Feeds:
Posts
Comments

Archive for December, 2011

Bukan Sekedar Tak Mengandung Babi

Read Full Post »

attached

Muslim Thailand di Tengah Konflik Sipil

Read Full Post »

attached

Patani Humvee Peterpan dan Kecek Nayu

Read Full Post »

attached

Roh Islam Melayu di Jasad Pinay

Read Full Post »

 

REFORMASI KONSTITUSI DARI ASPEK LEMBAGA NEGARA

Heru Susetyo[1]

Abstract

Indonesia celebrated this incoming millennium by introducing a new constitution.  Actually the constitution is still in its original name, UUD 1945, but it had been amended four times in 1999 – 2002, that render it to be sharply different with the previous one.  Moreover, the new constitution has really changed many Indonesian’s mindsets who initially believe that the UUD 1945 was sacred and unchangeable.   Apart from its significant changes in chapters and articles, the new constitution has also changed many state institutions. Some were abolished, some were modified, and some were created. This article aims to depict Indonesian constitutional reform through the changing of state institutions.

 

  1. A.                             LATAR BELAKANG

Perubahan konstitusi di Indonesia, dalam hal ini UUD 1945 bukanlah sekedar perubahan ketentuan, kebijakan, dan pasal-pasal belaka. Lebih daripada itu, terjadi perubahan secara struktural dan komprehensif terhadap beberapa lembaga Negara.  Hal mana tidak banyak diketahui oleh khalayak luas. Tidak tentang amandemen konstitusinya, apalagi tentang reformasi lembaga-lembaga negaranya.

Apabila dirunut jauh ke belakang, sejarah ketatanegaraan Indonesia mengenal tiga konstitusi yang pernah diberlakukan : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945), Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949 (Konstitusi RIS 1949), dan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia tahun 1950 (UUDS 1950).  Di antara ketiganya, UUD 1945 merupakan yang terlama diberlakukan yaitu antara tahun 1945 – 1949 dan tahun 1959 hingga kini. Berbagai cara menerapkan UUD 1945 telah dilakukan pada masa yang panjang tersebut, termasuk dengan mengubahnya dalam praktik.[2]

Namun, secara resmi, perubahan formal UUD 1945 baru dihasilkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) selama tahun 1999 – 2002.  Naskah konstitusi Proklamasi RI telah banyak berubah dalam keempat dokumen perubahan yang dihasilkan MPR tersebut. Perubahan itu menuai beragam komentar dan sikap. Selain pendapat yang menuntut “ kembali ke UUD 1945 yang asli”, terdapat pula keinginan untuk mengamandemen kembali, menyempurnakan hasil amandemen, atau istilah-istilah serupa.[3]

Perubahan Pertama ditetapkan oleh Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 1999, disusul dengan Perubahan Kedua dalam Sidang Tahunan Tahun 2000 dan Perubahan Ketiga dalam Sidang Tahunan Tahun 2001. Pada sidang Tahunan Tahun 2002 disahkan pula naskah Perubahan Keempat yang melengkapi naskah-naskah Perubahan sebelumnya, sehingga keseluruhan materi perubahan itu dapat disusun kembali secara lebih utuh dalam satu naskah UUD yang mencakupi keseluruhan hukum dasar yang sistematis dan terpadu.[4]

Perubahan pertama UUD 45 disahkan dalam Sidang Umum MPR RI yang diselenggarakan antara tanggal 12 sampai dengan tanggal 19 Oktober 1999. Pengesahan dilakukan tanggal 19 Oktober 1999 dan dapat disebut sebagai tonggak sejarah yang berhasil mematahkan semangat konservatisme dan romantisme di sebagian kalangan masyarakat yang cenderung mensakralkan atau menjadikan UUD 45 bagaikan sesuatu yang suci dan tidak boleh disentuh oleh ide perubahan sama sekali.   Perubahan pertama mencakup perubahan atas 9 pasal UUD 45.  Perubahan Kedua yaitu pada tanggal 18 Agustus 2000.  Cakupan materi yang diubah pada naskah Perubahan Kedua ini lebih luas dan dan lebih banyak lagi, yaitu mencakup 27 pasal yang tersebar dalam 7 bab.  Perubahan Ketiga ditetapkan pada 9 November 2001 mencakup 7 bab dan 23 pasal.  Perubahan yang terakhir (keempat) disahkan pada 10 Agustus 2002 mencakup 19 pasal termasuk satu pasal yang dihapus dari naskah UUD.[5]

Dari segi kuantitatif saja sudah dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya UUD 1945 setelah mengalami empat kali perubahan, sudah berubah sama sekali menjadi satu konstitusi yang baru. Hanya nama saja yang dipertahankan sebagai UUD Negara Republik Indonesia  tahun 1945, sedangkan isinya sudah berubah secara besar-besaran. Paradigma pemikiran atau pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam rumusan pasal-pasal UUD 1945 setelah mengalami empat kali perubahan itu benar-benar berbeda dari pokok pikiran yang terkandung dalam naskah asli ketika UUD 1945 pertama kali disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.[6]

Menilik telah terjadinya perubahan yang signifikan terhadap konstitusi UUD  1945, yang terakhir dengan empat kali amandemen pada kurun waktu 1999 – 2002,  hal yang menarik untuk ditelaah adalah bagaimana amandemen (baca : reformasi) konstitusi tersebut telah membawa perubahan juga pada lembaga-lembaga Negara, baik status, kedudukan, hubungan, maupun eksistensinya dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

 

B.         PROSES DAN MATERI PERUBAHAN KONSTITUSI

Dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945, Panitia Ad Hoc (PAH) I MPR menyusun kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan UUD 1945, yaitu :[7]

  1. Tidak mengubah Pembukaan UUD Negara RI tahun 1945;
  2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI);
  3. Mempertegas sistem pemerintahan;
  4. Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal (Batang Tubuh);
  5. Melakukan perubahan dengan cara addendum.

Sementara itu, Taufiqurrahman Syahuri menyebutkan bahwa perubahan UUD 1945 adalah mengikuti sistem amandemen, sungguhpun secara material jumlah muatan materi perubahan lebih besar daripada naskah aslinya.  Yang utama dalam sistem amandemen adalah berlakunya konstitusi yang telah diubah itu tetap didasarkan pada saat berlakunya konstitusi asli, karena itu, perubahan redaksi dan atau substansi atas beberapa pasal atau ketentuan tersebut dijadikan sebagai suatu addendum atau lampiran dari konstitusi asli.  Jadi, sedikit banyaknya jumlah ketentuan dalam konstitusi yang diubah bukan merupakan penentu bagi sistem amandemen.[8]

Dengan demikian, cara amandemen yang dilakukan atas perubahan UUD 1945 memiliki akibat hukum, bahwa keberlakuan UUD 1945 yang disandarkan pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959 masih tetap eksis dan dipertahankan oleh MPR hasil pemilu demokratis  tahun 1999, seperti halnya yang dilakukan sebelumnya oleh MPR di masa pemerintahan Presiden Soeharto. Selain itu, oleh karena yang mengamandemen UUD 1945 adalah MPR hasil pemilu tahun 1999 yang demokratis, maka dapat dikatakan bahwa hasil amandemen itu merupakan suatu keputusan hukum yang demokratis. Dengan demikian, amandemen UUD 1945 justru memperkuat eksistensi keabsahan UUD 1945 atau dapat dikatakan bahwa secara tidak langsung atau diam-diam MPR telah mengukuhkan keabsahan UUD 1945 atas dasar dekrit presiden itu. Jadi, pertanyaan apakah UUD 1945 (baca : versi Dekrit Presiden 1959) perlu harus disahkan lebih dahulu oleh MPR sekarang bukan lagi merupakan persoalan yang penting, apalagi ketentuan asli ayat (20 Aturan Tambahan UUD 1945 yang mewajibkan MPR untuk menetapkan undang-undang dasar setelah enam bulan majelis terbentuk sudah tidak tercantum lagi dalam perubahan UUD 1945.[9]

Apabila dilihat dari substansi materinya secara keseluruhan, maka perubahan UUD 1945 ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga macam, yaitu : (1) penghapusan atau pencabutan beberapa ketentuan; (2) menambah ketentuan atau lembaga baru; (3) modifikasi terhadap ketentuan atau lembaga lama.[10]

B.1.      Ketentuan yang Dicabut

Beberapa ketentuan hukum yang dicabut oleh Perubahan UUD 1945 antara lain sebagai berikut : [11] (1). Kekuasaan MPR sebagai lembaga tertinggi Negara dengan kewenangan meminta pertanggungjawaban presiden dan penyusunan Garis-Garis Besar Haluan Negara.  Dengan pencabutan kekuasaan ini, posisi MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi Negara, tetapi sebagai lembaga tinggi Negara yang kedudukannya sejajar dengan lembaga tinggi lainnya seperti Presiden, Mahkamah Agung, dan DPR;  (2). Kekuasaan Presiden yang menyangkut pembentukan Undang-Undang.   Kekuasaan pembentukan Undang-Undang ini berdasarkan pasal 20 perubahan pertama UUD 1945, tidak lagi dipegang presiden, melainkan dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian juga kewenangan presiden dalam hal pengangkatan dan penerimaan duta besar Negara lain serta pemberian amnesti dan abolisi. Kewenangan-kewenangan tersebut tidak lagi merupakan hak prerogratif presiden namun harus atas pertimbangan DPR.

B.2.      Ketentuan dan Lembaga Baru

Ketentuan atau lembaga baru yang diatur dalam Perubahan UUD 1945 antara lain sebagai berikut :[12]

  1. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diatur dalam pasal 22C dan 22D UUD 1945 perubahan ketiga;
  2. Mahkamah Konstitusi, diatur dalam pasal 24C perubahan ketiga;
  3. Komisi Yudisial diatur dalam pasal 24B perubahan ketiga;
  4. Pemilihan umum yang sebelumnya diatur oleh UU, sekarang diatur langsung dalam bab baru (VIIB) UUD 1945 pasal 22E.
  5. Bank Sentral yang sebelumnya hanya diatur dalam Undang-Undang, sekarang diatur dalam pasal 232D perubahan keempat.

B.3.            Ketentuan dan Lembaga yang Dimodifikasi

Ketentuan-ketentuan yang merupakan modifikasi atas ketentuan atau lembaga lama yang diatur dalam Perubahan UUD 1945 antara lain :[13]

  1. Reposisi MPR yang merupakan modifikasi dari MPR lama, diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUD 1945 perubahan keempat.
  2. Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat, yang sebelumnya dipilih oleh MPR, diatur dalam pasal 6 A perubahan ketiga.
  3. Ketentuan Hak Asasi Manusia sebagai penambahan dari ketentuan hak asasi lama, diatur dalam pasal 28A sampai dengan 28J perubahan kedua.
  4. Usul perubahan UUD dan pembatasan perubahan atas Negara kesatuan, merupakan penambahan tatacara perubahan UUD, diatur dalam ayat (1) dan (5) pasal 37 perubahan keempat.

