Feeds:
Posts
Comments

Archive for August, 2012

ROHINGYA 101

ROHINGYA 101

by : Heru Susetyo & Nurul Islam

Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya-Arakan (PIARA)

 

TENTANG ROHINGYA, ARAKAN DAN RAKHINE

1. Rohingya adalah nama kelompok etnis yang tinggal di negara bagian Arakan/Rakhine sejak abad ke 7 Masehi.

2. Ada beberapa versi tentang asal kata “Rohingya”. Rohingya berasal dari kata“Rohang”, nama kuno dari “Arakan”. Sehingga orang yang mendiaminya disebut “Rohingya”. Versi lain menyebutkan bahwa istilah “Rohingya” disematkan oleh peneliti Inggris Francis Hamilton pada abad 18 kepada penduduk muslim yang tinggal di Arakan.

3. Etnis Rohingya bukanlah orang Bangladesh ataupun etnis Bengali. ‘Rohingya’adalah ‘Rohingya’. Nenek moyang Rohingya adalah berasal dari campuran Arab, Turk, Persian, Afghan, Bengali dan Indo-Mongoloid.

4. Populasi orang Rohingya saat ini diprediksi sekitar 1.5 juta – 3 juta jiwa. Dimana800.000-an tinggal di Arakan dan sisanya menyebar di banyak negara.

5. Arakan sebelum bergabung dengan Union of Myanmar pada 1948 berturut-turutdikuasai oleh kerajaan Hindu, Islam (abad 15-18), dan Buddhist.

6. Arakan adalah negara bagian dari Union of Myanmar yang terletak di sisi barat laut Myanmar berbatasan dengan Bangladesh. Nama Arakan berubah menjadi “Rakhine” pada tahun 1930 dan belakangan disebut juga “Rakhaing.”

7. Nama “Rakhine” merujuk pada etnis Rakhine Buddhist (Moghs), sehingga istilah“Rakhine” tidak mewakili etnis Rohingya muslim.

 

APA SAJA PROBLEM ROHINGYA?

1. Kebijakan “Burmanisasi” dan “Budhanisasi” yang mengeluarkan dan memarjinalkan warga Muslim Rohingya di tanahnya sendiri di Arakan.

2. Etnis Rohingya mengalami intoleransi karena mereka muslim dan identitas etnis dan ciri-ciri fisik dan bahasa mereka dianggap berbeda dengan mainstream. Oleh karenanya, mereka selalu menjadi subyek penyiksaan utamanya sejak 1962, ketika rezim militer U Ne Win mengambil alih pemerintahan negara Burma.

3. Rezim militer Thein Sein yang kini berkuasa juga menolak memberikankewarganegaraan Myanmar pada Rohingya. Lebih buruk lagi, ia memasukkan Rohingya pada daftar hitam (blacklisted).

4. Etnis Rohingya tidak sekali-sekali ingin merdeka dan memisahkan diri dari Union of Myanmar. Mereka hanya ingin diakui sebagai bagian dari warganegara Myanmar yang berhak untuk hidup bebas dari rasa takut dan kemiskinan. Bebas bergerak dan berpindah kemanapun serta bebas berekspresi, beribadah dan menjalankan keyakinan agamanya.

5. Adalah fitnah belaka menyebutkan perjuangan Etnis Rohingya adalah didukung dan dikelola oleh kelompok ‘teroris’ seperti Al Qaeda dan Jama’ah Islamiyah. Etnis Rohingya tidak ingin dan juga tidak punya kapasitas untuk menjadi kelompok teroris apalagi untuk mendirikan negara sendiri dengan cara-cara terror dan kekerasan.

6. Pada tahun 1948 – 1962 etnis Rohingya diakui sebagai salah satu dari 136 etnis  yang eksis di Myanmar.  Bahkan ada etnis Rohingya yang menjadi anggota parlemen dan menteri pada kabinet Myanmar sebelum tahun 1962.  Bahasa Rohingya-pun diakui sebagai salah satu bahasa pengantar di Burmese Broadcasting Service sebelum tahun 1962.   Seorang etnis Rohingya, Sultan Mahmud, sempat menjadi Menteri Kesehatan di Kabinet Myanmar sebelum tahun 1962 dan M.A. Gaffar,  juga seorang Rohingya,  menjadi anggota dan Sekretaris Parlemen Burma, juga sebelum tahun 1962. Ketika U Ne Win berkuasa pada 1962 maka mulailah pengingkaran etnis Rohingya sebagai etnis yang sah berkewarganegaraan Burma/ Myanmar.

7. Puncaknya adalah pada Undang-Undang Kewarganegaraan Burma tahun 1982 yang meniadakan Rohingya sebagai etnis yang diakui di Myanmar. Selanjutnya peniadaan ini adalah juga penghilangan dan pembatasan hak etnis Rohingya dalam hal :

a. Hak untuk bebas bergerak dan berpindah tempat

b. Hak untuk menikah dan memiliki keturunan

c. Hak atas Pendidikan

d. Hak untuk berusaha dan berdagang

e. Hak untuk bebas berkeyakinan dan beribadah

f. Hak untuk bebas dari penyiksaan dan kekerasan

7. Kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) yang dialami oleh etnis Rohingya antara lain :

a. Pembunuhan massal dan sewenang-wenang

b. Pemerkosaan

c. Penyiksaan

d. Penyitaan tanah dan bangunan

e. Kerja Paksa dan Perbudakan

f. Relokasi secara paksa

g. Pemerasan

8. Akibat kekerasan struktural yang berlangsung begitu panjang, maka warga Rohingya terpaksa mengungsi dan menjadi ‘manusia perahu’, mencari negeri aman yang mau menerima mereka di Asia Tenggara atau di negeri manapun di seluruh dunia. Tidak jarang para manusia perahu itu tenggelam ataupun mati karena kelaparan dan kehausan di tengah laut. Banyak pula yang ditahan atau diperlakukan semena-mena di negara-negara transit atau di negara-negara penerima mereka.

9. Saat ini ada 1.5 juta orang Rohingya yang terusir dan tinggal terlunta-lunta di luar Arakan/ Myanmar. Kebanyakan mereka mengungsi di Bangladesh, Pakistan, Saudi Arabia, UAE, Malaysia, Thailand, Indonesia dan lain-lain.

