Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Advocacy and Activism’ Category

Heru Islamic Digest Republika Ahad 310520150001

Read Full Post »

advokasi sosial pada UU 11 th 2009 – 23 Nov 2011

manajemen advokasi -Nov 2012

SYSTEMS ADVOCACY FOR DISASTER VICTIMS-Heru Susetyo

 

Read Full Post »

Read Full Post »

Read Full Post »

ROHINGYA 101

ROHINGYA 101

by : Heru Susetyo & Nurul Islam

Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya-Arakan (PIARA)

 

TENTANG ROHINGYA, ARAKAN DAN RAKHINE

1. Rohingya adalah nama kelompok etnis yang tinggal di negara bagian Arakan/Rakhine sejak abad ke 7 Masehi.

2. Ada beberapa versi tentang asal kata “Rohingya”. Rohingya berasal dari kata“Rohang”, nama kuno dari “Arakan”. Sehingga orang yang mendiaminya disebut “Rohingya”. Versi lain menyebutkan bahwa istilah “Rohingya” disematkan oleh peneliti Inggris Francis Hamilton pada abad 18 kepada penduduk muslim yang tinggal di Arakan.

3. Etnis Rohingya bukanlah orang Bangladesh ataupun etnis Bengali. ‘Rohingya’adalah ‘Rohingya’. Nenek moyang Rohingya adalah berasal dari campuran Arab, Turk, Persian, Afghan, Bengali dan Indo-Mongoloid.

4. Populasi orang Rohingya saat ini diprediksi sekitar 1.5 juta – 3 juta jiwa. Dimana800.000-an tinggal di Arakan dan sisanya menyebar di banyak negara.

5. Arakan sebelum bergabung dengan Union of Myanmar pada 1948 berturut-turutdikuasai oleh kerajaan Hindu, Islam (abad 15-18), dan Buddhist.

6. Arakan adalah negara bagian dari Union of Myanmar yang terletak di sisi barat laut Myanmar berbatasan dengan Bangladesh. Nama Arakan berubah menjadi “Rakhine” pada tahun 1930 dan belakangan disebut juga “Rakhaing.”

7. Nama “Rakhine” merujuk pada etnis Rakhine Buddhist (Moghs), sehingga istilah“Rakhine” tidak mewakili etnis Rohingya muslim.

 

APA SAJA PROBLEM ROHINGYA?

1. Kebijakan “Burmanisasi” dan “Budhanisasi” yang mengeluarkan dan memarjinalkan warga Muslim Rohingya di tanahnya sendiri di Arakan.

2. Etnis Rohingya mengalami intoleransi karena mereka muslim dan identitas etnis dan ciri-ciri fisik dan bahasa mereka dianggap berbeda dengan mainstream. Oleh karenanya, mereka selalu menjadi subyek penyiksaan utamanya sejak 1962, ketika rezim militer U Ne Win mengambil alih pemerintahan negara Burma.

3. Rezim militer Thein Sein yang kini berkuasa juga menolak memberikankewarganegaraan Myanmar pada Rohingya. Lebih buruk lagi, ia memasukkan Rohingya pada daftar hitam (blacklisted).

4. Etnis Rohingya tidak sekali-sekali ingin merdeka dan memisahkan diri dari Union of Myanmar. Mereka hanya ingin diakui sebagai bagian dari warganegara Myanmar yang berhak untuk hidup bebas dari rasa takut dan kemiskinan. Bebas bergerak dan berpindah kemanapun serta bebas berekspresi, beribadah dan menjalankan keyakinan agamanya.

5. Adalah fitnah belaka menyebutkan perjuangan Etnis Rohingya adalah didukung dan dikelola oleh kelompok ‘teroris’ seperti Al Qaeda dan Jama’ah Islamiyah. Etnis Rohingya tidak ingin dan juga tidak punya kapasitas untuk menjadi kelompok teroris apalagi untuk mendirikan negara sendiri dengan cara-cara terror dan kekerasan.

