Archive for the ‘More than thousand words…’ Category
Stari Most, Mostar – BiH
Posted in A Walk to Remember, More than thousand words..., Uncategorized on June 5, 2017| Leave a Comment »
Masjid Indonesia Sarajevo BiH
Posted in A Walk to Remember, More than thousand words..., Uncategorized on June 5, 2017| Leave a Comment »
Zagreb, out of 1992 – 1995 horror
Posted in A Walk to Remember, More than thousand words..., Uncategorized on June 5, 2017| Leave a Comment »
Venice as it is
Posted in A Walk to Remember, More than thousand words... on June 5, 2017| Leave a Comment »
Lex LK2 FHUI Resource Person
Posted in More than thousand words... on May 13, 2016| Leave a Comment »
Bogota : Kota di Awan yang Rupawan
Posted in A Walk to Remember, More than thousand words... on June 24, 2013| Leave a Comment »
Bogota? Dimana tuh Mas. Bogor-Tajur maksudnya? Bogota? Nggak tahu ! kalo Bugatti Veyron ane tahu !
Kota Bogota, D.C. ibukota negara Colombia memang kurang populer bagi sebagian besar orang Indonesia. Termasuk para traveller. Karena biasanya yang masuk ke dalam ‘wish list’orang Indonesia adalah Paris, London, Roma, Amsterdam, Berlin, New York, Tokyo ataupun Hong Kong.
Pun, di antara kota-kota di Amerika Latin nama Bogota tidak sangat populer. Barangkali, Buenos Aires di Argentina, Rio De Janeiro dan Sao Paulo di Brasil serta Lima di Peru jauh lebih terdengar. Tidak banyak pula maskapai (airlines) internasional di Asia, Eropa atau Afrika yang punya penerbangan ke Bogota. Sekalipun ada, biasanya flight tersebut menyasar ke tujuan lain di Amerika Latin seperti ke Rio De Janeiro, Sao Paulo atau Buenos Aires. Terkecuali maskapai Amerika Serikat, yang biasanya punya flight ke hampir semua negara di Amerika Selatan melalui pintu Miami atau Fort Lauderdale di negara bagian Florida.
Maka, memang perjalanan ke Bogota menjadi sesuatu banget. Sudah jauh dan mahal, kota ini terkesan misterius juga. Misterius semacam negeri di awan? Seperti itulah. Dan memang betul dalam arti sebenarnya. Bogota memang berada di antara awan. Ia berada di ketinggian 2625 meter di punggungan utara Pegunungan Andes yang setia bertengger di sisi barat Amerika Latin mulai dari Venezuala sampai dengan Argentina. Nah , Bogota persis berada di punggungan sisi utara Andes. Yang menjadikannya sebagai ibukota negara tertinggi dunia setelah La Paz, Bolivia dan Quito, Equador.
Sebenarnya Bogota tidak sangat misterius. Bagi perencana transportasi publik Jakarta, Bogota adalah salah satu rujukan pengadaan jalur busway di Jakarta. Karena memang, di Bogota terhampar jalur busway sepanjang 87 km dengan 11 rute yang bervariasi yang berhimpun dalam korporasi yang bernama Trans Milenio yang beroperasi mulai Desember 2000. Namun, sejatinya Busway Bogota adalah juga tidak orisinal. Karena, ia meniru dan terinspirasi dari sistem busway yang sudah lebih dahulu eksis di Curitiba, Brasil. Bedanya dengan di Jakarta, jalur busway disini sangat rapih. Tak ada mobil dan motor yang masuk jalur busway. Juga, tak ada median yang rusak karena diterabas bus dan mobil pribadi yang menyerobot jalur busway.
Keberadaan Bogota di punggungan gunung ini sungguh amat unik. Membuat jalanan di kota ini berkontur naik turun. Menarik untuk dijalani dengan motor atau mobil. Tapi dijamin ngos-ngosan kalau menggowes sepeda apalagi jalan kaki. Ditambah pula oksigen di ketinggian 2600 meter di atas permukaan laut tentunya rada tipis.
Begitu juga rumah dan gedung-gedungnya banyak yang berada di ketinggian yang berbeda dalam kontur yang bervariasi. Mengingatkan saya dengan kota Wellington di New Zealand yang seperti menempel di tebing.
Salah satu landmark Bogota yang kebetulan juga menjadi titik tertinggi di ibukota Colombia ini adalah Montserrate. Yaitu puncak gunung berketinggian 3152 meter. yang berhimpitan dengan downtown Bogota dan dapat dijangkau dari kota dengan menggunakan cable car. Di puncak Montserrate ada gereja tua dan tempat pemujaan yang amat eksotis apabila dilihat di senja atau malam hari karena timpaan cahaya yang mengelilinginya. Uniknya, karena ia berada di samping pusat kota, gunung ini tak terkesan seperti gunung seperti adanya. Melainkan hanya seperti viewing point. Padahal dengan ketinggian seperti itu, Montserrate telah mengalahkan ketinggian Gunung Gede dan Gunung Pangrango di Bogor sekaligus !
Sama seperti kota besar lainnya di dunia, Bogota memiliki sisi kota yang terkesan aristokrat dengan penataan tertib, bersih dan arsitektur berkelas, namun juga memiliki tempat-tempat dimana grafitti dan sampah bertebaran dimana-mana. Juga, ada sisi kota seperti kota tua Jakarta yang sarat dengan rumah-rumah cantik ala era Spaniards yang diberi cat berwarna warni. Sangat eksotik !
Namun sejauh pemantauan kami, mata ini belum menemukan wilayah yang amat kumuh di kota berpenduduk 7.5 juta jiwa ini (setengah jumlah penduduk DKI Jakarta). Kemiskinan pasti ada. Tapi juga tidak sangat ekstrem. Dan kalau kemiskinan di Colombia tidak terlihat itu tidak terlalu salah, karena Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) Colombia tahun 2013 juga tidak terlalu buruk. Ia berada dalam kelompok ‘high human development.’ Alias, masih di atas Indonesia yang masuk kategori medium human development. Satu mungkin cacat Colombia yang berkontribusi kepada kemiskinan negeri ini, yaitu lestarinya konflik dalam multi-faset, antara negara vs kartel kokain vs paramiliter bentukan landlord vs guerilla sayap kiri berhaluan komunis. Konflik menahun berusia di atas 50 tahun tersebut berkontribusi terhadap jutaan orang terusir dari rumahnya (displaced) dan kehilangan harta bendanya.
Sisi lain dari Bogota yang menarik adalah apresiasinya terhadap keberadaan museum. Disini museum bisa menjadi tempat belajar, tempat rekreasi, sekaligus tempat ‘dating’ ! Paling tidak itu yang kami jumpai di Museo de Oro alias Gold Museum. Museum yang menjadi icon kota Bogota ini amat informatif dan mencerahkan. Biaya masuknya juga amat murah.
Terletak persis di downtown dan sering menjadi starting point para turis dan first time visitor ke Bogota. Bangunannya terdiri atas lima lantai dan memiliki koleksi item sebanyak 55.000 buah yang didominasi oleh koleksi emas dan peradaban emas Colombia (Quimbaya) yang berlangsung jauh sebelum Masehi, jauh sebelum era Spaniards memasuki Amerika Latin. Saking besarnya dan banyaknya koleksi peradaban emas museum ini ia dijuluki sebagai biggest gold museum in the world.
Tidak hanya emas ternyata. Museum ini mengajak pengunjung untuk belajar lebih jauh tentang sejarah peradaban di Amerika Latin yang ternyata sudah amat tua. Beribu-ribu tahun sebelum Masehi. Juga, ada display yang amat menarik tentang sejarah peradaban dunia mulai dari manusia pertama hingga era modern ini.
Pada bagian-bagian tertentu, museum ini mengajak pengunjung mengalami pengalaman mistis tertentu. Ada ruangan yang amat gelap dengan pencahayaan tertuju pada rakit kecil berselaput emas dalam display tertutup kaca. Konon melambangkan persembahan tetua suku Muisca yang hidup di Colombia kuno terhadap dewa mereka di Danau Guatavita. Persembahan mana dilakukan dengan melumuri tubuh dengan emas yang lama kelamaan melahirkan legenda Eldorado, yaitu legenda kota tua yang hilang yang konon bertaburan emas dan menjadi mimpi para penjelajah Amerika Latin untuk mengeksplorasi-nya.