 

PEMBANTAIAN TERHADAP ROHINGYA

1. Terjadi sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Yang paling tragis berlangsung pada tahun 1942. Sekitar 100.000 orang Rohingya dibantai dan disempitkan ruang gerak dan tempat tinggal-nya menjadi hanya di negeri Arakan bagian utara (Northern Rakhine).

2. Pada 3 Juni 2012 warga Rakhine bekerjasama dengan militer Burma, polisi dan angkatan bersenjata melakukan pembantaian dan kekerasan terhadap 10 muslim Myanmar (non Rohingya) yang dalam perjalanan pulang dari Thandwe ke Mandalay dalam rangka perjalanan da’wah Jama’ah Tabligh; disinyalir ini adalah balas dendam yang berlebihan dan sistematis terhadap kasus perkosaan yang melibatkan dua Pria muslim dan satu Pria Buddhist terhadap seorang gadis Rakhine Buddhist, yang kebenarannya juga masih dipertanyakan.

3. Kekerasan di atas adalah bagian dari perencanaan dan serangan yang sistematis yang didesain untuk memusnahkan populasi Rohingya yang tersisa di Arakan dan menjadikan Arakan sebagai “muslim-free region.’ .

4. Jam malam dan pembatasan gerak ini diberlakukan di Arakan Utara selama duabulan, tapi hanya berlaku untuk warga Muslim. Tidak untuk warga Rakhine. Angkatan bersenjata hampir semua adalah Rakhine atau pro dengan Rakhine. Jam malam ini memberikan legitimasi untuk angkatan bersenjata dan ekstrimist Rakhine untuk membunuh, memperkosa, dan menangkap muslim Rohingya secara massal.

5. Target penangkapan adalah Ulama Rohingya dan pemuda-pemuda Rohingya yang terpelajar termasuk anak yang masih berusia di bawah 10 tahun. Mereka yang ditahan kemudian menjadi hilang ataupun tetap ditahan namun tanpa pengadilan sama sekali. Banyak juga yang kemudian dihukum mati.

6. Mereka yang lari dan mengungsi tak punya tempat mengungsi lain selain pergi ke hutan dan terusir ke laut.

 

MEDIA YANG BIAS DAN DISKRIMINATIF

1. Kekerasan di Arakan terhadap orang Rohingya mulanya tidak diketahui oleh dunia. Hanya media-media lokal yang anti muslim dan xenophobic yang dapat beroperasi dan menyebarkan informasi-informasi yang palsu (fabricated).

2. Petugas kemanusiaan banyak yang dihalangi untuk ke Arakan bahkan ditangkap. Bahkan pemerintah Myanmar memberi peringatan kepada PBB dan organ-organnya, UNHCR dan lembaga-lembaga kemanusiaan untuk melakukan kegiatan kemanusiaan di Arakan.

3. Dengan minimnya media yang independen, informasi yang akurat dan berimbang, ekstrimis Rakhine amat leluasa untuk melakukan kejahatan genosida tanpa diketahui oleh publik dunia.

 

KORBAN JIWA DAN KEKERASAN YANG DIALAMI PADA JUNI 2012

1. Warga Rohingya tak dapat pergi kemana-mana. Jangankan lagi pergi ke luarnegeri, di dalam daerahnya sendiri susah bergerak. Mereka dilemahkan dan dilumpuhkan. Kondisi ini membuat sukar mengetahui jumlah korban jiwa yang pasti.

2. Jumlah korban tewas dari warga Rohingya dan Rakhine diperkirakan sampai pertengahan Agustus berjumlah ratusan jiwa (sumber lain menyebutkan ribuan jiwa).

3. Sekitar 100.000 orang Rohingya terusir dan mengungsi ke tempat-tempat yang tidak aman.

4. Ratusan warga jadi korban penembakan dan tak mendapat penanganan medis yang memadai.

5. Ribuan warga Rohingya menderita kelaparan dan terjangkiti penyakit serius.

6. Jenazah warga Rohingya yang tewas tak dikembalikan kepada keluarganya, adalaporan bahwa jenazah tersebut dikremasi, dikubur di pekuburan massal ataupun dibuang ke laut.

7. Banyak warga Rohingya yang masih hilang dan diduga keras telah dibunuh.

 

PENGEBIRIAN AGAMA

1. Banyak masjid dan madrasah/ sekolah yang telah dihancurkan.

2. Sejak awal Juni 2012, hampir semua masjid di ibukota Arakan yaitu Sittwe/Akyab telah dihancurkan atau dibakar.

3. Banyak masjid dan madrasah di Maungdaw dan Akyab yang ditutup dan muslim tak boleh beribadah di dalamnya. Termasuk di bulan Ramadhan ini. Mereka yang mencoba untuk shalat akan ditangkap dan dihukum.

 

KOMENTAR PEMERINTAH MILITER MYANMAR

President Myanmar Thein Sein telah memperburuk krisis Rohingya Arakan denganmengatakan bahwa : “Rohingya are not our people and we have no duty to protectthem.’ Ia menginginkan supaya etnis Rohingya dikelola oleh UNHCR saja atau ditampung di negara ketiga yang mau menampungnya. Dia menyebut etnis Rohingya di Arakan sebagai : a ‘threat to national security’.

 

ETNIS ROHINGYA DALAM SITUASI HELPLESS DAN TERLUMPUHKAN

1. Orang Rohingya tidak punya teman di dalam negara Myanmar.

2. Slogan popular di Myanmar saat ini adalah : “Arakan is for Rakhines. Arakan and Buddhism are synonymous. There is no Rohingya in Arakan. Drive them out to their country– Bangladesh”.

3. Pemimpin oposisi Burma, Aung San Suu Kyi tetap diam tak bereaksi terhadapkasus Rohingya. Sikapnya normatif saja.

4. Menyedihkan bahwa Amerika Serikat dan Uni Eropa, termasuk Inggris terlalupercaya kepada pemerintah Myanmar untuk mengatasi krisis. Bahkan Inggris membuka kantor dagang di Naypydaw dan AS menghentikan penjatuhan sanksi untuk Myanmar.