6. Pada tahun 1948 – 1962 etnis Rohingya diakui sebagai salah satu dari 136 etnis  yang eksis di Myanmar.  Bahkan ada etnis Rohingya yang menjadi anggota parlemen dan menteri pada kabinet Myanmar sebelum tahun 1962.  Bahasa Rohingya-pun diakui sebagai salah satu bahasa pengantar di Burmese Broadcasting Service sebelum tahun 1962.   Seorang etnis Rohingya, Sultan Mahmud, sempat menjadi Menteri Kesehatan di Kabinet Myanmar sebelum tahun 1962 dan M.A. Gaffar,  juga seorang Rohingya,  menjadi anggota dan Sekretaris Parlemen Burma, juga sebelum tahun 1962. Ketika U Ne Win berkuasa pada 1962 maka mulailah pengingkaran etnis Rohingya sebagai etnis yang sah berkewarganegaraan Burma/ Myanmar.

7. Puncaknya adalah pada Undang-Undang Kewarganegaraan Burma tahun 1982 yang meniadakan Rohingya sebagai etnis yang diakui di Myanmar. Selanjutnya peniadaan ini adalah juga penghilangan dan pembatasan hak etnis Rohingya dalam hal :

a. Hak untuk bebas bergerak dan berpindah tempat

b. Hak untuk menikah dan memiliki keturunan

c. Hak atas Pendidikan

d. Hak untuk berusaha dan berdagang

e. Hak untuk bebas berkeyakinan dan beribadah

f. Hak untuk bebas dari penyiksaan dan kekerasan

7. Kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) yang dialami oleh etnis Rohingya antara lain :

a. Pembunuhan massal dan sewenang-wenang

b. Pemerkosaan

c. Penyiksaan

d. Penyitaan tanah dan bangunan

e. Kerja Paksa dan Perbudakan

f. Relokasi secara paksa

g. Pemerasan

8. Akibat kekerasan struktural yang berlangsung begitu panjang, maka warga Rohingya terpaksa mengungsi dan menjadi ‘manusia perahu’, mencari negeri aman yang mau menerima mereka di Asia Tenggara atau di negeri manapun di seluruh dunia. Tidak jarang para manusia perahu itu tenggelam ataupun mati karena kelaparan dan kehausan di tengah laut. Banyak pula yang ditahan atau diperlakukan semena-mena di negara-negara transit atau di negara-negara penerima mereka.

9. Saat ini ada 1.5 juta orang Rohingya yang terusir dan tinggal terlunta-lunta di luar Arakan/ Myanmar. Kebanyakan mereka mengungsi di Bangladesh, Pakistan, Saudi Arabia, UAE, Malaysia, Thailand, Indonesia dan lain-lain.

 

PEMBANTAIAN TERHADAP ROHINGYA

1. Terjadi sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Yang paling tragis berlangsung pada tahun 1942. Sekitar 100.000 orang Rohingya dibantai dan disempitkan ruang gerak dan tempat tinggal-nya menjadi hanya di negeri Arakan bagian utara (Northern Rakhine).

2. Pada 3 Juni 2012 warga Rakhine bekerjasama dengan militer Burma, polisi dan angkatan bersenjata melakukan pembantaian dan kekerasan terhadap 10 muslim Myanmar (non Rohingya) yang dalam perjalanan pulang dari Thandwe ke Mandalay dalam rangka perjalanan da’wah Jama’ah Tabligh; disinyalir ini adalah balas dendam yang berlebihan dan sistematis terhadap kasus perkosaan yang melibatkan dua Pria muslim dan satu Pria Buddhist terhadap seorang gadis Rakhine Buddhist, yang kebenarannya juga masih dipertanyakan.

3. Kekerasan di atas adalah bagian dari perencanaan dan serangan yang sistematis yang didesain untuk memusnahkan populasi Rohingya yang tersisa di Arakan dan menjadikan Arakan sebagai “muslim-free region.’ .

4. Jam malam dan pembatasan gerak ini diberlakukan di Arakan Utara selama duabulan, tapi hanya berlaku untuk warga Muslim. Tidak untuk warga Rakhine. Angkatan bersenjata hampir semua adalah Rakhine atau pro dengan Rakhine. Jam malam ini memberikan legitimasi untuk angkatan bersenjata dan ekstrimist Rakhine untuk membunuh, memperkosa, dan menangkap muslim Rohingya secara massal.

5. Target penangkapan adalah Ulama Rohingya dan pemuda-pemuda Rohingya yang terpelajar termasuk anak yang masih berusia di bawah 10 tahun. Mereka yang ditahan kemudian menjadi hilang ataupun tetap ditahan namun tanpa pengadilan sama sekali. Banyak juga yang kemudian dihukum mati.

