Feeds:
Posts
Comments

Archive for November, 2014

Istanbul Adalet Sarayi1 Istanbul Adalet Sarayi2 Istanbul Adalet Sarayi3

 

ADIL WAJIB NYAMAN JUGA PERLU:

CATATAN DARI PENGADILAN ISTANBUL

Heru Susetyo*

Sebagai advokat dan pengacara yang sering mengunjungi dan bersidang di pelbagai pengadilan di Indonesia dalam kurun waktu 15 tahun terakhir,  mengunjungi pengadilan Istanbul di Turki adalah sesuatu yang amat berharga.

Kesempatan itu datang pada Oktober 2013.   Sebagai kuasa hukum enam korban Indonesia di MV Marmara (Freedom Flotilla to Gaza May 2010)  saya diundang oleh IHH, lembaga kemanusiaan Turki yang bermarkas di Istanbul, untuk menghadiri court hearing dengan agenda mendengarkan keterangan dan testimoni para korban dan saksi-saksi penyerangan tentara Israel ke kapal relawan kemanusiaan tersebut yang terjadi di Laut Tengah pada subuh hari 31 Mei 2010.

Dengan menumpang van yang disediakan IHH, kami, para pengacara lintas negara,  berangkat dari Hotel Berr di Akdeniz Cad, Fatih menuju Pengadilan Istanbul yang berlokasi di Distrik Caglayan, di pagi hari itu . Di benak saya kami akan menjumpai pengadilan dengan arsitektur kuno, aristokrat dan kental nuansa sakral-nya.  Mirip dengan pengadilan-pengadilan di Inggris atau Amerika yang  ‘sangar’ dan nampak berwibawa.

Namun, setelah tiba di Pengadilan Istanbul,  tebakan saya ternyata meleset.   Alih-alih menjumpai gedung tua dengan arsitektur ‘sangar’, Pengadilan Istanbul (Turkish : Istanbul Caglayan Adalet Sarayi) atau lazim disebut Istana Keadilan Istanbul (Istanbul Palace of Justice) adalah sangat modern.  Dengan arsitektur kontemporer, tinggi menjulang dengan bangunan-bangunan besar berhimpun berbentuk setengah lingkaran (atau mirip tapal kuda) yang terbagi dalam empat blok (blok A, B, C dan D).

Pengadilan keren yang diresmikan pada Juli 2011  ternyata adalah juga pengadilan terbesar yang pernah ada di benua Eropa (lokasinya di Istanbul-Eropa) menurut wikipedia.   Luasnya sekitar 300.000m2, berlantai 19, dan di dalamnya terdapat 326 ruang sidang, 267 kantor jaksa penuntut umum, 442 ruangan hakim, lalu ada pulang ruangan conference yang dapat menampung 354 orang dan ruang seminar dengan kapasitas 50 orang.  Tak cukup itu,  istana keadilan ini juga memiliki ruangan-ruangan untuk pengacara, restoran, cafeteria, perpustakaan, tempat penitipan anak (day-care center), kantor pos,  bank dan juga klinik kesehatan. Hebatnya,  tak semua ruangan menjulang ke atas,  paling tidak ada tiga lantai yang terletak di bawah tanah (underground).   Sesuatu yang tidak ada atau jarang ditemukan di pengadilan-pengadilan di Indonesia kecuali Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Wajarlah,  untuk mengawasi dan mengelola istana sebesar ini total sekitar 5000 orang dipekerjakan,  diluar 275 petugas keamanan dan 30 orang polisi.

Kesan seram terhadap pengadilan memang tak kentara disini.  Karena dari luar gedung indah ini tak nampak sama sekali sebagai pengadilan. Namun,  begitu memasuki gedung barulah nampak wibawanya.  Untuk masuk ke gedung ini semua orang harus melalui metal detector dan juga scanning barang bawaan.  Dengan ruang sidang dan lantai teramat banyak,  Istana Keadilan ini memang lebih mirip mall ataupun gedung perkantoran modern.  Yang membedakannya hanyalah security yang ada dimana-mana dan himbauan untuk menjaga ketertiban.