5. Sangat memprihatinkan bahwa Bangladesh, negara tetangga terdekat dari Arakan, menutup pintu untuk pengungsi Rohingya dan mengirim mereka kembali ke laut.  Perdana Menteri Bangladesh Sheik Hasina dalam wawancara dengan media sudah menyebutkan bahwa masalah Rohingya adalah masalah Myanmar bukan masalah Bangladesh. Negeri Bangladesh sudah overcrowded, tak bisa lagi menampung pengungsi Rohingya.   Lebih jauh lagi,  tiga lembaga kemanusiaan internasional, MSF, ACF dan Muslim Aid UK juga dilarang beroperasi di Bangladesh dengan alasan akan membuat pengungsi Rohingya betah tinggal di Bangladesh.

 

SOLUSI UNTUK KRISIS ROHINGYA

1. Krisis Rohingya adalah karena konflik etnis dan penyiksaan atas dasar SARA.Mereka adalah korban dari kejahatan dan pembantaian yang disponsori oleh negara (state-sponsored massacre), dengan target utama adalah pembersihan etnis Rohingya.

2. Etnis Rohingya tidak memiliki ‘teman’ dan tak terlindungi di dalam maupun di luarnegara Myanmar. Walaupun secara normatif, sejatinya, hukum internasional dan instrumen HAM internasional telah mengatur perlindungan terhadap kelompok minoritas. Juga telah memiliki pengaturan terhadap kejahatan semacam genocide dancrime against humanity. Namun, dalam kasus kejahatan terhadap etnis Rohingya ini hukum HAM internasional seperti tidak berfungsi dan tidak berdaya.

3. Dari sisi hukum manapun tak dapat dipungkiri bahwa Rohingya adalah bagianintegral dari masyarakat Arakan, maka perlu ada desakan internasional untuk memaksa rezim Presiden Thein Sein untuk menghentikan segala bentuk penyiksaan Rohingya dan membatalkan UU Kewarganegaraan tahun 1982 yang mengeluarkan etnis Rohingya dari daftar etnis yang diakui di Myanmar.

4. Pemerintah Myanmar harus melahirkan hukum yang berdasarkan norma-normahukum internasional dan hak asasi manusia. Rasialisme sistematis, intoleransi dan Islamophobia harus dihentikan. Tidak ada satupun kelompok etnik yang dapat diberi label “ancaman terhadap keamanan nasional” oleh pemerintah dan rakyat Myanmar. Diskriminasi berdasarkan perbedaan etnis dan intoleransi agama sama sekali tak dapat diterima.

 

TUNTUTAN ROHINGYA

1. Mendesak Pemerintah Myanmar untuk menghentikan pembantaian dan kekerasan terhadap muslim Rohingya di Arakan.

2. Pemerintah Myanmar harus mengakui hak etnis Rohingya atas kewarganegaraan Myanmar.

3. Proses politik dan demokrasi Myanmar harus bersifat terbuka dan setara bagisemua etnis termasuk bagi etnis Rohingya.

4. Etnis Rohingya harus diperlakukan secara sama dan setara di Arakan danMyanmar. Hak-hak dan kebebasan mereka harus dihargai dan dijamin oleh negara dan oleh etnis-etnis lain yang hidup di Myanmar.

5. Mendesak PBB dan komunitas internasional serta semua pemerintah negara-negara di dunia untuk menekan pemerintah Myanmar untuk menghentikan segala bentuk kekerasan serta mengembalikan kedamaian dan keamanan di bumi Arakan.

6. Meminta kepada komunitas internasional dan NGO untuk memberikan bantuankemanusiaan kepada para korban kekerasan di Arakan dan di lokasi-lokasi pengungsian.

7. Meminta kepada PBB dan masyarakat internasional untuk menyelenggarakan misi investigasi independen yang imparsial dan obyektif terhadap pembantaian massal terhadap etnis Rohigya di Arakan.

8. Mendesak pemerintah Bangladesh untuk membuka perbatasannya untuk menerima pelarian etnis Rohingya yang terancam keselamatan dan keamanannya di Arakan.

9. Meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk mengambil inisiatif yang positif danproaktif sebagai negeri muslim terbesar di dunia, sekaligus sebagai tuan rumah dari Sekretariat ASEAN, untuk penyelesaian krisis Rohingya secara permanen.

10. Mendesak PBB untuk segera melakukan intervensi kemanusiaan ke Arakan untuk mencegah lahirnya pembunuhan baru, kekerasan, kerusakan dan perkosaan demi pemeliharaan kedamaian dan keamanan.

 

Jakarta, 12 August 2012

Read Full Post »

DUKA ETNIS ROHINGYA :

“JANGANKAN BERMIMPI TENTANG MASA DEPAN

MEMIKIRKAN HARI ESOK SAJA KAMI TAK BERANI”

 

By : Heru Susetyo

 Siang hari di awal Agustus 2012 itu Tokyo begitu terik.  Apalagi di lantai 4 bangunan bertingkat di dekat stasiun KA Shin Okubo, di barat Tokyo..  Ruangan  yang dikenal sebagai Islamic Center Shin Okubo itu menempati area yang kecil saja.  Tak ada AC, hanya kipas angin berkapasitas kecil.  Di lantai dua-nya ada toko kelontong dan makanan yang menjual produk-produk halal.  Banyak muslim berwajah Burma dan Asia Selatan lalu-lalang keluar masuk masjid dan toko tersebut.

 Di tempat yang lazim disebut sebagai ‘Masjid Burma” itu kami berjumpa dengan Zaw Min Htut, pemimpin orang Rohingya di Jepang atau lazim disebut sebagai President of Burmese Rohingya Association in Japan (BRAJ).  Kendati dikenal sebagai tokoh Rohingya, Zaw atau biasa dipanggil Lukman Hakim adalah pemuda 30-an yang berwajah klimis.  Jauh dari citra garang pemimpin pergerakan ala Che Guevarra atau Fidel Castro, misalnya.

Kendati demikian, gurat wajahnya dan kelam matanya menyiratkan bahwa Zaw sudah lama berkubang dalam penderitaan. “Saya sudah limabelas tahun meninggalkan Myanmar, dan saya tak bisa pulang sampai hari ini,” ujarnya dalam bahasa Inggris yang amat fasih.  “Dua bulan lalu ayah saya wafat, dan saya tetap tak bisa pulang, hanya mendoakannya dari kejauhan,” tutur Zaw dengan tabah.