6. Mereka yang lari dan mengungsi tak punya tempat mengungsi lain selain pergi ke hutan dan terusir ke laut.

 

MEDIA YANG BIAS DAN DISKRIMINATIF

1. Kekerasan di Arakan terhadap orang Rohingya mulanya tidak diketahui oleh dunia. Hanya media-media lokal yang anti muslim dan xenophobic yang dapat beroperasi dan menyebarkan informasi-informasi yang palsu (fabricated).

2. Petugas kemanusiaan banyak yang dihalangi untuk ke Arakan bahkan ditangkap. Bahkan pemerintah Myanmar memberi peringatan kepada PBB dan organ-organnya, UNHCR dan lembaga-lembaga kemanusiaan untuk melakukan kegiatan kemanusiaan di Arakan.

3. Dengan minimnya media yang independen, informasi yang akurat dan berimbang, ekstrimis Rakhine amat leluasa untuk melakukan kejahatan genosida tanpa diketahui oleh publik dunia.

 

KORBAN JIWA DAN KEKERASAN YANG DIALAMI PADA JUNI 2012

1. Warga Rohingya tak dapat pergi kemana-mana. Jangankan lagi pergi ke luarnegeri, di dalam daerahnya sendiri susah bergerak. Mereka dilemahkan dan dilumpuhkan. Kondisi ini membuat sukar mengetahui jumlah korban jiwa yang pasti.

2. Jumlah korban tewas dari warga Rohingya dan Rakhine diperkirakan sampai pertengahan Agustus berjumlah ratusan jiwa (sumber lain menyebutkan ribuan jiwa).

3. Sekitar 100.000 orang Rohingya terusir dan mengungsi ke tempat-tempat yang tidak aman.

4. Ratusan warga jadi korban penembakan dan tak mendapat penanganan medis yang memadai.

5. Ribuan warga Rohingya menderita kelaparan dan terjangkiti penyakit serius.

6. Jenazah warga Rohingya yang tewas tak dikembalikan kepada keluarganya, adalaporan bahwa jenazah tersebut dikremasi, dikubur di pekuburan massal ataupun dibuang ke laut.

7. Banyak warga Rohingya yang masih hilang dan diduga keras telah dibunuh.

 

PENGEBIRIAN AGAMA

1. Banyak masjid dan madrasah/ sekolah yang telah dihancurkan.

2. Sejak awal Juni 2012, hampir semua masjid di ibukota Arakan yaitu Sittwe/Akyab telah dihancurkan atau dibakar.

3. Banyak masjid dan madrasah di Maungdaw dan Akyab yang ditutup dan muslim tak boleh beribadah di dalamnya. Termasuk di bulan Ramadhan ini. Mereka yang mencoba untuk shalat akan ditangkap dan dihukum.

 

KOMENTAR PEMERINTAH MILITER MYANMAR

President Myanmar Thein Sein telah memperburuk krisis Rohingya Arakan denganmengatakan bahwa : “Rohingya are not our people and we have no duty to protectthem.’ Ia menginginkan supaya etnis Rohingya dikelola oleh UNHCR saja atau ditampung di negara ketiga yang mau menampungnya. Dia menyebut etnis Rohingya di Arakan sebagai : a ‘threat to national security’.

 

ETNIS ROHINGYA DALAM SITUASI HELPLESS DAN TERLUMPUHKAN

1. Orang Rohingya tidak punya teman di dalam negara Myanmar.

2. Slogan popular di Myanmar saat ini adalah : “Arakan is for Rakhines. Arakan and Buddhism are synonymous. There is no Rohingya in Arakan. Drive them out to their country– Bangladesh”.

3. Pemimpin oposisi Burma, Aung San Suu Kyi tetap diam tak bereaksi terhadapkasus Rohingya. Sikapnya normatif saja.

4. Menyedihkan bahwa Amerika Serikat dan Uni Eropa, termasuk Inggris terlalupercaya kepada pemerintah Myanmar untuk mengatasi krisis. Bahkan Inggris membuka kantor dagang di Naypydaw dan AS menghentikan penjatuhan sanksi untuk Myanmar.