 

  1. C.                                          REFORMASI KONSTITUSI DAN REFORMASI LEMBAGA NEGARA

C.1.      Pengertian Lembaga Negara

Konsep organ Negara dan lembaga Negara itu sangat luas maknanya, sehingga tidak dapat dipersempit hanya pada pengertian ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif saja.  Pertama, dalam arti yang paling luas, organ Negara mencakup setiap individu yang menjalankan fungsi law-creating dan law-applying.   Kedua, yaitu mencakup individu yang menjalankan fungsi law-creating atau law-applying dan juga mempunyai posisi sebagai atau dalam struktur jabatan kenegaraan atau jabatan pemerintahan; ketiga, organ Negara dalam arti lebih sempit, yaitu badan atau organisasi yang menjalankan fungsi law-creating dan/atau law-applying dalam kerangka struktur dan system kenegaraan atau pemerintahan. Keempat, organ atau lembaga Negara itu hanya terbatas pada pengertian lembaga-lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan UUD, UU, atau oleh peraturan yang lebih rendah. Kelima, lembaga-lembaga seperti MPR, DPR, MA, MK, dan BPK dapat pula disebut sebagai lembaga Negara yang tersendiri, yaitu lembaga Negara dalam arti sempit. Lembaga-lembaga Negara dalam arti sempit yang dapat disebut sebagai lembaga tinggi Negara itu menurut UUD 1945 ada tujuh institusi yaitu : (1) Presiden dan Wakil Presiden; (2) DPR; (3) DPD; (4)MPR;(5) Mahkamah Konstitusi; (6) Mahkamah Agung; (7) Badan Pemeriksa Keuangan.[14]

Lembaga Negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan UU merupakan organ UU, sementara yang hanya dibentuk karena keputusan presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya. Demikian pula jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya.[15]

C.2.      Urgensi Reformasi Lembaga Negara

Baron de Montesquieu mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan Negara, masing-masing fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif,  dilembagakan masing-masing ke dalam tiga organ Negara. Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi dan tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang mutlak.  Konsepsi yang kemudian disebut dengan Trias Politica tersebut tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut.[16]

Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.  Di sisi lain, perkembangan masyarakat, baik secara ekonomi, politik, dan sosial budaya, serta pengaruh globalisme dan lokalisme, menghendaki struktur organisasi Negara lebih responsif dan efisien dalam melakukan pelayanan publik dan mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan.  Perkembangan tersebut berpengaruh terhadap struktur organisasi Negara, termasuk bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi lembaga Negara.  Bermunculanlah kemudian lembaga-lembaga Negara sebagai bentuk eksprimentasi kelembagaan yang dapat berupa dewan (council), komisi (commission), komite (committee) badan (board), atau otorita (authority).[17]

Dalam nada yang sedikit berbeda, Burhanuddin Aritonang menyebutkan sebagai berikut :[18]

Saya masih ingat semangat yang muncul dari pembentukan lembaga quasi Negara ini adalah karena lembaga-lembaga Negara (formal) dianggap tidak mampu menampung aspirasi rakyat. Ketika penegak hukum tidak mampu memberantas korupsi kita melahirkan KPK. Ketika siaran terlalu dikendalikan oleh pemerintah, kita membentuk KPI (Komisi Penyiaran Indonesia –pen.) Demikan juga ketika monopoli sudah sedemikian merajalela kita bentukKPPU. Dan seterusnya. Kita selalu berfikir, tatkala suatu institusi tidak berfungsi, maka kita membentuk institusi lain. Kita tidak berfikir untuk menggerakkan institusi yang sudah ada itu agar dapat berjalan dengan baik.

 

Tentang keniscayaan perubahan UUD, John P. Wheeler, Jr. (1961) terang-terangan berpendapat bahwa perubahan konstitusi adalah suatu keniscayaan. Romano Prodi (2004) bahkan mengatakan : “… konstitusi yang tak bisa diubah adalah konstitusi yang lemah, karena ia tidak bisa beradaptasi dengan realitas, padahal sebuah konstitusi harus bisa diadaptasikan dengan dengan realitas yang terus berubah…”.  Bahkan, menurut Brannon P. Denning : “…sebuah mekanisme amandemen konstitusi sangat diperlukan untuk menjamin bahwa generasi-generasi yang akan datang punya alat untuk secara efektif menjalankan kekuasaan-kekuasaan mereka untuk memerintah...”[19]

Lembaga-lembaga baru tersebut biasa disebut sebagai state auxiliary organs, atau auxiliary institutions sebagai lembaga Negara yang bersifat penunjang. Di antara lembaga-lembaga itu kadang-kadang ada juga yang disebut sebagai  self regulatory agencies, independent supervisory bodies, atau lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi campuran (mix-function) antara fungsi-fungsi regulatif, administratif, dan fungsi penghukuman yang biasanya dipisahkan tetapi justru dilakukan secara bersamaan oleh lembaga-lembaga baru tersebut. Bahkan ada lembaga-lembaga yang disebut sebagai quasi non governmental organization.[20]

C.3.      Perkembangan dan Macam Lembaga Negara setelah Reformasi Konstitusi

Eksprimentasi kelembagaan juga dilakukan oleh bangsa Indonesia terutama di masa transisi demokrasi setelah runtuhnya kekuasaan Orde Baru seiring berhentinya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 yang lalu.  Pasca peristiwa itu, dilakukan berbagai agenda reformasi yang salah satunya adalah perubahan (amandemen) UUD 1945 selama empat tahun sejak 1999 sampai dengan 2002.      Dalam perubahan konstitusi ini terjadi pembentukan dan pembaharuan lembaga-lembaga Negara. Berbeda dengan Taufiqurrahman Syahuri, Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa jika kita mencermati UUD 1945 pasca perubahan tersebut, dapat dikatakan terdapat 34 (tiga puluh empat) lembaga Negara.  Dari ke -34 lembaga Negara tersebut, ada 28 (dua puluh delapan)  lembaga yang kewenangannya ditentukan baik secara umum maupun secara rinci dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.  Ke -28 lembaga Negara inilah yang dapat disebut sebagai lembaga Negara yang memiliki kewenangan konstitusional atau yang kewenangannya diberikan secara eksplisit oleh UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.[21]

Dari segi fungsinya, ke -34 lembaga Negara tersebut ada yang bersifat utama atau primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary). Sedangkan dari segi hirarkinya, ke -34 lembaga itu dapat dibedakan ke dalam tiga lapis. Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi Negara. Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga Negara saja. Sedangkan organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah. Di antara lembaga-lembaga tersebut ada yang dapat dikategorikan sebagai organ utama atau primer (primary constitutional organs) dan adapula yang merupakan organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs).[22]

Berkembangnya demikian banyak lembaga-lembaga yang bersifat independen tersebut mencerminkan adanya kebutuhan untuk mendekonsentrasikan kekuasaan dari tangan birokrasi ataupun organ-organ konvensional pemerintahan tempat kekuasaan selama masa-masa sebelumnya terkonsentrasi.  Sebagai akibat tuntutan perkembangan yang semakin kompleks dan rumit, organisasi-organisasi kekuasaan yang birokratis, sentralistis, dan terkonsentrasi tidak lagi dapat diandalkan. Karena itu, pada waktu yang hampir bersamaan muncul gelombang deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, desentralisasi, dan dekonsentrasi.  Salah satu akibatnya, fungsi-fungsi kekuasaan yang biasanya melekat dalam fungsi-fungsi lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan bahkan yudikatif dialihkan menjadi fungsi organ tersendiri yang bersifat independen. Karena itu, kadang-kadang lembaga-lembaga baru tersebut menjalankan fungsi-fungsi yang bersifat campuran, dan masing-masing bersifat independen.[23]

Lembaga-lembaga independen itu sebagian lebih dekat ke fungsi legislatif dan regulatif, sebagian lagi lebih dekat ke fungsi administratif-eksekutif, dan bahkan ada juga yang lebih dekat kepada cabang kekuasaan yudikatif. Misalnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) fungsinya lebih dekat ke fungsi perjuangan aspirasi seperti DPR tetapi sekaligus dekat dengan fungsi pengadilan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) jelas hubungannya sangat dekat dengan fungsi pengawasan oleh DPR. Meskipun demikian, substansi tugas BPK itu sebenarnya juga mempunyai sifat quasi atau semi peradilan.  Komisi Yudisial jelas lebih dekat ke cabang kekuasaan kehakiman.  Disamping itu, ada pula organ Kejaksaan Agung, KPK, Komnas HAM, dan sebagainya. Berbeda dari Komisi Yudisial yang tercantum eksplisit dalam pasal 24B UUD 1945, ketiga lembaga terakhir ini belum diatur dalam UUD 1945, melainkan hanya diatur dalam Undang-Undang.  Namun, pengaturan mengenai hal ini terkait erat dengan delegasi pengaturan yang ditentukan oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan :  Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.  Karena itu, ketiga lembaga Negara tersebut dapat dikatakan memiliki constitutional importance yang setara dengan lembaga lain yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 seperti TNI, Kepolisian, dan Komisi Yudisial. [24]

Demikian pula dengan lembaga-lembaga seperti KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), KPU (Komisi Pemilihan Umum), PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) dan lain sebagainya yang dibentuk berdasarkan ketentuan undang-undang.  Pada umumnya lembaga-lembaga ini bersifat independen dan mempunyai fungsi campuran antara sifat legislatif, eksekutif, dan/ atau sekaligus yudikatif.[25]

Selanjutnya, lembaga-lembaga dan komisi-komisi independen Negara dapat dikelompokkan sebagai berikut :[26]

  1. Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dan bersifat independen, yaitu :
    1. Presiden dan Wakil Presiden
    2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
    3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
    4. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
    5. Mahkamah Konstitusi (MK)
    6. Mahkamah Agung (MA)
    7. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
  2. Lembaga Negara dan Komisi-Komisi Negara yang bersifat independen , berdasarkan konstitusi atau yang memiliki constitutional importanceseperti :
    1. Komisi Yudisial
    2. Bank Indonesia (BI) sebagai Bank Sentral
    3. Tentara Nasional Indonesia (TNI)
    4. Kepolisian Negara RI (POLRI)
    5. Komisi Pemilihan Umum (KPU)
    6. Kejaksaan Agung
    7. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
    8. Komnas HAM
  3. Lembaga-Lembaga Independen lain yang dibentuk berdasarkan undang-undang seperti :
    1. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
    2. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
    3. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
  4. Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif (pemerintah) lainnya, seperti Lembaga, Badan, Pusat, Komisi, atau Dewan yang bersifat khusus di dalam lingkungan pemerintahan, seperti :
    1. Konsil Kedokteran Indonesia (KKI)
    2. Komisi Pendidikan Nasional
    3. Dewan Pertahanan Nasional
    4. Lembaga Pertahanan Nasional
    5. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia(LIPI)
    6. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
    7. Badan Kepegawaian Negara (BKN)
    8. Lembaga Administrasi Negara (LAN)
    9. Lembaga Informasi Nasional (LIN)
  5. Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif (pemerintah) lainnya, seperti :
    1. Menteri dan Kementerian Negara
    2. Dewan Pertimbangan Presiden
    3. Komisi Hukum Nasional
    4. Komisi Ombudsman Nasional
    5. Komisi Kepolisian
    6. Komisi Kejaksaan
  6. Lembaga, Korporasi, dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) atau Badan Hukum yang dibentuk untuk kepentingan Negara atau kepentingan umum lainnya seperti :
    1. Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA
    2. Kamar Dagang dan Industri (KADIN)
    3. Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI)
    4. BHMN Perguruan Tinggi
    5. BHMN rumah sakit
    6. Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI)
    7. Ikatan Notaris Indonesia (INI)
    8. Persatuan Advokat Indonesia (PERADI)

 

C.3.3.    Lembaga-Lembaga Negara dalam UUD 45 Setelah Amandemen

Setelah empat kali amandemen UUD 1945 tahun 1999 – 2002, maka ada sekitar 34 (tiga puluh empat) lembaga negara yang disebutkan secara eksplisit,  apabila secara implisit, jumlahnya lebih dari 34 lembaga Negara.  Lembaga-lembaga tersebut antara lain :[27]