Ada pula ruangan kedap suara yang engaja digelapkan, dimana pengunjung masuk bergantian tak boleh bersuara dan menyalakan cahaya. Di dalamnya mereka akan digiring untuk mengalami suasana ‘magis’ tertentu karena ada nyanyian-nyanyian kuno lengkap dengan artistik suara dan pencahayaan tertentu yang seolah-olah membawa pengunjung ke tengah danau Guatavita untuk menyampaikan persembahan (offering) kepada dewa tertentu.
Tak jauh dari Museo de Oro, di sisi kanan-nya, ada pasar suvenir yang menarik, dengan ragam kedai yang menawarkan aneka jenis suvenir khas Colombia. Sayangnya, harga-harga di Bogota, termasuk harga suvenirnya, relatif tinggi. Harga 1 US Dollar berkisar 1700 – 1900 Colombian Pesos (COP). Dan harga topi saja bisa mencapai 2000 COP alias lebih dari USD 10.
Beruntungnya, untuk windows shopping dan menikmati seni jalanan (street performance) di sekitar Museo de Oro jelas tak perlu biaya. Dan itu sisi asyik yang lain dari Bogota. Ruang publik di kota ini begitu luas. Banyak jalan mobil yang ditutup pada hari Ahad dimana penduduk bebas berlaku apapun di jalan tersebut selama tidak melanggar hukum. Banyak pula tersedia plaza-plaza tempat penduduk tumpah ruah melepas penat, berekreasi bersama keluarga, menikmati hari dan jarum jam yang serasa lambat di kota ini.
Seni jalanan yang digelar warga bervariasi. Ada yang mengenakan kostum aneh laksana robot, tokoh komik atau kartun, alien, ala robot tentara, dan lain-lain. Mereka diam tak bergerak, kecuali apabila diberi uang baru bergerak ala robot. Ada pula yang menggelar stand up comedy di tengah jalan, bermodal kostum aneka jenis dan wig, membawa sound system sendiri, dan melucu lah ia dengan penuh percaya diri. Kelompok lain melakukan atraksi unik macam breakdance dan beberapa ketrampilan unik lainnya. Ada juga beberapa kelompok pengamen jalanan yang membuka show tunggal dadakan dan menyanyi sekaligus melawak di muka audience yang mengerumuninya.
Salah satu plaza yang paliing populer adalah Plaza Bolivar. Yaitu sebuah ruang lapang berbentuk persegi empat yang diapit oleh Gereja Katedral, Gedung Parlemen dan Mahkamah Agung Colombia. Plaza ini disebut Bolivar karena di salah satu sudutnya ada patung Simon Bolivar, el libertador, pahlawan pembebas banyak negeri di Amerika Latin dari kolonialisme Spanyol yang juga adalah pahlawan Gran Colombia (Negeri Colombia masa lalu yang terdiri dari Panama, Colombia, Venezuela, Equador). Di Plaza ini setiap weekend warga tumpah ruah. Uniknya, banyak pula hewan Llama, hewan asli Pegunungan Andes, yang dibawa ke Plaza ini untuk menghibur anak-anak yang ingin menungganginya.
Tak jauh dari Plaza Bolivar ada Istana Presiden dan beberapa gereja Katolik. Memang kota ini sarat dengan gereja. Menurut penuturan Alex, rekan Colombia kami, ada sekitar 32 gereja Katolik berukuran besar di kota Bogota saja. Istana Presiden ini juga cantik dan, mesti dikawal banyak tentara, tetap sisi depannya mudah dilewati oleh warga umum yang penasaran dengan wujud kediaman orang nomor satu di Colombia.
Seminggu jelas tak cukup untuk menikmati Bogota. Apalagi sehari. Kota di atas awan ini terlalu menawan dan rupawan untuk diabaikan. Upaya ekstra keras untuk mencapainya seolah terbayar dengan ragam keindahan yang diberikannya. Satu hal yang penting adalah, peradaban dan kearifan tidak semua harus berkiblat ke Eropa atau Amerika Utara. Paris, Roma, London, Amsterdam dan Berlin memang indah dan sarat warisan peradaban. Namun negara Colombia dan kota Bogota, juga kota-kota lain di Colombia seperti Medellin, Cali, Cartagena, Bucaramanga, Baranquilla dan sebagainya, juga memiliki peradaban dan sejarah kearifan sendiri. Sama halnya seperti negeri kita tercinta, Indonesia…
Colombia : “Clear and Present Danger?”
Posted in A Walk to Remember, More than thousand words... on June 21, 2013| Leave a Comment »
“Peace in Colombia will not be born from any guerilla demobilization, but from the abolition of the causes that give rise to the uprising”
(FARC Statement, “Colombia”, Lonely Planet)
Apa image anda tentang Colombia atau ketika mendengar kata ‘Colombia”? pastinya banyak yang akan menyebut Pablo Escobar ! kartel kokain di Medellin ! kartel kokain di Cali ! sebagian lagi akan menyebut Rene Higuita ! kiper nyentrik gondrong Colombia yang terkenal dengan ’scorpion kick’ -nya di laga Colombia vs England tahun 1995. Sebagian lagi akan menyebut nama Shakira, Diva pop Colombia keturunan Lebanon yang ngetop dengan ‘Waka-Waka’ nya di World Cup Afsel 2010 dan kini punya anak dari defender Barca, Gerard Pique.
Ya, image pertama tentang Colombia adalah kokain kemudian konflik yang terkait dengan kokain. Walau sejatinya konflik di Colombia tak hanya diakibatkan kokain. Ada yang terkait dengan politik negara, paramiliter yang dibentuk para tuan tanah (landlord), guerilla sayap kiri (leftist) dan sebagainya.
“Ada tiga tentara di Colombia. Tentara negara, paramiliter, dan guerilla,” ujar Martha, rekan Colombino kami. “Ketiganya bermasalah dan punya pendukung sendiri-sendiri,” tambahnya lagi. Saya jadi tercenung. Ingat di negeri sendiri yang punya hanya satu tentara, yaitu TNI, namun punya banyak polisi. Polisi resmi memang satu, yaitu POLRI, tapi banyak kelompok yang berperan layaknya polisi (swasta), macam para preman, debt collector, dan sebagainya.
Konflik di Colombia ini bisa disebut konflik protracted alias menahun. Konfliknya bersegi banyak dengan kepentingan yang bervariasi. Saking maraknya konflik, Colombia sering jadi sasaran miring film Hollywood, yang mengambil setting konflik Colombia di film-film laganya. Sebutlah film Clear and Present Danger ‘Harrison Ford” (1994), Collateral Damage “Arnold Schwarzenegger” (2002), XXX Vin Diesel (2002), Mr. & Mrs. Smith (2005), Delta Force 2 : Colombian Connection (1990), The Specialist ‘Sylvester Stallone” (1994) dan lain-lain. Rata- rata film H0llywood di atas mengambil setting sama. Perang antar drug cartel, paramiliter, guerilla, pembunuhan dan penculikan politisi, dan sejenisnya. Barangkali Colombia adalah negeri yang paling dilukiskan sebagai ‘miring’ oleh film-film Hollywood selain negeri-negeri di Timur Tengah dan Asia Selatan.
“Tentara swasta bisa hidup disini karena politisi-pun membutuhkan jasa mereka supaya bisa bertahan di panggung politik,” ujar Annette, rekan Colombia kami, dalam bahasa Inggris yang amat fasih. Guerilla sayap kiri eksis karena ingin menguasai panggung politik Colombia. Paramiliter sayap kanan eksis karena dibentuk oleh para tuan tanah (landlord) yang ingin memerangi guerilla. Drug cartels berada di antara keduanya dan juga terkadang mengambil benefit dari sisi pemerintah. Pemerintah Colombia merapat ke Cali Cartel (yang merupakan rival Medellin Cartel) dalam rangka menghancurkan Medellin Cartel yang dimulai dengan tewasnya ‘Godfather’ Pablo Escobar pada Desember 1993. Setelah itu gantian Cali Cartel yang diberantas pemerintah.