5. Sangat memprihatinkan bahwa Bangladesh, negara tetangga terdekat dari Arakan, menutup pintu untuk pengungsi Rohingya dan mengirim mereka kembali ke laut.  Perdana Menteri Bangladesh Sheik Hasina dalam wawancara dengan media sudah menyebutkan bahwa masalah Rohingya adalah masalah Myanmar bukan masalah Bangladesh. Negeri Bangladesh sudah overcrowded, tak bisa lagi menampung pengungsi Rohingya.   Lebih jauh lagi,  tiga lembaga kemanusiaan internasional, MSF, ACF dan Muslim Aid UK juga dilarang beroperasi di Bangladesh dengan alasan akan membuat pengungsi Rohingya betah tinggal di Bangladesh.

 

SOLUSI UNTUK KRISIS ROHINGYA

1. Krisis Rohingya adalah karena konflik etnis dan penyiksaan atas dasar SARA.Mereka adalah korban dari kejahatan dan pembantaian yang disponsori oleh negara (state-sponsored massacre), dengan target utama adalah pembersihan etnis Rohingya.

2. Etnis Rohingya tidak memiliki ‘teman’ dan tak terlindungi di dalam maupun di luarnegara Myanmar. Walaupun secara normatif, sejatinya, hukum internasional dan instrumen HAM internasional telah mengatur perlindungan terhadap kelompok minoritas. Juga telah memiliki pengaturan terhadap kejahatan semacam genocide dancrime against humanity. Namun, dalam kasus kejahatan terhadap etnis Rohingya ini hukum HAM internasional seperti tidak berfungsi dan tidak berdaya.

3. Dari sisi hukum manapun tak dapat dipungkiri bahwa Rohingya adalah bagianintegral dari masyarakat Arakan, maka perlu ada desakan internasional untuk memaksa rezim Presiden Thein Sein untuk menghentikan segala bentuk penyiksaan Rohingya dan membatalkan UU Kewarganegaraan tahun 1982 yang mengeluarkan etnis Rohingya dari daftar etnis yang diakui di Myanmar.

4. Pemerintah Myanmar harus melahirkan hukum yang berdasarkan norma-normahukum internasional dan hak asasi manusia. Rasialisme sistematis, intoleransi dan Islamophobia harus dihentikan. Tidak ada satupun kelompok etnik yang dapat diberi label “ancaman terhadap keamanan nasional” oleh pemerintah dan rakyat Myanmar. Diskriminasi berdasarkan perbedaan etnis dan intoleransi agama sama sekali tak dapat diterima.

 

TUNTUTAN ROHINGYA

1. Mendesak Pemerintah Myanmar untuk menghentikan pembantaian dan kekerasan terhadap muslim Rohingya di Arakan.

2. Pemerintah Myanmar harus mengakui hak etnis Rohingya atas kewarganegaraan Myanmar.

3. Proses politik dan demokrasi Myanmar harus bersifat terbuka dan setara bagisemua etnis termasuk bagi etnis Rohingya.

4. Etnis Rohingya harus diperlakukan secara sama dan setara di Arakan danMyanmar. Hak-hak dan kebebasan mereka harus dihargai dan dijamin oleh negara dan oleh etnis-etnis lain yang hidup di Myanmar.

5. Mendesak PBB dan komunitas internasional serta semua pemerintah negara-negara di dunia untuk menekan pemerintah Myanmar untuk menghentikan segala bentuk kekerasan serta mengembalikan kedamaian dan keamanan di bumi Arakan.

6. Meminta kepada komunitas internasional dan NGO untuk memberikan bantuankemanusiaan kepada para korban kekerasan di Arakan dan di lokasi-lokasi pengungsian.

7. Meminta kepada PBB dan masyarakat internasional untuk menyelenggarakan misi investigasi independen yang imparsial dan obyektif terhadap pembantaian massal terhadap etnis Rohigya di Arakan.

8. Mendesak pemerintah Bangladesh untuk membuka perbatasannya untuk menerima pelarian etnis Rohingya yang terancam keselamatan dan keamanannya di Arakan.

9. Meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk mengambil inisiatif yang positif danproaktif sebagai negeri muslim terbesar di dunia, sekaligus sebagai tuan rumah dari Sekretariat ASEAN, untuk penyelesaian krisis Rohingya secara permanen.

