Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Victimology and Victim’s Rights’ Category

terlampir

HS Probation for Teen

Read Full Post »

scope of victims -edited

THE 2011 ROLE OF VICTIMS IN THE INTERNATIONAL CRIMINAL-Sam Garkawe

ChildVictims(O’Connell)

THE 1985 UN VICTIMS’ DECLARATION-Sam Garkawe

CONCEPTS AND FORMS OF VICTIM SERVICES-John Dussich

VICTIMOLOGICAL THEORY-Gerd Kirchoff

SCOPE OF CONTEMPORARY VICTIMOLOGY – Fachri Bey

HISTORY OF VICTIMOLOGY-Gerd Kirchoff

MigrantVictims(O’Connell)

Hukum Perlindungan Anak dan Mass Media April 2012 – Heru Susetyo

Read Full Post »

BANGSA YANG PEMAAF DAN PELUPA

Heru Susetyo

Staf Pengajar Viktimologi dan HAM

Fakultas Hukum Universitas Indonesia/

Executive Committee World Society of Victimology

 

Suka atau tidak suka,  bangsa Indonesia dapat disebut sebagai bangsa yang pemaaf dan pelupa. Mudah memaafkan dan mudah melupakan.  Suatu sikap dan kepribadian yang baik sebenarnya.  Namun tidak apabila dikaitkan dengan hukum.  Apalagi untuk mensikapi kejahatan dan pelanggaran berat HAM yang terjadi di masa silam.

 

Banyak kasus pelanggaran berat HAM (gross violation of human rights) yang terjadi di Indonesia sejak negeri ini merdeka tahun 1945 namun tidak semua terselesaikan dengan baik.  Tidak semua pelaku kejahatan-nya diseret ke pengadian untuk kemudian dihukum.     Banyak yang kemudian seolah-olah dimaafkan dan dilupakan. Begitu saja.

Tanggal 24 Maret setiap tahunnya, disamping adalah hari peringatan Bandung Lautan Api, adalah juga  Hari spesial untuk Mendapatkan Hak atas Kebenaran bagi Korban Kejahatan HAM Berat(International Day for the Right to the Truth Concerning Gross Human Rights Violations and for the Dignity of Victims).   Tanggal tersebut mungkin kurang populer di Indonesia, namun amat bermakna bagi para korban pelanggaran berat HAM di Indonesia.

 

Sejarah dari hari spesial ini adalah ketika pada 21 Desember 2010 Majelis Umum PBB (UN General Assembly) menetapkan tanggal 24 Maret sebagai hari untuk menghormati para korban pelanggaran berat HAM yang sistematis dan meningkatkan penghargaan terhadap hak atas kebenaran dan keadilan (right of truth and justice).  Juga, untuk menghormati mereka yang telah mendedikasikan dirinya dan berkorban untuk memperjuangkan HAM bagi semua manusia.

 

Asal muasal penentuan 24 Maret adalah demi memperingati tanggal dibunuhnya Uskup Agung El Salvador,Oscar Arnulfo Romero, yang dibunuh pada 24 Maret 1980 oleh pasukan khusus paramiliter karena perlawanannya terhadap kesewenang-wenangan, penganiayaan dan pembunuhan warga gereja oleh kelompok bersenjata di El Salvador.

 

Amnesia Sejarah

Entah karena didesain sedemikian rupa atau memang karakternya seperti itu,  bangsa Indonesia mudah ‘memaafkan’ dan ‘melupakan’ kejahatan HAM yang berat yang terjadi di masa silam.   Bangsa ini seperti mengalami amnesia sejarah.    Padahal sejarah kekerasan dan pelanggaran berat HAM di Indonesia begitu panjang. Sebutlah di era kejahatan dan pelanggaran berat HAM yang terjadi pada era penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, era DII/TII, era 1965/G30SPKI, era Malari 1974, peristiwa Tanjung Priok 1984,  Peristiwa Talangsari Lampung 1989, kasus DOM di Aceh 1989-1998, kerusuhan Mei 1998,  tragedi Semanggi 1 dan  Semanggi 2 tahun 1998 dan 1999,  tragedi Trisakti 1998, konflik sosial dan pembantaian manusia bernuasa SARA di Maluku, Maluku Utara, Poso, Sampit, Sambas, Sanggau Ledo pada akhir tahun 90-an dan awal 2000-an, dan lain sebagainya.

 

Kasus-kasus di atas memenuhi syarat untuk disebut sebagai pelanggaran HAM yang berat.   Korban jiwa yang tewas dan teraniaya begitu banyak.  Kemudian, serangan dilakukan atas motif politik, SARA, maupun dengan tujuan-tujuan yang sama sekali tak memiliki legitimasi dari sisi hukum humaniter internasional maupun hukum nasional.

 

Yang lebih menyedihkan adalah,  tak banyak pelaku langsung ataupun mereka yang memerintahkan perbuatan tersebut yang kemudian benar-benar dibawa ke pengadilan dan dihukum.  Pengadilan HAM terhadap kasus Tanjung Priok 1984 yang berlangsung tahun 2001 – 2002 tak memberikan keadilan bagi korban.  Semua terdakwa, dibebaskan apakah di tingkat pertama, kasasi atau banding.  Pengadilan HAM untuk kasus Timor Leste di Pengadilan Negeri Jakpus sama juga.  Semua terdakwa dibebaskan, apakah di tingkat pertama, di tingkat banding ataupun di kasasi.  Satu-satunya yang dipidana adalah Eurico Gueterres.  Itupun akhirnya dibebaskan setelah memenangkan Peninjauan Kembali  (PK) kasusnya di Mahkamah Agung.   Pengadilan HAM untuk kasus Abepura tahun 2000 juga sama halnya.  Dua terdakwa dalam kasus tersebut juga dibebaskan dari segala dakwaan.

 

Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia dibentuk oleh UU No. 26 tahun 2000 atas mandat dari UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM.  Yurisdiksinya adalah untuk mengadili  Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity) dan genoside (genocide).   Pengadilan HAM berwenang untuk mengadili kasus-kasus kejahatan di masa kini maupun di masa silam (sebelum tahun 2000) dengan nama Pengadilan HAM Ad hoc karena menganut asas retroaktif.   Sungguhpun demikian,  kasus-kasus yang berujung ke Pengadilan HAM selama duabelas tahun usianya barulah tiga kasus saja. Memprihatinkan.

 

Akan halnya kasus-kasus lain yang bermuara ke Pengadilan Umum (negeri ) sama juga.  Dalam konflik sosial bernuansa SARA,  walaupun korban tewas begitu banyak, bahkan hingga banyak korban yang kepalanya dipenggal dan dijadikan permainan,  toh para pelakunya tak kunjung diadili.  Korban tewas satu orang atau beribu-ribu orang bernasib sama di Indonesia.  Tidak diperhatikan.   Mungkin ini amat menyenangkan bagi pelaku.  Mereka mendapat impunitas (impunity) karena kejahatannya tidak pernah dihukum.   Tapi bagi korban dan keluarga korban hal ini sungguh menyakitkan.  Menimbulkan trauma sejarah dan ketidakpercayaan kepada hukum dan pemerintah yang berkuasa.

 

Tidak Memaafkan dan Tidak Melupakan

Pelanggaran berat HAM tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di seluruh dunia.  Namun perbedaannya,  tidak semua negara mudah memaafkan dan melupakan tragedi-tragedi kemanusiaan tersebut.

 

Yang paling tersohor adalah upaya Israel memburu para jagal  NAZI yang membunuh bangsa Yahudi di era Perang Dunia ke II di sekitar Jerman, Polandia dan Austria.  Peristiwa mana dikenal dengan istilah holocaust.   Jutaan warga Yahudi (jumlah aslinya masih kontroversi) bersama-sama orang Gypsy dan kalangan homoseksual dibunuh oleh rezim Hitler antara tahun 1933 – 1945.  Genosida dan Kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut terekam betul dalam ingatan bangsa Yahudi.   Pelbagai museum holocaust didirikan di banyak tempat.  Studi tentang holocaust diselenggarakan di banyak universitas.  Bahkan sampai tahun 2011, pengadilan terhadap mantan algojo NAZI masih dilakukan.

 

Yang terakhir adalah terhadap John ‘Ivan’ Demjanjuk.  Mantan penjaga kamp pembantaian Sobibor NAZI berkebangsaan Ukraina-Amerika ini dianggap turut bertanggungjawab atas pembantaian warga Yahudi di kamp tersebut pada tahun 1943.  Demjanjuk diadili berkali-kali di Israel pada tahun 1980-an.  Kemudian tahun 2009 – 2011 diadili di Munich – Jerman dan dijatuhi hukuman lima tahun penjara pada tahun 2011, pada usia 90 tahun.  Namun pada 17 Maret 2012 ia meninggal dunia karena usia tua.  Bayangkan,  kejahatannya sudah berlangsung 68 tahun silam di Jerman, namun toh warga Yahudi-Israel masih serius memburunya.  Sebagian bangsa Indonesia boleh jadi membenci Israel atas penjajahannya terhadap bangsa Palestina.  Tapi mesti diakui, bangsa Yahudi tersebut memiliki ingatan kolektif dan memori sejarah yang baik.  Tidak memaafkan, apalagi melupakan.

