Feeds:
Posts
Comments

Archive for January, 2016

TERORISME DAN TURIS BENCANA

Heru Susetyo

Peneliti Terorisme untuk PhD dalam Bidang Viktimologi di Tilburg University, Netherlands/

Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Terorisme setengah hati adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan tindakan terorisme di Kamis Berdarah 14 Januari 2016 di sekitar Jalan Thamrin Jakarta Pusat.   Tersangka teroris-nya setengah hati.  Warga masyarakat-pun meresponnya dengan setengah hati.

Kendati memakan korban tewas empat warga sipil dan 34 luka-luka, dan  ini sangat patut disesalkan, bisa dikatakan terorisme tersebut salah sasaran.  Juga kurang professional.  Katakanlah yang mereka incar adalah para polisi Indonesia dan ‘kepentingan Amerika Serikat’ yang direpresentasikan melalui gerai Starbucks. Nyatanya yang jadi korban serius malah warga sipil.  Kerusakan yang terjadi pada gerai Starbucks juga tak membuat Starbucks mogok beroperasi.  Ketakutan massal dari warga masyarakat tidak terjadi.  Korban tewas dari pihak polisi tak ada. ‘Kepentingan Amerika’ tidak terlukai.  Lalu untuk apa sampai harus membunuh diri melalui bom?    Simpati tak didapat.  Dukungan tak lahir.  P Malah kebencian dan amarah yang dituai sang teroris.

Setengah hati yang berikutnya adalah respon warga masyarakat.  Secara kasat mata, melalui lensa media, maupun melalui dunia maya, kita melihat bahwa respon masyarakat tidak terlalu serius menyikapi kejadian luar biasa ini.  Kepanikan dan kengerian di fase-fase awal insiden memang terjadi.  Namun tak lama kemudian berubah menjadi tontonan, dan tak sedikit pula yang memodifikasinya menjadi lucu-lucuan di social media.   Di sekitar lokasi insiden yang disterilkan,  alih-alih bergerak menjauh, masyarakat malah asyik menonton polisi berbaku tembak.  Bak menonton laga film Hollywood.  Para pedagang keliling-pun tetap berjualan dan masyarakat tetap membeli dagangannya.  Seolah tak ada kejadian yang luar biasa.

Bisa dikatakan,  terorisme Jalan Thamrin tersebut menjadi  heboh karena persis terjadi di jantung Indonesia. Di Jakarta Pusat. Di siang hari. Di waktu kerja. Di pusat perkantoran. Dan di saat warga kota sedang sangat aktif ber-social media.    Padahal, banyak lagi tindakan terorisme yang terjadi di pelosok-pelosok negeri.  Apakah di Poso Sulawesi Tengah,  Makassar-Sulsel. Sumbawa NTB,  Aceh, Jawa Tengah, dan sebagainya yang tak jadi hits, karena jauh dari lensa media dan tak terpantau mata dan telinga para netizen.

 

Target Meleset

Sezgin (2007) menyebutkan, terorisme adalah konsep yang paling diperdebatkan dalam ilmu sosial dan mendefinisikan terorisme adalah salah satu pekerjaan yang paling memicu kontroversi. Terorisme adalah juga terminologi yang sering dipertentangkan dan sarat subyektivitas.  Namun demikian, para  sarjana bersepakat bahwa dalam peristiwa terorisme terkandung empat elemen (Isthiaq Ahmad, 2012) antara lain:  (1) terorisme adalah kejahatan; (2) terorisme dilakukan sengaja; (3) target utama terorisme masyarakat sipil; (4) motif utamanya untuk menciptakan ketakutan.   Menilik kasus terorisme Jalan Thamrin tersebut,   dua elemen tak terpenuhi.  Yaitu bahwa target utama mereka adalah polisi,  namun ternyata warga sipil yang jadi korban.  Kedua,  motif utamanya untuk menciptakan ketakutan.  Ternyata, alih-alih takut,  penegak hukum dan  warga masyarakat malah bersatu padu untuk melawan mereka.

Pelaku juga nampak sekali kurang memahami medan.  Mereka tak menyadari bahwa di TKP yang berdekatan dengan ring satu tersebut, kendati tak nampak berkeliaran, mobilitas polisi lumayan cepat. Maka, alih-alih membunuh polisi, malah mereka yang tewas duluan.

