(Reed Lou)
Bila ada kota yang begitu mengapresiasi binatang Kucing dan sungai itulah kota Kuching di Serawak, Malaysia. Serawak adalah negara bagian Malaysia yang berbatasan darat dengan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Serawak adalah juga negara bagian terbesar di Federasi Malaysia. Luasnya hampir seluas Pulau Jawa. Walaupun penduduknya hanya berkisar 2.4 juta jiwa sahaja.
Kata Kuching berasal dari nama ‘Sungai Kuching’ dan ‘Bukit Kuching’, yang memang berlokasi di (saat ini) Kota Kuching. Kuching memang berarti ‘kucing’ juga dalam bahasa Indonesia. Bahkan pada satu sudut kota ada patung kucing yang menjadi iconkota ini disamping burung hornbills yang menjadi icon Sarawak. Bahkan nicknameuntuk kota Kuching memang ‘cat city’.
Landmark utama Kota Kuching adalah sungai bernama Sungai Sarawak yang membelah kota. Sungai ini tidak terlalu lebar (dibandingkan sungai Kapuas di Pontianak atau Mahakam di Samarinda) dan bermuara ke laut China Selatan yang tak jauh dari kota Kuching.
Ini yang banyak orang sering keliru. Ternyata Kota Kuching tidak berada di pinggir laut seperti halnya Kota Kinabalu, Johor Bahru ataupun Melaka. Kota Kuching berada di tepi Sungai Sarawak. Laut-nya sendiri tak berjarak jauh dari Kota Kuching, namun lebih disarati dengan tetumbuhan pantai khas muara yang juga cantik ketimbang pemukiman. Taman Nasional Bako yang indah, berjarak 40 km saja dari Kota Kuching.
Walau berada tak jauh dari perbatasan Kalimantan Barat, tapi nyata sekali bahwa Kuching adalah bukan bagian dan tidak sama dengan kota-kota di Indonesia. Alias,bukan Indonesia banget. Kota ini tertata rapi. Gedung –gedung tinggi banyak bertebaran di sela-sela bangunan-bangunan lama peninggalan British. Memang Kuching tidak se-sophisticated Shanghai, Hong Kong atau Singapore. Namun juga sulit untuk disebut bukan kota modern.
Sungai Serawak juga nampak diapresiasi sedemikian rupa. Diperlengkapi dengan ruang publik yang cukup luas. Waterfront Kuching, teras panjang di tepi Sungai Serawak. Adalah tempat dimana orang bebas untuk walking, jogging, bicycling, atau sekedar menumpang rehat dan makan di sejumlah kedai makan sederhana yang bertebaran di sepanjang waterfront. Jangan lewatkan nasi lemak, laksa serawak ataupun teh tarik bila berkunjung ke sana.
Operator pariwisata air turut mengambil momentum juga. Sepanjang waterfront Kuching banyak operator kapal dan perahu yang menawarkan paket perjalanan menyusuri Sungai Serawak, mengunjungi Bako National Park, bahkan menyusuri sungai hingga ke batas “Indon” (ini bahasa dari mereka ya, tercantum jelas dalam standing banner-nya). Tak sedikit dari mereka yang berasal dari Indonesia. Ada perahu yang bertuliskan ‘Mail Boyan’ yang kurang lebih bermakna “Ismail Bawean”.
Sepintas lalu, wajah Kuching tak jauh beda dengan kota Malaysia lain di Semenanjung Malaya. Wajah-wajah Melayu, Tionghoa, penduduk asli Sarawak. sampai Jawa, Bawean dan Bugis bertebaran dimana-mana. Hanya etnis Indian-Tamil yang saya lihat tak banyak terlihat. Kedai-kedai syarikat perniagaan didominasi oleh orang Tionghoa dan orang Melayu. Nampak nyata dari tulisan di muka kedai yang mengiklankan produk jualan mereka.