 

Contoh baik berikutnya adalah bagaimana otoritas  Australia  terus mengenang dan menuntut keadilan terhadap peristiwa Balibo 1975 di Timor Leste.  Ketika itu pada 16 Oktober 1975, dua orang jurnalis Australia, dua jurnalis Inggris dan seorang jurnalis Selandia Baru ditembak mati dalam kontak senjata di Balibo, Timor Leste (Balibo Five).  Otoritas Australia menduga kuat bahwa mereka dibunuh oleh pasukan khusus Indonesia secara sengaja.  Suatu hal yang terus dibantah oleh otoritas Indonesia dengan mengatakan bahwa mereka adalah korban peluru nyasar tanpa diketahui dari mana asal peluru tersebut menyalak.

 

Walau telah lebih dari tigapuluh tahun berlalu,  peristiwa yang dikenang sebagai ‘Balibo Five’ tersebut terus dikenang oleh keluarga korban dan pemerintah Australia.  Investigasi terus dilakukan atas mandat dari Pengadilan Koroner negara bagian New South Wales.  Hasilnya, mereka meyakini bahwa para jurnalis tersebut dibunuh secara sengaja oleh pasukan khusus Indonesia.    Nama mantan menteri penerangan M. Yunus Yosfiah turut terseret dalam peristiwa tersebut.  Karena pada tahun 1975, ketika masih berpangkat kapten, ia diduga turut menjadi bagian dari pasukan khusus tersebut.

 

Memaafkan Namun tidak Melupakan

Ada beberapa pilihan memang untuk bernegosiasi dengan kejahatan masa silam.  Tidak memaafkan dan tidak melupakan (not to forgive, not to forget).  Memaafkan dan Tidak Melupakan (To forgive but not to forget). Tidak memaafkan tapi melupakan (Not to forgive but to forget). Dan memaafkan dan melupakan.  Yang terakhir ini adalah yang berbahaya.  Karena mengukuhkan kebijakan impunitas dan menimbulkan ketidakadilan bagi korban dan keluarganya.

 

Celakanya,  model seperti itulah sepertinya yang dianut bangsa dan pemerintah Indonesia.  Baik disengaja atau tidak. Mudah memaafkan dan mudah melupakan.   Begitu seringnya terjadi kekerasan dan kejahatan,  begitu seringnya penegakan hukum tidak berjalan, membuat seolah-olah  semuanya biasa saja.  Hiang satu nyawa atau ratusan ribu sama saja.  Tetap tidak menjadi perhatian.  Martabat manusia direndahkan dan nyawa tidak ada harganya.

 

Indonesia bersyukur pernah memiliki Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang berdiri dengan UU No. 27 tahun 2004.  Komisi ini dibentuk sebagai alternatif untuk menyesaikan kejahatan dan pelanggaran berat HAM yang terjadi di masa silam yang tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme pengadilan.  Komisi ini,  yang banyak mengambil model dari Truth and Reconciliation Commission South Africa (Afrika Selatan) berkepentingan untuk menegakkan hak-hak korban kejahatan masa silam, utamanya hak untuk tahu,  hak untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan, hak untuk mendapatkan permohonan maaf dari pelaku dan hak atas reparasi berupa rehabilitasi, kompensasi ataupun restitusi.  Sayangnya sejak tahun 2006 KKR tak bisa berjalan lagi akibat pasal-pasal signifikan pada Undang-Undangnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi RI.

 

Pelajaran yang baik datang dari negeri Belanda.   Dalam Media Indonesia (9/12/2011) disebutkan bahwa  pemerintah Belanda secara resmi menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga korban pembantaian Rawagede tahun 1947.  Permintaan maaf serta pemberian kompensasi untuk keluarga korban Tragedi Rawagede, ini, dilangsungkan di dalam sebuah acara di Desa Balongsari, Kecamatan Rawamerta, Karawang, Jawa Barat. Perwakilan Pemerintah Belanda pun melakukan tabur bunga sebagai permintaan maaf bagi korban pembantaian Rawagede 1947.

 

Permintaan maaf Pemerintah Belanda itu disampaikan menyusul keputusan Pengadilan Den Haag yang memutuskan Pemerintah Belanda bersalah dan bertanggung jawab atas kerugian yang diderita tujuh janda korban pembantaian Rawagede. Pembantaian Rawagede terjadi 9 Desember 1947 dengan 431 pria Rawagede tewas dibunuh tentara Belanda. . Dana kompensasi sebesar 20 ribu euro atau sekitar Rp240 juta per-orang, akan diserahkan kepada korban dan keluarga korban (Media Indonesia, 9/12/2011).   Inilah sisi menariknya.  Terlepas Belanda pernah menjajah Indonesia, namun mereka juga tidak melupakan hak-hak para korban dari kejahatan yang sudah berlangsung 64 tahun silam.

 

Dalam konteks Indonesia,  harapan terakhir adalah pada UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan serangkaian peraturan pelaksananya tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.  Kendati belum sangat sempurna,  UU tersebut adalah landasan hukum minimal untuk menegakkan hak-hak korban.             Namun undang-undang saja tidak cukup.   Belajar dari kasus holocaustBalibo Five, dan Rawagede,  perlu ada keseriusan dari pemerintah dalam penegakkan hukum terhadap kasus-kasus kejahatan HAM berat masa silam maupun saat ini.  Tidak membiarkan adanya impunitas walaupun pelaku ataupun mantan pelakunya adalah orang yang punya atau pernah punya  akses kepada uang maupun kekuasaan.

 

Selanjutnya, peran korban, keluarga korban dan masyarakat selaku driving force terhadap penegakan hukum kasus tersebut amat vital.  Korban dan keluarganya harus difasilitasi untuk mendapatkan penguatan dan perlindungan.  Kemudian, masyarakat juga harus melembagakan budaya hukum yang sehat dalam menghadapi kejahatan HAM berat.  Tidak memaafkan dan tidak melupakan.  Atau dalam kondisi yang paling minimal,  memaafkan namun tidak melupakan.

 

Wallahua’lam

Bangkok, 28 Maret 2012

Read Full Post »

 


TINJAUAN UMUM MENGENAI PROGRAM DUKUNGAN

TERHADAP KORBAN KEJAHATAN

 TANTANGAN DAN HAMBATANNYA DALAM PELAKSANAANNYA DI INDONESIA

 

By : Heru Susetyo, SH. LL.M. M.Si.[1]

 

  1. A.           Wajah Perlindungan terhadap Korban Kejahatan di Indonesia

Perlindungan terhadap korban di Indonesia secara komprehensif bisa dibilang masih jauh panggang daripada api.  Penegakan hukum selama ini cenderung lebih memperhatikan pelaku atau tersangka pelaku kejahatan ataupun terdakwa dan terpidana daripada korban.

Perhatian terhadap saksi juga cenderung lebih banyak daripada kepada korban.  Apalagi apabila saksi tersebut pada saat bersamaan adalah juga tersangka atau terdakwa yang amat diperlukan keterangannya untuk persidangan.  Akan halnya korban yang semata-mata adalah korban dan bukan sekaligus pelaku ataupun saksi, perhatian terhadap mereka masih amat minimal.

Korban belum mendapatkan pelayanan dan pensikapan yang optimal dari penegak hukum, dari pemerintah, apalagi dari masyarakat pada umumnya.  Seringkali malah yang terjadi adalah reviktimisasi atau double victimization. Dimana korban kejahatan setelah terviktimisasi kemudian menjadi korban (re-victimized) lagi akibat pensikapan aparat hukum yang kurang tepat.  Alih-alih hak-hak korban diperhatikan, sebaliknya korban malah menjadi korban kesewenang-wenangan aparat hukum ataupun masyarakat.

Batasan tentang korban dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban No. 13 tahun 2006 juga masih terbatas pada korban kejahatan.  Padahal viktimisasi (victimization) alias aktifitas yang menimbulkan korban tidak terjadi semata-mata karena kejahatan belaka, namun juga akibat kecelakaan transportasi, kecelakaan kerja, akibat bencana buatan manusia (human made disaster) ataupun bencana alam (natural disaster) dan sebab-sebab lain yang di luar kejahatan.

Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban secara tersurat menempatkan negara, melalui LPSK sebagai pihak utama yang memberikan perlindungan terhadap Saksi dan Korban.  Pasal 1 angka (3) UU ini menyebutkan bahwa LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi/ Korban sebagaimana diatur dalam UU itu.  Kemudian pada pasal 12 UU yang sama disebutkan bahwa LPSK bertanggungjawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan kepada Saksi dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam UU ini.

Kewenangan yang besar dari LPSK ini menempatkan LPSK sebagai representasi dari negara dalam hal perlindungan saksi dan korban.  Apalagi Pasal 13 UU Perlindungan Saksi dan Korban secara tersurat menyebutkan bahwa LPSK adalah bertanggungjawab terhadap Presiden dan membuat laporan secara berkala tentang pelaksanaan tugas LPSK kepada DPR  paling sedikit sekali dalam 1 (satu) tahun.

Hadirnya UU Perlindungan Saksi dan Korban No. 13 tahun 2006 adalah suatu terobosan hukum yang menarik dalam hal akomodasi terhadap hak-hak saksi dan korban yang tidak diatur secara lengkap pada KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).  Memang, UU ini belum komprehensif dan belum sempurna, namun sebagai produk hukum awal yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak korban dan saksi, UU tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu acuan utama.