Apabila dibandingkan dengan kasus-kasus terorisme di jagat dunia yang berskala besar, seperti serangan teroris di Paris pada 13 November 2015, serangan  teroris ke teater di Moskow pada 23-26 Oktober 2002,  pengepungan sekolah Beslan di Rusia pada 1 September 2004,  pemboman gedung FBI di Oklahoma City oleh Tim Mc Veigh pada 19 April 1995, serangan Teroris di Mumbai pada November 2008,  serangan teroris ke Westgate Mall Nairobi pada 1 September 2013, Bom Bali 1 pada 12 Oktober 2002, serangan solo teroris kulit putih Anders Breivik di Norwegia pada 22 Juli 2011, maka serangan teroris Thamrin memang tidak berdampak besar dan cenderung mudah diurai modus operandi-nya.  Dalam bilangan jam, polisi sudah dapat menetapkan siapa tersangkanya. Siapa otak utamanya. Lalu melakukan penangkapan dan penggeledahan di banyak tempat.  Kesimpulan sementara, pelakunya pemain lama dan cenderung kurang profesional.  Polisi Indonesia, sebaliknya, perlu diacungi jempol.

 

Disaster Literacy dan Turis Bencana

Namun demikian,  kendati pelakunya kurang professional dan korban yang jatuh tidak sebanyak pada  kasus-kasus terorisme tersebut di atas, bukan berarti terorisme Jalan Thamrin tersebut tidak serius.  Karena satu korban tewas ataupun seribu korban tewas, apabila kematiannya disebabkan oleh perkara yang tidak wajar, seperti terorisme,  tetaplah harus mendapat perhatian dan penyikapan yang serius.  Dari negara, masyarakat, dunia usaha, maupun pemangku kepentingan lainnya.   Sama halnya dengan korban akibat kecelakaan ataupun bencana alam. Korban kapal penumpang yang karam harus mendapat perhatian yang sama dengan korban pesawat jatuh.  Korban tewas tersengat listrik akibat galian kabel di area publik juga harus mendapat hak-hak yang sama seperti halnya korban gempa bumi maupun tsunami.   Lalu,  latar belakang kewarganegaraan, suku, agama, ras, golongan sosial, afiliasi politik, kelompok usia dan gender, jangan pernah membuat korban diperlakukan secara berbeda-beda oleh negara maupun masyarakat luas.

Maka, disinilah perlunya semua pemangku kepentingan ‘melek bencana’.  Termasuk melek terhadap kejahatan seperti terorisme.  Beberapa bentuk ke-melek-an tersebut misalnya, tidak mudah mensyiarkan gambar ataupun berita tentang terorisme, baik melalui media sosial maupun media konvensional, selama belum ter-verifikasi keakuratan-nya.  Tidak mengambil dan mendistribusikan gambar korban terorisme selama tidak ada ijin dari otoritas atau keluarga yang bersangkutan. Tidak mudah berprasangka kepada orang atau kelompok orang tertentu,  hanya karena orang-orang dimaksud memiliki karakteristik seperti lazimnya ‘tersangka teroris’ ataupun  ‘keluarga tersangka teroris.’  Misalnya, hanya karena mereka berjenggot panjang, bercelana cingkrang atau sang istri menggunakan cadar.  Juga,  masyarakat sedapat mungkin bersikap kooperatif dan memudahkan aparat keamanan untuk bekerja dalam menumpas pelaku maupun dalam olah TKP (Tempat Kejadian dan Perkara) dengan tidak berkerumun sendiri, melakukan selfie,  atau menonton saja layaknya turis bencana.

Melek bencana sendiri adalah suatu kondisi dimana individu mempunyai kapasitas untuk mendapatkan, memproses, dan memahami informasi dasar tentang bencana (Brown,et.al :2014), baik bencana karena ulah manusia (human-made disaster) maupun bencana alam (natural disaster).   Lalu, individu memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai untuk merespon bencana tersebut, yang dalam disaster management lazim disebut kesiapsiagaan menghadapi bencana (disaster preparedness).    Termasuk disini adalah kemampuan untuk memilih, mengolah dan meneruskan informasi melalui media yang cocok (media literacy), memahami hambatan-hambatan dan peluang-peluang, serta memiliki kemampuan mengontrol diri pribadi untuk tetap bisa bertahan dalam keadaan aman sekaligus segera pulih dari  penderitaan akibat bencana.

Terorisme di Indonesia tak akan berhenti apabila negara, masyarakat, dan semua pemangku kepentingan setengah hati dalam menghadapinya.  Terorisme itu serius. Maka harus dihadapi secara serius.  Bila Sang Teroris setengah hati,  negara dan masyarakat tak boleh ikut-ikutan setengah hati.  Semua pemangku kepentingan harus memiliki kesiapsiagaan dan  melek bencana. Jangan malah menjadi turis bencana.

 

Read Full Post »