  1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (Bab II)
  2. Presiden RI (Bab III)
  3. Wakil Presiden RI (Bab III)
  4. Dewan Pertimbangan Presiden (pasal 16)
  5. Kementerian Negara (Bab V)
  6. Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama sebagai triumvirat (pasal 8 ayat (3) UUD 1945)
  7. Menteri Dalam Negeri sebagai triumvirat (pasal 8 ayat (3) )
  8. Menteri Pertahanan sebagai triumvirat (pasal 8 ayat (3)
  9. Duta (pasal 13 ayat 1, 2, dan 3)
  10. Konsul (pasal 13 ayat 1)
  11. Pemerintahan Daerah Provinsi
  12. Gubernur/ Kepala Pemerintah Daerah Provinsi
  13. DPRD Provinsi
  14. Pemerintah Daerah Kabupaten
  15. Bupati/ Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten
  16. DPRD Kabupaten
  17. Pemerintahan Daerah Kota
  18. Walikota/ Kepala Pemerintah Daerah Kota
  19. DPRD Kota
  20. DPR RI (Bab VII)
  21. DPD  (Bab VIIA)
  22. Komisi Penyelenggara Pemilihan Umum (Bab VIIB)
  23. Bank Sentral  (Bab VIII)
  24. Badan Pemeriksa Keuangan (Bab VIIIA)
  25. Mahkamah Agung (Bab XIV)
  26. Mahkamah Konstitusi (Bab XIV)
  27. Komisi Yudisial (Bab XIV)
  28. TNI (Bab XII)
  29. POLRI (Bab XII)
  30. TNI AD (Pasal 10 UUD 1945)
  31. TNI  AL (Pasal 10 UUD 1945)
  32. TNI AU (pasal 10 UUD 1945)
  33. Satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa (pasal 18B ayat 1)
  34. Badan –badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman (pasal 24 ayat (3)

 

  1. D.                                         PENUTUP

Dengan dilakukannya amandemen UUD 1945 secara signifikan pada kurun waktu 1999-2002 telah menunjukkan dan mematahkan anggapan bahwa UUD 1945 adalah harga mati dan tidak bisa dirubah.  Bahkan tak sekedar berubah, amandemen tersebut juga telah menjadikan UUD 1945 layaknya konstitusi baru walau namanya tetap tak berubah.

Perubahan yang signifikan terjadi pada lembaga-lembaga Negara.   Ada lembaga negara yang kekuasaan dan kedudukannya berubah seperti MPR (yang sebelumnya lembaga tertinggi Negara) dan Presiden (yang tak lagi memegang kekuasaan utama dalam membentuk UU dan harus menyertakan pertimbangan DPR dalam pengangkatan Duta/ Konsul dan pemberian amnesty dan abolisi).  Ada lembaga Negara yang baru dilahirkan dan termaktub langsung dalam UUD 1945 hasil amandemen seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Komisi Penyelenggara Pemilihan Umum (nama definitifnya tak disebutkan ekplisit dalam UUD 1945 dan juga Bank Sentral (disebutkan dalam UUD 1945 hasil amandemen tapi tak disebutkan nama ‘Bank Indonesia’-nya.  Dan, ada pula ketentuan dan lembaga yang dimodifikasi, sejauh terkait dengan reposisi MPR dan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung.

Apabila istilah lembaga Negara ini diartikan dalam arti luas, maka Jimly Asshiddiqie menyebutkan ada 34 lembaga Negara yang disebutkan secara eksplisit dalam UUD 1945 pasca amandemen.  Ke -34 lembaga Negara tersebut dibedakan antara lembaga yang ketentuannya diatur langsung oleh UUD 1945 atau yang kemudian diatur dalam Undang-Undang tersendiri, juga dibedakan antara yang berskala pusat maupun yang berskala daerah (provinsi, kabupaten, kota).

Adanya perubahan yang signifikan ini tentunya membawa konsekuensi pada perubahan sistem ketatanegaraan RI.  Perubahan mana menuntut sosialiasi dan konsolidasi yang lebih luas antara sesama aparat Negara, pemerintah, maupun masyarakat.

Reformasi lembaga Negara melalui reformasi konstitusi ini memang belum bisa dikatakan final dan terakhir.  Sangat mungkin akan terjadi perubahan dan penyempurnaan lagi di waktu-waktu yang akan datang. Kendati demikian, diharapkan beberapa hal yang asasi. seperti Pembukaan UUD 1945, tidak turut berubah. Juga diharapkan proses konsolidasi antara lembaga-lembaga Negara pasca amandemen konstitusi tersebut berlangsung mulus. Sehingga tujuan-tujuan Negara dan bangsa Indonesia tetap dapat tercapai.  Bagaimanapun bentuk amandemen konstitusinya.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Aritonang, Baharuddin. Merumuskan Ulang Reformasi, Catatan Pelaksanaan UUD 1945 Sudut Pandang Anggota BPK

(www.mahkamahagung.go.id/images/uploaded/8.merumuskan_ulang.pdf) diakses pada 31 Maret 2010.

Asshidiqie, Jimly.  Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta, Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

Asshidiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta, Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

Asshidiqie, Jimly. The Constitutional Law of Indonesia. Kuala Lumpur, Sweet and Maxwell Asia, 2009.

Fatmawati,  Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral, Studi Perbandingan Indonesia dan Berbagai Negara,  Jakarta, UI Press, 2010.

Kelompok DPD di MPR RI, Jalan Berliku Amandemen Komprehensif, Dari Pakar, Politisi Hingga Selebriti. Jakarta, Kelompok DPD di MPR RI, 2009.

Komisi Hukum Nasional, Gagasan Amandemen UUD 1945 Suatu Rekomendasi. Jakarta, Komisi Hukum Nasional,  2008.

Syahuri, Taufiqurrahman.  Hukum Konstitusi, Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia tahun 1945 – 2002 Serta Perbandingannya dengan Konstitusi Negara Lain di Dunia. Bogor, Ghalia Indonesia, 2004.


[1] Staf pengajar tetap Bidang Studi Hukum Masyarakat dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

 

[2] Muhammad Fajrul Falakh, ed. ,Gagasan Amandemen UUD 1945 Suatu Rekomendasi  (Jakarta, Komisi Hukum Nasional : 2008), hal. ix

 

[3] Ibid.

 

[4] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,  (Jakarta, Mahkamah Konstitusi RI : 2006), hal. 52.

 

[5] Ibid., hal. 58 – 61.

 

[6] Ibid., hal. 62.

 

[7] Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral, Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara (Jakarta, UI Press : 2010), hal. 94.

[8] Taufiqurrohman Syahuri,  Hukum Konstitusi, Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia 1945 – 2003 Serta Perbandingannya dengan Konstitusi Negara Lain di Dunia  (Bogor, Ghalia Indonesia : 2004), hal.  157.

 

[9] Ibid., hal. 158.

 

[10] Ibid., hal. 214.

 

[11] Ibid., hal. 214.

 

[12]Syahuri, Ibid., hal. 215.

 

[13] Ibid., hal. 216 – 217.

 

[14] Ibid., hal. 40 – 42.

 

[15] Ibid., hal. 42.

 

[16] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta, Mahkamah Konsitusi RI : 2006), hal. vii.

 

[17] Ibid.

 

[18] Baharuddin Aritonang, Merumuskan Ulang Reformasi, Catatan Pelaksanaan UUD 1945 Sudut Pandang Anggota BPK (www.mahkamahagung.go.id/images/uploaded/8.merumuskan_ulang.pdf) diakses pada 31 Maret 2010.

 

[19] Denny Indrayana, Urgensi Melanjutkan Perubahan UUD 1945, dalam Jalan Berliku Amandemen Komprehensif (Jakarta, Kelompok DPD di MPR RI : 2008), hal. 8.

 

[20] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta, Mahkamah Konsitusi RI : 2006).

 

[21] Ibid.

 

[22] Ibid.

 

[23]Ibid., hal. 23.

 

[24] Ibid., hal. 24.

 

[25] Ibid.

 

[26] Ibid.

[27] Ibid., hal. 57 – 59.

Read Full Post »

terlampir

Perlindungan Anak dlm Perkawinan & Keluarga2

Read Full Post »

attached

Politik dan Pemilihan Umum di Thailand 2011 – Heru Susetyo

Read Full Post »

Sosialisasi UU KDRT

terlampir

Sosialisasi UU KDRT – Heru Susetyo Juni 2011

Read Full Post »

 


TINJAUAN UMUM MENGENAI PROGRAM DUKUNGAN

TERHADAP KORBAN KEJAHATAN

 TANTANGAN DAN HAMBATANNYA DALAM PELAKSANAANNYA DI INDONESIA

 

By : Heru Susetyo, SH. LL.M. M.Si.[1]

 

  1. A.           Wajah Perlindungan terhadap Korban Kejahatan di Indonesia

Perlindungan terhadap korban di Indonesia secara komprehensif bisa dibilang masih jauh panggang daripada api.  Penegakan hukum selama ini cenderung lebih memperhatikan pelaku atau tersangka pelaku kejahatan ataupun terdakwa dan terpidana daripada korban.

Perhatian terhadap saksi juga cenderung lebih banyak daripada kepada korban.  Apalagi apabila saksi tersebut pada saat bersamaan adalah juga tersangka atau terdakwa yang amat diperlukan keterangannya untuk persidangan.  Akan halnya korban yang semata-mata adalah korban dan bukan sekaligus pelaku ataupun saksi, perhatian terhadap mereka masih amat minimal.

Korban belum mendapatkan pelayanan dan pensikapan yang optimal dari penegak hukum, dari pemerintah, apalagi dari masyarakat pada umumnya.  Seringkali malah yang terjadi adalah reviktimisasi atau double victimization. Dimana korban kejahatan setelah terviktimisasi kemudian menjadi korban (re-victimized) lagi akibat pensikapan aparat hukum yang kurang tepat.  Alih-alih hak-hak korban diperhatikan, sebaliknya korban malah menjadi korban kesewenang-wenangan aparat hukum ataupun masyarakat.

Batasan tentang korban dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban No. 13 tahun 2006 juga masih terbatas pada korban kejahatan.  Padahal viktimisasi (victimization) alias aktifitas yang menimbulkan korban tidak terjadi semata-mata karena kejahatan belaka, namun juga akibat kecelakaan transportasi, kecelakaan kerja, akibat bencana buatan manusia (human made disaster) ataupun bencana alam (natural disaster) dan sebab-sebab lain yang di luar kejahatan.

Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban secara tersurat menempatkan negara, melalui LPSK sebagai pihak utama yang memberikan perlindungan terhadap Saksi dan Korban.  Pasal 1 angka (3) UU ini menyebutkan bahwa LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi/ Korban sebagaimana diatur dalam UU itu.  Kemudian pada pasal 12 UU yang sama disebutkan bahwa LPSK bertanggungjawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan kepada Saksi dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam UU ini.

Kewenangan yang besar dari LPSK ini menempatkan LPSK sebagai representasi dari negara dalam hal perlindungan saksi dan korban.  Apalagi Pasal 13 UU Perlindungan Saksi dan Korban secara tersurat menyebutkan bahwa LPSK adalah bertanggungjawab terhadap Presiden dan membuat laporan secara berkala tentang pelaksanaan tugas LPSK kepada DPR  paling sedikit sekali dalam 1 (satu) tahun.

Hadirnya UU Perlindungan Saksi dan Korban No. 13 tahun 2006 adalah suatu terobosan hukum yang menarik dalam hal akomodasi terhadap hak-hak saksi dan korban yang tidak diatur secara lengkap pada KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).  Memang, UU ini belum komprehensif dan belum sempurna, namun sebagai produk hukum awal yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak korban dan saksi, UU tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu acuan utama.