Sama halnya dengan Rancangan Undang-Undang (RUU)  KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Rancangan UU ini  belumlah memberikan kontribusi untuk perlindungan saksi dan korban, terutama bagi kelompok rentan.   Sebut saja terhadap perlindungan hak-hak anak, ketika anak tersebut sedang menjalani proses hukum. Selain itu, dalam hal manajemen peradilan dibutuhkan keterbukaan informasi secara efektif yang berkaitan dengan akses saksi dan korban atas dokumen-dokumen dan proses persidangan. Dalam hal ini, RUU KUHAP juga belum memperhatikan hak saksi dan korban untuk memperoleh akses informasi berkaitan dengan proses perkaranya.[2]

 

  1. B.           Perkembangan Perlindungan terhadap Korban

Padahal di dalam peradilan internasional hak-hak para saksi dan korban sudah mulai diakui dan diakomodasi.  Sebutlah dalam ICC (International Criminal Court) alias Mahkamah Pidana Internasional yang berkedudukan di Den Haag-Holland (The Hague).  Dimana dibuka peluang untuk korban untuk dapat berpartisipasi dalam proses persidangan.  Korban tidak diperlakukan sebagai obyek yang pasif dari suatu perlindungan ataupun sebagai pelengkap proses penuntutan.  Pentingnya partisipasi saksi tertuang di dalam pasal 68 ayat (3) Statuta Roma, dimana Mahkamah mengijinkan pandangan dan perhatian para korban untuk dikemukakan dan dipertimbangkan pada tahap-tahap proses persidangan yang ditetapkan oleh Mahkamah dengan cara yang tidak merugikan atau tidak konsisten dengan hak-hak tertuduh dan persidangan yang adil dan tidak memihak.[3]

Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat diberikan dalam berbagai cara, bergantung kepada penderitaan/ kerugian yang diderita oleh korban. Sebagai contoh, untuk kerugian yang sifatnya mental/psikis tentunya bentuk ganti rugi dalam bentuk materi/ uang tidaklah memadai apabila tidak disertai dengan upaya pemulihan mental korban.  Sebaliknya, apabila korban hanya menderita kerugian secara materiil (seperti, harta bendanya hilang) pelayanan yang sifatnya psikis terkesan terlalu berlebihan[4].

Penjelasan pasal 35 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memberikan pengertian kompensasi, yaitu ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggungjawabnya.  Sedangkan restitusi, ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.  Restitusi dapat berupa :[5]

  1. Pengembalian harta milik;
  2. Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan; atau
  3. Penggantian biaya untuk tindakan tertentu.

Stephen Schafer menyatakan bahwa terdapat lima sistem pemberian restitusi dan kompensasi kepada korban kejahatan, yaitu sebagai berikut :[6]

  1. Ganti rugi (damages) yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses perdata. Sistem ini memisahkan tuntutan ganti rugi korban dari proses pidana.
  2. Kompensasi yang bersifat keperdataan diberikan melalui proses pidana.
  3. Restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana diberikan melalui proses pidana. Walaupun restitusi disini tetap bersifat keperdataan, tidak diragukan sifat pidana (punitive-nya). Salah satu bentuk restitusi menurut sistem ini adalah ‘denda kompensasi’ (compensatory fine). Denda ini merupakan ‘kewajiban yang bernilai uang’ (monetary obligation) yang dikenakan kepada terpidana sebagai suatu bentuk pemberian ganti rugi kepada korban disamping pidana yang seharusnya diberikan.
  4. Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana dan didukung oleh sumber-sumber penghasilan negara. Disini kompensasi tidak mempunyai aspek pidana apapun, walaupun diberikan dalam proses pidana. Jadi, kompensasi tetap merupakan lembaga keperdataan murni, tetapi negara-lah yang memenuhi atau menanggung kewajiban ganti rugi yang dibebankan pengadilan kepada pelaku. Hal ini merupakan pengakuan bahwa negara telah gagal menjalankan tugasnya melindungi korban dan gagal mencegah terjadinya kejahatan.

 

Di luar kompensasi ataupun restitusi,  bentuk-bentuk pelayanan lain yang dapat diberikan kepada korban antara lain : (1) Konseling; (2) Pelayanan/ bantuan medis; (3)  bantuan hukum; maupun (4) Pemberian informasi.

 

  1. C.           Gagasan-Gagasan untuk Peningkatan Perlindungan terhadap Korban

Ada banyak peran yang dapat dilakukan oleh negara dalam hal perlindungan korban.  Peran-peran tersebut harus berangkat dari pendekatan ataupun kebijakan pidana yang diterapkan oleh negara tersebut.

Perkembangan terkini yang patut dicermati adalah adanya strategi pengembangan dalam melakukan pembaharuan hukum pidana (dikemukakan dalam ‘International Penal Reform Conference” yang diselenggarakan di Royal Holloway College University of London pada 13 – 17 April 1999), yaitu mengembangkan/ membangun :[7]

  1. Restorative justice (keadilan restoratif)
  2. Alternative dispute resolution (alternatif penyelesaian sengketa)
  3. Informal justice (keadilan informal)
  4. Alternative to custody (alternatif daripada pemenjaraan)
  5. Alternative ways of dealing with juvenile (alternatif cara untuk menanggulangi anak yang bermasalah dengan hukum)
  6. Dealing with violent crime (menanggulangi kejahatan dengan kekerasan)
  7. Reducing the prison population (mengurangi penghuni penjara/ narapidana)
  8. The proper management of prison (manajemen penjara yang lebih layak)
  9. The role of civil society in penal reform (peranan daripada masyarakat sipil dalam reformasi pemidanaan).

 

Ide atau wacana dimasukannya alternatif penyelesaian perkara dalam bidang hukum pidana antara lain terlihat dalam dokumen penunjang Kongres PBB ke 9/ 1995 yang berkaitan dengan manajemen peradilan pidana (yaitu dokumen A/CONF.169/6) dimana diungkapkan perlunya semua negara mempertimbangkan ‘privatizing some law enforcement and justice functions’ dan ‘alternative dispute resolution/ ADR’ berupa mediasi, konsiliasi, restitusi dan kompensasi) dalam sistem peradilan pidana.[8]

Alternative Dispute Resolution (ADR) yang telah dikembangkan dalam lingkup hukum perdata, seyogyanya juga dapat diterapkan secara luas di bidang hukum pidana.  Dalam laporan Kongres PBB ke 9/ 1995 tentang ‘The Prevention of Crime and The Treatment of Offender” (dokumen A/CONF.169/16) antara lain Toumonde, Menteri Kehakiman Perancis mengemukakan mediasi penal (penal mediation) sebagai suatu alternatif penuntutan yang memberikan kemungkinan penyelesaian negosiasi antara pelaku tindak pidana dengan korban (dalam laporan No. 319).[9]

Terkait dengan pengembangan perlindungan terhadap hak-hak korban,  dalam Deklarasi Vienna pada kongres PBB ke 10/2000 (dokumen A/CONF.187/4/Rev.3) antara lain dikemukakan bahwa untuk memberikan perlindungan kepada korban kejahatan, hendaknya diintrodusir mekanisme mediasi dan keadilan restoratif (restorative justice).  Pada Maret 2001, Uni Eropa membuat the EU Council Framework Decision tentang ‘kedudukan korban di dalam proses pidana’ (The standing of victims in criminal proceedings) -EU (2001/220/JBZ) yang di dalamnya termasuk juga masalah mediasi.  Selanjutnya pada tanggal 24 Juli 2002,  Badan ECOSOC (Economic and Social Council) PBB telah menerima Resolusi 2002/12 mengenai ‘Basic Principles of the Use of Restorative Justice Programme in Criminal Matters’ yang di dalamnya juga mencakup masalah mediasi.[10]

Terkait dengan pelayanan kepada korban,   John Dussich,  Direktur Tokiwa International Victimology Institute (TIVI) di Mito – Jepang dan mantan Presiden dari World Society of Victimology (WSV) menyebutkan bahwa pelayanan korban (victim services) mencakup :[11]

Victim services are those activities which are applied in response to victimizations with the intention of relieving suffering and facilitating recovery. This includes providing information, making assessments, conducting individual interventions, engaging in social advocacy, proposing public policy and working in program development.

(pelayanan korban adalah aktifitas-aktifitas yang dilakukan dalam rangka respon terhadap viktimisasi dengan maksud untuk mengurangi penderitaan dan memfasilitasi pemulihan korban.  Termasuk dalam aktifitas pelayanan korban adalah memberikan informasi, melakukan tindakan/ pemeriksaan, melakukan intervensi individual, terlibat dalam advokasi sosial, mengajukan kebijakan publik dan bekerja di dalam program-program pengembangan perlindungan untuk korban).

Program memberikan informasi kepada korban adalah dalam rangka mengakomodasi hak-hak para korban akan informasi.  Kebutuhan semua korban dimanapun hampir sama, yaitu mereka ingin mendapatkan informasi ringkas tentang apa yang terjadi kepada mereka,  apa yang akan terjadi kemudian, dan peran apa yang mereka dapat lakukan selanjutnya.  Termasuk dalam hal ini adalah informasi-informasi mendasar tentang dimana tempat-tempat untuk mendapatkan pelayanan, berapa nomor teleponnya, jam kerja pelayanan masing-masing lembaga pelayanan, dimana mendapatkan tempat perlindungan sementara (shelter), makanan, pakaian, dan konseling.  Dan penyampaian informasi ini tidak memerlukan perangkat yang kompleks, bisa dilakukan melalui brosur, informasi di situs internet, radio, TV, pengumuman di Koran, majalah ataupun penyediaan nomor telepon hotline services.

Program melakukan pemeriksaan (making assessment) dilakukan dengan pemikiran bahwa semua jenis intervensi kepada korban, apakah dalam bentuk konseling sederhana maupun psikoterapis yang sifatnya kompleks amat memerlukan suatu pemeriksaan yang lengkap sebelum memberikan pelayanan.  Ini adalah suatu bentuk evaluasi psiko-sosial komprehensif terhadap para korban sesegera setelah viktimisasi terjadi.   Tujuan utama dari pemeriksaan ini adalah untuk menentukan sejauh mana tingkat penderitaan yang dialami korban dan mengajukan usulan perawatan dan pemulihan korban yang relevan secepatnya.

