Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Legal Research Method’ Category

terlampir

Bab 1 AW

Bab I DD

Read Full Post »

SAATNYA MENUTUP GUANTANAMO

http://www.saksionline.com

Oleh: Heru Susetyo

Mahasiswa Program Doktor Human Rights and Peace Studies Mahidol University, Thailand

Ketika atensi publik Indonesia tersedot pada berita sakitnya mantan presiden Soeharto, masyarakat sipil di negara lain sibuk menggelar aksi keprihatinan terhadap eksistensi penjara militer AS di teluk Guantanamo,

Tutup Guantanamo ! lawan terorisme dengan keadilan ! Demikian pesan singkat para demonstran pada 10 Januari 2008. Persis bertepatan dengan peringatan enam tahun dibukanya kembali penjara militer Guantanamo. Di Washington, London, Madrid, Athena, Roma, Maroko, Mauritania, hingga Sydney dan Adelaide- Australia, masyarakat dunia berlomba mengecam dan menghujat Guantanamo. Uniknya, mayoritas demonstrasi terjadi justru di kota-kota yang selama ini menjadi `korban terorisme`. Sementara, di negara-negara `asal teroris` aksi serupa malah jarang terdengar.

Pangkal utama kebencian warga dunia adalah karena penjara Guantanamo mempraktekkan pola penyiksaan dan pemenjaraan yang di luar batas kemanusiaan. Hampir semua penghuni penjara Guantanamo adalah tersangka kasus terorisme dari seluruh penjuru dunia, utamanya dari Saudi Arabia, Yaman, Pakistan, Afghanistan dan Syria, yang dianggap musuh dan mengganggu keamanan AS. Sebagian besar tersangka ditahan disana bertahun-tahun lamanya tanpa proses peradilan yang sah. Bahkan tanpa akses kepada penasehat hukum, keluarga, ataupun kepada badan-badan internasional.

Sayangnya, aksi mengecam Guantanamo ini tak menular di Indonesia. Mungkin publik Indonesia telah lupa bahwa di antara tahanan Guantanamo adalah termasuk Hambali alias Encep Nurdjaman, warga Indonesia asli Cianjur yang disebut AS sebagai `Osama bin Laden Asia Tenggara` dan diciduk di Ayutthaya, Thailand pada 11 Agustus 2003.

Namun kepedulian publik Indonesia terhadap Guantanamo jelas tak sekedar karena Hambali mendekam disana, juga bukan karena sebagian besar tahanan adalah muslim, karena Islam-pun mengutuk terorisme, namun lebih karena di Guantanamo telah terjadi pelanggaran hukum, pelanggaran HAM, dan penistaan martabat kemanusiaan yang melanggar hukum internasional, hukum negara manapun dan hukum agama apapun.

Penjara dan Penahanan yang Minim Legitimasi

Sedari awal keberadaan penjara Guantanamo sudah mengundang masalah. Sejatinya suatu penjara dengan tahanan warga sipil adalah berada di bawah administrasi departemen kehakiman ataupun kejaksaaan agung. Penjara militer ada hanya untuk tahanan militer ataupun di masa perang bagi para tawanan perang (prisoner of war).

Penjara Guantanamo adalah sebuah penjara militer yang berada di pangkalan angkatan laut AS di Teluk Guantanamo. Para tahanan disana tidak dianggap AS sebagai tawanan perang, karena mereka dianggap bukan militer dari negara lain yang sedang berseteru dengan AS. Lalu, legitimasi macam apa yang dimiliki AS untuk menahan mereka?

Pangkalan militer ini telah berdiri sejak tahun 1898 sebagai buah dari perjanjian antara AS dan Spanyol yang mengakhiri perang antara AS-Spanyol. Menempati area seluas 116 km2 dan berada persis di ujung paling tenggara dari negara Cuba, keberadaan Guantanamo adalah seperti `musuh dalam selimut` bagi Cuba. Yang memang memiliki sejarah konflik serta haluan politik dan ideologi yang berbeda dengan AS.