“Saya meninggalkan Myanmar pada tahun 1998 ketika tengah studi di universitas di Yangoon (d/h Rangoon). Ketika itu ada aksi mahasiswa yang memprotes penguasa.  Saya termasuk pimpinan mahasiswa yang diburu tentara. Sehingga saya melarikan diri dan akhirnya berlabuh di Jepang dengan menyandang status sebagai pengungsi,” papar Zaw.

“Bagaimana saya meninggalkan Myanmar? Terus terang saya tergolong sedikit dari orang Rohingya yang beruntung bisa sekolah di Yangoon. Orangtua saya tergolong mampu dan mempunyai beberapa properti. Dengan modal tersebut saya bisa sekolah di Yangoon dan menjadi aktifis mahasiswa. Untuk alasan keamanan dan supaya mudah mendapatkan passport, saya juga harus menukar nama muslim saya menjadi nama Burma (Zaw Min Htut) dan berpura-pura seolah-olah bukan orang Rohingya.”

“Lalu, dengan modal passport palsu tersebut saya keluar Myanmar dan akhirnya berlabuh ke Jepang. Teman-teman saya, aktifis Rohingya yang lain, kebanyakan melarikan diri melalui Malaysia untuk kemudian ke negara ketiga yang mau menampung kami.  Sampai di Jepang bukan berarti masalah selesai.  Saya sempat ditahan oleh imigrasi selama setahun. Itu saat-saat sulit bagi saya yang membuat saya akhirnya menjadi perokok,” lanjut Lukman lagi.

Lukman memang sedikit dari orang Rohingya yang beruntung.  Bisa tinggal di negara maju seperti Jepang walaupun berstatus sebagai pengungsi. “Etnis Rohingya adalah kelompok masyarakat yang paling menderita di Myanmar.  Paling miskin dan juga paling tidak berpendidikan,” papar Lukman.  “Tapi kami di Jepang bisa hidup relatif lebih baik atas dukungan pemeriintah Jepang. Saya hidup di prefektur Saitama sekarang dengan seorang istri Rohingya dan dua anak.”

Masalah berikutnya, kaum muslimin maupun masyarakat internasional lainnya juga tidak banyak tahu dengan problem kekerasan di Arakan dan orang Rohingya.  Etnis  Rohingya adalah orang yang terlupakan (forgotten) dan termasuk yang paling teraniaya di dunia.  “Bahkan Palestina yang dijajah Israel puluhan tahun saja masih punya negara dan kaum muslimin dunia mendukung mereka habis-habisan.  Namun berbeda halnya dengan Rohingya,” tukas Lukman sendu.

Begitupun di Indonesia. Tidak banyak orang Indonesia yang tahu tentang etnis Rohingya. Jangankan memahami kasusnya, istilah `Rohingya` pun terasa asing di telinga. Sampai beberapa pekan terakhir ini kata `Rohingya` tiba-tiba menyesaki media-media di Indonesia.

Pemicunya adalah berita duka bertubi-tubi tentang kekerasan dan pembantaian yang terjadi terhadap muslim Rohingya di Arakan/ Rakhine, Myanmar. Tepatnya pada awal bulan Juni 2012 ketika terjadi konflik antara warga Arakan non muslim (Rakhine Buddhist) dengan muslim Arakan (Rohingya).  Konflik ini adalah buah dari informasi bahwa ada perkosaan terhadap wanita non muslim oleh pria muslim di Arakan. Berlanjut dengan tindakan pembalasan oleh warga non muslim. Sepuluh pria muslim Myanmar (Non Rohingya) dibantai ketika berada di dalam bus di Thandwe menuju Yangoon oleh 300-an warga Rakhine.

Kemudian konflik antar dua kelompok tak terhindarkan.  Terjadi saling bantai dan saling serang. Muslim Rohingya, karena berjumlah lebih sedikit dan beratus tahun terpinggirkan, lantas terdesak.  Ratusan desa muslim dibakar dan dihancurkan dan sekitar 850- 1000-an warga tewas.  Sekitar 90.000 ribuan lainnya terusir  atau tetap berdiam dalam penderitaan.  Karena hijrah ke bagian lain dari negara Myanmar adalah tidak mungkin.  Mengungsi ke Bangladesh, negeri yang berbatasan langsung, adalah juga tidak mungkin. Karena Bangladesh menolak masuknya pengungsi Rohingya.   Bangladesh sendiri adalah negeri miskin dengan luas wilayah kecil namun berpenduduk nyaris 150 juta jiwa. “Pengungsi Rohingya adalah masalah Myanmar bukan masalah Bangladesh, Myanmar-lah yang harus mengurusi mereka dan bukan kami. Negeri kami kecil dan sudah overpopulated,” ujar PM Bangladesh Hashina ketika diwawancara BBC

Dan itu adalah salah satu seri kekerasan terhadap warga Rohingya.  Sebelum dan sesudah merdekanya negara Myanmar (dulu bernama Burma) dari Inggris pada 4 Januari 1948 warga Rohingya kerap mengalami kekerasan dan diskriminasi. Keberadaan mereka tidak diakui sebagai salah satu etnis yang eksis di Myanmar dari 136 etnis yang ada. Ada saat keberadaan mereka diakui oleh Parlemen Myanmar yaitu pada tahun 1948 – 1962.  Lalu pada 1959 ada perwakilan Rohingya duduk di kabinet Myanmar.  Namun, sejak diktator U Ne Win berkuasa pada 1962 berlakulah horror yang lestari sampai sekarang.  Etnis Rohingya dikeluarkan dari daftar etnis yang eksis di Burma. Disusul UU Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982 yang tidak mencantumkan  Rohingya sebagai salah satu etnis yang diakui pemerintah Myanmar. Akibatnya, mereka-pun tidak diakui sebagai warganegara Myanmar (stateless). Sampai hari ini.

Mengenai istilah ‘Rohingya’ sendiri ada perdebatan.  Nama ‘Rohingya’ dianggap   bukan sebagai identitas etnis.  Lebih tepat sebagai identitas politik dan label yang disematkan oleh Francis Buchanan-Hamilton, dokter Inggris yang mengunjungi daerah Chittakaung pada akhir abad 18 untuk menyebut entitas muslim Arakan. Tidak ada makna yang jelas tentang apa arti kata ‘rohingya’ selain bahwa ia adalah label dan identitas untuk warga muslim Arakan tersebut.