Sejarah konflik sudah berlangsung lama. Namun konflik di jaman modern ini bisa dibilang dimulai sejak awal tahun 1960-an. Ditandai dengan gempuran hebat terhadap gerakan komunis yang malah melahirkan kelompok guerilla sayap kiri FARC (Fuerzas Armadas Revolucionarias de Colombia) alias Revolutionary Armed Forces of Colombia, kemudian rivalnya yang sama-sama guerilla sayap kiri yaitu ELN (Ejercito de Liberacion Nacional) alias National Liberation Army, dan M 19 (Movimiento 19 de Abril).
Kemunculan kelompok guerilla sayap kanan memicu kekhawatiran dari pemerintah dan para tuan tanah (landlord). Para landlord kaya ini kemudian membentuk tentara sendiri, paramiliter, antara lain bernama AUC (Autodefensas Unidas de Colombia) alias United Self-Defense Forces of Colombia. Paramiliter sayap kanan ini dibentuk dalam rangka menandingi guerilla sayap kiri. Kekuatan AUC mencapai hampir 10.000 tentara, yang berasal dari mantan atau desertir tentara.
Ketika pesona komunisme mulai meredup seiring dengan bubarnya Uni Sovyet dan negara-negara komunis di Eropa Timur, guerilla sayap kiri seperti FARC dan ELN berganti peran. Mereka mulai beralih ke bisnis ‘drug’ dan banyak melakukan penculikan (kidnapping) sebagai bagian dari fundraising. Pada saat bersamaan, paramiliter sayap kanan juga terus melakukan operasi-operasi ‘militer’ atas perintah dari landlords ataupun company yang merasa terancam dengan guerilla sayap kanan.
Dengan bantuan Amerika Serikat (melalui Plan Colombia tahun 2000, kerjasama kontroversial antara Bill Clinton dan Presiden Andres Pastrana), perang melawan guerilla sayap kiri dan paramiliter sayap kanan semakin digencarkan. Akhirnya pada tahun 2006 AUC menyerah (walau lahir kembali dalam bentuk lain dua tahun kemudian). Lalu kekuatan FARC semakin melemah. Apalagi pada tahun 2008 pemimpinnya, Raul Reyes, terbunuh. Sampai saat ini FARC masih eksis, kendati semakin tersudut tinggal di hutan-hutan dan pedalaman C0lombia.
Sama seperti para guerilla dan paramiliter, Tentara Colombia sendiri bukan tanpa dosa. Tentara Colombia dianggap bertanggungjawab atas tewasnya 3000-an rakyat Colombia pada masa pemerintahan Presiden Alvaro Uribe (2000 – 2010) , hanya karena mereka dianggap (false positive) sebagai compesinos (petani) simpatisan guerilla sayap kiri, sesuatu yang belum tentu terbukti.
Tak habis tinta menulis panjangnya dan rumitnya konflik di Colombia. Namun, tak adil juga kalau melihat Colombia hanya dari sisi film Harrison Ford ” Clear and Present Danger.” Di semua negara juga ada k0nflik, dengan magnitude dan skala konflik yang berbeda. Bagaimanapun saat ini Colombia merangkak maju. Ekonomi dan investasinya merangkak maju. Secara fisik, Colombia juga tampak modern dan mewakili citra sebagai ‘developed country.’ Maju terus Colombia, seguir adelante!
Road to Mandalay
Posted in A Walk to Remember, More than thousand words... on February 15, 2013| Leave a Comment »
ROAD TO MANDALAY
Catatan Perjalanan Myanmar 2009
By : Heru Susetyo
By the old Moulmein Pagoda, lookin’ eastward to the sea,
There’s a Burma girl a-settin’, and I know she thinks o’ me;
For the wind is in the palm-trees, and the temple-bells they say:
“Come you back, you British soldier; come you back to Mandalay!”
Come you back to Mandalay,
Where the old Flotilla lay:
Can’t you ‘ear their paddles chunkin’ from Rangoon to Mandalay?
On the road to Mandalay,
Where the flyin’-fishes play,
An’ the dawn comes up like thunder outer China ‘cross the Bay!
(Road to Mandalay, Rudyard Kipling)
Apa persamaan antara Bajaj dengan Myanmar? Perbedaannya jelas, yang satu alat transportasi umum di Jakarta dan yang lainnya Negara di bilangan Asia Tenggara. Persamaannya? Sama-sama misterius. Bajaj ataupun supir Bajaj tak diketahui kapan akan mengerem, memacu, memutar, dan berbelok. Myanmar juga sama, lebih dari 60 tahun merdeka dari jajahan Inggris, tapi pengetahuan orang tentang Myanmar (dulu Burma atau Birma) tak jauh dari U Nu (PM Pertama), U Thant (Sekjen PBB dari Myanmar), Rangoon (kini bernama Yangoon, mantan Ibukota Myanmar sebelum pindah ke Naypidaw), dan Aung San Suu Kyi (tokoh perlawanan legendaris Myanmar, putra Bogyoke Aung San, pendiri Myanmar).
Belakangan, memori orang tentang Myanmar tertuju melulu kepada dua peristiwa tragis, masing-masing topan alias Cyclone Nargis yang menghantam Irawady Division dan Yangoon dan menelan ribuan jiwa, serta terusirnya etnis minoritas Rohingya dari Northern Rakhine State karena rezim militer Jenderal Than Shwee tak kunjung mengakui mereka sebagai warga Negara Myanmar (stateless persons).
Maka, Bajaj di Jakarta jauh lebih beruntung. Kendati pendapatan supir bajaj jauh dari cukup, namun sebagian publik Jakarta, tetap merindukan kendaraan jingga boros asap ini untuk menempuh perjalanan jarak dekat. Benci tapi rindu.
Dua tahun terakhir eksistensi etnis Rohingya mulai menyita perhatian ASEAN dan juga masyarakat Indonesia. Utamanya ketika sebagian dari mereka terdampar di Laut Andaman, Samudera Hindia hingga Selat Melaka dalam rangka mencari suaka karena terusir dari tanah air mereka, Myanmar.
Selain etnis minoritas Rohingya, satu sisi gelap Myanmar yang jarang diketahui publik adalah eksistensi masyarakat muslim non Rohingya yang ternyata berjumlah cukup banyak.
Begitu menjejakkan kaki di Yangoon setelah menempuh perjalanan udara dari Bangkok dengan Air Asia, dengan mudah mata saya menemukan sejumlah masjid di Yangoon. Tak hanya masjid, ada juga restoran halal India lengkap dengan nasi Biryani-nya, samosa, dan lain-lain.
Terus terang, pemandangan seperti itu sukar ditemukan di Ibukota Mekong River States lainnya seperti Vientiene (Lao PDR), Hanoi (Vietnam), dan Phnom Penh (Cambodia). Hanya Bangkok ibukota Thailand yang mengalahkan Yangoon dalam banyaknya jumlah masjid.
Dan ternyata tak hanya di Yangoon, kota terbesar dan mantan Ibukota Myanmar, muslim dan masjid juga terserak di Mandalay Division, provinsi indah yang terletak di Myanmar bagian tengah.
Perjalanan menuju Myanmar bisa ditempuh dengan tiga cara. Via sungai melalui Irrawaddy atau Ayyeyarwady river, jalan darat, ataupun udara. Bagi penyuka backpacking dan traveling, dua cara di depan bolehlah ditempuh. Apalagi bumi Myanmar amatlah indah. Bagi yang tak suka dengan perjalananan panjang dan lama (jalanan di Myanmar tidak lebih baik dari Indonesia dan bis –pun berjalan lambat, perjalanan udara dari Yangoon ke Mandalay boleh jadi pilihan.
Menggunakan jasa transportasi udara di Myanmar seperti kembali ke Indonesia di tahun 1970-an. Maskapai penerbangan dan jumlah pesawat amat sedikit. Pesawat lebih banyak yang berbaling-baling seperti ATR 72 ketimbang bermesin jet seperti Airbus atau Boeing 737. Beberapa airlines yang terkenal antara lain Air Bagan, Myanmar Airways, Myanmar Airways International, Yangoon Airways, dan Air Mandalay. Dan jangan samakan jumlah armada pesawat mereka seperti yang dimiliki Garuda, Singapore Airlines ataupun Thai Airways. Paling banyak jumlah pesawat mereka adalah lima buah, termasuk yang berbaling-baling tentunya.