Sama halnya dengan Rancangan Undang-Undang (RUU)  KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Rancangan UU ini  belumlah memberikan kontribusi untuk perlindungan saksi dan korban, terutama bagi kelompok rentan.   Sebut saja terhadap perlindungan hak-hak anak, ketika anak tersebut sedang menjalani proses hukum. Selain itu, dalam hal manajemen peradilan dibutuhkan keterbukaan informasi secara efektif yang berkaitan dengan akses saksi dan korban atas dokumen-dokumen dan proses persidangan. Dalam hal ini, RUU KUHAP juga belum memperhatikan hak saksi dan korban untuk memperoleh akses informasi berkaitan dengan proses perkaranya.[2]

 

  1. B.           Perkembangan Perlindungan terhadap Korban

Padahal di dalam peradilan internasional hak-hak para saksi dan korban sudah mulai diakui dan diakomodasi.  Sebutlah dalam ICC (International Criminal Court) alias Mahkamah Pidana Internasional yang berkedudukan di Den Haag-Holland (The Hague).  Dimana dibuka peluang untuk korban untuk dapat berpartisipasi dalam proses persidangan.  Korban tidak diperlakukan sebagai obyek yang pasif dari suatu perlindungan ataupun sebagai pelengkap proses penuntutan.  Pentingnya partisipasi saksi tertuang di dalam pasal 68 ayat (3) Statuta Roma, dimana Mahkamah mengijinkan pandangan dan perhatian para korban untuk dikemukakan dan dipertimbangkan pada tahap-tahap proses persidangan yang ditetapkan oleh Mahkamah dengan cara yang tidak merugikan atau tidak konsisten dengan hak-hak tertuduh dan persidangan yang adil dan tidak memihak.[3]

Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat diberikan dalam berbagai cara, bergantung kepada penderitaan/ kerugian yang diderita oleh korban. Sebagai contoh, untuk kerugian yang sifatnya mental/psikis tentunya bentuk ganti rugi dalam bentuk materi/ uang tidaklah memadai apabila tidak disertai dengan upaya pemulihan mental korban.  Sebaliknya, apabila korban hanya menderita kerugian secara materiil (seperti, harta bendanya hilang) pelayanan yang sifatnya psikis terkesan terlalu berlebihan[4].

Penjelasan pasal 35 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memberikan pengertian kompensasi, yaitu ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggungjawabnya.  Sedangkan restitusi, ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.  Restitusi dapat berupa :[5]

  1. Pengembalian harta milik;
  2. Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan; atau
  3. Penggantian biaya untuk tindakan tertentu.

Stephen Schafer menyatakan bahwa terdapat lima sistem pemberian restitusi dan kompensasi kepada korban kejahatan, yaitu sebagai berikut :[6]

  1. Ganti rugi (damages) yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses perdata. Sistem ini memisahkan tuntutan ganti rugi korban dari proses pidana.
  2. Kompensasi yang bersifat keperdataan diberikan melalui proses pidana.
  3. Restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana diberikan melalui proses pidana. Walaupun restitusi disini tetap bersifat keperdataan, tidak diragukan sifat pidana (punitive-nya). Salah satu bentuk restitusi menurut sistem ini adalah ‘denda kompensasi’ (compensatory fine). Denda ini merupakan ‘kewajiban yang bernilai uang’ (monetary obligation) yang dikenakan kepada terpidana sebagai suatu bentuk pemberian ganti rugi kepada korban disamping pidana yang seharusnya diberikan.
  4. Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana dan didukung oleh sumber-sumber penghasilan negara. Disini kompensasi tidak mempunyai aspek pidana apapun, walaupun diberikan dalam proses pidana. Jadi, kompensasi tetap merupakan lembaga keperdataan murni, tetapi negara-lah yang memenuhi atau menanggung kewajiban ganti rugi yang dibebankan pengadilan kepada pelaku. Hal ini merupakan pengakuan bahwa negara telah gagal menjalankan tugasnya melindungi korban dan gagal mencegah terjadinya kejahatan.

 

Di luar kompensasi ataupun restitusi,  bentuk-bentuk pelayanan lain yang dapat diberikan kepada korban antara lain : (1) Konseling; (2) Pelayanan/ bantuan medis; (3)  bantuan hukum; maupun (4) Pemberian informasi.

 

  1. C.           Gagasan-Gagasan untuk Peningkatan Perlindungan terhadap Korban

Ada banyak peran yang dapat dilakukan oleh negara dalam hal perlindungan korban.  Peran-peran tersebut harus berangkat dari pendekatan ataupun kebijakan pidana yang diterapkan oleh negara tersebut.

Perkembangan terkini yang patut dicermati adalah adanya strategi pengembangan dalam melakukan pembaharuan hukum pidana (dikemukakan dalam ‘International Penal Reform Conference” yang diselenggarakan di Royal Holloway College University of London pada 13 – 17 April 1999), yaitu mengembangkan/ membangun :[7]

  1. Restorative justice (keadilan restoratif)
  2. Alternative dispute resolution (alternatif penyelesaian sengketa)
  3. Informal justice (keadilan informal)
  4. Alternative to custody (alternatif daripada pemenjaraan)
  5. Alternative ways of dealing with juvenile (alternatif cara untuk menanggulangi anak yang bermasalah dengan hukum)
  6. Dealing with violent crime (menanggulangi kejahatan dengan kekerasan)
  7. Reducing the prison population (mengurangi penghuni penjara/ narapidana)
  8. The proper management of prison (manajemen penjara yang lebih layak)
  9. The role of civil society in penal reform (peranan daripada masyarakat sipil dalam reformasi pemidanaan).

 

Ide atau wacana dimasukannya alternatif penyelesaian perkara dalam bidang hukum pidana antara lain terlihat dalam dokumen penunjang Kongres PBB ke 9/ 1995 yang berkaitan dengan manajemen peradilan pidana (yaitu dokumen A/CONF.169/6) dimana diungkapkan perlunya semua negara mempertimbangkan ‘privatizing some law enforcement and justice functions’ dan ‘alternative dispute resolution/ ADR’ berupa mediasi, konsiliasi, restitusi dan kompensasi) dalam sistem peradilan pidana.[8]

Alternative Dispute Resolution (ADR) yang telah dikembangkan dalam lingkup hukum perdata, seyogyanya juga dapat diterapkan secara luas di bidang hukum pidana.  Dalam laporan Kongres PBB ke 9/ 1995 tentang ‘The Prevention of Crime and The Treatment of Offender” (dokumen A/CONF.169/16) antara lain Toumonde, Menteri Kehakiman Perancis mengemukakan mediasi penal (penal mediation) sebagai suatu alternatif penuntutan yang memberikan kemungkinan penyelesaian negosiasi antara pelaku tindak pidana dengan korban (dalam laporan No. 319).[9]

Terkait dengan pengembangan perlindungan terhadap hak-hak korban,  dalam Deklarasi Vienna pada kongres PBB ke 10/2000 (dokumen A/CONF.187/4/Rev.3) antara lain dikemukakan bahwa untuk memberikan perlindungan kepada korban kejahatan, hendaknya diintrodusir mekanisme mediasi dan keadilan restoratif (restorative justice).  Pada Maret 2001, Uni Eropa membuat the EU Council Framework Decision tentang ‘kedudukan korban di dalam proses pidana’ (The standing of victims in criminal proceedings) -EU (2001/220/JBZ) yang di dalamnya termasuk juga masalah mediasi.  Selanjutnya pada tanggal 24 Juli 2002,  Badan ECOSOC (Economic and Social Council) PBB telah menerima Resolusi 2002/12 mengenai ‘Basic Principles of the Use of Restorative Justice Programme in Criminal Matters’ yang di dalamnya juga mencakup masalah mediasi.[10]

Terkait dengan pelayanan kepada korban,   John Dussich,  Direktur Tokiwa International Victimology Institute (TIVI) di Mito – Jepang dan mantan Presiden dari World Society of Victimology (WSV) menyebutkan bahwa pelayanan korban (victim services) mencakup :[11]

Victim services are those activities which are applied in response to victimizations with the intention of relieving suffering and facilitating recovery. This includes providing information, making assessments, conducting individual interventions, engaging in social advocacy, proposing public policy and working in program development.

(pelayanan korban adalah aktifitas-aktifitas yang dilakukan dalam rangka respon terhadap viktimisasi dengan maksud untuk mengurangi penderitaan dan memfasilitasi pemulihan korban.  Termasuk dalam aktifitas pelayanan korban adalah memberikan informasi, melakukan tindakan/ pemeriksaan, melakukan intervensi individual, terlibat dalam advokasi sosial, mengajukan kebijakan publik dan bekerja di dalam program-program pengembangan perlindungan untuk korban).

Program memberikan informasi kepada korban adalah dalam rangka mengakomodasi hak-hak para korban akan informasi.  Kebutuhan semua korban dimanapun hampir sama, yaitu mereka ingin mendapatkan informasi ringkas tentang apa yang terjadi kepada mereka,  apa yang akan terjadi kemudian, dan peran apa yang mereka dapat lakukan selanjutnya.  Termasuk dalam hal ini adalah informasi-informasi mendasar tentang dimana tempat-tempat untuk mendapatkan pelayanan, berapa nomor teleponnya, jam kerja pelayanan masing-masing lembaga pelayanan, dimana mendapatkan tempat perlindungan sementara (shelter), makanan, pakaian, dan konseling.  Dan penyampaian informasi ini tidak memerlukan perangkat yang kompleks, bisa dilakukan melalui brosur, informasi di situs internet, radio, TV, pengumuman di Koran, majalah ataupun penyediaan nomor telepon hotline services.

Program melakukan pemeriksaan (making assessment) dilakukan dengan pemikiran bahwa semua jenis intervensi kepada korban, apakah dalam bentuk konseling sederhana maupun psikoterapis yang sifatnya kompleks amat memerlukan suatu pemeriksaan yang lengkap sebelum memberikan pelayanan.  Ini adalah suatu bentuk evaluasi psiko-sosial komprehensif terhadap para korban sesegera setelah viktimisasi terjadi.   Tujuan utama dari pemeriksaan ini adalah untuk menentukan sejauh mana tingkat penderitaan yang dialami korban dan mengajukan usulan perawatan dan pemulihan korban yang relevan secepatnya.

Program intervensi invidual (individual intervention) adalah untuk menggunakan metode klinis dalam berinteraksi dengan para korban dengan tujuan untuk mengurangi kesakitan dan penderitaan dan untuk mengembalikan mereka sedapat mungkin ke kondisi normalnya (pemulihan).  Maka, pemulihan atau recovery adalah produk akhir dari semua jenis intervensi.

Program advokasi sosial (social advocacy) terdiri atas dua wilayah yaitu advokasi kasus (case advocacy) dan advokasi sistem (system advocacy).  Advokasi kasus adalah menempatkan diri pada posisi korban untuk menjamin hadirnya pelayanan-pelayanan yang memang dibutuhkan oleh para korban.  Sementara Advokasi sistem adalah mewakili dan membela para korban secara umum sebagai suatu kelas, guna meningkatkan kesadaran terhadap penderitaan para korban, guna menjamin bahwa korban mendapatkan akses terhadap pelayanan-pelayanan yang dibutuhkannya, juga untuk mengajukan kebijakan/ hukum baru yang relevan dan penting untuk para korban.