Pendapat berbeda disampaikan Lukman Hakim. Menurutnya, “Rohingya” adalah juga identitas etnis.  Warga muslim Arakan tak keberatan disebut sebagai ‘Rohingya’. “ Istilah ‘Rohingya’ berasal dari ‘Rohang”, nama daerah di Arakan.  Maka orang yang tinggal di Rohang disebut sebagai ‘Rohingya’.  Sama seperti anda orang Indonesia, “Indonesia adalah nama wilayah dan nama orang yang berdiam di dalam-nya disebut sebagai Indonesian,”  ujar Lukman, mencoba membuat analogi.

Lukman juga menolak tegas bahwa etnis Rohingya adalah imigran dari Bangladesh dan punya keturunan Bengali. “Kami adalah orang Rohingya, bukan orang Bengali atau Bangladesh. Bahasa kami berbeda. Sejarah kami juga berbeda. Kami adalah percampuran Arab, Persia dan etnis local. Sampai sekarang saya juga tak bisa berbahasa Bengali,” jelas Lukman.

Rohingya bukan satu-satunya etnis minoritas yang menderita di Myanmar.  Ada etnis Kachin yang mayoritas kristiani,  lalu perlawanan etnis Chin, Kayah, Karen dan Shan.  Perbedaannya, hanya etnis Rohingya muslim yang demikian tak berdaya. Orang Kachin melawan pemerintah Myanmar dengan senjata api dan 20.000 tentara aktif. Juga gerakan separatis Karen. “Orang Rohingya hanya berjuang dengan tangan kosong dan paling bagus dengan pisau,” tambah Lukman.

Perbedaan berikutnya, ujar Lukman. “Kami berjuang bukan dalam rangka memisahkan diri dari Union of Myanmar seperti halnya gerakan separatis etnis minoritas lain. Kami berjuang dalam rangka survival karena justru kami ingin diakui sebagai bagian dari warganegara Myanmar.”

Saat ini, papar Lukman.  Muslim Rohingya terdesak hanya tinggal di 4 dari 17 kota kecamatan yang ada di Arakan/ Rakhine. Sebelumnya orang Rohingya mendiami sisi utara negara bagian Rakhine (sebelumnya bernama Arakan) di kota-kota Maungdaw, Buthidaung, Rathedaung, Akyab (Sittwe), Sandway, Tongo, Shokepro, Rashong Island, dan Kyauktaw. Namun kini orang Rohingya bertahan hanya di empat kota saja, antara lain di Maungdaw, Buthidaung dan Sittwe..

Kendati Burma telah merdeka pada tahun 1948, namun warga Rohingya tak pernah merdeka. Mereka terus menerus mengalami kekerasan.  Pembantaian dalam skala besar terhadap warga Rohingya terjadi berturut-turut pada tahun 1942, 1948, 1978, 1992 -1993 dan akhirnya pada Juni 2012.

Pada saat bersamaan ada sekitar 300.000 pengungsi Rohingya di Bangladesh dan jumlah yang cukup signifikan di Thailand, Malaysia, Pakistan, India, Timur Tengah dan beberapa yang memperoleh status pengungsi atau suaka politik di Inggris, AS, Jepang dan beberapa negara lainnya.  “Kalau dijumlahkan secara total ada sekitar 1.5 juta jiwa orang Rohingya. Sekitar 800.000 hidup di Arakan dan selebihnya mengungsi dan hidup menderita sebagai pendatang tak diinginkan di banyak negara,” kata Lukman.

Masalahnya, apabila mereka tidak ditampung di negara lain, hendak kemana mereka pergi? Lukman mengatakan : “Brother, perhaps it is easier for you to dream about the future, but for us, Rohingya People, never dream about the future since we  are also not sure whether we still have tomorrow…”

Kegalauan Lukman Hakim amat beralasan. Presiden Myanmar Thein Sein sudah mengatakan di forum internasional pada Juli 2012 supaya warga Rohingya mencari negara lain saja di luar Myanmar atau PBB mencarikan tempat penampungan lain di luar Myanmar.  Myanmar tidak welcome dengan orang Rohinya dan siap mendeportasi mereka. Suatu pernyataan yang ahistoris dan tidak pantas, dari seorang kepala negara yang berdaulat.

Atas nama kemanusiaan, keadilan dan hak asasi manusia, sudah sepantasnya dunia memikirkan secara bersama-sama solusi permanen untuk Rohingya.  Tanggung jawab utama dan pertama jelas terletak pada negara Myanmar yang sejak awal berdirinya telah menegasikan eksistensi bangsa Rohingya.  Termasuk yang wajib memperjuangkan warga Rohingya adalah icon  perjuangan demokrasi Myanmar, Daw Aung San Suu Kyi.  “Terus terang kami kecewa dengan Daw Aung San karena dia  diam saja ketika berhadapan dengan masalah Rohingya,” tukas Lukman.

Sebelum menutup perjumpaan kami, Lukman berpesan supaya Indonesia dan pemerintah Indonesia memainkan peran lebih proaktif terhadap persoalan Rohingya. “Indonesia  adalah negeri demokrasi yang bebas dan berpenduduk muslim terbesar sedunia.  Indonesia juga adalah pendiri ASEAN dan bahkan sekretariat ASEAN ada di Jakarta. Kami mohon kepada Presiden Indonesia untuk menekan pemerintah Myanmar supaya menghentikan kekerasan di Arakan dan menetapkan solusi permanen permasahan Rohingya di Arakan secara damai. Akui kami sebagai manusia yang sama seperti anda, yang berhak untuk hidup bebas dari rasa takut dan kemiskinan….