Sama halnya dengan bandara, bandara international Yangoon tak lebih baik dari Bandara Kelas II di Indonesia. Apalagi terminal domestiknya. Amat memprihatinkan. WC-nya penuh kotoran, tak ada fasilitas pengiriman bagasi dari check in counter ke pesawat (dan sebaliknya) selain tenaga manusia (bagasi kita didorong dan diseret). Tak ada pula kursi tersedia di terminal bagian luar. Walhasil, sebelum calon penumpang masuk ke terminal, mereka menunggu di emperan jalan sambil jongkok, karena pintu belum lagi terbuka di subuh hari tersebut dan tak ada kursi tersedia di pelataran bandara.
Terminal Internasional Yangoon Airport sedikit lebih baik, namun counter imigrasinya cukup aneh. Ada dua orang yang melayani di setiap counter. Satu mengecek dan memverifikasi dan yang lainnya memberikan stamp. Petugas imigrasinya menggunakan baju hijau, persis tentara. Lucunya, airport tax yang dibayarkan bagi outgoing passengers, lebih disukai apabila dalam bentuk US $ Dollar dan tidak lecek.
Dengan menumpang ATR 72 Air Bagan, di pagi hari tersebut saya menuju Mandalay. Di tengah jalan pesawat sempat transit di Naypidhaw, ibukota baru Myanmar, untuk menurunkan sejumlah pejabat dan tentara, tanpa memberitahukan dulu kepada penumpang. Maka, dengan entengnya saya keluar pesawat dan berjalan meninggalkan pesawat. Belakangan saya sadar, kok airport ini sepi sekali, tak ada pesawat dan bangunan apapun selain terminal. Airport-nya pun seperti masih baru. Karena penasaran saya tanya seorang opsir, dan dia bilang ini memang belum Mandalay ! gubrakk ! sekali-sekalinya seumur hidup saya turun dari pesawat di bandara bukan tujuan.
Ajaibnya, Airport Mandalay jauh lebih cantik dan modern dari Airport Yangoon. Ada garbarata yang menyambungkan terminal ke pesawat (walaupun tak terpakai karena pesawat jarang mendarat dan biaya mengoperasikannya mahal). Kecantikan dan kemegahan yang mubazir. Ruangan-pun agak gelap karena lampu-lampu tak dinyalakan semua. Pengiritan listrik barangkali. Toiletnya ditunggui oleh cleaning service yang berbaju tak seperti CS. Tissue tak tersedia di wastafel atau tergantung di dinding, melainkan diberikan langsung oleh sang cleaning service.
Disamping itu, banyak dijumpai porter ngganggur. Karena jarang pesawat mendarat dan tak ramai penumpang yang memerlukan jasa pengangkat barang. Agak mirip dengan bandara Soekarno Hatta. Bedanya di bandara Soeta frekuensi penerbangannya jauh lebih banyak
Bumi Mandalay sendiri mirip dengan Sulawesi atau Kalimantan. Tanah pertanian, hutan, pegunungan, danau dan sungai bergeletakkan dimana-mana. Jalan dari bandara Mandalay ke Mandalay city jauh dari mulus, malah dipenuhi oleh sapi, gerobak, sepeda, mobil-mobil era 70-an. Mobil seperta Toyota DX, Corolla GL, Nissan Sunny, era 70 – 80-an masih amat mudah ditemui di Mandalay. Belum lagi Mazda kotak sabun RX 600 produksi tahun 1960-an. Di Indonesia mobil ‘culun’ ini nyaris masuk museum. Di Mandalay malah jadi angkutan umum, semacam angkot di Indonesia dengan ukuran seluas bemo sahaja.
Betul, sepertinya sepeda adalah moda transportasi utama di Mandalay. Dimana-mana orang bersepeda, tua muda, laki perempuan. Untuk keperluan bersekolah, pergi dan pulang kerja, dan urusan apapun. Bukan semata-mata karena mereka hobi bersepeda, namun karena penduduknya relatif miskin dan tak mampu membeli motor apalagi mobil. Sepedanya-pun tidak bermerk Federal atau Wim Cycle, tapi mirip sepeda jengki yang digunakan di Jawa pada zaman penjajahan doeloe.
Bagaimana dengan kehidupan warga muslimnya? Inilah ajaibnya Mandalay. Di antara Negara-negara Mekong River States (kecuali Thailand Selatan tentunya), terdapat 52 masjid di Mandalay City dan 6 masjid di kota indah di sisi timurnya Pyin Oo Lwin (sampai saat ini saya masih gagal melafazkan nama kota tersebut dengan benar, anda bisa?). Keterangan ini disampaikan oleh Muhammad Yusuf, seorang imam masjid keturunan Tionghoa yang kami jumpai di Masjid Pyin Oo Lwin. “There are eight lakh (80.000) muslim in Mandalay city and another two lakh (sama dengan 20.000) in Pyin Oo Lwin,” tambah Imam Muhammad Yusuf dengan ramah.
Kota Mandalay indah di waktu siang, namun gelap di waktu malam. Kendati ia kota nomor dua terbesar di Myanmar (seperti halnya Surabaya di Indonesia atau Chiang Mai di Thailand) dengan keramaian dan kepadatan penduduk yang lumayan, namun di malam hari seperti kota mati. Penerangan jalan umum amat minim. Pasokan listrik amat terbatas. Listrik nyala sebentar untuk kemudian mati. Tak heran, hampir di seluruh fasilitas publik (hotel, toko, masjid) sampai rumah pribadi, selalu tersedia genset di muka rumahnya. Suara genset bersahut-sahutan menjadi menu lain dari malam hari di Mandalay.
Masjid di Mandalay city amat banyak. Dari hotel tempat kami menginap, dalam radius satu kilometer tak kurang kami menemukan enam buah masjid. Ukurannya –pun benar-benar berukuran masjid (bukan seperti mushalla yang tak dipakai untuk shalat Jum’at). Beberapa bahkan sangat megah dan berusia lumayan lanjut.
Penamaan dan penomoran jalan di Mandalay sepertinya mengadopsi sistem di Amrik. Pemukiman dipetak-petak dan diblok-blok ala persegi panjang dan jalan dinomori secara sederhana seperti 1st street, 2nd street, 3rd street dan seterusnya. Nah, masjid-masjid tersebut terletak hampir di setiap jalan atau berselang seling dua atau tiga jalan.
Jama’ah masjid rata-rata berwajah seperti orang Bengali (Bangladesh dan sekitarnya), kulit agak hitam tapi tidak legam. walaupun tidak berarti mereka etnis Rohingya (yang memang keturunan Bengali). Ada juga yang keturunan Tionghoa, seperti Imam Muhammad Yusuf di Pyin Oo Lwin, juga yang berwajah Melayu. Jangan salah, orang Burma banyak yang berwajah layaknya orang Melayu. Dua teman Burma saya dan para petugas hotel tempat saya menginap di Yangoon mengatakan wajah saya mirip orang Burma. Dan mereka percaya ketika saya bilang : “I am Burmese but can not speak Burmese.”
Penasaran ingin tahu model shalat di Mandalay? saya mencoba ikut shalat di empat masjid berbeda di radius satu kilometer dari penginapan saya. Dua kali shalat jama’ah di waktu Isya dan Subuh, dan dua kali shalat sendiri karena sudah di luar waktu shalat jama’ah.
Rata-rata jama’ah masjid mengenakan busana yang serius untuk pergi ke masjid. Bergamis putih, atau baju model Pakistan – India yang panjangnya selutut plus celana panjang dengan warna senada, ada juga yang mengenakan sarung. Jarak antara waktu adzan dengan shalat jama’ah cukup lama, sekitar tiga puluh menit. Menunggu jama’ah berkumpul dahulu, barangkali. Jama’ah pun tak bersuara keras menyuarakan ‘amin’ ketika imam usai membaca Al Fatihah. Berbeda sekali dengan shalat jama’ah model Indonesia dimana para jama’ah mengumandangkan ‘amin’ dengan lantang, apalagi anak-anak..
Mencari makanan halal juga tidak terlalu sulit di Mandalay. Mau versi mahal atau murah tersedia semua. Saya sendiri pilih versi murah, yaitu kedai halal di pinggir jalan yang cukup mudah dikenali dari stiker Allah, Muhammad, Bismillah, ataupun kaligrafi yang bertempelan di dinding.