Program pengajuan kebijakan publik yang pro hak-hak korban ini amat penting.  Pada semua tingkat pemerintahan adalah amat penting untuk memiliki kebijakan tertulis dan hukum yang mengatur bagaimana seharusnya korban diperlakukan. Kebijakan ini harus terintegrasi antara hukum pidana, hukum perdata dan hukum administratif. Kebijakan ini juga bisa dalam bentuk memperbaharui atau merevisi UU yang sudah ada namun dirasakan sudah tidak relevan lagi.   Inisiatif untuk mengajukan maupun mengkritisi kebijakan yang melindungi hak-hak korban bisa datang baik dari negara maupun dari masyarakat.

 

 

  1. D.           Praktek Perlindungan terhadap Korban di Beberapa Negara

Perlindungan terhadap korban dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pasal 5 UU No. 13 tahun 2006 menyebutkan sejumlah hak para saksi dan korban sebagai berikut : (a). Hak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; (b) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; (c) memberikan keterangan tanpa tekanan; (d) mendapatkan penerjemah; (e) bebas dari pertanyaan yang menjerat; (f) mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus; (g) mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; (h) mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; (i) mendapatkan identitas baru; (j) mendapatkan tempat kediaman baru; (k) memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; (l) mendapat nasihat hukum dan/atau; (m) memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.  Kemudian pasal 6 UU yang sama menyebutkan bahwa korban berhak untuk mendapatkan : (a). bantuan medis dan (b) bantuan rehabilitasi psiko-sosial.

Perlindungan terhadap korban dapat dilakukan dengan penguatan hukum.  Sebagai contoh adalah Austria.  Dalam menangani kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau domestic violence, Austria telah melakukan pergeseran dalam hukum yang menanganinya.  Semula masalah KDRT dianggap masalah pribadi namun kemudian dianggap menjadi masalah negara dan bagian dari kepentingan publik.[12]

Melalui undang-undang tentang perlindungan terhadap kekerasan dalam keluarga yang berlaku sejak 1 Mei 1997, Austria menerapkan semacam peribahasa seperti : “siapa saja yang memukul harus meninggalkan rumah dan bertanggungjawab  terhadap tindakannya” (whoever beats will have to leave and take responsibility of their action). Melalui pengaturan ini,  pihak yang melakukan kekerasan-lah yang harus meninggalkan rumah dan bukannya korban kekerasannya.[13]

Hukum dengan paradigma baru ini berusaha untuk mensinkronkan antara putusan pengadilan dengan undang-undang di bawah hukum perdata dengan menekankan pada dukungan kepada korban (victim support) melalui sejumlah lembaga-lembaga penolong korban (intervention centers).

Perhatian yang sama terhadap korban KDRT ditunjukkan oleh Pemerintah Jerman.  Pada tahun 2002 Pemerintah Jerman menelurkan hukum yang meningkatkan perlindungan melalui hukum perdata dalam kasus KDRT  dan memfasilitasi perpindahan tempat tinggal setelah terjadi perpisahan akibat KDRT tersebut.  Berdasarkan legislasi ini, polisi berhak untuk melindungi seseorang dari bahaya tertentu dan dapat memindahkan pasangannya yang melakukan kekerasan dengan mengeluarkan surat perintah penahanan berjangka waktu 7 sampai dengan 14 hari.  Di negara bagian Lower Saxony, surat perintah ini lebih singkat lagi, antara 7 sampai dengan 10 hari.[14]

Melalui surat perintah penahanan ini bertujuan untuk sesegera mungkin mengakhiri kekerasan.  Sang pelaku kekerasan harus menyerahkan kunci rumah atau meninggalkan tempat tinggal tersebut, mengemas barang-barang pribadinya dan segera meninggalkan rumah. Maksud dari kebijakan ini adalah untuk menghindari kekerasan yang mungkin akan terjadi lagi pada korban KDRT  dengan memberikan mereka cukup waktu untuk beristirahat dan  memulihkan diri di dalam rumah mereka sendiri/ lingkungan yang mereka akrabi, guna kepentingan pemulihan dan menghadapi masa depannya.[15]

Gagasan lain untuk perlindungan hak-hak korban adalah memberdayakan Komisi Ombudsman.  Di negara seperti Amerika Serikat (AS) atau Canada misalnya hampir semua negara bagian memiliki Ombudsman, bahkan ada yang spesifik mengurusi korban (victims).  Victims Ombudsman ini utamanya bertugas sebagai pihak ketiga yang netral dalam mencermati dan menilai perlakuan kepada para korban oleh para aparat penegak hukum ataupun badan-badan yang bergerak dalam ruang lingkup sistem peradilan pidana.

Disamping Ombudsman, beberapa negara memiliki Komisioner khusus untuk hak-hak korban.  Sebutlah Australia.  Pemerintah negara bagian South Australia (South Australia) memiliki komisioner untuk hak-hak korban (Commisioner for Victim’s Rights).  Komisioner ini berada di bawah pemerintah negara bagian dan tidak di bawah pemerintah federal di Canberra.

Terobosan dalam hal perlindungan saksi dan korban yang dilakukan pemerintah South Australia dan Commissioner for Victims’Rights antara lain mengadakan pengadilan khusus untuk menginvestigasi terjadinya kekerasan ataupun timbulnya korban akibat sebab-sebab yang tidak umum/ tidak biasa yang disebut dengan nama ‘The Coroner’ (pengadilan koroner).

            The Coroner;  adalah hakim yang bertugas untuk menginvestigasi kematian seseorang yang terjadi akibat kekerasan yang tidak biasa, tidak umum dan mencurigakan. Tugas dari seorang hakim ‘coroner’ adalah :[16]

  1. Memutuskan perlu atau tidaknya dilakukan penyelidikan
  2. Melakukan penyelidikan guna menentukan sebab-sebab atau kondisi-kondisi yang menyebabkan kematian.
  3. Menentukan apa sebab-sebab kematian
  4. Membuat rekomendasi-rekomendasi untuk menghindari kematian yang sama terjadi di masa depan.

Proses investigasi dilakukan oleh polisi atas nama hakim koroner untuk menentukan sebab-sebab kondisi-kondisi yang melatarbelakangi kematian.  Kegiatan ini mencakup mensertifikasi suatu kematian, mengidentifikasi seseorang yang tewas, mengumpulkan data dan menyampaikan informasi kepada hakim koroner terkait sebab dan kondisi-kondisi yang melatarbelakangi suatu kematian.

Pelayanan lain dari The Coroner adalah : [17]

  • Counseling dan pemberian informasi Cuma-Cuma dari pekerja sosial (social workers) yang berpengalaman baik secara tatap muka dengan perjanjian ataupun melalui telepon.
  • Crisis counseling
  • Counseling pada tahap-tahap penting, seperti saat kesimpulan tentang sebab tewasnya seseorang telah diambil
  • Informasi tentang proses koroner
  • Membantu dalam menyiapkan proses penyelidikan
  • Informasi tentang kelompok-kelompok yang dapat membantu keluarga korban kematian
  • Informasi tentang bagaimana menolong anak-anak untuk memahami tewasnya seseorang yang amat mereka cintai
  • Memberikan rujukan untuk counseling dalam jangka waktu panjang dan informasi-informasi pentinga lainnya.

 

Perlindungan terhadap korban juga amat perlu mengundang keterlibatan masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) ataupun Ornop (Organisasi Non Pemerintah).

Sebagai contoh, di South Australia, Pemerintah negara bagian mendanai dan mendukung lahirnya inisiatif untuk melayani korban-korban kekerasan seksual di masa anak-anak (adult survivors of health sexual abuse).  Bentuk-bentuk pelayanan terhadap korban tersebut antara lain adalah counseling melalui telepon maupun kunjungan hingga ke daerah, bantuan hukum, hingga training-training yang relevan untuk para professonal pembantu pemulihan para korban serta memberi rujukan untuk mendapatkan pelayanan pada instansi-instansi lain yang relevan.[18]

Inisiatif lain yang tak kalah penting adalah bekerjasama dan memfasilitasi berdirinya peer-support groups (kelompok pendukung sebaya) untuk para korban. Kelompok pendukung ini telah diakui secara luas sebagai instrument penting dalam meningkatkan dan memfasilitasi, antara lain,  pemulihan mental korban kejahatan dan korban kecelakaan lalu lintas.[19]

Salah satu kelompok pendukung hak-hak korban yang signifikan adalah Masyarakat Viktimologi yang ada di banyak negara.   Sebagai contoh adalah Masyarakat Viktimologi Serbia (Victimology Society of Serbia) yang berdiri sejak tahun 2003. Tujuan pembentukan lembaga ini adalah untuk menolong korban kejahatan dan korban kejahatan harta benda yang berusia di atas 14 tahun termasuk juga anggota keluarga korban. Pelayanan dari masyarakat viktimologi ini mencakup pemberian informasi tentang hak-hak korban, bantuan pemulihan emosional, dan memberi rujukan kepada lembaga dan organisasi-organisasi tertentu.[20]

Reparasi dan kompensasi terhadap korban kejahatan dilakukan secara berbeda di banyak negara.  Di Perancis ada mekanisme Action Civile System. Dimana korban dapat mengajukan gugatan perdata terhadap pelaku kejahatan di muka pengadilan pidana.  Namun, data menunjukkan bahwa tidak banyak  korban di Perancis maupun di Swiss mengajukan gugatan perdata.  Sebabnya karena pengadilan pidana dapat menolak untuk memfasilitasi gugatan perdata tanpa memberikan alasan.  Studi yang dilakukan di Pengadilan Paris menunjukkan bahwa hanya satu dari empat korban yang sukses mendapatkan bagian dari pembayaran kompensasi dari pelaku melalui gugatan perdata..  Sementara lebih dari 90% mendapatkan kepuasan hukum dari pengadilan pidana (Killias, 1995 : 254).

Pada beberapa negara seperti Perancis, Belanda dan Jerman, jaksa penuntut umum (prosecutors) dapat melakukan diskresi untuk tidak melanjutkan perkara (dismiss) ketika pelaku atau tersangka pelaku telah membayar kompensasi yang layak atau telah berkomitmen untuk memberikan kompensasi kepada korban. Mekanisme ini disebut sebagai ‘compensation through ‘plea bargaining’.  Namun di Jerman jaksa penuntut umum tidak memiliki kewajiban untuk memfasilitasi mekanisme kompensasi ini, maka hanya sedikit kasus yang tidak dilanjutkan karena pelaku/ tersangka pelaku telah membayar atau berkomitmen untuk membayar kompensasi (Killias, 1995 : 254 – 255).

Mekanisme lain adalah melalui compensation orders (perintah untuk memberikan kompensasi) seperti yang diperkenalkan di Inggris sejak tahun 1972. Mekanisme ini telah menarik perhatian dunia internasional dan memicu lahirnya banyak studi mengenai efektifitasnya.  Penelitian dari Shapland (1985) menunjukkan bahwa pada tahun 1979 – 1980 para korban kejahatan menerima hanya jumlah yang sangat minimal, sekitar 44 poundsterling untuk korban kekerasan, 22 poundsterling untuk korban pencurian, hanya beberapa yang nyaris mendekati 100 poundsterling. Hanya 7 – 15% dari putusan hakim di Inggris pada dekade 80-an yang juga menyertakan compensation order.  Oleh karena itu, banyak korban yang tidak antusias dengan mekanisme ini, disamping waktu pembayarannya juga seringkali amat lambat.  Kekecewaan yang hampir sama dijumpai di sistem peradilan pidana Amerika Serikat pada dekade tersebut.  Para korban tidak mendapatkan kompensasi yang penuh/ maksimal. Hanya sebagian saja kerugian yang mereka alami mendapatkan kompensasinya (Killias, 1995 :  255 – 256).