Program intervensi invidual (individual intervention) adalah untuk menggunakan metode klinis dalam berinteraksi dengan para korban dengan tujuan untuk mengurangi kesakitan dan penderitaan dan untuk mengembalikan mereka sedapat mungkin ke kondisi normalnya (pemulihan).  Maka, pemulihan atau recovery adalah produk akhir dari semua jenis intervensi.

Program advokasi sosial (social advocacy) terdiri atas dua wilayah yaitu advokasi kasus (case advocacy) dan advokasi sistem (system advocacy).  Advokasi kasus adalah menempatkan diri pada posisi korban untuk menjamin hadirnya pelayanan-pelayanan yang memang dibutuhkan oleh para korban.  Sementara Advokasi sistem adalah mewakili dan membela para korban secara umum sebagai suatu kelas, guna meningkatkan kesadaran terhadap penderitaan para korban, guna menjamin bahwa korban mendapatkan akses terhadap pelayanan-pelayanan yang dibutuhkannya, juga untuk mengajukan kebijakan/ hukum baru yang relevan dan penting untuk para korban.

Program pengajuan kebijakan publik yang pro hak-hak korban ini amat penting.  Pada semua tingkat pemerintahan adalah amat penting untuk memiliki kebijakan tertulis dan hukum yang mengatur bagaimana seharusnya korban diperlakukan. Kebijakan ini harus terintegrasi antara hukum pidana, hukum perdata dan hukum administratif. Kebijakan ini juga bisa dalam bentuk memperbaharui atau merevisi UU yang sudah ada namun dirasakan sudah tidak relevan lagi.   Inisiatif untuk mengajukan maupun mengkritisi kebijakan yang melindungi hak-hak korban bisa datang baik dari negara maupun dari masyarakat.

 

 

  1. D.           Praktek Perlindungan terhadap Korban di Beberapa Negara

Perlindungan terhadap korban dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pasal 5 UU No. 13 tahun 2006 menyebutkan sejumlah hak para saksi dan korban sebagai berikut : (a). Hak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; (b) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; (c) memberikan keterangan tanpa tekanan; (d) mendapatkan penerjemah; (e) bebas dari pertanyaan yang menjerat; (f) mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus; (g) mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; (h) mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; (i) mendapatkan identitas baru; (j) mendapatkan tempat kediaman baru; (k) memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; (l) mendapat nasihat hukum dan/atau; (m) memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.  Kemudian pasal 6 UU yang sama menyebutkan bahwa korban berhak untuk mendapatkan : (a). bantuan medis dan (b) bantuan rehabilitasi psiko-sosial.

Perlindungan terhadap korban dapat dilakukan dengan penguatan hukum.  Sebagai contoh adalah Austria.  Dalam menangani kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau domestic violence, Austria telah melakukan pergeseran dalam hukum yang menanganinya.  Semula masalah KDRT dianggap masalah pribadi namun kemudian dianggap menjadi masalah negara dan bagian dari kepentingan publik.[12]

Melalui undang-undang tentang perlindungan terhadap kekerasan dalam keluarga yang berlaku sejak 1 Mei 1997, Austria menerapkan semacam peribahasa seperti : “siapa saja yang memukul harus meninggalkan rumah dan bertanggungjawab  terhadap tindakannya” (whoever beats will have to leave and take responsibility of their action). Melalui pengaturan ini,  pihak yang melakukan kekerasan-lah yang harus meninggalkan rumah dan bukannya korban kekerasannya.[13]

Hukum dengan paradigma baru ini berusaha untuk mensinkronkan antara putusan pengadilan dengan undang-undang di bawah hukum perdata dengan menekankan pada dukungan kepada korban (victim support) melalui sejumlah lembaga-lembaga penolong korban (intervention centers).

Perhatian yang sama terhadap korban KDRT ditunjukkan oleh Pemerintah Jerman.  Pada tahun 2002 Pemerintah Jerman menelurkan hukum yang meningkatkan perlindungan melalui hukum perdata dalam kasus KDRT  dan memfasilitasi perpindahan tempat tinggal setelah terjadi perpisahan akibat KDRT tersebut.  Berdasarkan legislasi ini, polisi berhak untuk melindungi seseorang dari bahaya tertentu dan dapat memindahkan pasangannya yang melakukan kekerasan dengan mengeluarkan surat perintah penahanan berjangka waktu 7 sampai dengan 14 hari.  Di negara bagian Lower Saxony, surat perintah ini lebih singkat lagi, antara 7 sampai dengan 10 hari.[14]

Melalui surat perintah penahanan ini bertujuan untuk sesegera mungkin mengakhiri kekerasan.  Sang pelaku kekerasan harus menyerahkan kunci rumah atau meninggalkan tempat tinggal tersebut, mengemas barang-barang pribadinya dan segera meninggalkan rumah. Maksud dari kebijakan ini adalah untuk menghindari kekerasan yang mungkin akan terjadi lagi pada korban KDRT  dengan memberikan mereka cukup waktu untuk beristirahat dan  memulihkan diri di dalam rumah mereka sendiri/ lingkungan yang mereka akrabi, guna kepentingan pemulihan dan menghadapi masa depannya.[15]

Gagasan lain untuk perlindungan hak-hak korban adalah memberdayakan Komisi Ombudsman.  Di negara seperti Amerika Serikat (AS) atau Canada misalnya hampir semua negara bagian memiliki Ombudsman, bahkan ada yang spesifik mengurusi korban (victims).  Victims Ombudsman ini utamanya bertugas sebagai pihak ketiga yang netral dalam mencermati dan menilai perlakuan kepada para korban oleh para aparat penegak hukum ataupun badan-badan yang bergerak dalam ruang lingkup sistem peradilan pidana.

Disamping Ombudsman, beberapa negara memiliki Komisioner khusus untuk hak-hak korban.  Sebutlah Australia.  Pemerintah negara bagian South Australia (South Australia) memiliki komisioner untuk hak-hak korban (Commisioner for Victim’s Rights).  Komisioner ini berada di bawah pemerintah negara bagian dan tidak di bawah pemerintah federal di Canberra.

Terobosan dalam hal perlindungan saksi dan korban yang dilakukan pemerintah South Australia dan Commissioner for Victims’Rights antara lain mengadakan pengadilan khusus untuk menginvestigasi terjadinya kekerasan ataupun timbulnya korban akibat sebab-sebab yang tidak umum/ tidak biasa yang disebut dengan nama ‘The Coroner’ (pengadilan koroner).

            The Coroner;  adalah hakim yang bertugas untuk menginvestigasi kematian seseorang yang terjadi akibat kekerasan yang tidak biasa, tidak umum dan mencurigakan. Tugas dari seorang hakim ‘coroner’ adalah :[16]

  1. Memutuskan perlu atau tidaknya dilakukan penyelidikan
  2. Melakukan penyelidikan guna menentukan sebab-sebab atau kondisi-kondisi yang menyebabkan kematian.
  3. Menentukan apa sebab-sebab kematian
  4. Membuat rekomendasi-rekomendasi untuk menghindari kematian yang sama terjadi di masa depan.

Proses investigasi dilakukan oleh polisi atas nama hakim koroner untuk menentukan sebab-sebab kondisi-kondisi yang melatarbelakangi kematian.  Kegiatan ini mencakup mensertifikasi suatu kematian, mengidentifikasi seseorang yang tewas, mengumpulkan data dan menyampaikan informasi kepada hakim koroner terkait sebab dan kondisi-kondisi yang melatarbelakangi suatu kematian.

Pelayanan lain dari The Coroner adalah : [17]

  • Counseling dan pemberian informasi Cuma-Cuma dari pekerja sosial (social workers) yang berpengalaman baik secara tatap muka dengan perjanjian ataupun melalui telepon.
  • Crisis counseling
  • Counseling pada tahap-tahap penting, seperti saat kesimpulan tentang sebab tewasnya seseorang telah diambil
  • Informasi tentang proses koroner
  • Membantu dalam menyiapkan proses penyelidikan
  • Informasi tentang kelompok-kelompok yang dapat membantu keluarga korban kematian
  • Informasi tentang bagaimana menolong anak-anak untuk memahami tewasnya seseorang yang amat mereka cintai
  • Memberikan rujukan untuk counseling dalam jangka waktu panjang dan informasi-informasi pentinga lainnya.

 

Perlindungan terhadap korban juga amat perlu mengundang keterlibatan masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) ataupun Ornop (Organisasi Non Pemerintah).