Dalam sejarahnya, disamping sebagai pangkalan militer, sejak tahun 1970-an pangkalan ini digunakan untuk menampung pengungsi dan pencari suaka asal Cuba dan Haiti yang mengungsi ke AS dan teritangkap di laut bebas. Pada tahun 1993, hakim AS Sterling Johnson memutuskan bahwa keberadaan kamp Guantanamo adalah inkonstitusional. Sehingga per 1995 pengungsi asal Haiti pun direlokasi ke tempat lain.

Tragedi 11 September 2001 (9/11) yang dilanjutkan dengan kampanye `perang melawan teror` (war against terrorism) yang dilancarkan AS di Afghanistan dan seluruh dunia mempercepat alih fungsi dan penggunaan kembali penjara Guantanamo. Per 10 Januari 2002 kamp ini mulai menerima tahanan yang dikategorikan AS sebagai `teroris` dan musuh dalam peperangan (enemy combatants) yang kemudian ditempatkan di tiga kamp masing-masing Delta, Iguana dan X-Ray (belakangan ditutup).

Sejak permulaan operasi `Enduring Freedom` di Afghanistan pada Oktober 2001 hingga kini, 775 orang telah ditahan di Guantanamo. Dari jumlah tersebut, 420 orang telah dilepaskan. Per 9 Agustus 2007 masih tersisa 355 tahanan. Dan per Januari 2008 ini masih tersisa 275 tahanan. Dari jumlah tersebut hanya tiga tahanan yang diadili dengan proses peradilan yang wajar, termasuk seorang warga Australia bernama David `white Taliban` Hicks, yang kemudian dikirim pulang untuk menjalani sisa waktu tahanan di Australia. Selebihnya `diadili` hanya dengan tinjauan administratif (administrative review) saja yang nyata-nyata bukanlah suatu pengadilan.

Pengadilan Distrik AS di Washington DC menyatakan pada tahun 2005 bahwa kebanyakan tahanan yang ditahan di Guantanamo adalah tidak pernah benar-benar berada di medan perang melawan AS, juga tidak memiliki senjata pemusnah massal yang mengancam AS. Meski demikian, militer AS tetap menahan mereka dengan dalih bahwa mereka adalah musuh dalam peperangan (enemy combatants) dan memiliki hubungan dengan Al Qaida atau organisasi teroris lainnya.

Penistaan yang Terjadi

Di luar masalah legitimasi terhadap keberadaan penjara dan alasan penahanan, Guantanamo juga menyimpan cerita tentang penistaan dan penyiksaan terhadap tawanan yang terburuk yang pernah dilakukan AS, disamping yang pernah terjadi di penjara Abu Ghraib Irak (2003 – 2004). Maria Theresa Godskesen (2006) menyatakan bahwa paling tidak ada delapan macam jenis penyiksaan (torture) yang terjadi di Guantanamo. Hal ini diperburuk dengan otorisasi Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld pada 16 April 2003, dimana ia menyetujui dilaksanakannya 24 jenis teknik interogasi hanya terhadap tahanan di Guantanamo.

Jenis penyiksaan tersebut antara lain : (1) Random punishment; penghukuman hanya untuk kesalahan yang sepele semisal menaruh handuk pada tempat yang salah ataupun meletakkan sendok dan garpu pada posisi yang salah; (2) Forced Nudity; alias tahanan ditelanjangi secara paksa untuk kebutuhan interogasi; (3) Cultural attacks; semisal penghinaan terhadap Al Qur`an, larangan membaca Al Qur`an, dan godaan secara seksual oleh interogator perempuan dengan cara meraba tahanan ataupun menari sensual di hadapan tahanan, juga dengan menghalangi tahanan mengambil air wudhu untuk shalat; (4) False Location; dengan cara menipu tahanan seolah-olah ia berada di negara lain, padahal masih berada di kamp Guantanamo; (5) Load Music, Strobe Light and Extreme Temperatures; tahanan disiksa dengan suara musik yang keras, cahaya yang sangat terang, dan suhu yang sangat panas sementara badannya ditutupi dengan bendera Israel; (6) Sleep manipulation; tahanan diinterogasi paksa ketika tengah tidur nyenyak, dan sel tahanan dirancang sedemikian rupa sehingga tahanan tak dapat tidur nyaman; (7) Violence; bukan cerita baru bahwa banyak tahanan di Guantanamo yang mengalami penyiksaan ketika tengah diinterogasi. Bentuk penyiksaan seperti pemukulan ataupun menyiram wajah dengan merica adalah sesuatu yang lazim terjadi; (8) Isolation; tahanan ditahan dalam ruang isolasi, mereka dilarang bicara dan dibatasi pergerakannya di luar ruang tahanan, apakah dengan ditutup mata (blindfolded) ataupun diborgol pergelangan tangannya.