10. Mendesak PBB untuk segera melakukan intervensi kemanusiaan ke Arakan untuk mencegah lahirnya pembunuhan baru, kekerasan, kerusakan dan perkosaan demi pemeliharaan kedamaian dan keamanan.

 

Jakarta, 12 August 2012

Read Full Post »

attached

PEREMPUAN INDONESia dan ketenagakerjaan

Read Full Post »

Perempuan dalam Hukum Keluarga

Perempuan dalam Hukum Keluarga 1072010 – Heru Susetyo

Read Full Post »

HUMAN RIGHTS VIOLATIONS AND IMPUNITY IN GAZA

 

By : Heru Susetyo

Human Rights Lawyer  for Indonesian Victims of Freedom Flotilla/

Chairman of Advisory Board

Indonesian Center for Law and Human Rights Advocacy (PAHAM)

 

 

Since the illegal inception of the state of Israel,  Palestinians and the land of Palestine have been the subject of  massive human rights violations committed by Israel.  The ongoing conflict induced by Israeli occupation up to now (2011) have produced not only political crisis but also gross violation of human rights, grave breaches of humanitarian law and massive crimes against humanity.

Particularly in Gaza Strip. The blockade or siege of Gaza Strip  since 2006 and subsequent actions conducted by Israel such as Operation Cast Lead 27 December 2008 – 18 January 2009 and interception of humanitarian aid Freedom Flotilla  were constituted as human rights crimes and grave breaches of Geneva Convention 1949.  According to Geneva Convention,  civilians and combatants who were sick or being as Prisoners of War (POW)  are clearly not military targets. Therefore, must be protected by the protecting powers.

 

The Interception of Freedom Flotilla 2010

Given  an example of interception of humanitarian aid Freedom Flotilla on Monday May 31st 2010.  The flotilla was right on the high sea of Mediterranean Sea  around 73 miles off Gaza Coastline.  This brutal attack killed eight Turkish and one Turkish-American and injured around fifty people on board of Mavi Marmara vessel (Including two Indonesians). Moreover, Israel subsequently confiscated private belongings of the victims and unilaterally confiscated all the vessels  belonged to  Flotilla.

The report of UN Human Rights Council International Fact-Finding Mission (September 2010) on this case concluded that the action of Israeli Defence Forces in intercepting the Mavi Marmara in the circumstances and for the reasons given on the high sea was clearly unlawful.  The action cannot be justified in the circumstances even under article 51 of the UN Charter.

Furthermore, UN Human Rights Council mentioned that the conduct of the Israeli military and other personnel towards the flotilla passengers was not only disproportionate to the occasion but demonstrated levels of totality unnecessary and incredible violence.  It betrayed an unacceptable level of brutality. Such conduct cannot be justified or condoned on security or any other grounds.  It constituted grave violations of human rights law and international humanitarian law.

On the interception of Freedom Flotilla, the Fact Finding Mission found clear evidence that following offences have been committed by Israeli Defence Forces :

  • Wilful killing
  • Torture or inhuman treatment
  • Wilfully causing great suffering or serious injury to body or health.
  • Unlawfully seized the property

 

The offences mentioned above are constituted violation to some rights enshrined in international human rights law as follows :

  • Right to life (article 6 International Covenant on Civil and Political Rights- ICCPR)
  • Torture and other cruel ,inhuman or degrading treatment or punishment (article 7 ICCPR and Convention Against Torture – CAT)
  • Right to liberty and security of the person and freedom from arbitrary arrest or detention (article 9 ICCPR)
  • Rights of detainees to be treated with humanity and respect for the inherent dignity of the human person (article 10 ICCPR)
  • Freedom of expression (article 9 ICCPR)
  • Right to an effective remedy

 

The Blockade of Gaza

The blockade of Gaza Strip since 2006 is a clear violation of international human rights law.  The Report of United Nations Fact Finding Mission on Gaza Conflict lead by Justice Richard Goldstone on 15 September 2009 mentioned that during the blockade, Gaza Strip were enormously suffered as follows :

  • Suffered from economic an political isolation imposed by Israel on Gaza Strip
  • Suffered from restriction on the goods that can be imported into Gaza and the closure of border crossings for people, goods and services. Sometimes for days.
  • The cuts on the provision of fuel and electricity
  • Gaza’s economy is severely affected by the reduction of the fishing zone open to Palestinian fishermen and the establishment  of a ‘buffer zone’ along the border  between Gaza and Israel which reduces the land availabe for agriculture and industrial activity.
  • In addition to creating and emergency situation, the blockade significantly weakened the capacities of the population and of the health, water and other public sectors to react to the emergency created by the military operations.