Sebagai contoh, di South Australia, Pemerintah negara bagian mendanai dan mendukung lahirnya inisiatif untuk melayani korban-korban kekerasan seksual di masa anak-anak (adult survivors of health sexual abuse).  Bentuk-bentuk pelayanan terhadap korban tersebut antara lain adalah counseling melalui telepon maupun kunjungan hingga ke daerah, bantuan hukum, hingga training-training yang relevan untuk para professonal pembantu pemulihan para korban serta memberi rujukan untuk mendapatkan pelayanan pada instansi-instansi lain yang relevan.[18]

Inisiatif lain yang tak kalah penting adalah bekerjasama dan memfasilitasi berdirinya peer-support groups (kelompok pendukung sebaya) untuk para korban. Kelompok pendukung ini telah diakui secara luas sebagai instrument penting dalam meningkatkan dan memfasilitasi, antara lain,  pemulihan mental korban kejahatan dan korban kecelakaan lalu lintas.[19]

Salah satu kelompok pendukung hak-hak korban yang signifikan adalah Masyarakat Viktimologi yang ada di banyak negara.   Sebagai contoh adalah Masyarakat Viktimologi Serbia (Victimology Society of Serbia) yang berdiri sejak tahun 2003. Tujuan pembentukan lembaga ini adalah untuk menolong korban kejahatan dan korban kejahatan harta benda yang berusia di atas 14 tahun termasuk juga anggota keluarga korban. Pelayanan dari masyarakat viktimologi ini mencakup pemberian informasi tentang hak-hak korban, bantuan pemulihan emosional, dan memberi rujukan kepada lembaga dan organisasi-organisasi tertentu.[20]

Reparasi dan kompensasi terhadap korban kejahatan dilakukan secara berbeda di banyak negara.  Di Perancis ada mekanisme Action Civile System. Dimana korban dapat mengajukan gugatan perdata terhadap pelaku kejahatan di muka pengadilan pidana.  Namun, data menunjukkan bahwa tidak banyak  korban di Perancis maupun di Swiss mengajukan gugatan perdata.  Sebabnya karena pengadilan pidana dapat menolak untuk memfasilitasi gugatan perdata tanpa memberikan alasan.  Studi yang dilakukan di Pengadilan Paris menunjukkan bahwa hanya satu dari empat korban yang sukses mendapatkan bagian dari pembayaran kompensasi dari pelaku melalui gugatan perdata..  Sementara lebih dari 90% mendapatkan kepuasan hukum dari pengadilan pidana (Killias, 1995 : 254).

Pada beberapa negara seperti Perancis, Belanda dan Jerman, jaksa penuntut umum (prosecutors) dapat melakukan diskresi untuk tidak melanjutkan perkara (dismiss) ketika pelaku atau tersangka pelaku telah membayar kompensasi yang layak atau telah berkomitmen untuk memberikan kompensasi kepada korban. Mekanisme ini disebut sebagai ‘compensation through ‘plea bargaining’.  Namun di Jerman jaksa penuntut umum tidak memiliki kewajiban untuk memfasilitasi mekanisme kompensasi ini, maka hanya sedikit kasus yang tidak dilanjutkan karena pelaku/ tersangka pelaku telah membayar atau berkomitmen untuk membayar kompensasi (Killias, 1995 : 254 – 255).

Mekanisme lain adalah melalui compensation orders (perintah untuk memberikan kompensasi) seperti yang diperkenalkan di Inggris sejak tahun 1972. Mekanisme ini telah menarik perhatian dunia internasional dan memicu lahirnya banyak studi mengenai efektifitasnya.  Penelitian dari Shapland (1985) menunjukkan bahwa pada tahun 1979 – 1980 para korban kejahatan menerima hanya jumlah yang sangat minimal, sekitar 44 poundsterling untuk korban kekerasan, 22 poundsterling untuk korban pencurian, hanya beberapa yang nyaris mendekati 100 poundsterling. Hanya 7 – 15% dari putusan hakim di Inggris pada dekade 80-an yang juga menyertakan compensation order.  Oleh karena itu, banyak korban yang tidak antusias dengan mekanisme ini, disamping waktu pembayarannya juga seringkali amat lambat.  Kekecewaan yang hampir sama dijumpai di sistem peradilan pidana Amerika Serikat pada dekade tersebut.  Para korban tidak mendapatkan kompensasi yang penuh/ maksimal. Hanya sebagian saja kerugian yang mereka alami mendapatkan kompensasinya (Killias, 1995 :  255 – 256).

Kompensasi dari negara atau yang diberikan oleh negara (di Indonesia dikenal sebagai restitusi) adalah model reparasi yang lain. Banyak negara barat mengintrodusir skema ini dalam sistem peradilan pidana-nya.  Ada satu kesamaan dari skema ini (common features) yaitu bahwa hanya korban kejahatan yang pelaku kejahatannya tak mampu melakukan reparasi dari sumber-sumber lain dan korban yang betul-betul sangat memerlukan-lah yang memenuhi syarat mendapatkan kompensasi dari negara ini (Killias, 1995 : 256).

Apabila dibandingkan dengan jumlah yang diterima korban melalui compensation orders, jumlah yang diterima melalui compensation by the state ini jauh lebih besar.  Contohnya pada tahun 1984 jumlah yang umumnya diterima korban di Jerman adalah setara dengan USD 2000, USD 5000 di Austria, USD 8000 di Perancis, USD 2500 di Inggris Raya, USD 2500 di Canada dan sekitar USD 20000 di negara bagian South Australia.  Namun, tidak banyak korban yang mendapatkan kompensasi dari negara.  Studi yang dilakukan pada tahun 1984 menunjukkan bahwa permohonan kompensasi dari negara yang sukses dilakukan hanya 5627 kasus di Jerman, 79 di Austria, 201 di Perancis, 22923 di Inggris Raya, 3732 di Canada dan 87 di South Australia.  Oleh karenanya, pada dekade tersebut berkembang skeptisisme di antara para korban. Karena praktek kompensasi model ini dianggap hanya berlaku untuk jenis kejahatan tertentu saja dan jumlah yang diberikan hanya dapat mengganti sebagian kecil kerugian saja (Killias, 1995 : 256).

Kompensasi melalui gugatan perdata yang diajukan melalui peradilan perdata (civil procedures) adalah model kompensasi yang juga kerap dilakukan.   Secara teori hukum, hampir semua negara di dunia mengakomodasi sistem ini. Korban dapat mengajukan gugatan perdata untuk mendapatkan kompensasi dari pelaku/ tersangka pelaku.  Apabila tergugat adalah sekaligus pelaku/ tersangka pelaku (offenders) maka kompensasi cenderung lebih mudah didapatkan.  Permasalahannya, gugatan perdata seringkali tidak murah.  Korban harus mengeluarkan biaya cukup signifikan untuk membayar advokat/ pengacara-nya (Killias, 1995 : 257).

Pelaksanaan reparasi terhadap korban di beberapa negara adalah berbeda-beda. Di New Zealand (Selandia Baru) pengadilan dapat memerintahkan kepada pelaku kejahatan untuk membaya kompensasi terhadap korban kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis maupun kehilangan/ kerusakan harta benda. Jumlah kompensasinya adalah tergantung dari jumlah kehilangan atau kerugian yang dialami korban dan kemampuan sang pelaku untuk membayar (http://www.justice.govt.nz/publications/global-publications/r/reparation-to-victims).

Proses reparasi di New Zealand adalah sebagai berikut : 1. Setelah kasus diperkarakan di pengadilan, Korban akan dikirimi surat pemberitahuan reparasi (reparation notice) yang menyebutkan jumlah yang diperintahkan oleh pengadilan untuk dibayarkan oleh pelaku kepada korban.  Sang pelaku diberikan waktu selama 28 hari untuk membayar jumlah tersebut melalui pengadilan secara total atau untuk mengatur pembayaran secara mengangsur. Kemudian pengadilan akan meneruskan pembayaran tersebut kepada korban melalui direct credit ataupu via cheque. Bila pembayaran langsung dilunasi si pelaku, maka pengadilan akan mengirimkan uang langsung kepada si korban secara penuh.  Namun apabila pembayaran dengan sistem mengangsur, maka pembayaran akan dilakukan ketika semua jumlah angsuran usai dilunasi oleh si pelaku (http://www.justice.govt.nz/publications/global-publications/r/reparation-to-victims).

Bagaimana apabila si pelaku menolak untuk membayar kompensasi? Pengadilan tidak akan tinggal diam dan akan menempatkan hal ini sebagai prioritas.  Pengadilan memiliki sejumlah cara untuk memaksa sang pelaku membayar, seperti meminta pengurangan gaji/ upah sang pelaku, membekukan rekening bank, menjual harta benda si pelaku, sampai mencegah si pelaku pergi ke luar negeri (http://www.justice.govt.nz/publications/global-publications/r/reparation-to-victims).

Di negara bagian South Australia, ada beberapa kondisi dimana korban kejahatan (atau keluarganya) berhak mengklaim kompensasi dari negara. Termasuk dalam pengertian penderitaan (injury) yang dapat diajukan klaim-nya adalah shock, gangguan mental, kehamilan akibat perkosaan, namun tidak termasuk kehilangan atau kerugian terhadap harta benda (SA Attorney General, 2009 : 42).

Pengajuan klaim atas kompensasi negara dapat diajukan maksimal tiga tahun sejak kejahatan terjadi , atau satu tahun apabila korban kejahatannya tewas.  Namun bagi korban anak, waktu pengajuannya adalah setelah mereka berusia 18 tahun. Dana kompensasi ini dibayarkan dari dana masyarakat (public funds) namun pemerintah dapat meminta sang pelaku untuk membayar kembali dana tersebut jika ia mampu. Apabila korban sangat memerlukan uang, ia dapat mengajukan pengajuan pembayaran interim (emergency).  Apabila pengajuan dana ini dikabulkan, maka jumlah dana yang diterima ini akan diperhitungkan (dikurangi) dari dana kompensasi korban yang sedianya akan diterima korban di kemudian hari (SA Attorney General, 2009).

Korban juga dapat mengajukan klaim terhadap kompensasi atas kesakitan atau penderitaan, kerugian keuangan , kehilangan mata pencaharian atau berkurangnya kemampuan untuk mencari nafkah.  Jika klaim tersebut diterima, maka jumlah uangnya akan sangat bergantung kepada : kapan kejahatan tersebut terjadi, seberapa jauh tingkat penderitaan yang dialami korban dan apakah sang korban turut berkontribusi untuk terjadinya kejahatan atau tidak (SA Attorney General, 2009).