Kompensasi dari negara atau yang diberikan oleh negara (di Indonesia dikenal sebagai restitusi) adalah model reparasi yang lain. Banyak negara barat mengintrodusir skema ini dalam sistem peradilan pidana-nya.  Ada satu kesamaan dari skema ini (common features) yaitu bahwa hanya korban kejahatan yang pelaku kejahatannya tak mampu melakukan reparasi dari sumber-sumber lain dan korban yang betul-betul sangat memerlukan-lah yang memenuhi syarat mendapatkan kompensasi dari negara ini (Killias, 1995 : 256).

Apabila dibandingkan dengan jumlah yang diterima korban melalui compensation orders, jumlah yang diterima melalui compensation by the state ini jauh lebih besar.  Contohnya pada tahun 1984 jumlah yang umumnya diterima korban di Jerman adalah setara dengan USD 2000, USD 5000 di Austria, USD 8000 di Perancis, USD 2500 di Inggris Raya, USD 2500 di Canada dan sekitar USD 20000 di negara bagian South Australia.  Namun, tidak banyak korban yang mendapatkan kompensasi dari negara.  Studi yang dilakukan pada tahun 1984 menunjukkan bahwa permohonan kompensasi dari negara yang sukses dilakukan hanya 5627 kasus di Jerman, 79 di Austria, 201 di Perancis, 22923 di Inggris Raya, 3732 di Canada dan 87 di South Australia.  Oleh karenanya, pada dekade tersebut berkembang skeptisisme di antara para korban. Karena praktek kompensasi model ini dianggap hanya berlaku untuk jenis kejahatan tertentu saja dan jumlah yang diberikan hanya dapat mengganti sebagian kecil kerugian saja (Killias, 1995 : 256).

Kompensasi melalui gugatan perdata yang diajukan melalui peradilan perdata (civil procedures) adalah model kompensasi yang juga kerap dilakukan.   Secara teori hukum, hampir semua negara di dunia mengakomodasi sistem ini. Korban dapat mengajukan gugatan perdata untuk mendapatkan kompensasi dari pelaku/ tersangka pelaku.  Apabila tergugat adalah sekaligus pelaku/ tersangka pelaku (offenders) maka kompensasi cenderung lebih mudah didapatkan.  Permasalahannya, gugatan perdata seringkali tidak murah.  Korban harus mengeluarkan biaya cukup signifikan untuk membayar advokat/ pengacara-nya (Killias, 1995 : 257).

Pelaksanaan reparasi terhadap korban di beberapa negara adalah berbeda-beda. Di New Zealand (Selandia Baru) pengadilan dapat memerintahkan kepada pelaku kejahatan untuk membaya kompensasi terhadap korban kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis maupun kehilangan/ kerusakan harta benda. Jumlah kompensasinya adalah tergantung dari jumlah kehilangan atau kerugian yang dialami korban dan kemampuan sang pelaku untuk membayar (http://www.justice.govt.nz/publications/global-publications/r/reparation-to-victims).

Proses reparasi di New Zealand adalah sebagai berikut : 1. Setelah kasus diperkarakan di pengadilan, Korban akan dikirimi surat pemberitahuan reparasi (reparation notice) yang menyebutkan jumlah yang diperintahkan oleh pengadilan untuk dibayarkan oleh pelaku kepada korban.  Sang pelaku diberikan waktu selama 28 hari untuk membayar jumlah tersebut melalui pengadilan secara total atau untuk mengatur pembayaran secara mengangsur. Kemudian pengadilan akan meneruskan pembayaran tersebut kepada korban melalui direct credit ataupu via cheque. Bila pembayaran langsung dilunasi si pelaku, maka pengadilan akan mengirimkan uang langsung kepada si korban secara penuh.  Namun apabila pembayaran dengan sistem mengangsur, maka pembayaran akan dilakukan ketika semua jumlah angsuran usai dilunasi oleh si pelaku (http://www.justice.govt.nz/publications/global-publications/r/reparation-to-victims).

Bagaimana apabila si pelaku menolak untuk membayar kompensasi? Pengadilan tidak akan tinggal diam dan akan menempatkan hal ini sebagai prioritas.  Pengadilan memiliki sejumlah cara untuk memaksa sang pelaku membayar, seperti meminta pengurangan gaji/ upah sang pelaku, membekukan rekening bank, menjual harta benda si pelaku, sampai mencegah si pelaku pergi ke luar negeri (http://www.justice.govt.nz/publications/global-publications/r/reparation-to-victims).

Di negara bagian South Australia, ada beberapa kondisi dimana korban kejahatan (atau keluarganya) berhak mengklaim kompensasi dari negara. Termasuk dalam pengertian penderitaan (injury) yang dapat diajukan klaim-nya adalah shock, gangguan mental, kehamilan akibat perkosaan, namun tidak termasuk kehilangan atau kerugian terhadap harta benda (SA Attorney General, 2009 : 42).

Pengajuan klaim atas kompensasi negara dapat diajukan maksimal tiga tahun sejak kejahatan terjadi , atau satu tahun apabila korban kejahatannya tewas.  Namun bagi korban anak, waktu pengajuannya adalah setelah mereka berusia 18 tahun. Dana kompensasi ini dibayarkan dari dana masyarakat (public funds) namun pemerintah dapat meminta sang pelaku untuk membayar kembali dana tersebut jika ia mampu. Apabila korban sangat memerlukan uang, ia dapat mengajukan pengajuan pembayaran interim (emergency).  Apabila pengajuan dana ini dikabulkan, maka jumlah dana yang diterima ini akan diperhitungkan (dikurangi) dari dana kompensasi korban yang sedianya akan diterima korban di kemudian hari (SA Attorney General, 2009).

Korban juga dapat mengajukan klaim terhadap kompensasi atas kesakitan atau penderitaan, kerugian keuangan , kehilangan mata pencaharian atau berkurangnya kemampuan untuk mencari nafkah.  Jika klaim tersebut diterima, maka jumlah uangnya akan sangat bergantung kepada : kapan kejahatan tersebut terjadi, seberapa jauh tingkat penderitaan yang dialami korban dan apakah sang korban turut berkontribusi untuk terjadinya kejahatan atau tidak (SA Attorney General, 2009).

Berapa jumlah uang yang dapat diajukan klaim?  Per 1 September 1990, klaim kompensasi dibatasi maksimal AUD 50.000.  Untuk kejahatan yang terjadi antara 1 Agustus 1987 dan 1 September 1990 jumlah maksimum yang dapat diklaim adalah AUD 20.000 dan untuk kejahatan yang berlangsung antara tahun 1978 dan 1 Agustus 1987 jumlah maksimum klaim adalah AUD 10.000.  Kemudian untuk kejahatan yang terjadi antara tahun 1975 sampai tahun 1977 jumlah maksimum klaim adalah AUD 2000.  Untuk kejahatan yang berlangsung antara tahun 1969 dan 1974 jumlah maksimum klaim adalah AUD 1000 (SA Attorney General, 2009).

Pengaturan yang berlaku untuk pengajuan klaim adalah sangat tergantung pada waktu terjadinya kejahatan.  Jika kejahatan terjadi antara 1 September 1990 sampai dengan 12 Agustus 1993,  jumlah kompensasi dihitung sebagai berikut : untuk klaim sejumlah maksimal AUD 2000 maka sejumlah tersebut yang akan diberikan, untuk klaim melebihi AUD 2000 maka sejumlah AUD 2000 yang akan diberikan plus proporsional-nya (biasanya tiga perempat dari jumlah yang diajukan klaim-nya, dan bila klaim yang  diajukan melebihi AUD 50000, maka jumlah maksimum yang diberikan adalah AUD 50000.  Untuk kerugian dan penderitaan yang terjadi akibat kejahatan yang berlangsung setelah 12 Agustus 1993, jumlah yang dapat diklaim  adalah hampir sama.  Namun,  klaim tersebut dihitung pada skala 0 – 50, dimana satu poin adalah setara dengan kompensasi AUD 1000.  Suatu jenis kerugian/ penderitaan (injury) haruslah dapat dinilai dalam skala tersebut.  Oleh karena itu,  kerugian yang amat minimum tak dapat diklaim kompensasinya.  Untuk klaim yang diajukan terhadap kejahatan yang berlangsung setelah 1 Januari 2003, skala kerugian/ penderitaan yang dapat diklaim adalah minimal pada skala 2.  namun tidak ada ambang batas minimal untuk klaim terhadap kerugian financial.     Perihal klaim untuk kompensasi korban dapat meminta bantuan kepada Victim Support Service, The Law Society of South Australia atau Commisioner for Victims’ Rights. Permintaan juga dapat diajukan kepada Attorney General Department, Victim Compensastion Section atau Court Administration Authority, Victim Compensation Application (SA Attorney General, 2009).

Korban  kejahatan yang tak mengalami kerugian/ penderitaan atau mengalami kerugian yang amat minimal tidak berhak mendapatkan kompensasi, namun tetap dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan bantuan.   Pembayaran dapat berasal dari diskresi Attorney General yang mempertimbangkan perlunya sang korban kejahatan dibantu supaya dapat mengatasi dampak kejahatan yang terjadi pada dirinya.  Misalnya,  korban yang trauma karena diancam untuk dibunuh misalnya, dapat meminta bantuan pengamanan diri ataupun pengamanan rumah (SA Attorney General, 2009).

Di Inggris ada Criminal Injuries Compensation Authority (CICA) yang merupakan badan yang dibentuk oleh Criminal Injuries Compensation Act 1995.   Maksud pendirian institusi ini adalah untuk memberikan kompensasi bagi korban yang ‘innocent’ (tidak berkontribusi terhadap kejahatan tersebut).  Skema ini menggantikan skema sebelumnya yang dikelola oleh Criminal Injuries Compensation Board sejak tahun 1964.  Pada awalnya skema tersebut ditujukan pada korban yang menderita/ luka akibat penegakan hukum (law enforcement) atau korban kecelakaan yang menyeberangi rel kereta api (trespassing).  Namun sebagian besar pemohon kompensasi (90%) adalah korban yang memang mengalami kekerasan akibat kejahatan. Untuk memohon kompensasi ini, sang pelaku kejahatan tidak perlu didakwa atau diidentifikasi, namun korban harus mengajukan pelaporan .  Kompensasi dapat dibayarkan untuk korban yang memenuhi syarat sesuai dengan tarif yang berlaku, dimana 1000 Poundsterling adalah jumlah kerugian minimum (Miers dalam Crawford & Goodey, 2000 : 89).

Kebijakan pemberian kompensasi dalam skema tersebut di atas hanyalah untuk korban yang ‘innocent’. Alias tidak berlaku bagi korban yang memiliki catatan kejahatan signifikan (criminal records) atau perilaku dan tindak tanduknya berkontribusi terhadap kejahatan tersebut (Miers dalam Crawford & Goodey, 2000 : 89).  Apalagi apabila korban adalah sekaligus pelaku kejahatan (offenders).  Justifikasi dari kebijakan ini adalah para pembayar pajak (taxpayer) tidak seharusnya turut memberi kompensasi kepada korban yang pada saat bersamaan adalah juga pelaku kejahatan (Miers dalam Crawford & Goodey, 2000 : 91).