Bukti bahwa orang keturunan Jawa banyak bertebaran di Kuching adalah adanya kampong bernama Kampung Sorabaya, Kampung Gersik dan Kampung Boyan (baca : Bawean). Bawean bukan bagian dari Jawa ya, ia adalah pulau kecil di tengah Laut Jawa yang memang berlokasi paling dekat ke Jawa Timur. Eksistensi ketiga kampong warga Jatim ini terlihat betul pada peta Kuching. Mereka terletak pada sisi utara Sungai Serawak.
Eksistensi berikutnya nampak pada kedai makanan muslim. Tak sulit mendeteksi bahwa pemilik kedai adalah keturunan Indonesia. Dengarkanlah apa lagu yang diputar. Di kedai makan di ujung barat Waterfront Kuching terdengar lagu “Aku Bukan Bang Toyib” dari Wali, Lagu Rossa, Gombloh, “Aku Tak Biasa” Alda, dan lain-lain. Memang sih, tak mesti bahwa pemilik kedai adalah orang keturunan Indonesia. Kerana ramai orang Melayu Malaysia yang juga gemar dengan lagu daripada Indonesia.
Laksa Sarawak adalah menu terhebat yang menurut saya jangan dilewatkan kalau kita berkunjung ke Kuching. Mungkin kita akan menemukannya juga di resto Secret Recipeyang biasa bertengger di mal-mal di KL. Tapi kalau dimakan di kedai pinggir jalan di Kuching terasa lain. Terasa Sarawak sekali.
Tak jauh dari kedai makan Haji Umar yang saya tandangi, saya menangkap ungkapan-ungkapan bahasa Jawa Timuran dari tiga pemuda yang sedang duduk santai di tepi sungai. “Aku wis nang ngarep yo….” Ujar salah seorang dari mereka, yang bercakap dengan mengguna talipun bimbit (handphone). Aha. Seru saya dalam hati. Ini kawasan orang keturunan Jawa. Mereka bisa jadi pekerja migran (TKI). Bisa juga keturunan Jawa yang sudah tinggal bertahun lamanya di Kuching. Sebagian mungkin telah menjadi warganegara Malaysia. Sebagian lagi tidak.
Berbilang 200 meter dari ujung barat waterfront ada sebuah masjid bernama Masjid Bandaraya Kuching. Masjid ini besar sebenarnya, namun tak tampak dari luar. Terhalang kedai-kedai syarikat perniagaan. Pintu masuknya –pun serupa kedai. Tapi ternyata di dalamnya besar. Bentuk masjid dan tatacara beribadah-nya mirip masjid-masjid di Jawa.
Menjangkau Kuching-pun tak sulit dari Indonesia. Bisa menggunakan jalan darat dari Kota Pontianak di Kalbar atau via pesawat terbang. Via pesawat terbang bisa dengan Batavia Air atau MAS Wings dari Pontianak. Sayang ya tak ada direct flight dari Jakarta. Walau dulu pernah Air Asia terbang langsung dari Jakarta ke Kuching. Maka, anda yang berasal dari Jakarta, mesti mampir dulu ke Singapore, KL, Penang atau Kota Kinabalu dulu sebelum melanjutkan ke Kuching.
Akhirnya, saya hanya bisa bilang bahwa mengunjungi Kuching ini really worth visiting. Utamanya untuk mengunjungi waterfront dan Sarawak river di kala senja. So romantic. Good for young and old honeymooners. Dengan gedung Dewan Undangan Negeri menjulang tinggi di seberang bersebelahan dengan Astana (istana kediaman Yang Dipertuan Negeri Serawak) dan Fort Margherita yang tua namun cantik. Melihat cahaya bertaburan di sepanjang sungai, ditengahi riak gelombang tenang dari Sungai Serawak dan matahari yang perlahan terbenam di ufuk barat, akan memberikan nuansa tersendiri.
Terkadang saya iri. Kota Kuching dapat mengapresiasi sungai sedemikian rupa. Dapat menjadikan sungai sebagai ruang publik untuk rehat mata dan rehat badan. Secara percuma (gratis) pula. Semoga Palembang, Pontianak, Samarinda, Banjarmasin, Jambi dan pelbagai kota sungai lain-nya di Indonesia akan pula semakin memanjakan mata namun tetap ramah terhadap kantong para musafir…