Menu apa yang tersedia? Karena tak tersedia menu dalam bahasa Inggris, semuanya dalam bahasa Myanmar, maka melulu saya makan nasi goreng. Rasanya dahsyat. Terkesan dibuat sembarangan namun mak nyus. Untuk minum saya pilih Teh. Terus terang teh Mandalay amat nikmat. Berkali-kali saya meminumnya tanpa gula. Apalagi gelasnya memang ukuran mini, maka segelas saja tak cukup untuk membasahi tenggorokan. Sayangnya, orang Myanmar punya kebiasaan mengunyah sirih hingga mulutnya merah, dan membuang muntahan sirih merah tersebut dengan sembarangan saja. Termasuk di kedai saya. Kenikmatan memangsa nasi goring Mandalay sedikit terganggu dengan pemandangan orang meludah sirih dan sisa sirih merah di sekitar kedai.
Tapi sebutan kedai halal hanya namanya saja, karena sajian hiburannya ternyata ‘kurang halal’. Beberapa kali saya disuguhi tayangan teve dengan program utama lagu dan tarian Bollywood dalam bahasa India. Semua tamu, termasuk banyak anak kecil, tampak memelototi layar. Apalagi para pelantun dan penari-penarinya memang berwajah cantik dan berbusana pas-pasan pula. Tampaknya tayangan Bollywood tersebut memang jadi jualan dan salah satu daya tarik utama kedai disana. Bagaimana tidak, teve-nya berlayar lebar dan pengeras suara yang digunakan bisa terdengar hingga puluhan meter jauhnya. Padahal, tak jelas betul apakah mereka memahami bahasa India (Hindi) atau tidak.
Tapi lagi, tak semua muslim Mandalay ala Muslim Bollywood. Di Pyin Oo Lwin, kota cantik di dataran tinggi timur Mandalay yang dulu merupakan ibukota musim panas British Burma, dan dapat ditempuh dalam 2 – 3 jam dari Mandalay City, tersedia enam masjid dan satu pondok penghafal qur’an (tahfidzul qur’an). Ada juga satu kedai halal persis di samping masjid jami yang terletak di jalan utama (downtown) Pyin Oo Lwin. Uniknya, kedai ini dikelola oleh muslim keturunan Tionghoa. Berbeda dengan di Mandalay city yang kebanyakan dikelola oleh muslim berparas Bengali.
Di Pyin Oo Lwin juga saya bertemu dengan seorang muslim berhati malaikat. Namanya Kamrun. Dia bilang dalam bahasa Arab nama dia sepadan dengan Kamaruddin. Kamrun adalah penjual barang antik bernilai tinggi di pasar Pyin Oo Lwin. Semua barang dijual Kamrun. You name it. Uang dan koin kuno, senjata tajam, buku dan foto-foto masa silam, peta jaman dahulu, dan ribuan barang-barang antik lainnya. Customer-nya bukan orang setempat, tapi banyak dari Thailand bahkan Inggris. Maklum, kota sejuk di puncak gunung ini adalah mantan summer capital British Burma era kolonial silam.
Tapi bukan itu saja keistimewaan Kamrun, ia amat lancar berbahasa Inggris dan amat ramah. Bertemu sekali di masjid jami Pyin Oo Lwin, langsung ia mengantar saya mencari kendaraan pulang ke airport. Bercerita banyak tentang pekerjaan dan kotanya. Termasuk mengoleh-olehi saya mata uang kuno Myanmar. Tak ingin mengecewakannya, sayapun tertarik untuk membeli setrika besi kuno ukuran mini yang ditawarkan ke saya dengan harga amat murah. “I got it from villager around here Brother, you will not easily find it in other areas,” tukasnya.
Kepada Kamrun, Sayapun bercerita tentang kehidupan muslim di Indonesia. Bahwasanya muslimah di Indonesia pergi shalat ke masjid juga, tidak hanya yang laki-laki. Apa komentarnya? “Muslim’s belief in Indonesia is so strange,”. Karena di Mandalay, tak umum perempuan shalat di masjid.
Akhirnya, di penghujung perjumpaan kami, saat saya mesti mengejar sedan yang akan mengantar saya balik ke Mandalay Airport, Kamrun mendekap erat saya disaksikan Omar, salah seorang pekerjanya. Dengan lirih ia mengatakan : “Allah hafidz Brother…”
Kisah Cobra di LP Anak Pria Tangerang
Posted in A Walk to Remember, More than thousand words... on February 15, 2013| 1 Comment »
KISAH COBRA DI LP ANAK PRIA TANGERANG
LP Anak Tangerang 22 Mei 2007
Namanya Cobra. Bukan nama asli memang. Nama aslinya adalah Dhani Ahmad. Cobra adalah nama julukan teman-temannya, sesama napi anak di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Anak Pria di Tangerang.
Tapi jangan bayangkan ia ganas ataupun berwibawa laksana ular Cobra ataupun gesit dan cepat seperti motor Yamaha RX King Cobra. Cobra yang satu ini justru amat mengundang iba.
Cobra adalah napi anak (istilah yang lebih manusiawi adalah ‘andipas’- Anak Didik Pemasyarakatan) yang memiliki cacat berlipat. Sejak lahir ia memiliki keterbelakangan mental. Belakangan, didapati pula ia sulit berbicara. Apalagi ia nyaris tidak memiliki gigi di bagian depan. Belum lama berselang iapun tertimpa penyakit katarak permanen, yang membuat kedua matanya nyaris tak bisa melihat lagi. “Kami menyebutnya multiple handicap,” ujar F. Haru Tamtomo, kepala Lapas Anak Pria Tangerang.
Derita Cobra yang berujung di LP Anak Pria Tangerang tak lahir dengan sendirinya. Cobra dilahirkan di Poso, Sulawesi Tengah. Ketika konflik berlatar etnis dan agama merobek Poso kedua orangtuanya tewas terbunuh. Jadilah ia hidup sebatang kara. Gencarnya arus pengungsian mengantar Cobra hingga ke Balikpapan. Di tanah yang baru dijamahnya ini ia mesti berjuang sendirian. Tak ada orang tua, tak ada sanak keluarga. Dan hidup semakin tidak mudah bagi Cobra karena iapun memiliki cacat ganda. Jadilah Cobra mencuri kesana kemari demi menyambung hidup. Sampai suatu waktu petualangannya berakhir di terali besi. Kondisi Cobra yang special membuatnya ditransfer ke LP Anak Pria Tangerang. Pada usia yang amat muda. Sekitar tiga belas tahun.
Di LP Anak Pria Tangerang Cobra hidup ‘relatif lebih baik’ daripada di luar penjara. Disini ia punya banyak teman. Bahkan ia dijadikan maskot oleh teman-temannya. Setiap ada kunjungan dari tamu-tamu LP ia selalu didaulat teman-temannya untuk menyanyi ataupun menerima hadiah. Relatif lebih baik? “Coba Bapak pikirkan, siapa yang memikirkan nasib Cobra sekarang, dia tak punya siapa-siapa. Kalaupun keluar penjara iapun tak tahu harus pergi kemana,” tambah Haru Tamtomo lagi.
Namun penjara tetaplah penjara. Dan Cobra tetaplah anak-anak. Kendati ia terkesan senang berada di LP Anak namun ia juga sering frustrasi. “Saya sering melihat dia shalat . Dia rajin sekali shalat. Namun di saat lain saya juga mendapat laporan bahwa ia sering membentur-benturkan kepalanya ke tembok. Sepertinya ia frustrasi. Ia ingin berbicara normal seperti teman-temannya yang lain namun tak dapat berbicara. Ingin melihat normal seperti teman-temannya yang lain namun tak dapat melihat normal karena katarak permanen,” papar Haru Tamtomo.
penyakit katarak Cobra bukannya belum pernah ditangani. “Kami sudah membawanya ke Jakarta Eye Center, tapi mereka mengatakan bahwa penyakit kataraknya sudah parah. Retinanya sudah rusak. Ada memang donor mata dari Sri Lanka, tapi baru siap enam tahun dari sekarang,” sambung Kalapas Bapak Haru Tamtomo.