Di Amerika Serikat, skema kompensasi adalah berbeda untuk setiap negara bagian (state). Di Texas misalnya pelaku kejahatan diperintahkan menyisihkan dananya untuk Crime Victims’ Compensastion Fund.  Pada tahun 1979 Crime Victims’ Compensation Act dilahirkan.  Undang-Undang Texas ini melahirkan Compensation to Victims of Crime Fund and the Crime Victims’ Compensation (CVC) Program.   Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan partisipasi para korban dalam memahami proses penuntutan kejahatan dan mengganti kerugian para korban yang tak bersalah.  Dana untuk kompensasi berasal dari sang pelaku kejahatan (https://www.oag.state.tx.us/victims/about_comp.shtml).

Pengelola program kompensasi korban ini adalah Office of Attorney General.  Jaksa negara bagian ini bertanggungjawab untuk menjamin bahwa korban kejahatan mendapatkan dana pengganti kerugian yang dialaminya dimana ia tak mungkin mendapatkan penggantian dari sumber lain (asuransi dan sebagainya).  Hukum negara bagian Texas menghendaki bahwa dana pengganti kerugian korban sedapat mungkin diperoleh dulu dari sumber lain seperti asuransi kesehatan (health insurance), Medicaid, medicare, asuransi mobil atau dari Texas Workers Compensation. Dana yang dapat diklaim adalah maksimal USD 50000. Korban yang menderita dan mengalami cacat permanen akibat kejahatan dapat mengajukan klaim hingga USD 75000 (https://www.oag.state.tx.us/victims/about_comp.shtml).

Di negara Canada, hampir semua provinsi (kecuali Newfoundland dan Territories) memfasilitasi program kompensasi untuk korban kejahatan.  Korban kejahatan yang memenuhi syarat adalah korban maupun keluarga korban pembunuhan, penganiayaan seksual, KDRT, penganiayaan seksual anak dan penelentaran anak dan lain-lain. Program kompensasi korban ini dikelola oleh propinsi sesuai dengan peraturan yang berlaku di setiap propinsi.  Program ini bertujuan untuk mengakomodasi telah terjadinya kerugian ataupun penderitaan terhadap korban yang tak bersalah (innocent victims) dan untuk membantu korban meringankan beban finansial yang mengiringi viktimisasi tersebut.  Sama seperti di USA, program kompensasi ini harus disikapi sebagai upaya terakhir (last resort) setelah semua sumber-sumber dana telah diupayakan (http://vcgcb.ca.gov/about.aspx).

Supaya memenuhi syarat untuk mendapatkan kompensasi, laporan atas kejahatan harus disampaikan kepada polisi tidak lebih dari satu tahun (atau dua tahun untuk beberapa provinsi) dan pengajuan kompensasi juga harus diajukan dalam satu tahun atau maksimal dua tahun untuk beberapa provinsi.  Syarat lain untuk mendapatkan klaim kompensasi adalah : (1) kejahatan yang menimbulkan korban tersebut adalah dikategorikan sebagai kejahatan sebagaimana diatur dalam Criminal Code; (2) penderitaan/luka atau kematian yang dialami korban adalah akibat yang bersangkutan berusaha menangkap atau mencoba penangkap tersangka pelaku kejahatan, atau dalam rangka membantu penegak hukum untuk menegakkan hukum; (3) mencegah atau berusaha mencegah terjadinya kejahatan; dan (4) viktimisasi tersebut terjadi di provinsi yang bersangkutan (http://vcgcb.ca.gov/about.aspx).

Prosedur untuk mendapatkan kompensasi adalah pemohon harus mengajukan aplikasi dengan menghubungi program di provinsi tempat terjadinya kejahatan.  Setelah aplikasi lengkap maka harus segera dikirimkan ke kantor program.  Putusan terhadap kompensasi biasanya diputuskan dalam satu sampai lima tahun setelah aplikasi diajukan.  Dana kompensasi akan diberikan kepada pemohon dalam jangka waktu 4 -20 minggu setelah hearing dilakukan.  Jumlah maksimum yang diberikan adalah berbeda untuk setiap propinsi, namun berkisar antara CD 2000 – 127000.  Biaya yang dapat dikompensasikan adalah berbeda untuk setiap propinsi, namun umumnya berkisar untuk jenis biaya-biaya :  perawatan kesehatan, perawatan mental/ konseling, luka-luka, biaya untuk anak yang lahir dari perkosaan, kehilangan mata pencaharian akibat cacat permanen, kehilangan mata pencaharian untuk keluarga, biaya pemakaman, rehabilitasi untuk korban yang menderita cacat, biaya-biaya untuk mendapatkan dokumen penting, biaya-biaya untuk menghadiri hearings, biaya untuk memulai bekerja di rumah, biaya atas kerugian akibat kehilangan/ kerusakan harta benda, biaya-biaya perlindungan dan relokasi.  Disamping itu, biaya kompensasi darurat dapat diajukan untuk korban yang berusia tua atau tengah mengalami sakit (http://vcgcb.ca.gov/about.aspx)

 

  1. E.           Tantangan dan Hambatan di Indonesia

Penyebab korban kejahatan belum memperoleh perlindungan di Indonesia secara memadai adalah bervariasi.  Paling tidak ada beberapa hal yang menyebabkan korban belum mendapatkan perlindungan yang memadai :  (1) faktor undang-undang;  banyak wilayah hukum yang belum diatur oleh undang-undang yang spesifik, ataupun UU-nya ada namun masih bersifat parsial dan keberadaannya tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan sehingga hanya berlaku bagi kejahatan-kejahatan tertentu.  Ada pula UU yang belum memiliki peraturan pelaksana sehingga belum dapat dijalankan secara optimal;  (2) kesadaran hukum korban; banyak dijumpai korban atau keluarganya yang menolak untuk melaporkan kekerasan yang menimpanya dengan berbagai alasan, seperti takut adanya ancaman dari pelaku atau ketakutan apabila masalahnya dilaporkan akan menimbulkan aib bagi korban maupun keluarganya; (3) Fasilitas pendukung; kurangnya sarana dan prasarana pendukung dalam upaya perlindungan korban kejahatan, yang paling nyata dirasakan adalah pada perlindungan korban akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT); (4) Sumber Daya Manusia; keterbatasan sumber daya manusia baik secara kuantitas maupun kualitas turut mempengaruhi  kualitas pemberian perlindungan hukum terhadap korban kejahatan.[21]

Dengan memperhatikan sebab-sebab pelayanan korban yang belum memadai seperti di atas dan guna meningkatkan pelayanan dan perlindungan kepada korban dan dengan melihat best practices yang dilakukan oleh negara-negara lain, maka paling tidak ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh negara RI :

  1. Merevisi dan menyempurnakan UU Perlindungan Saksi dan Korban sehingga lebih bersifat integrative dan komprehensif, juga dengan melengkapi peraturan-peraturan pelaksananya.
  2. Memasukkan klausul-klausul perlindungan saksi dan korban pada RUU KUHAP yang tengah dalam pembahasan.
  3. Merevisi dan menyempurnakan undang-undang lain yang amat terkait dengan perlindungan hak-hak korban, seperti UU PKDRT,  UU Perlindungan Anak, dan lain-lain.
  4. Mengadopsi paradigma baru dalam sistem peradilan pidana yang penting untuk perlindungan saksi dan korban, seperti restorative justice, ADR/ penal mediation, alternatif penindakan untuk anak yang bermasalah dengan hukum, dan lain-lain.
  5. Memperluas pengertian dan pemahaman tentang ‘korban’,  tak hanya semata-mata korban kejahatan namun juga korban oleh sebab-sebab lainnya (various victimization).
  6. Memperluas ruang lingkup ataupun cakupan dari program-program pelayanan korban (victim services) tidak hanya perlindungan secara hukum namun juga pelayanan kesehatan dan bantuan pemulihan psikososial, intervensi individual, advokasi kasus dan advokasi sistem serta menyediakan informasi-informasi yang bermanfaat dan mudah diakses oleh para korban ataupun calon korban di masa mendatang dalam bentuk barang cetakan, informasi online, broadcasting,  sampai dengan hotline services.
  7. Memberdayakan Komisi Ombudsman Indonesia dalam mencermati pelayanan lembaga-lembaga penegak hukum kepada para korban.
  8. Memfasilitasi dan bermitra dengan masyarakat sipil dan lembaga-lembaga penolong korban (Victim Support Groups) dan Masyarakat Viktimologi setempat dalam mengadakan program-program perlindungan untuk para korban.
  9. Turut membangun kapasitas dan profesionalisme para pendukung hak-hak korban dalam bentuk training for trainers, pelatihan, kursus, hingga dukungan program dan financial.

10. Membangun fasilitas pendukung terhadap perlindungan hak-hak korban entah di kepolisian, kejaksaan, pengadilan maupun di tempat-tempat lainnya.

11. Mempertinggi kapasitas aparat penegak hukum dalam melindungi dan menangani hak-hak korban.

12. Memikirkan untuk membuat semacam Commisioner of Victims Rights dan Pengadilan Coroner sebagaimana yang ada di Australia untuk diterapkan di Indonesia,  sebab permasalahan korban lebih kompleks, lebih bervariasi viktimisasinya dan jauh lebih banyak kuantitas-nya daripada di Australia.

13. Melahirkan kembali UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan kelembagaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Indonesia yang  batal lahir akibat putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2006, sebagai salah satu instrumen untuk memulihkan kembali luka dan trauma korban dan keluarga korban kejahatan HAM masa silam yang tak terakomodasi oleh sistem peradilan pidana yang berlaku saat ini.

14. Yang terakhir adalah mengakomodasi regulasi tentang perkembangan terkini tentang perlindungan terhadap korban kejahatan. Antara lain Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power 1985 dan (draft) dari UN Convention on Justice and Support for Victims of Crime and Abuse of Power (dapat diunduh pada http://www.tilburguniversity.edu/research/institutes-and-research-groups/intervict/undeclaration/convention.pdf)

Beberapa hal menarik dari draft Konvensi tentang Keadilan dan Dukungan untuk korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan ini antara lain :

 

 

Article 4

Commitment to reduce victimization

State Parties shall commit to provide both justice and support for victims and to reduce victimization consistent with international guidelines by, inter alia, developing:

(a) more effective detection, prosecution, sentencing and corrections of perpetrators,consistent with internationally recognized norms;

(b) measures to reduce the risk of occurrence of victimization by considering vulnerable groups and identifying resource deficiencies and vulnerability factors; and, creating ways to neutralize these weaknesses;

(c) strategies to reduce the opportunity for repeat victimization by improving services and support for those already victimized;

(d) international cooperation to exchange proven and promising practices and seek transnational solutions.

 

 

 

Article 5

Access to justice and fair treatment

 

(1) State Parties shall provide victims with access to the mechanisms of justice and redress which is expeditious, fair, inexpensive and accessible, as provided for by domestic legislation, through:

(a) judicial and administrative mechanisms which will enable victims to obtain redress;

(b) informal mechanisms for the resolution of disputes, including mediation, arbitration, and customary justice processes or indigenous practices, where appropriate, to facilitate conciliation and redress for victims;

(c) information about their rights in seeking redress through all these mechanisms.

 

(2) State Parties shall ensure that the judicial, administrative and informal processes are responsive to the needs of victims. This should be facilitated by:

(a) giving the victim a fair hearing within a reasonable time in the determination of their entitlement to a remedy for the injury, loss or damage suffered by them as a result of their victimization without prejudice to the accused;

(b) allowing the views and concerns of victims to be presented and considered at appropriate stages of proceedings where their personal interests are affected, without prejudice to the accused and consistent with the relevant domestic criminal justice system;

(c) allowing victims to present their views and concerns themselves or through legal or other representatives without prejudice to the discretion of the court, tribunal or other appropriate authority, and in consonance with the relevant domestic criminal justice system;

(d) the prompt return to victims of their property, taken or recovered by the police or any other agency for the purpose of the investigation, when no longer needed;

(e) providing to victims, where appropriate, the right of appeal against decisions of the prosecutorial authority not to prosecute in cases where they were victimized.