Berapa jumlah uang yang dapat diajukan klaim?  Per 1 September 1990, klaim kompensasi dibatasi maksimal AUD 50.000.  Untuk kejahatan yang terjadi antara 1 Agustus 1987 dan 1 September 1990 jumlah maksimum yang dapat diklaim adalah AUD 20.000 dan untuk kejahatan yang berlangsung antara tahun 1978 dan 1 Agustus 1987 jumlah maksimum klaim adalah AUD 10.000.  Kemudian untuk kejahatan yang terjadi antara tahun 1975 sampai tahun 1977 jumlah maksimum klaim adalah AUD 2000.  Untuk kejahatan yang berlangsung antara tahun 1969 dan 1974 jumlah maksimum klaim adalah AUD 1000 (SA Attorney General, 2009).

Pengaturan yang berlaku untuk pengajuan klaim adalah sangat tergantung pada waktu terjadinya kejahatan.  Jika kejahatan terjadi antara 1 September 1990 sampai dengan 12 Agustus 1993,  jumlah kompensasi dihitung sebagai berikut : untuk klaim sejumlah maksimal AUD 2000 maka sejumlah tersebut yang akan diberikan, untuk klaim melebihi AUD 2000 maka sejumlah AUD 2000 yang akan diberikan plus proporsional-nya (biasanya tiga perempat dari jumlah yang diajukan klaim-nya, dan bila klaim yang  diajukan melebihi AUD 50000, maka jumlah maksimum yang diberikan adalah AUD 50000.  Untuk kerugian dan penderitaan yang terjadi akibat kejahatan yang berlangsung setelah 12 Agustus 1993, jumlah yang dapat diklaim  adalah hampir sama.  Namun,  klaim tersebut dihitung pada skala 0 – 50, dimana satu poin adalah setara dengan kompensasi AUD 1000.  Suatu jenis kerugian/ penderitaan (injury) haruslah dapat dinilai dalam skala tersebut.  Oleh karena itu,  kerugian yang amat minimum tak dapat diklaim kompensasinya.  Untuk klaim yang diajukan terhadap kejahatan yang berlangsung setelah 1 Januari 2003, skala kerugian/ penderitaan yang dapat diklaim adalah minimal pada skala 2.  namun tidak ada ambang batas minimal untuk klaim terhadap kerugian financial.     Perihal klaim untuk kompensasi korban dapat meminta bantuan kepada Victim Support Service, The Law Society of South Australia atau Commisioner for Victims’ Rights. Permintaan juga dapat diajukan kepada Attorney General Department, Victim Compensastion Section atau Court Administration Authority, Victim Compensation Application (SA Attorney General, 2009).

Korban  kejahatan yang tak mengalami kerugian/ penderitaan atau mengalami kerugian yang amat minimal tidak berhak mendapatkan kompensasi, namun tetap dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan bantuan.   Pembayaran dapat berasal dari diskresi Attorney General yang mempertimbangkan perlunya sang korban kejahatan dibantu supaya dapat mengatasi dampak kejahatan yang terjadi pada dirinya.  Misalnya,  korban yang trauma karena diancam untuk dibunuh misalnya, dapat meminta bantuan pengamanan diri ataupun pengamanan rumah (SA Attorney General, 2009).

Di Inggris ada Criminal Injuries Compensation Authority (CICA) yang merupakan badan yang dibentuk oleh Criminal Injuries Compensation Act 1995.   Maksud pendirian institusi ini adalah untuk memberikan kompensasi bagi korban yang ‘innocent’ (tidak berkontribusi terhadap kejahatan tersebut).  Skema ini menggantikan skema sebelumnya yang dikelola oleh Criminal Injuries Compensation Board sejak tahun 1964.  Pada awalnya skema tersebut ditujukan pada korban yang menderita/ luka akibat penegakan hukum (law enforcement) atau korban kecelakaan yang menyeberangi rel kereta api (trespassing).  Namun sebagian besar pemohon kompensasi (90%) adalah korban yang memang mengalami kekerasan akibat kejahatan. Untuk memohon kompensasi ini, sang pelaku kejahatan tidak perlu didakwa atau diidentifikasi, namun korban harus mengajukan pelaporan .  Kompensasi dapat dibayarkan untuk korban yang memenuhi syarat sesuai dengan tarif yang berlaku, dimana 1000 Poundsterling adalah jumlah kerugian minimum (Miers dalam Crawford & Goodey, 2000 : 89).

Kebijakan pemberian kompensasi dalam skema tersebut di atas hanyalah untuk korban yang ‘innocent’. Alias tidak berlaku bagi korban yang memiliki catatan kejahatan signifikan (criminal records) atau perilaku dan tindak tanduknya berkontribusi terhadap kejahatan tersebut (Miers dalam Crawford & Goodey, 2000 : 89).  Apalagi apabila korban adalah sekaligus pelaku kejahatan (offenders).  Justifikasi dari kebijakan ini adalah para pembayar pajak (taxpayer) tidak seharusnya turut memberi kompensasi kepada korban yang pada saat bersamaan adalah juga pelaku kejahatan (Miers dalam Crawford & Goodey, 2000 : 91).

Di Amerika Serikat, skema kompensasi adalah berbeda untuk setiap negara bagian (state). Di Texas misalnya pelaku kejahatan diperintahkan menyisihkan dananya untuk Crime Victims’ Compensastion Fund.  Pada tahun 1979 Crime Victims’ Compensation Act dilahirkan.  Undang-Undang Texas ini melahirkan Compensation to Victims of Crime Fund and the Crime Victims’ Compensation (CVC) Program.   Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan partisipasi para korban dalam memahami proses penuntutan kejahatan dan mengganti kerugian para korban yang tak bersalah.  Dana untuk kompensasi berasal dari sang pelaku kejahatan (https://www.oag.state.tx.us/victims/about_comp.shtml).

Pengelola program kompensasi korban ini adalah Office of Attorney General.  Jaksa negara bagian ini bertanggungjawab untuk menjamin bahwa korban kejahatan mendapatkan dana pengganti kerugian yang dialaminya dimana ia tak mungkin mendapatkan penggantian dari sumber lain (asuransi dan sebagainya).  Hukum negara bagian Texas menghendaki bahwa dana pengganti kerugian korban sedapat mungkin diperoleh dulu dari sumber lain seperti asuransi kesehatan (health insurance), Medicaid, medicare, asuransi mobil atau dari Texas Workers Compensation. Dana yang dapat diklaim adalah maksimal USD 50000. Korban yang menderita dan mengalami cacat permanen akibat kejahatan dapat mengajukan klaim hingga USD 75000 (https://www.oag.state.tx.us/victims/about_comp.shtml).

Di negara Canada, hampir semua provinsi (kecuali Newfoundland dan Territories) memfasilitasi program kompensasi untuk korban kejahatan.  Korban kejahatan yang memenuhi syarat adalah korban maupun keluarga korban pembunuhan, penganiayaan seksual, KDRT, penganiayaan seksual anak dan penelentaran anak dan lain-lain. Program kompensasi korban ini dikelola oleh propinsi sesuai dengan peraturan yang berlaku di setiap propinsi.  Program ini bertujuan untuk mengakomodasi telah terjadinya kerugian ataupun penderitaan terhadap korban yang tak bersalah (innocent victims) dan untuk membantu korban meringankan beban finansial yang mengiringi viktimisasi tersebut.  Sama seperti di USA, program kompensasi ini harus disikapi sebagai upaya terakhir (last resort) setelah semua sumber-sumber dana telah diupayakan (http://vcgcb.ca.gov/about.aspx).

Supaya memenuhi syarat untuk mendapatkan kompensasi, laporan atas kejahatan harus disampaikan kepada polisi tidak lebih dari satu tahun (atau dua tahun untuk beberapa provinsi) dan pengajuan kompensasi juga harus diajukan dalam satu tahun atau maksimal dua tahun untuk beberapa provinsi.  Syarat lain untuk mendapatkan klaim kompensasi adalah : (1) kejahatan yang menimbulkan korban tersebut adalah dikategorikan sebagai kejahatan sebagaimana diatur dalam Criminal Code; (2) penderitaan/luka atau kematian yang dialami korban adalah akibat yang bersangkutan berusaha menangkap atau mencoba penangkap tersangka pelaku kejahatan, atau dalam rangka membantu penegak hukum untuk menegakkan hukum; (3) mencegah atau berusaha mencegah terjadinya kejahatan; dan (4) viktimisasi tersebut terjadi di provinsi yang bersangkutan (http://vcgcb.ca.gov/about.aspx).