Akibat penyiksaan dan perendahan derajat kemanusiaan ini, banyak terjadi upaya mogok makan dan bunuh diri di kalangan tahanan. Empat orang sudah didapati tewas karena bunuh diri dan puluhan lainnya terus melakukan percobaan bunuh diri dan mogok makan.

Saatnya Menutup Guantanamo

Amerika Serikat tak punya pilihan lain selain menutup kamp tahanan Guantanamo dan mengembalikan fungsinya semata-mata sebagai pangkalan militer. Terlalu banyak pelanggaran HAM dan penyiksaan yang terjadi disana yang melampaui batas kemanusiaan dan melanggar hukum internasional.

Amerika Serikat adalah peserta (state party) dari Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture), Konvensi Geneva 1949 yang mengatur antara lain tentang perlakuan terhadap tawanan perang, dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) yang kesemuanya melarang penyiksaan dan perendahan martabat kemanusiaan atas alasan apapun. Bebas dari penyiksaan (freedom from torture) adalah bagian dari hak asasi manusia yang underogable (tak dapat diabaikan) dalam situasi apapun.

Amerika Serikat selalu berdalih bahwa tahanan yang ditangkap di Guantanamo adalah musuh dalam peperangan (enemy combatants) dan bukan tawanan perang (prisoner of war), sehingga mereka tak merasa harus tunduk pada Konvensi Geneva 1949 tentang perlindungan terhadap tawanan perang. Juga, mereka berdalih apa yang dilakukan terhadap tahanan Guantanamo adalah bukan penyiksaan namun memiliki justifikasi dalam rangka memperoleh informasi dalam perang melawan terorisme.

Apapun dalihnya, penyiksaan adalah penyiksaan. Terorisme, apabila benar dilakukan oleh para tahanan tersebut, jelas adalah suatu kejahatan serius dan amat patut dikecam. Namun melawan terorisme dengan `terorisme` lain seperti yang terjadi di penjara Guantanamo jelas salah. Tak cukupkah tentara AS mengorbankan rakyat sipil dalam perang Afghanistan dan Irak, menyiksa tawanan perang di penjara Abu Ghraib, Irak, kini mereka menyiksa pula warga negara lain di tanahnya sendiri? Maka, siapa kini yang pantas disebut teroris? Mempertahankan kebebasan (enduring freedom) jelas tak layak dilakukan dengan menciptakan horor dan terorisme baru. Pun, bagi mereka yang nyata-nyata adalah teroris. Kembalikanlah proses pemidanaan terhadap tersangka teroris sesuai dengan tata hukum dalam negara demokrasi seperti yang selama ini dibangga-banggakan Amerika Serikat.

Saatnya pula warga dunia, termasuk Indonesia, bersikap kritis menentang ketidakadilan ini. Apakah melalui komplain kepada AS, melalui diplomasi internasional, melalui kendaraan PBB, ataupun melalui peran badan-badan HAM Internasional. Sikap aktif dan kritis ini, sekali lagi, bukan karena tersangka pelakunya kebanyakan muslim. Juga bukan karena ada warga Indonesia disitu, namun lebih karena terorisme tak harus dilawan dengan menciptakan terorisme dan ketidakadilan baru.

Wallahua`lam

Salaya, 16 Januari 2008

Read Full Post »

FHUI – S2- METODE PENELITIAN – Februari 2011

Metode Penelitian Ilmu Politik & Penelitian Kualitatif – Heru Susetyo

Literature review

Pemetaan Aliran-Aliran Hukum dan Konsekuensi Metodogisnya

penelitian hukum dan penelitian sosial

Penulisan Laporan – Heru Susetyo Mei 2011

SOCIO LEGAL RESEARCH

Teknik Kutipan

Teknik Menulis April 2011

research-design-report

Read Full Post »