Read Full Post »

LONCENG KEMATIAN MULTIKULTURALISME BARAT

Heru Susetyo

Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia

dan Advokat pada PAHAM Indonesia

hsusetyo@ui.ac.id

Dunia barat, apakah Eropa ataupun Amerika Utara dan Australia, adalah suatu paradoks multikulturalisme.  Ide-ide besar tentang kebebasan, persamaan dan hak asasi manusia tumbuh dan berkembang di Eropa Barat dan Amerika Utara. Bahkan, beberapa abad lamanya Eropa Barat dan Amerika Utara menjadi rujukan utama untuk belajar kebebasan, persamaan, HAM dan demokratisasi. Namun, di dunia barat juga sikap-sikap intoleran terhadap kultur, ras, etnis dan bangsa lain tetap tumbuh subur.  Masih banyak  penduduk barat yang berkehendak negerinya cukup dihuni oleh satu etnis saja. Satu identitas kultur yang bersifat homogen. Bukan untuk pendatang berkulit berwarna.  Apalagi imigran muslim.

Pada dataran tertentu,  sikap intoleran ini bisa berkembang menjadi racism dan xenophobia.   Ketakutan berlebihan terhadap orang-orang asing atau yang dianggap berbeda dari mainstream.  Geert Wilders, anggota parlemen Netherlands yang membuat film Fitna pada 2008 yang sarat dengan kebencian terhadap Islam dan imigran muslim adalah contoh ekstrem-nya.     Geert menyamakan Al Qur’an dengan Mein Kampf, ‘kitab suci’-nya Hitler.  Menolak rencana pembangunan masjid-masjid baru di Netherlands. Aktif berkampanye menentang masuknya imigran muslim ke Netherlands atas nama ‘anti Islamisasi Netherlands’.

Contoh ekstrem lain adalah Anders Behring Breivik,  teroris Norwegia yang membom gedung di Oslo (8 orang tewas) dan menembak massal kumpulan pemuda Partai Buruh Norwegia yang tengah camping pada 22 Juli 2011 (69 orang tewas) di pulau .  Alasan pembantaian Breivik sederhana.  Negara Norwegia dan Partai Buruh terlalu membuka ruang untuk imigran muslim.  Muslim disebutnya suatu waktu akan mengambil alih tanah Norwegia.  Maka, Breivik hadir sebagai ‘martir’ untuk menyelamatkan Norwegia dan Eropa dari Muslim dan mempertahankan Eropa sebagai ‘Christendom.’  Hasil pemeriksaan medis pada 10 April 2012 menyebutkan bahwa ketika  melakukan aksi terror tersebut Breivik dalam keadaan sadar dan tidak gila.

Jangan lupakan juga kasus Marwa El Sherbini.   Muslimah Mesir yang tinggal di Dresden, Jerman ini dibunuh oleh seorang xenophobist lain, Alex Wiens, warganegara Jerman keturunan Russia,  persis di dalam ruang pengadilan Dresden pada 1 Juli 2009.  Ia ditikam 15 kali dan suaminya 16 kali.  Marwa menjemput syahid-nya dan suaminya koma selama dua hari namun tetap hidup.  Parahnya,  pada saat kejadian Marwa tengah hamil tiga bulan dan penikaman dilakukan persis di depan anaknya yang berusia tiga tahun.  Tak cukup itu,  polisi Dresden kemudian salah menembak.  Suami Marwa, Okaz, yang melawan serangan Alex hingga ikut ditikam berkali-kali malah dianggap pelaku oleh polisi dan ditembak kakinya.

Peristiwa ini memancing kemarahan besar dari kaum muslim Eropa dan dunia.  Marwa kemudian disebut sebagai “martyr of hijab”.  Sebab,  serangan Alex kepada Marwa bermula dari hinaan verbal-nya kepada Marwa di suatu taman bermain anak di Dresden pada Agustus 2008.  Pertengkaran akibat berebut fasilitas bermain anak antara Alex dan Marwa berujung dengan hinaan Alex yang menyebut Marwa sebagai : “islamist’, “terroris” dan “slut” (pelacur).  Marwa melaporkan Alex kepada polisi hingga akhirnya ia disidangkan di pengadilan.  Namun pengadilan ternyata bukan tempat yang aman.  Alex tetap bisa membawa pisau dan menikam Marwa dan suaminya di dalam pengadilan.

Di level komunal,  gejala ketidaktoleranan terhadap kultur lain dapat dilihat di Belgia.  Negeri kecil Belgia dengan luas wilayah tak lebih luas dari Jawa Barat sudah beberapa lama terbelah.   Antara bagian utara yang berbahasa Belanda (Vlaam atau Flemish) dan bagian selatan yang berbahasa Perancis (Wallonia).   Antara tahun 2010 – 2011 sekitar 541 hari Belgia tak memiliki pemerintahan.  Karena  dua partai dengan suara terbanyak dari dua bagian negara yang berbeda selalu tak memiliki kesepakatan untuk membentuk pemerintahan.  Kecurigaan dan prasangka antar penduduk maupun kelompok politik  berbeda bahasa terus berkembang.  Padahal,  total penduduk Belgia hanya 11 juta jiwa.

Negeri Spanyol setali tiga uang.  Negeri sepakbola tersohor sejagat ini tak sepenuhnya damai.  Masih ada riak-riak ketidakpuasan terhadap pemerintahan Madrid.  Daerah  Catalan di sisi tenggara Spanyol dan Basque di Utara selalu menuntut otonomi hingga pemisahan diri dari pemerintah pusat di Madrid.   Sentimen ini berkembang hingga ke jagat sepakbola.  Kompetisi antara dua raksasa sepakbola Spanyol (bahkan Dunia), Real Madrid dan Barcelona, tak sepenuhnya kompetisi olahraga murni.  Karena Real Madrid bercokol di Madrid dan secara historis adalah representasi otoritarianisme Madrid. Sementara Barcelona bercokol di kota Barcelona yang  merupakan kota terbesar di daerah Catalan.  Daerah yang secara historis memiliki keengganan untuk bergabung dengan Federasi Spanyol di Madrid.   Laga sepakbola antara kedua jawara ini selalu diwarnai dengan celotehan bernada fanatisme, kebencian (hate crimes), hingga separatisme.  Sport is not just sport.