Mendengar komplitnya kisah duka Cobra tak terasa mata saya mulai basah. Apalagi menyaksikan ia menyanyi lagu kebangsaan penjara guna menyambut kami, para mahasiswa. “Apa kabar hari ini?” luar biasa dahsyat, yes yes yes !!! ujar Cobra. Ia berteriak dan bernyanyi penuh semangat kendati tak jelas apa yang digumamkan.
LP Anak Tangerang, 19 April 2008
Setahun berselang saya kembali mengunjungi LP Anak Pria Tangerang. Memang ini sudah kegiatan rutin tahunan kami sebagai bagian dari perkuliahan Hukum Perlindungan Anak dan Viktimologi. Mengantar para mahasiswa supaya lebih akrab dengan dunia hukum dalam kenyataannya.
Saya kembali bertemu Pak Haru Tamtomo, Kalapas Tangerang yang sangat kebapakan dan ramah tersebut. Di tangannya LP Anak tak terkesan seperti LP. Kini bertaburan warna-warna cerah dan lukisan tembok anak-anak didik disana-sini. Lalu saya teringat Cobra yang saya temui tahun lalu. “Apa kabar Cobra, Pak?” tanya saya. “Wah Cobra sudah tidak disini Pak. Sudah kami pindahkan ke Panti Asuhan Tanmiyah di Bekasi. Memang masa hukumannya masih belum habis, tapi kalaupun disini kamipun tak banyak dapat menolong karena ia menderita cacat berlipat,” papar Pak Haru. “Tapi ia masih bisa melihat kan, pak, tahun lalu ia masih dapat melihat?” tanya saya lagi penasaran. “Cobra sekarang sudah tuna netra total Pak. Ia menderita katarak parah yang tak dapat disembuhkan. Operasi pun tak dapat menolong dia terkecuali ada donor mata,” jawab Pak Haru. Jawaban yang sama dengan tahun lalu.
Saya sedih tak menemukan Cobra. Saya semakin sedih menyadari bahwa kalaupun saya menemukannya saya pun tak banyak dapat menolongnya. Kecuali dengan doa tentunya. Namun ternyata saya salah. Setelah kembali menjumpai adik-adik Andipas (Anak Didik Pemasyarakatan) di aula LP Anak siang hari ini, ternyata saya menjumpai ‘Cobra” – “Cobra” baru yang tak kalah menyedihkan nasibnya.
Saya berjumpa dengan Ilham, seorang anak berusia 12 tahun yang berwajah sangat innocent. Berbadan kurus dan bertubuh pendek. Memang masih sangat anak-anak ia. “Mengapa Ilham sampai disini Pak?” iseng saya bertanya pada sipir LP di sebelah saya. “Oh dia terlibat pencurian motor bersama dua temannya,” jawab sang sipir. “Mencuri motor? How come Pak? Kan badannya kecil begitu?” tanya saya keheranan. “Kenyataannya bisa Pak. Dia tertangkap tangan oleh polisi di Tangerang. Ia sendiri berasal dari Lampung. Sampai sekarang tak ada satupun keluarganya yang mem-bezuknya. Pun sejak ia diperiksa di kepolisian. Tak jelas juga siapa ayah dan ibunya. Ilham sendiri bingung ketika ditanya siapa ayah dan ibunya,” tutur Pak Sipir. Tak terasa kedua mata saya mulai sembab menahan air mata.
Akhirnya air mata di pelupuk mata saya benar-benar jatuh ketika saya menangkap wajah “Cobra” yang lain. Sama seperti Ilham. Badannya kecil, berwajah innocent (bisa dibilang “culun”), berkaus warna oranye dan selalu menunduk. Namanya, sebut saja D. Saya duga ia terjebak pencurian motor juga. Karena penasaran akhirnya saya bertanya juga pada Pak Sipir. “Kalau dia kenapa sampai disini Pak, mencuri motor juga?” tanya saya hati-hati takut terdengar D. “Oh tidak Pak, dia mah kena pasal 289, korbannya anak umur sembilan tahun. Dia sendiri masih berusia sebelas tahun,” jawab Pak Sipir tenang.
Innalillahi wa ina ilaihi raajiiunn… Pasal 289 di KUHP adalah pasal perkosaan! Anak sekecil itu melakukan perkosaan?
Tiba-tiba saya menjadi begitu bersyukur karena masa kecil saya begitu indah, sekaligus bersedih bahwa mereka tak sempat mengecap keindahan masa kecil seperti saya, ataupun seperti anak-anak saya yang seusia mereka…fabiayyi alaa i Rabbikumaa tukadzzibaan…
Jakarta, 19 April 2008
– Heru Susetyo-
Bangsamoro di Mindanao : Roh Islam Melayu di Jasad Pinoy
Posted in A Walk to Remember, More than thousand words... on February 15, 2013| Leave a Comment »
BANGSAMORO DI MINDANAO :
ROH ISLAM MELAYU DI JASAD PINOY
Oleh : Heru Susetyo[1]
Hampir semua orang Indonesia yang pernah ke Philippina,utamanya ke Mindanao, Philippina Selatan, hampir pasti akan disangka sebagai orang Philippina. Lalu akan diajak berbicara dalam bahasa setempat, apakah Tagalog (Philippino) ataupun Visayan. Sama halnya dengan orang Philippina yang ke Indonesia. Kendati bertahan mati-matian mengaku sebagai orang Philippina, tetap saja orang Indonesia tak akan percaya. “You are a hundred percent Filipino,” ujar Ruby, rekan Filipino penulis di Davao, Mindanao. “You look like Pinoy !” ujar Melissa, rekan Filipino lain yang tinggal di Manila.
Memang, penduduk Philippina Selatan, seperti halnya warga Thailand Selatan, sebagian Malaysia dan Singapura, Brunei Darussalam, serta sebagian penduduk Indonesia, berasal dari rumpun antropologi yang sama yaitu Austronesian/ Malayo Polynesian. Maka, tak heran memiliki kesamaan ciri-ciri fisik dan bahasa (etnolinguistik) yang hampir sama. Dalam bahasa Tagalog (Filipino) yang kini menjadi bahasa nasional Philippina, terdapat kurang lebih 5000 kata-kata yang hampir sama dengan bahasa Melayu (Indonesia) walau kadang artinya berbeda, seperti : pintu, kanan, murah, mahal, gunting, anak, balai, aku (ako), kita, dan hitungan angka (1 sampai 10 yang amat mirip dengan bahasa Indonesia, Jawa, dan Sunda sekaligus).
Kesamaan ini semakin kental ketika kebetulan mereka sama-sama beragama Islam. Ketika muslim Melayu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand Selatan, Brunei dan Philippina berkumpul bersama-sama, katakanlah ketika ibadah haji di tanah suci, maka tak ada yang dapat memastikan asal kewarganegaraan mereka. Selain, ketika mereka mulai berbicara tentunya.
Batas negara memang tidak sama dengan batas kultural. Muslim nusantara boleh berbeda kewarganegaraan, namun secara budaya nyaris sama. Di pusat souvenir Aldevinco, Davao City misalnya, mudah dijumpai muslimah Mindanao yang berjualan disana. Di antara barang-barang yang dijual adalah sarung Samarinda dan batik asli Solo dan Pekalongan. “Saya sering pergi ke Tanah Abang di Jakarta dan juga ke Bangkok untuk berbelanja barang-barang kebutuhan muslim,” ujar Aminah, salah seorang pedagang di Aldevinco.
Sayangnya, eksistensi dan status muslim nusantara tersebut tidaklah sama. Muslim menjadi mayoritas di Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Namun menjadi minoritas di Thailand, Singapura, dan Philippina. Memang, menjadi mayoritas tidak menjamin hidup lebih baik, namun terlebih lagi ketika menjadi minoritas. Demikianlah yang terjadi dengan minoritas muslim Moro di Mindanao Philippine.