(f) providing proper assistance to victims throughout informal, administrative, investigative and judicial processes;

(g) taking measures to minimize inconvenience to victims and protect their privacy wherever appropriate;

(h) ensuring the safety of victims, as well as that of their families and witnesses on their behalf, from intimidation and retaliation;

(i) avoiding unnecessary delay in the disposition of cases and the execution of orders or decrees granting awards to victims;

(j) ensuring the enforcement of any order or decree granting awards to victims.

(3) State Parties shall reimburse victims and witnesses for their reasonable expenses related to the procedure incurred as a result of their legitimate participation in criminal proceedings.

 

 

Article 6

Protection of victims, witnesses and experts

(1) State Parties shall take appropriate measures in accordance with their domestic legal systems to protect the safety, physical, psychological, and social well-being, dignity and privacy of victims, witnesses  and experts from potential retaliation or intimidation and, as appropriate, for their relatives and other persons close to them.

(2) The measures envisaged in paragraph 1 of this article may include:

(a) establishing procedures for the physical protection  of such persons, such as, where appropriate, non-disclosure or limitations on the disclosure of information concerning the identity and whereabouts of such persons;  and/or to the extent necessary and feasible, relocating them, changing their identity and any other measures needed for their protection;

(b) providing evidentiary rules to permit victims, witnesses and experts to give testimony in a manner that ensures the safety of such persons, such as permitting testimony to be given through the use of communications technology such as video or other appropriate means;

(c) agreements or arrangements with other State Parties for the relocation of persons.

 

 

 

Article 7

Information

(1) State Parties shall ensure that victims have a right to information, and must be informed of this, from their first contact with law enforcement or other agencies. State Parties shall ensure that victims receive general information in the most expeditious and efficient method appropriate to the culture such as through oral or written communication with concern for literacy and literary traditions. Specific information

should be given person to person. Such information should facilitate an informed understanding for victims and shall be at least as follows:

(a) the type of services or organizations to which they can turn for support;

(b) the type of support which they can obtain, including the availability of health and social services and other relevant assistance;

(c) where and how they can report an offence;

(d) procedures following such a report and their role in connection with such procedures;

(e) their role and the scope, timing and progress of the proceedings and of the, disposition of their cases, especially where serious crimes are involved and where they have requested such information;

(f) how and under what conditions they can obtain protection;

(g) to what extent and on what terms they have access to legal advice or legal aid;

(h) requirements for them to be entitled to compensation;

(i) if they are resident in another State, any special arrangements available to them in order to protect their interests;

(j) where and how victims could obtain more information.

(2) State Parties shall ensure that victims who have expressed a wish to this effect are kept informed of:

(a) the outcome of their complaint

(b) relevant factors enabling them, in the event of prosecution, to know the conduct of the proceedings regarding the person prosecuted for offences concerning them, except in exceptional cases where the proper handling of the case may be adversely affected;

(c) the court’s sentence.

(3) State Parties shall take the necessary measures to ensure that the victim is notified, at least in cases where there might be danger to the victim, when the person prosecuted or sentenced for an offence is released.

(4) In so far as State Parties take forward on their own initiative the information referred to in paragraphs 2 and 3, they shall ensure that victims have the right not to receive it, unless communication thereof is compulsory under the terms of the relevant criminal proceedings.

 

Article 8

Assistance

(1) State Parties shall ensure that the necessary material, medical, psychological and social assistance to victims is provided through government, voluntary, community-based and indigenous means. Such assistance may be provided through any agencies or comprehensive programs that are appropriate under domestic laws or norms.

(2) State Parties should be encouraged to develop networks of criminal justice, social services, health and mental health services, victim assistance services and other relevant groups or institutions in order to facilitate referrals, coordination and planning among those providing assistance.

(3) State Parties should be encouraged to establish local and regional victim assistance centers to coordinate networks, develop and make referrals, and provide outreach to victims and direct services where appropriate

(4) State Parties shall facilitate the referral of victims by the police and other relevant agencies to victim assistance centers or other service institutions.

(5) Language understood by victims should be encouraged. If translators are needed, they should be trained in the subject matter that they are addressing and victim support personnel should be familiar with common terms that will be used.

(6) State Parties shall seek to establish the following kinds of assistance to victims:

 

 

 

 

A. Immediate Assistance:

(a) medical attention and accompaniment to medical exams, including first aid, emergency medical attention and medical transport. Support services should be provided to victims when forensic examinations are called for or in the aftermath of death;

(b) material support such as shelter, housing, transportation, or property repair;

(c) crisis intervention, involving crisis counseling and problem solving;

(d) information and notification about what happened to the extent that such information does not interfere with investigation, including notification of any immediate responsibilities to the criminal justice system. Assistance should be offered in notifying family or friends of what happened;

(e) protection from repeat victimization should be provided through the development of safety and security plans. This may include information on police surveillance, relocation, emergency communication and the like. It may also involve assistance with obtaining protection orders through the judicial system;

(f) victims should be protected from media intrusion;

(g) general support and advocacy should be offered when victims interact with social, justice and medical institutions as well as appropriate referrals for urgent needs;

(h) confidentiality and privacy should be guaranteed to the extent allowable under current law and policy.

 

B. Medium term Assistance:

(a) the continuation of the services provided under A „Immediate Assistance‟;

(b) psycho/social health and spiritual interventions that may include post-trauma counseling, mental health therapy, family counseling, pastoral counseling, or traditional healing intercessions;

(c) assistance with financial needs or claims including filing and advocacy for compensation claims, restitution, insurance, or emergency funds.

(d) legal referrals should be provided for legal assistance in the criminal or civil justice systems. To the extent possible such legal assistance should be free.

(e) Information, support and assistance concerning options for participation in alternative justice forums should be provided.

 

C. Long term Assistance:

(a) the continuation of the services provided under A „Immediate Assistance‟ and B. „Medium Assistance‟;

(b) assurances and re-establishment of the victim‟s place in the family, community, education and in the workplace should be encouraged

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Brosur ‘The Police and Coronial Process Information for Family and Friends’, Government of South Australia Commisioner of Victims Rights.

 

Brosur berjudul ‘It’s Not Your Fault’ Men Talk About Living Beyond the Effects of Sexual Abuse.  RespondSA, Relationship Australia, South Australia

 

Carolyn Hoyle and Richard Young, ed. New Visions of Crime Victims. Portland, Hart Publishing, 2002.

 

Crawford, Adam and Jo Goodey.,ed.  Integrating a Victim Perspective within Criminal Justice. Aldershot, Dartmouth Publishing, 2009.

 

Government of South Australia Attorney General Department,  Information for Victims of Crime, Adelaide, 2009.

Hagemann,Otmar. et.al. Victimology, Victim Assistance and Criminal Justice,  Perspectives Shared by International Experts at the Inter-University Centre of Dubrovnik. Monchengladbach,  Niederrhein University of Applied Sciences Department of Social Work and Cultural Studies, 2009.

 

International Perspectives in Victimology Volume 2 Number 1 July 2006, Tokiwa International Victimology Institute Journal,  Tokiwa University – Mito Japan.

 

Lies Sulistiani, dkk. Perlindungan Saksi dan Korban, Sudut Pandang Peran LPSK dalam Perlindungan Saksi dan Korban. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta, 2009.

 

Schneider, Hans Joachim.Ed. The Victim in International Perspective.  Berlin, De Gruyter, 1982.

 

S.P Singh Makkar and Paul C. Friday, ed. Global Perspectives in Victimology,   Jalandhar, ABS Publication,  1995

Yulia, Rena.  Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan .Yogyakarta, Graha Ilmu, 2010.

 

 

Bahan-Bahan dari Internet

http://www.crcvc.ca/en/compensation.php

http://vcgcb.ca.gov/about.aspx

http://www.nccrimecontrol.org/Index2.cfm?a=000003,000016,000169

http://www.justice.govt.nz/publications/global-publications/r/reparation-to-victims

 

http://www.icc-cpi.int/Menus/ICC/Structure+of+the+Court/Victims/Reparation/

http://www.pict-pcti.org/publications/PICT_articles/REPARATIONS.PDF

https://www.oag.state.tx.us/victims/about_comp.shtml

http://www.tilburguniversity.edu/research/institutes-and-research-groups/intervict/undeclaration/convention.pdf

 

 

 

 

 

 

 

 

 


[1] Staf Pengajar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mengajar Viktimologi, Hukum Perlindungan Anak, Hak Asasi Manusia, Wanita dan Hukum, Perundang-Undangan Sosial.  Mewakili  Indonesia dan Asia Tenggara sebagai Executive Committee World Society of Victimology (WSV) sejak tahun 2009.  Salah seorang pendiri Masyarakat Viktimologi Indonesia (MVI) yang dideklarasikan di Kampus FHUI Depok pada 18 Juli 2011.  E-mail address : hsusetyo@ui.ac.id

 

[2] Maharani Siti Shopia,  Urgensi Revisi KUHAP dalam Perlindungan Terhadap Saksi dalam Majalah Kesaksian Edisi 1 Januari – Februari 2000,  Jakarta, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

 

[3] Ibid., hal. 9.

 

[4] Dikdik M. Arief Mansyur dan Elisatris Gultom,  Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita (Jakarta, Rajawali Press : 2007) hal. 165.

 

[5] Ibid

 

[6] Ibid

 

[7] Ibid., hal. 62.

 

[8] Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan (Yogyakarta, Graha Ilmu : 2010), hal. 61.

 

[9] Ibid.

 

[10] Ibid., hal. 62.

 

[11] John Dussich, Concepts and Forms of Victim Services,  makalah yang dipresentasikan pada 11th Asian Postgraduate Course on Victimology and Victim Assistance, Kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok 18 – 29 Juli 2011.

[12] Ute I. Haas.  Assistance for Victims of Domestic Violence dalam Otmar Hagemann, et.al. Victimology, Victim Assistance and Criminal Justice,  Perspectives Shared by International Experts at the Inter-University Centre of Dubrovnik (Monchengladbach,  Niederrhein University of Applied Sciences Department of Social Work and Cultural Studies : 2009), hal. 166.

 

[13] Ibid.

 

[14] Ibid., hal. 167.

 

[15] Ibid.

 

[16] Dikutip dari Brosur ‘The Police and Coronial Process Information for Family and Friends’, Government of South Australia Commisioner of Victims Rights.

 

[17] Ibid.

[18] Dikutip dari Brosur berjudul ‘It’s Not Your Fault’ Men Talk About Living Beyond the Effects of Sexual Abuse.  RespondSA, Relationship Australia, South Australia.

 

[19] Van Der Wielen dalam Frans W. Winkel, Peer Support Groups : Evaluating the Mere Contact/ Mere Sharing Model and Impairment Hyphotheses,  International Perspectives in Victimology Volume 2 Number 1 July 2006, Tokiwa International Victimology Institute Journal, hal. 111.

 

[20] Sanja Copic and Jasmina Nikolic, The Development of Victim Support Services in Serbia dalam International Perspectives in Victimology Volume 2 Number 1 July 2006, Tokiwa International Victimology Institute Journal, hal. 115.

 

[21] Dikdik M. Arief Mansur, op.cit., hal. 172 – 178.

 

Read Full Post »

terlampir

Situasi Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia Setelah

PERAN NEGARA & LPSK

 

Read Full Post »

Older Posts »