Masih di jagat bola.  Tak sekedar menjadi tontonan paling menarik sejagat.  Sepakbola Eropa adalah juga pentas fanatisme berlebihan yang tak jarang berbuah pada rasisme dan penghinaan.  Pemain sepakbola berkulit hitam dan yang berasal dari negeri muslim, acapkali mendapat hinaan.  Dari sesama pemain, pelatih maupun penonton dan media massa.   Samuel Eto’o, pesepakbola Barcelona berkulit hitam, diteriaki sebagai ‘monyet’ dan dilempari kacang ketika ia menguasai bola oleh fans dari Real Zaragoza pada Februari 2005.    Patrice Evra, pesepakbola Manchester United berkulit hitam, dihina oleh pemain Liverpool, Luis Suarez pada 15 Oktober 2011.  Berulangkali Suarez menghina Evra dengan mengatakan ‘negro’, ‘saya tak mau bicara dengan negro’, dan lain-lain.  Hinaan mana berujung pada dilarangnya Suarez bermain di delapan pertandingan plus didenda 40.000 poundsterling.

Jose Mourinho, pelatih legendaris dunia  yang pernah membesut FC Porto, Chelsea, Inter Milan dan kini Real Madrid  pernah dikecam karena komentar-nya terhadap pemain muslim Inter Milan asal Ghana, Sulley Muntari, pada Agustus 2009.  Performa Sulley yang dianggap merosot dianggap oleh Mourinho karena Sulley menjalankan puasa Ramadhan.   Komentar ini menuai kritik keras dari pemimpin muslim Eropa.

Tak hanya individu dan masyarakat umum.  Negara-pun bisa mendukung sikap tidak toleran dan anti multikulturalisme.  Masih ingat dalam benak kita betapa pemerintah dan parlemen Prancis meloloskan begitu saja Undang-Undang yang melarang penggunaan dan penampakkan simbol-simbol agama seperti jilbab bagi muslimah, kippa bagi Yahudi dan kalung salib bagi Kristiani di sekolah-sekolah publik pada Maret 2004.  Kebijakan ini adalah atas nama melindungi sekularisme Perancis  dan menjaga ‘netralitas’ lembaga publik dari simbol-simbol agama.  Berlaku buat para siswa, guru maupun tenaga administrasi.   Dan, bisa diduga.  Korban-korban-pun bermunculan.  Sejumlah siswi muslimah jadi subyek diskriminasi di sekolah publik, hanya karena memilih berhijab.

Tak cukup itu.  Apabila pelarangan hijab hanya berlaku di sekolah publik, maka pada September 2010 parlemen Perancis mensahkan UU yang melarang penggunaan burqa (cadar/ penutup wajah) di seantero Perancis.  Pengambilan keputusan di parlemen sangat dramatis. Dimana hanya 1 suara menolak sementara 246 suara lainnya setuju pelarangan burqa.   Kenyataan ini sangat ironis.  Mengingat di Perancis ada beberapa tempat yang legal sebagai nudist beach (pantai dimana orang bebas bertelanjang ria), sementara mereka yang ber-burqa malah dilarang  dan yang berjilbab dibatasi.

Sikap tidak toleran dan xenophobic juga ternyata memakan korban hampir semua strata.  Tidak hanya warga berpenghasilan rendah dan imigran miskin.  Dalam kasus Marwa El Sherbini,  ia adalah apoteker yang bekerja di Rumah Sakit di Dresden.  Sementara suaminya adalah peneliti untuk program Doktor di universitas.  Selebriti juga tanpa pengeculian.  Aktor legendaris Bollywood Shah Rukh Khan, tanggal 12 April 2012 lalu ditahan oleh imigrasi AS di White Plains Airport dekat New York City selama dua jam sebelum bisa memasuki tanah Amerika.   Alasannya, antara lain, karena nama belakangnya adalah ‘Khan’  yang berkonotasi sebagai nama muslim. Jadi,  kata siapa dunia barat penuh dengan toleransi dan penghargaan terhadap multikulturalisme?

Read Full Post »

KEKERASAN NEGARA SUMBU KONFLIK MYANMAR

(Tanggapan untuk Hamid Awaluddin)

 

Heru Susetyo

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia/

Aktifis Pusat Informasi dan Advokasi Arakan Rohingya (PIARA)/

 

 Membaca tulisan Hamid Awaluddin di Kompas 21 Agustus 2012 dengan judul ‘Sumbu Konflik Myanmar’ saya tak bisa menahan diri saya untuk tidak menanggapi.    Apa yang disampaikan mantan Menhukham dan Dubes RI di Russia ini bisa jadi benar ketika bicara tentang rehabilitasi pascakonflik,  ketika bicara tentang perlunya program-program peace-building antara kedua kelompok yang bertikai dan seterusnya.

Namun, ketika bicara masalah akar konflik, saya melihat Hamid Awaludin terlalu menyederhanakan masalah.   Memang konflik di negeri Arakan/ Rakhine ini kurang tepat untuk disebut sebagai konflik agama.  Lebih tepat disebut konflik etnis, dimana kedua etnis yang bertikai (Rohingya muslim dan Rakhine Buddhist mewakili dua kelompok etnis yang berbeda yang ‘kebetulan’ keduanya mewakili dua agama yang berbeda.  Saya-pun sepakat bahwa agama bukanlah penyebab lahirnya konflik.   Walaupun identitas kelompok tertentu sebagai penganut agama tertentu, tak dipungkiri adalah salah satu sebab kelompok lainnya memerangi kelompok tersebut.  Alias, identitas agama adalah suatu dasar pembeda yang membuat suatu kelompok terus menerus dibenci (hatred) atau diperangi .

Kemudian Hamid Awaludin menyebutkan kemiskinan sebagai akar masalah di Myanmar.   Bahwasanya kemiskinan adalah berkontribusi terhadap lahirnya konflik memang betul.  Namun kemiskinan saja tak dapat disalahkan sebagai penyebab tunggal apalagi penyebab utama lahirnya konflik.  Kekerasan negara atau kekerasan yang disponsori, difasilitasi dan diamini negara adalah penyebab utama konflik di Arakan.

Dan pemerintah Myanmar yang didominasi oleh etnis Burma bukan hanya melakukan kekerasan dan dan diskriminasi terhadap muslim Rohingya, tapi juga kepada umat Kristiani dan etnis non mayoritas lain seperti Shan, Kachin, Karen, Chin, dan lain-lain.

