalah tak dapat dicatatkan oleh petugas KUA maupun Kantor Catatan Sipil.

 

Unifikasi Hukum Perkawinan

Undang-undang perkawinan  No 1 tahun 1974 adalah salah satu karya agung bangsa Indonesia di bidang unifikasi hukum perkawinan.  Tidak mudah memang melakukan unifikasi di bidang hukum privat seperti dalam hukum perkawinan.  Karena harus mengakurkan dan melakukan harmonisasi sejumlah aturan-aturan agama, kepercayaan dan budaya yang hidup dan eksis di Indonesia, yang bahkan telah eksis sebelum negara RI lahir.   Ketika akhirnya UU ini diketok palu pada 22 Desember 1973, sejatinya ia telah menjalani perjuangan panjang yang dihiasi pelbagai macam perdebatan, penelaahan maupun kompromi antara berbagai pihak dengan memperhatikan nilai-nilai agama, sosial politik dan budaya di Indonesia.

Undang-undang inipun dilahirkan antara lain untuk menjamin penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia di bidang perkawinan , utamanya hak kaum perempuan.  Karena,  sebelum UU ini lahir, begitu mudah terjadi perceraian di luar pengadilan yang berdampak serius pada kaum perempuan dan anak-anak yang ditinggalkan.   Juga begitu mudah terjadi pernikahan poligami yang mengabaikan hak-hak dari istri/ istri-istri dan anak-anak yang lahir dari perkawinan sebelumnya.

Kemudian, perkawinan pada UU No. 1 tahun 1974 tidak dapat dipandang semata-mata sebagai perbuatan perdata yang sifatnya kontraktual,  namun lebih dari itu adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.  Dengan lain perkataan, pernikahan dipandang sebagai sesuatu sakral dan bernilai ibadah,  serta dilakukan dalam rangka ketaatan pada Tuhan Yang Maha Esa.

Sakralnya pernikahan dan ketundukannya pada hukum agama sejatinya adalah pengejawantahan ideologi bangsa ini. Dimana para founding fathers sejak tahun 1945 telah menyepakati Pancasila sebagai landasan hidup dan pandangan hidup bangsa Indonesia.  Sila pertama Pancasila,  yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, menegaskan posisi Indonesia sebagai negara yang amat menghormati agama-agama, walaupun tidak berbentuk negara agama pun bukan pula negara sekular.   Pengejawantahan lanjutan dari posisi ini adalah pada pasal 29 UUD 45 dimana yang menyebutkan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (ayat 1) dan negara menjamin kemerdekaan tiap tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (ayat 2).

 

Perlu Dipertahankan

Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 memang belum sempurna.  Ada beberapa pasalnya yang patut direvisi demi menyesuaikan diri dengan perkembangan hukum dan sosial budaya di Indonesia.  Namun demikian,  hingga saat ini ia tetap merupakan produk sejarah dan produk hukum yang patut dirujuk dalam memberikan pedoman bagi perkawinan masyarakat Indonesia.

Dan pasal 2 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 patut dipertahankan.  Karena ia merupakan kristalisasi dari nilai-nilai idiil bangsa Indonesia dan wujud penghormatan serta akomodasi terhadap nilai-nilai agama dan kepercayaan bangsa Indonesia yang terumuskan dalam ideologi Pancasila,  utamanya sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.

Lebih jauh lagi,  menundukkan diri pada hukum agama dan kepercayaan adalah manifestasi hak asasi manusia yang dimiliki bangsa Indonesia sesuai yang tercantum pada pasal 29 UUD 45.  Tugas negara adalah menghormati, memajukan, memenuhi dan melindungi pelaksanaan hak tersebut.

Perkawinan adalah bagian dari hak asasi dan hak sipil warganegara.  Hak beragama dan beribadah adalah juga bagian dari hak asasi dan  hak sipil warganegara.   Menjalankan perkawinan sesuai hukum agama adalah manifestasi dari hak asasi dalam beragama.   Maka, di atas segala kekurangan dan kelebihan dari UU No. 1 tahun 1974,  pasal 2 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 patut dipertahankan oleh Mahkamah Konstitusi.   Sedangkan persoalan-persoalan yang muncul akibat pemberlakuan pasal 2 ayat 1  UU tersebut,  sepatutnya dapat diselesaikan secara arif oleh masyarakat dan negara tanpa harus membatalkan pasal tersebut.

 

Read Full Post »