Apa dan Siapa Bangsamoro
Salah Jubair dalam bukunya Bangsamoro : A Nation Under Endless Tyranny (1999) menyebutkan bahwa istilah Moro atau Bangsamoro (“bangsa” disini memiliki arti yang sama dengan “bangsa” dalam bahasa Indonesia) adalah istilah yang berasal dari penjajah Spanyol (Spaniards). Sama halnya dengan sebutan etnis lain di Philippina seperti ‘Indio” dan “Filipino”. Kata “Moro” sendiri diadopsi dari bangsa Mauri atau Mauritania di Afrika yang kemudian juga dikenakan kepada bangsa Berbers di Afrika Utara dan juga kepada kaum muslimin yang datang dan menaklukkan Spanyol berabad-abad silam. Maka, istilahMoro akhirnya tidak merujuk kepada kelompok etnis, ras, waktu dan geografis tertentu, namun lebih merujuk kepada kelompok orang yang berafiliasi kepada agama tertentu, dalam hal ini adalah Islam.
Muslim di Philippina terdiri atas 13 kelompok etnolinguistik, masing-masing Iranun, Magindanaon, Maranao, Tao-Sug, Sama, Yakan, Jama Mapun, Ka’agan, Kalibugan, Sangil, Molbog, Palawani and Badjao. Ada pula muslim di kalangan penduduk pribumi (indigenous people) Mindanao seperti Teduray, Manobo, Bla-an, Higaonon, Subanen, T’boli, dan lain-lain. Selain itu penduduk Muslim juga dapat diketemukan di Luzon maupun Visayas kendati tidakdalam jumlah yang signifikan. Muslim yang mendiami Mindanao, pulau Basilan, Palawan, Sulu dan kepulauan Tawi-Tawi kemudian disebut sebagai Bangsamoro (Lingga, 2004). Data tahun 2005 menyebutkan total muslim di Philippina berjumlah 5% (4.5 juta jiwa) dari total penduduk Philippina.
Peran Pendakwah Minangkabau, Makassar dan Ternate
Indonesia, tepatnya warga Minangkabau, Makassar dan Ternate patut berbangga. Penyebaran Islam di Mindanao tak lepas dari peran pendakwah Minangkabau masa silam. Salah Jubair (1999) menyebutkan sejarah keislaman Bangsamoro berakar sejak tahun 1310 M dengan ditemukannya nisan seorang pemimpin dan pendakwah Islam generasi awal di Mindanao.
Penyebaran Islam di Sulu dan Mindanao diyakini berasal dari para pedagang, guru-guru dan sufi keturunan Arab yang berlayar hingga ke Sulu dan Mindanao (hampir sama dengan model penyebaran Islam di Indonesia). Mereka kemudian mengislamkan dan menikahi penduduk setempat. Masjid pertama di Philippines tercatat berada di Tubig-Indangan di Pulau Simunul. Didirikan oleh Makhdum Karim alias Sharif Awliya, keturunan Arab, sekitar tahun 1380. Berikutnya para musafir keturunan Arab secara berturut-turut membangun kesultanan Sulu pada 1390, dan kesultanan Maguindanao dan Buayan pada akhir abad ke 15
Abhoud Syed M. Lingga (2004) menyebutkan bahwa Sultan pertama Sulu (Paduka Mahasari Maulana al-Sultan Sharif ul-Hashim) yang memerintah tahun 1450 – 1480 adalah berasal dari Sumatra. Sultan ini menikah dengan putri Rajah Baguinda yang berasal dari Minangkabau (‘Menangkabaw’ dalam istilah di Mindanao). Di Mindanao, Sharif Muhammad Kabungsuwan, pendiri kesultanan Maguindanao tiba di Mindanao pada 1515. Ayahnya berasal dari Arab dan ibunya adalah keluarga kesultanan Johor (kini bagian dari Malaysia). Sementara itu, Sultan Sulu ke -7 adalah memiliki darah Brunei (kini Brunei Darussalam).
Kesultanan Makassar dan Ternate masa silam turut memainkan peranan penting di Mindanao. Ketika Gubernur Spanyol Corcuera menyerbu Sulu pada 1638, Rajah Bongsu, Sultan Sulu, mendapat bantuan dari para prajurit Makassar. Sementara itu, kesultanan Ternate kerap membantu Sultan Buisan di Maguindanao dalam perangnya melawan kolonial Spanyol (Lingga, 2004).
Sampai kini masih cukup banyak keturunan Indonesia yang tinggal di Mindanao. Namun kini lebih banyak berasal dari Sulawesi Utara, utamanya kepulauan Sangir Talaud dan Miangas (Pulau Miangas adalah pulau terluar Indonesia yang berjarak sangat dekat dengan Mindanao dan sebaliknya amat jauh dari Manado). “Saat ini ada sekitar 8000 orang Indonesia yang masih berkewarganegaraan Indonesia di Mindanao. Belum lagi mereka yang tak terdaftar dan mereka yang telah berkewarganegaraan Philippina,” ujar Bernard Loesi, konsul Indonesia di Konsulat Jenderal RI di Davao City.
Tak puas menyebarkan Islam di Mindanao, pergerakan Islam kemudian melaju ke utara, merambah area Visayan, yaitu Cebu, Mactan, kemudian Palawan, hingga Luzon, pulau dimana metropolitan Manila berada. Salah Jubair (1999) mensinyalir bahwa Metropolitan Manila pada abad ke 16 adalah di bawah kekuasaan raja muslim yaitu Rajah Sulaiman Mahmud. Sama halnya dengan daerah Tondo, Cebu dan Mactan di Visayan.
Datangnya penjajah Spanyol (Spaniards) pada tahun 1521 kemudian mengubah semuanya. Ekspansi dakwah Islam dari Selatan (Mindanao dan Sulu) terhambat dan pertempuran terjadi di banyak tempat selama tiga abad lebih kekuasaan kolonial Spanyol. Perang dengan Spanyol baru mereda pada tahun 1898, yaitu saat beralihnya kekuasaan negeri Philippines dari Spanyol ke Amerika Serikat melalui perjanjian Paris 10 December 1898.
Identitas Filipino dan Bangsamoro
Selain mengenakan istilah “Moro” untuk menyebut kelompok muslim di Mindanao, penjajah Spanyol juga menciptakan istilah Philippines. Pada pertengahan abad ke -16 rombongan ekspedisi Spanyol mendarat di Sarangani Mindanao Selatan dan mencoba untuk membangun pemukiman baru. Namun di daerah baru tersebut mereka berbenturan dengan kemiskinan Bangsamoro sehingga rombongan berbalik pulang. Dalam perjalanan pulang ketika melewati gugus kepulauan Samar-Leyte, Bernardo de la Torre, salah seorang kru kapal, memberikan nama kepulauan tersebut sebagai Filipinas, ntuk menghormati Philip, putra mahkota kerajaan Spanyol ketika itu (di kemudian hari menjadi Raja Philip II). Ketika Amerika Serikat menjajah Filipinas, nama tersebut kemudian di-Inggris-kan menjadi Philippines, sampai saat ini.
Apabila Philippines adalah nama negara, maka Filipino adalah sebutan untuk Spaniards yang lahir di Philippines. Namun sejak tahun 1898 istilah Filipino dikenakan juga untuk warga pribumi demi menggalang dukungan warga pribumi dalam melawan Amerika Serikat. Belakangan, istilah Filipino ini kemudian mendapatkan ‘nickname’ baru yaituPinoy (untuk kaum Pria Filipino) dan Pinay (untuk kaum wanita Filipino)
Warga pribumi Philippines non Moro sebelum 1898 disebut sebagai Indios. Makna “Indios” adalah ‘native” ataupun “pribumi”. Istilah diskriminatif ala Spaniards kepada penduduk asli Philippina yang bermakna ras yang lebih rendah, primitif dan intelejensia terbatas. Sebenarnya, Indios secara antropologis adalah juga termasuk ras Indo-Malayan sama seperti Bangsamoro. Hanya saja mereka tidak memeluk Islam maka lebih kental dengan sebutan Indios.
Sama halnya dengan etnis Dayak yang memeluk Islam di Kalimantan. Ketika memeluk Islam mereka disebut sebagai Melayu, kendati sebenarnya asal usul etnis tidak berubah. Tetap saja etnis Dayak. Karena ada asumsi bahwa etnis Dayak adalah penganut kepercayaan animism/dinamism ataupun kepercayaan lain di luar Islam.
Sebaliknya, Bangsamoro tetaplah Bangsamoro hingga kini. Roh Islam Melayu jauh lebih dominan daripada Indios apalagi Spaniards. Secara ras, Bangsamoro adalah ras Indo-Malayan. Ciri-ciri fisiknya amat serupa dengan Indo Malayan lain yang kini bermukim di Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan Thailand Selatan.