 

 

Human Rights Violations During Operation Cast Lead

During the attack of Gaza Strip by Israeli Defence Force between 27 December 2008 – 18 January 2009,  Palestinians who lost their life during the military operations were between 1387 – 1417 (source : NGO) and 1444 (source : Gaza Authorities).  On the other hand,  only 13 Israeli were killed. Ten soldiers and one civilian.  Instead of taking lives, Justice Goldstone’s mission also noted that the IDF had committed some offences and war crimes as follows :

  • Attacking government buildings, main prison and persons of Gaza authorities including police (six police stations destroyed and 99 police were killed)
  • Indiscriminate attacks by Israeli forces resulting in the loss of life and injury to civilians
  • The attack of Al Fakhoora Junction in Jabaliya next to UNRWA School (Children School)
  • Deliberate attack against the civilian population
  • The use of certain weapons : white phosporous, flechette missile and DIME (Dense Inert Metal Explosive)
  • Attacks on the foundations of civilian life in Gaza : destruction of industrial infrastructure, food production, water installations, sewage treatment and housing
  • The use of Palestinian civilians as human shields
  • Deprivation of liberty  : Gazan detained during the Operation Cast Lead
  • Detention of Palestinians in Israeli Prisons; since the beginning of the occupation, approximately 700.000 Palestinian men, women and children have been detained by Israel. As at 1st June 2009, there were apporoximately 8100 Palestinian ‘political prisoners’ in detention in Israel, including 60 women and 390 children.

 

The Impunity

The gross violation of human rights committed by Israel to Palestinian and Palestine land since the inception of Israel in 1948 with three example mentioned above (Interception of Freedom Flotilla May 2010, blockade of Gaza since 2006 and Operation Cast Lead  27 Dec 2008 – 17 Jan 2009) are, unfortunately, seemed to be ignored by International Tribunal.

Hundreds of resolutions on Israeli-Palestine conflict have been issued by the UN, many UN Fact Finding Missions have worked to investigate the crimes committed by Israel (as well as by Palestine) and many condemnations have been made by states as well as international organizations.  However, the show still go on.    Israel still commits crime and violate many rights of Palestinians.

Sadly, international mechanism seemed to be unable to bring Israeli perpetrators to justice.  Condemnations are made but still none of the perpetrators are brought to justice.  Isreal is also not a state party to Rome State 1998 which establishing International Criminal Court (ICC) in The Hague.  New victims are victimized day by day but Israeli perpetrors are still untouchable.

Last example from Freedom Flotilla incident.  Nine of Turkish have been brutally killed but none of the perpetrators were brought to justice.  Not in Tel Aviv, not in Ankara or Istanbul (Turkey), not in The Hague or everywhere in the world.   Not only trial,  even the compensation and restitution for victims have not been made.

 

Expectations

From this ASPAC Conference on Palestine 2011  I do expect that people in Asia Pacific will always support the justice and humanity in Palestine.  Also to address all human rights violations occured in Palestine conflict by remembering them, not forgetting them and doing tireless campaign to end the injustice.  More specifically, to always keep an eye and support all efforts to bring the Israeli Perpetrators to justice at all levels.  Local, national, regional or international levels.

 

What we are doing for Palestine

Indonesian Center for Law and Human Rights Advocacy (PAHAM – Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia) as internatonal human rights advocacy NGO based in Indonesia and founded by  young muslim activists and young  muslim lawyers has always been striving to support the people of Palestine and to end the injustice in Palestine.   The human rights NGO has, so far, doing campaign, fundraising, demonstration/ rally and joining international lawyers to defend the rights of people of Palestine and international activists who support the humanity in Palestine (on Freedom Flotilla case).  Further,  PAHAM activists have participated on Gaza Strip Site Visit in 2010 along with other Indonesian activists.

 

 

 

Contact :  heru.susetyo@gmail.com   or +62 (0)81310922211 (mobile)

Blog       :  http://herunuswanto.com

 

 

Read Full Post »

Mavi Marmara Report

Read Full Post »