Namun perbedaannya, etnis-etnis minoritas lain yang menjadi korban kekerasan negara adalah tetap diakui eksistensi dan kewarganegaraan Myanmar-nya sementara etnis Rohingya tidak.  Padahal pada tahun 1948 – 1962, saat pemerintahan U Nu berkuasa di Burma, etnis Rohingya diakui secara legal maupun politis sebagai etnis yang eksis di Myanmar.  Bahkan, sebelum tahun 1962, Sultan Mahmud, seorang etnis Rohingya, pernah menjadi Menteri Kesehatan Burma dan M.A. Gaffar, juga Rohingya, pernah menjadi anggota dan sekretaris parlemen Myanmar (AFK Jilani, 2005).  Lebih dari itu, bahasa Rohingya juga pernah menjadi salah satu bahasa pengantar di Burmese Broadcasting Service di era pemerintahan U Nu sebelum tahun 1962 (Benedict Rogers, 2012).

Ketika pemerintahan U Ne Win berkuasa pada 1962, mulailah terjadi peminggiran dan pengingkaran terhadap eksistensi Rohingya di negara Burma.  Berbagai macam operasi militer dan keamanan dilakukan yang berbuah pada penghilangan nyawa, penculikan, penghancuran rumah dan rumah ibadah, penyiksaaan fisik dan perkosaaan, perbudakan, penyitaan harta benda, hingga pembatasan bergerak, bahkan untuk ke desa tetangga sekalipun !

Puncaknya terjadi pada tahun 1982 ketika UU Kewarganegaraan Myanmar mengeluarkan Rohingya dari daftar delapan  etnis utama  (yaitu Burmans, Kachin, Karen, Karenni, Chin, Mon, Arakan, Shan) dan 135  kelompok etnis kecil lainnya.  Status etnis Rohingya diturunkan (downgrade) menjadi hanya ‘temporary residents’ yang menyandang ‘temporary registration cards,’ (Benedict Rogers, 2012).

Padahal, Etnis Rohingya sudah tinggal di Arakan sejak abad ke -7 Masehi,  alias jauh sebelum negara Myanmar merdeka tahun 1948 dan negara Bangladesh merdeka pada 1971.   Negeri Arakan bergabung bergabung dengan Union of Burma pada tahun 1948 bersama-sama dengan tujuh negeri lain yang mewakili kelompok etnis  yang berbeda.  Anehnya,  kendati daerahnya dianggap sebagai bagian dari negara Burma/ Myanmar tapi etnis yang berdiam di dalamnya, yaitu Rohingya, dianggap tidak ada.

Rohingya sendiri adalah nama kelompok etnis yang tinggal di negara bagian Arakan/

Rakhine sejak abad ke 7 Masehi berdampingan dengan etnis Rakhine/ Rakhaing yang beragama berbeda.  Ada beberapa versi tentang asal kata “Rohingya”. Rohingya berasal dari kata “Rohang”, nama kuno dari “Arakan”. Sehingga orang yang mendiaminya disebut “Rohingya”. Versi lain menyebutkan bahwa istilah “Rohingya” disematkan oleh peneliti Inggris Francis Hamilton pada abad 18 kepada penduduk muslim yang tinggal di Arakan.

Kemudian,   Hamid Awaludin  menyebutkan bahwa etnis Rohingya berasal dari etnis Be ngali.  Ini juga  tidak tepat. Etnis Rohingya bukanlah orang Bangladesh ataupun etnis Bengali. ‘Rohingya’adalah ‘Rohingya’. Nenek moyang Rohingya adalah berasal dari campuran  keturunan Arab, Turk, Persian, Afghan, Mughal, Bengali dan Indo-Mongoloid. Bahasa Rohingya sendir berbeda dengan bahasa Bengali dan tak mengenal bahasa tulisan  hanya bahasa percakapan.

Maka akar konflik di Myanmar adalah kekerasan negara atau kekerasan yang disponsori, difasilitasi dan diamini negara.  Perbedaan etnis dan agama menjadi komoditas untuk memicu dan melestarikan kekerasan negara tersebut. Diskriminasi, intoleransi dan xenophobia adalah produk dari kekerasan negara yang target utamanya adalah peminggiran etnis Rohingya dari Union of Myanmar melalui serangkaian program Burmanisasi.  Yang tidak hanya menghantam muslim Rohingya tapi juga warga Kristen dan etnis minoritas lain di Myanmar.

President Myanmar Thein Sein sendiri telah memperburuk krisis Rohingya Arakan dengan mengatakan bahwa : “Rohingya are not our people and we have no duty to protect them.’ Ia menginginkan supaya etnis Rohingya dikelola oleh UNHCR saja atau ditampung di negara ketiga yang mau menampungnya. Lebih jauh lagi, dia menyebut etnis Rohingya di Arakan sebagai : a ‘threat to national security’.

Etnis Rohingya tidak sekali-sekali ingin merdeka dan memisahkan diri dari Union of Myanmar. Mereka hanya ingin diakui sebagai bagian dari warganegara Myanmar yang berhak untuk hidup bebas dari rasa takut dan kemiskinan. Bebas bergerak dan berpindah kemanapun serta bebas berekspresi, beribadah dan menjalankan keyakinan agamanya.

Akibat kekerasan struktural yang berlangsung begitu panjang, maka warga Rohingya terpaksa mengungsi dan menjadi ‘manusia perahu’, mencari negeri aman yang mau menerima mereka di Asia Tenggara atau di negeri manapun di seluruh dunia. Tidak jarang para manusia perahu itu tenggelam ataupun mati karena kelaparan dan kehausan di tengah laut. Banyak pula yang ditahan atau diperlakukan semena-mena di negara-negara transit atau di negara-negara penerima mereka.

Maka, kemiskinan memang berperan terhadap terjadinya konflik di Arakan. Tapi kemiskinan saja tanpa kekerasan dan kebencian etnis yang disponsori negara tak akan melahirkan konflik latent seperti yang terjadi di Arakan.  Solusi terbaik untuk konflik di Arakan adalah hentikan kekerasan negara dan kekerasan kelompok atas nama SARA, akui eksistensi dan kewarganegaraan etnis Rohingya, selenggarakan program-program peace-building, serta bangun kembali negeri Arakan sehingga mencapai tingkat kesejahteraan yang memadai dengan bekerjasama dengan negeri-negeri dan organisasi kemanusiaan internasional yang berjuang semata-mata untuk perdamaian dan kemanusiaan.

 

Read Full Post »