Aksara yang digunakan di Mindanao dan Sulu sebelum datangnya pengaruh kolonial Spanyol adalah dalam huruf Yawi (Arab Melayu). Buku-buku agama ketika itu adalah dalam huruf Yawi, sama halnya dengan tradisi penulisan di Thailand Selatan (Patani) dan juga di kesultanan-kesultanan Islam di Indonesia masa silam.
Secara etnolinguistik, semua dialek pribumi Moro, dan juga Luzon serta Visayas, adalah berhubungan dan memiliki akar yang sama dengan bahasa di rumpun Austronesian/ Malayo Polynesian. Tak heran, kita mudah menemukan banyak kata-kata yang sama antara bahasa Bangsamoro dengan bahasa Indonesia, Melayu-Sumatra, bahkan bahasa Jawa, ataupun Sunda. Kata-kata seperti Tuhan, Raja, bichara, orangkaya, sultan, memiliki makna yang hampir sama dengan kata-kata yang sama dalam bahasa Indonesia.
Secara afialiasi keagamaan, hampir seratus persen penduduk Bangsamoro adalah beragama Islam. Dengan model keislaman yang kurang lebih sama dengan penduduk Asia Tenggara yang lain.
Problem Bangsamoro
Problem utama Bangsamoro kini adalah hak untuk menentukan nasib sendiri (right to self-determination). Selanjutnya adalah kemiskinan, ketertinggalan pembangunan, rendahnya pendidikan, minimnya pekerjaan, diskriminasi, dan juga stigma sebagai teroris.
Tidak salah kalau dikatakan bahwa Bangsamoro selalu berada dalam tirani dan penjajahan. Lepas dari penjajahan Spanyol selama lebih dari tiga abad (1521 – 1898), Bangsamoro berada dalam kekuasaan Amerika Serikat hampir selama lima dekade (1898 -1942). Berikutnya Jepang menguasai mereka selama tiga tahun sampai akhirnya berada dalam kekuasaan Republic of Philippines per 4 Juli 1946.
Perjuangan menuju kemerdekaan masih berlangsung hingga kini. Berturut-turut lahir Moro National Liberation Front (MNLF) pada akhir tahun 1960-an pimpinan Nur Misuari dan Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan Salamat Hasyim (wafat pada 2003) pada tahun 1981. Lahirnya MILF adalah respon dari ketidakpuasan terhadap MNLF yang dianggap kurang tegas dalam memperjuangkan hak-hak Bangsamoro dan terlalu akomodatif dengan pemerintah Philippina. Belakangan, pada awal 1990-an, lahir Abu Sayyaf Group (ASG) yang dipimpin Abdulrajak Janjalani. Namun yang terakhir ini lebih cocok disebut sebagai organisasi ‘teroris’(ASG digolongkan sebagai foreign terrorist organization oleh pemerintah AS), karena disinyalir kerap menebar teror di Philippina. Juga, baik MNLF maupun MILF menolak memiliki keterkaitan dengan aktivitas Abu Sayyaf Group. Keberadaan segelintir pihak yang menempuh jalan radikal ini pada akhirnya amat merugikan Bangsamoro. Terjadi generalisasi dan stigmatisasi bahwa Bangsamoro identik dengan teroris.
Negosiasi Bangsamoro dan pemerintah Philippina untuk merumuskan wujud hak menentukan nasib sendiri ini berlangsung berpuluh tahun. Libya, Indonesia dan Malaysia adalah di antara negara-negara OKI (organisasi konferensi Islam) yang rajin memfasilitasi perundingan ini. Pencapaian terakhir Bangsamoro dalam ikhtiar menuju kemerdekaan ini adalah dicapainya status otonomi khusus dengan nama ARMM (Autonomous Region of Muslim Mindanao) pada 1 Agustus 1989, buah perjanjian antara pemerintah Philippina dan MNLF. Saat ini ARMM terdiri atas enam propinsi yaitu tiga di daratan Mindanao (Maguindanao, Lanao del Sur, Shariff Kabunsuan) dan tiga di kepulauan Sulu (Sulu, Basilan, dan Tawi-Tawi). Jumlah penduduk di enam propinsi mayoritas muslim tersebut mencapai hampir tiga juta jiwa.
Disamping ARMM, bentuk akomodasi lain terhadap Bangsamoro oleh pemerintah Philippina adalah pemberlakuan Code of Muslim Personal Laws of the Philippines pada tahun 1977 yang mengatur urusan hukum keluarga (perkawinan, perceraian, kewarisan) masyarakat muslim Philippine. Selanjutnya, beberapa mahkamah syari’ah dibentuk dan hakim-hakim syari’ah ditunjuk . Di bidang ekonomi Islam, Philippine Amanah Bank, yang beroperasi di kalangan muslim, dibentuk pada tahun 1974 oleh mantan Presiden Ferdinand Marcos.
Masalah krusial Bangsamoro berikutnya adalah kemiskinan. Kemiskinan di ARMM adalah yang paling buruk di Philippina. Pendapatan per kapitanya hanya PhP 3.433 pada tahun 2005 (Phillipines Pesos). Pada saat yang sama-sama, rata-rata pendapatan per kapita di 16 region yang lain adalah PhP 14.186. Bahkan region termiskin kedua di Philippine, pendapatan per kapitanya masih dua kali lebih baik daripada ARMM.
Kesulitan dalam memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah cerita yang yang lain. “Penduduk muslim sukar mendapatkan pekerjaan di kantor-kantor pemerintah maupun di pertanian umum, hanya karena mereka muslim,” tutur Evelyn, muslimah Moro yang tinggal di Mandug Barangay, Davao City.
Sejatinya, tak ada kebijakan pemerintah Philippina yang secara terang-terangan mendiskriminasikan penduduk muslim. Namun berhubung mayoritas penduduk Philippina adalah Kristen (Katholik dan Protestan), maka banyak kebijakan yang memang dirumuskan sesuai dengan kehendak mayoritas dan akhirnya merugikan minoritas. Sebagai contoh, kebijakan memindahkan penduduk Filipino non muslim ke Mindanao atas nama pembangunan akhirnya cenderung meminggirkan kaum minoritas di Mindanao, yaitu Bangsamoro.
Menegosiasikan Masa Depan
Bangsamoro kini hidup di tengah ketidaksinkronan. Ruh-nya adalah Islam Melayu sementara jasadnya adalah Pinoy (Philippines). Hampir sama dengan minoritas muslim Thailand Selatan yang hidup di tengah negeri Buddhist. Muhammad al Hasan (1978) menyikapi situasi ini sebagai berikut : “Kami, Moros dan Filipinos adalah dua kelompok manusia yang berbeda, yang memiliki ideologi, budaya, dan sejarah yang berbeda. Kami juga memiliki konsep kedaulatan yang berbeda. Menurut Filipinos, kedaulatan berada di tangan rakyat Filipino, sedangkan kami sepenuhnya percaya bahwa kedaulatan adalah milik Allah SWT.” Selanjutnya, Muhamad al Hasan mengatakan : “Budaya kami sangat dipengaruhi oleh kepercayaan, ajaran, dan prinsip-prinsip Islam, yang sangat bertentangan secara diametral dengan kebudayaan Filipino yang sangat terpengaruh budaya kaum kolonial.”
Maka, perjuangan Bangsamoro ke depan adalah perjuangan bernegosiasi. Menegosiasikan masa depannya sebagai minoritas. Menegosiasikan hak-haknya untuk menentukan nasib sendiri di tengah mayoritas Pinoy yang bersamaan ras, bahasa, dan warna kulit-nya namun berbeda agama, kultur, maupun ideologi. Perjuangan yang tidak mudah, karena kemiskinan, pengangguran, rendahnya pendidikan, dan stigma sebagai teroris senantiasa melekati mereka.
[1] Kontributor Tarbawi, bermukim sementara di Nakorn Pathom Thailand untuk menyelesaikan studi PhD bidang human rights and peace studies di Mahidol University. Tulisan ini adalah oleh-oleh dari dua kali kunjungan ke Mindanao, Philippines pada November 2007 dan Maret 2008.