Prosedur untuk mendapatkan kompensasi adalah pemohon harus mengajukan aplikasi dengan menghubungi program di provinsi tempat terjadinya kejahatan.  Setelah aplikasi lengkap maka harus segera dikirimkan ke kantor program.  Putusan terhadap kompensasi biasanya diputuskan dalam satu sampai lima tahun setelah aplikasi diajukan.  Dana kompensasi akan diberikan kepada pemohon dalam jangka waktu 4 -20 minggu setelah hearing dilakukan.  Jumlah maksimum yang diberikan adalah berbeda untuk setiap propinsi, namun berkisar antara CD 2000 – 127000.  Biaya yang dapat dikompensasikan adalah berbeda untuk setiap propinsi, namun umumnya berkisar untuk jenis biaya-biaya :  perawatan kesehatan, perawatan mental/ konseling, luka-luka, biaya untuk anak yang lahir dari perkosaan, kehilangan mata pencaharian akibat cacat permanen, kehilangan mata pencaharian untuk keluarga, biaya pemakaman, rehabilitasi untuk korban yang menderita cacat, biaya-biaya untuk mendapatkan dokumen penting, biaya-biaya untuk menghadiri hearings, biaya untuk memulai bekerja di rumah, biaya atas kerugian akibat kehilangan/ kerusakan harta benda, biaya-biaya perlindungan dan relokasi.  Disamping itu, biaya kompensasi darurat dapat diajukan untuk korban yang berusia tua atau tengah mengalami sakit (http://vcgcb.ca.gov/about.aspx)

 

  1. E.           Tantangan dan Hambatan di Indonesia

Penyebab korban kejahatan belum memperoleh perlindungan di Indonesia secara memadai adalah bervariasi.  Paling tidak ada beberapa hal yang menyebabkan korban belum mendapatkan perlindungan yang memadai :  (1) faktor undang-undang;  banyak wilayah hukum yang belum diatur oleh undang-undang yang spesifik, ataupun UU-nya ada namun masih bersifat parsial dan keberadaannya tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan sehingga hanya berlaku bagi kejahatan-kejahatan tertentu.  Ada pula UU yang belum memiliki peraturan pelaksana sehingga belum dapat dijalankan secara optimal;  (2) kesadaran hukum korban; banyak dijumpai korban atau keluarganya yang menolak untuk melaporkan kekerasan yang menimpanya dengan berbagai alasan, seperti takut adanya ancaman dari pelaku atau ketakutan apabila masalahnya dilaporkan akan menimbulkan aib bagi korban maupun keluarganya; (3) Fasilitas pendukung; kurangnya sarana dan prasarana pendukung dalam upaya perlindungan korban kejahatan, yang paling nyata dirasakan adalah pada perlindungan korban akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT); (4) Sumber Daya Manusia; keterbatasan sumber daya manusia baik secara kuantitas maupun kualitas turut mempengaruhi  kualitas pemberian perlindungan hukum terhadap korban kejahatan.[21]

Dengan memperhatikan sebab-sebab pelayanan korban yang belum memadai seperti di atas dan guna meningkatkan pelayanan dan perlindungan kepada korban dan dengan melihat best practices yang dilakukan oleh negara-negara lain, maka paling tidak ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh negara RI :

  1. Merevisi dan menyempurnakan UU Perlindungan Saksi dan Korban sehingga lebih bersifat integrative dan komprehensif, juga dengan melengkapi peraturan-peraturan pelaksananya.
  2. Memasukkan klausul-klausul perlindungan saksi dan korban pada RUU KUHAP yang tengah dalam pembahasan.
  3. Merevisi dan menyempurnakan undang-undang lain yang amat terkait dengan perlindungan hak-hak korban, seperti UU PKDRT,  UU Perlindungan Anak, dan lain-lain.
  4. Mengadopsi paradigma baru dalam sistem peradilan pidana yang penting untuk perlindungan saksi dan korban, seperti restorative justice, ADR/ penal mediation, alternatif penindakan untuk anak yang bermasalah dengan hukum, dan lain-lain.
  5. Memperluas pengertian dan pemahaman tentang ‘korban’,  tak hanya semata-mata korban kejahatan namun juga korban oleh sebab-sebab lainnya (various victimization).
  6. Memperluas ruang lingkup ataupun cakupan dari program-program pelayanan korban (victim services) tidak hanya perlindungan secara hukum namun juga pelayanan kesehatan dan bantuan pemulihan psikososial, intervensi individual, advokasi kasus dan advokasi sistem serta menyediakan informasi-informasi yang bermanfaat dan mudah diakses oleh para korban ataupun calon korban di masa mendatang dalam bentuk barang cetakan, informasi online, broadcasting,  sampai dengan hotline services.
  7. Memberdayakan Komisi Ombudsman Indonesia dalam mencermati pelayanan lembaga-lembaga penegak hukum kepada para korban.
  8. Memfasilitasi dan bermitra dengan masyarakat sipil dan lembaga-lembaga penolong korban (Victim Support Groups) dan Masyarakat Viktimologi setempat dalam mengadakan program-program perlindungan untuk para korban.
  9. Turut membangun kapasitas dan profesionalisme para pendukung hak-hak korban dalam bentuk training for trainers, pelatihan, kursus, hingga dukungan program dan financial.

10. Membangun fasilitas pendukung terhadap perlindungan hak-hak korban entah di kepolisian, kejaksaan, pengadilan maupun di tempat-tempat lainnya.

11. Mempertinggi kapasitas aparat penegak hukum dalam melindungi dan menangani hak-hak korban.

12. Memikirkan untuk membuat semacam Commisioner of Victims Rights dan Pengadilan Coroner sebagaimana yang ada di Australia untuk diterapkan di Indonesia,  sebab permasalahan korban lebih kompleks, lebih bervariasi viktimisasinya dan jauh lebih banyak kuantitas-nya daripada di Australia.

13. Melahirkan kembali UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan kelembagaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Indonesia yang  batal lahir akibat putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2006, sebagai salah satu instrumen untuk memulihkan kembali luka dan trauma korban dan keluarga korban kejahatan HAM masa silam yang tak terakomodasi oleh sistem peradilan pidana yang berlaku saat ini.

14. Yang terakhir adalah mengakomodasi regulasi tentang perkembangan terkini tentang perlindungan terhadap korban kejahatan. Antara lain Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power 1985 dan (draft) dari UN Convention on Justice and Support for Victims of Crime and Abuse of Power (dapat diunduh pada http://www.tilburguniversity.edu/research/institutes-and-research-groups/intervict/undeclaration/convention.pdf)

Beberapa hal menarik dari draft Konvensi tentang Keadilan dan Dukungan untuk korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan ini antara lain :

 

 

Article 4

Commitment to reduce victimization

State Parties shall commit to provide both justice and support for victims and to reduce victimization consistent with international guidelines by, inter alia, developing:

(a) more effective detection, prosecution, sentencing and corrections of perpetrators,consistent with internationally recognized norms;

(b) measures to reduce the risk of occurrence of victimization by considering vulnerable groups and identifying resource deficiencies and vulnerability factors; and, creating ways to neutralize these weaknesses;

(c) strategies to reduce the opportunity for repeat victimization by improving services and support for those already victimized;

(d) international cooperation to exchange proven and promising practices and seek transnational solutions.

 

 

 

Article 5

Access to justice and fair treatment

 

(1) State Parties shall provide victims with access to the mechanisms of justice and redress which is expeditious, fair, inexpensive and accessible, as provided for by domestic legislation, through:

(a) judicial and administrative mechanisms which will enable victims to obtain redress;

(b) informal mechanisms for the resolution of disputes, including mediation, arbitration, and customary justice processes or indigenous practices, where appropriate, to facilitate conciliation and redress for victims;

(c) information about their rights in seeking redress through all these mechanisms.

 

(2) State Parties shall ensure that the judicial, administrative and informal processes are responsive to the needs of victims. This should be facilitated by:

(a) giving the victim a fair hearing within a reasonable time in the determination of their entitlement to a remedy for the injury, loss or damage suffered by them as a result of their victimization without prejudice to the accused;

(b) allowing the views and concerns of victims to be presented and considered at appropriate stages of proceedings where their personal interests are affected, without prejudice to the accused and consistent with the relevant domestic criminal justice system;

(c) allowing victims to present their views and concerns themselves or through legal or other representatives without prejudice to the discretion of the court, tribunal or other appropriate authority, and in consonance with the relevant domestic criminal justice system;

(d) the prompt return to victims of their property, taken or recovered by the police or any other agency for the purpose of the investigation, when no longer needed;

(e) providing to victims, where appropriate, the right of appeal against decisions of the prosecutorial authority not to prosecute in cases where they were victimized.

(f) providing proper assistance to victims throughout informal, administrative, investigative and judicial processes;

(g) taking measures to minimize inconvenience to victims and protect their privacy wherever appropriate;

(h) ensuring the safety of victims, as well as that of their families and witnesses on their behalf, from intimidation and retaliation;

(i) avoiding unnecessary delay in the disposition of cases and the execution of orders or decrees granting awards to victims;

(j) ensuring the enforcement of any order or decree granting awards to victims.

(3) State Parties shall reimburse victims and witnesses for their reasonable expenses related to the procedure incurred as a result of their legitimate participation in criminal proceedings.

 

 

Article 6

Protection of victims, witnesses and experts

(1) State Parties shall take appropriate measures in accordance with their domestic legal systems to protect the safety, physical, psychological, and social well-being, dignity and privacy of victims, witnesses  and experts from potential retaliation or intimidation and, as appropriate, for their relatives and other persons close to them.

(2) The measures envisaged in paragraph 1 of this article may include:

(a) establishing procedures for the physical protection  of such persons, such as, where appropriate, non-disclosure or limitations on the disclosure of information concerning the identity and whereabouts of such persons;  and/or to the extent necessary and feasible, relocating them, changing their identity and any other measures needed for their protection;

(b) providing evidentiary rules to permit victims, witnesses and experts to give testimony in a manner that ensures the safety of such persons, such as permitting testimony to be given through the use of communications technology such as video or other appropriate means;

(c) agreements or arrangements with other State Parties for the relocation of persons.

 

 

 

Article 7

Information

(1) State Parties shall ensure that victims have a right to information, and must be informed of this, from their first contact with law enforcement or other agencies. State Parties shall ensure that victims receive general information in the most expeditious and efficient method appropriate to the culture such as through oral or written communication with concern for literacy and literary traditions. Specific information

should be given person to person. Such information should facilitate an informed understanding for victims and shall be at least as follows:

(a) the type of services or organizations to which they can turn for support;

(b) the type of support which they can obtain, including the availability of health and social services and other relevant assistance;

(c) where and how they can report an offence;

(d) procedures following such a report and their role in connection with such procedures;

(e) their role and the scope, timing and progress of the proceedings and of the, disposition of their cases, especially where serious crimes are involved and where they have requested such information;

(f) how and under what conditions they can obtain protection;

(g) to what extent and on what terms they have access to legal advice or legal aid;

(h) requirements for them to be entitled to compensation;

(i) if they are resident in another State, any special arrangements available to them in order to protect their interests;

(j) where and how victims could obtain more information.

(2) State Parties shall ensure that victims who have expressed a wish to this effect are kept informed of:

(a) the outcome of their complaint

(b) relevant factors enabling them, in the event of prosecution, to know the conduct of the proceedings regarding the person prosecuted for offences concerning them, except in exceptional cases where the proper handling of the case may be adversely affected;

(c) the court’s sentence.

(3) State Parties shall take the necessary measures to ensure that the victim is notified, at least in cases where there might be danger to the victim, when the person prosecuted or sentenced for an offence is released.

(4) In so far as State Parties take forward on their own initiative the information referred to in paragraphs 2 and 3, they shall ensure that victims have the right not to receive it, unless communication thereof is compulsory under the terms of the relevant criminal proceedings.

 

Article 8

Assistance

(1) State Parties shall ensure that the necessary material, medical, psychological and social assistance to victims is provided through government, voluntary, community-based and indigenous means. Such assistance may be provided through any agencies or comprehensive programs that are appropriate under domestic laws or norms.

(2) State Parties should be encouraged to develop networks of criminal justice, social services, health and mental health services, victim assistance services and other relevant groups or institutions in order to facilitate referrals, coordination and planning among those providing assistance.

(3) State Parties should be encouraged to establish local and regional victim assistance centers to coordinate networks, develop and make referrals, and provide outreach to victims and direct services where appropriate

(4) State Parties shall facilitate the referral of victims by the police and other relevant agencies to victim assistance centers or other service institutions.

(5) Language understood by victims should be encouraged. If translators are needed, they should be trained in the subject matter that they are addressing and victim support personnel should be familiar with common terms that will be used.

(6) State Parties shall seek to establish the following kinds of assistance to victims:

 

 

 

 

A. Immediate Assistance:

(a) medical attention and accompaniment to medical exams, including first aid, emergency medical attention and medical transport. Support services should be provided to victims when forensic examinations are called for or in the aftermath of death;

(b) material support such as shelter, housing, transportation, or property repair;

(c) crisis intervention, involving crisis counseling and problem solving;

(d) information and notification about what happened to the extent that such information does not interfere with investigation, including notification of any immediate responsibilities to the criminal justice system. Assistance should be offered in notifying family or friends of what happened;

(e) protection from repeat victimization should be provided through the development of safety and security plans. This may include information on police surveillance, relocation, emergency communication and the like. It may also involve assistance with obtaining protection orders through the judicial system;

(f) victims should be protected from media intrusion;

(g) general support and advocacy should be offered when victims interact with social, justice and medical institutions as well as appropriate referrals for urgent needs;

(h) confidentiality and privacy should be guaranteed to the extent allowable under current law and policy.

 

B. Medium term Assistance:

(a) the continuation of the services provided under A „Immediate Assistance‟;

(b) psycho/social health and spiritual interventions that may include post-trauma counseling, mental health therapy, family counseling, pastoral counseling, or traditional healing intercessions;

(c) assistance with financial needs or claims including filing and advocacy for compensation claims, restitution, insurance, or emergency funds.

(d) legal referrals should be provided for legal assistance in the criminal or civil justice systems. To the extent possible such legal assistance should be free.

(e) Information, support and assistance concerning options for participation in alternative justice forums should be provided.

 

C. Long term Assistance:

(a) the continuation of the services provided under A „Immediate Assistance‟ and B. „Medium Assistance‟;

(b) assurances and re-establishment of the victim‟s place in the family, community, education and in the workplace should be encouraged

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Brosur ‘The Police and Coronial Process Information for Family and Friends’, Government of South Australia Commisioner of Victims Rights.

 

Brosur berjudul ‘It’s Not Your Fault’ Men Talk About Living Beyond the Effects of Sexual Abuse.  RespondSA, Relationship Australia, South Australia

 

Carolyn Hoyle and Richard Young, ed. New Visions of Crime Victims. Portland, Hart Publishing, 2002.

 

Crawford, Adam and Jo Goodey.,ed.  Integrating a Victim Perspective within Criminal Justice. Aldershot, Dartmouth Publishing, 2009.

 

Government of South Australia Attorney General Department,  Information for Victims of Crime, Adelaide, 2009.

Hagemann,Otmar. et.al. Victimology, Victim Assistance and Criminal Justice,  Perspectives Shared by International Experts at the Inter-University Centre of Dubrovnik. Monchengladbach,  Niederrhein University of Applied Sciences Department of Social Work and Cultural Studies, 2009.

 

International Perspectives in Victimology Volume 2 Number 1 July 2006, Tokiwa International Victimology Institute Journal,  Tokiwa University – Mito Japan.

 

Lies Sulistiani, dkk. Perlindungan Saksi dan Korban, Sudut Pandang Peran LPSK dalam Perlindungan Saksi dan Korban. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta, 2009.

 

Schneider, Hans Joachim.Ed. The Victim in International Perspective.  Berlin, De Gruyter, 1982.

 

S.P Singh Makkar and Paul C. Friday, ed. Global Perspectives in Victimology,   Jalandhar, ABS Publication,  1995

Yulia, Rena.  Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan .Yogyakarta, Graha Ilmu, 2010.

 

 

Bahan-Bahan dari Internet

http://www.crcvc.ca/en/compensation.php

http://vcgcb.ca.gov/about.aspx

http://www.nccrimecontrol.org/Index2.cfm?a=000003,000016,000169

http://www.justice.govt.nz/publications/global-publications/r/reparation-to-victims

 

http://www.icc-cpi.int/Menus/ICC/Structure+of+the+Court/Victims/Reparation/

http://www.pict-pcti.org/publications/PICT_articles/REPARATIONS.PDF

https://www.oag.state.tx.us/victims/about_comp.shtml

http://www.tilburguniversity.edu/research/institutes-and-research-groups/intervict/undeclaration/convention.pdf

 

 

 

 

 

 

 

 

 


[1] Staf Pengajar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mengajar Viktimologi, Hukum Perlindungan Anak, Hak Asasi Manusia, Wanita dan Hukum, Perundang-Undangan Sosial.  Mewakili  Indonesia dan Asia Tenggara sebagai Executive Committee World Society of Victimology (WSV) sejak tahun 2009.  Salah seorang pendiri Masyarakat Viktimologi Indonesia (MVI) yang dideklarasikan di Kampus FHUI Depok pada 18 Juli 2011.  E-mail address : hsusetyo@ui.ac.id

 

[2] Maharani Siti Shopia,  Urgensi Revisi KUHAP dalam Perlindungan Terhadap Saksi dalam Majalah Kesaksian Edisi 1 Januari – Februari 2000,  Jakarta, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

 

[3] Ibid., hal. 9.

 

[4] Dikdik M. Arief Mansyur dan Elisatris Gultom,  Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita (Jakarta, Rajawali Press : 2007) hal. 165.

 

[5] Ibid

 

[6] Ibid

 

[7] Ibid., hal. 62.

 

[8] Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan (Yogyakarta, Graha Ilmu : 2010), hal. 61.

 

[9] Ibid.

 

[10] Ibid., hal. 62.

 

[11] John Dussich, Concepts and Forms of Victim Services,  makalah yang dipresentasikan pada 11th Asian Postgraduate Course on Victimology and Victim Assistance, Kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok 18 – 29 Juli 2011.

[12] Ute I. Haas.  Assistance for Victims of Domestic Violence dalam Otmar Hagemann, et.al. Victimology, Victim Assistance and Criminal Justice,  Perspectives Shared by International Experts at the Inter-University Centre of Dubrovnik (Monchengladbach,  Niederrhein University of Applied Sciences Department of Social Work and Cultural Studies : 2009), hal. 166.

 

[13] Ibid.

 

[14] Ibid., hal. 167.

 

[15] Ibid.

 

[16] Dikutip dari Brosur ‘The Police and Coronial Process Information for Family and Friends’, Government of South Australia Commisioner of Victims Rights.

 

[17] Ibid.

[18] Dikutip dari Brosur berjudul ‘It’s Not Your Fault’ Men Talk About Living Beyond the Effects of Sexual Abuse.  RespondSA, Relationship Australia, South Australia.

 

[19] Van Der Wielen dalam Frans W. Winkel, Peer Support Groups : Evaluating the Mere Contact/ Mere Sharing Model and Impairment Hyphotheses,  International Perspectives in Victimology Volume 2 Number 1 July 2006, Tokiwa International Victimology Institute Journal, hal. 111.

 

[20] Sanja Copic and Jasmina Nikolic, The Development of Victim Support Services in Serbia dalam International Perspectives in Victimology Volume 2 Number 1 July 2006, Tokiwa International Victimology Institute Journal, hal. 115.

 

[21] Dikdik M. Arief Mansur, op.cit., hal. 172 – 178.

 

Read Full Post »

terlampir

Situasi Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia Setelah

PERAN NEGARA & LPSK

 

Read Full Post »