Disamping kesan keamanan yang tinggi,  kesan ramah dari suatu ruang publik juga tersaji disana. Masih di lantai 1 (ground floor) yang sekaligus lobby digelar pameran lukisan (atau tepatnya pedagang yang menjual lukisan), dimana lukisan-lukisan tersebut digeletakkan berdekatan dengan dua patung Dewi Keadilan yang berdiri kokoh menggenggam pedang dan timbangan.  Kalau anda pernah ke pengadilan di Indonesia, niscaya pemandangan seperti itu tidak akan ada !

Namun yang paling menarik adalah Istana Keadilan ini seperti all in one atau one stop shopping untuk semua perkara.  Semua jenis pengadilan dan aparatnya nyaris diakomodasi  semua di dalam empat blok gedung-gedung  besar ini. Tak seperti pengadilan di Indonesia yang terpisah-pisah dalam beberapa lokasi, di dalam Istana Keadilan ini  ada pengadilan pidana (Agir Ceza Mahkemesi), pengadilan konsumen (Tuketici Mahkemesi), pengadilan pidana tingkat pertama (Asliye ceza mahkamesi), magistrate court (sulh hukuk mahkemesi), pengadilan hak atas kepemilikan intelektual (HAKI) atau  fikri sinal haklar hukuk mahkemesi, pengadilan keluarga/ family court atau aile mahkemesi, magistrate court (sulh hukuk mahkemesi),  pengadilan hubungan industrial (is mahkemesi), juga ada pengadilan eksekusi (icra mahkemesi) dan lain sebagainya.  Ruang untuk jaksa penuntut umum (Cumhuriyet savcilari) dan para hakim  (yargiz/ hakeem) serta para pengacara (avukat) juga tersedia.

Saya berkesempatan mengikuti persidangan yang tenang di salah satu ruangan di lantai 3.  Saking banyaknya ruang sidang, saya bingung di bagian mana ruangan saya.  Apalagi untuk masuk ke lantai ruang persidangan harus pula melalui detector dan security yang ketat.   Sayapun sempat menjajal restoran-nya yang modern dan bergaya bak restoran di hotel-hotel dengan para pelayan yang juga berdandan rapi dan modis.  Harga makanan memang tak dapat dikatakan murah,  namun kalau rasa-nya bolehlah bersaing.

Yang paling menarik adalah tempat shalat-nya.  Terletak di lantai bawah tanah,  musholla ini cukup luas dan nyaman serta sejuk.  Disini semua seragam dilepaskan,  siapa hakim, jaksa, polisi, pengacara atau warga biasa tak terlalu kentara.  Karena mereka berdiri dalam shaf yang sama dan beribadah dengan cara yang sama.

Pemandangan di luar gedung tak kalah menarik.  Tempat parkir yang tersedia begitu luas.  Juga tersedia  ruang kosong yang cukup luas di sekitar pengadilan.  Ruangan mana kerap digunakan untuk aksi massa/  demontrasi.   Pada saat saya disana,  ratusan massa yang dikoordinasi IHH berkumpul di luar gedung pengadilan untuk mendukung penyidikan dan pengadilan yang maksimal bagi tersangka empat jenderal Israel dalam kasus Mavi Marmara.

Sepulang dari kunjungan setengah hari di Istana Keadilan tersebut saya semakin tercerahkan.   Pengadilan dimana-mana memang harus memberikan keadilan, juga menjamin rasa aman.  Namun Pengadilan Istanbul memberikan lebih dari itu.  Yaitu kenyamanan dan kemudahan.  Semoga suatu waktu pengadilan-pengadilan di Indonesia bisa seperti itu.  Berlokasi satu tempat saja,  all for one,  mudah diakses dan memberikan kenyamanan, tanpa melupakan keadilan dan keamanan.

 

—————–

*Staf pengajar tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Advokat/ Pengacara Publik pada PAHAM Indonesia/ heru.susetyo@live.com

 

 

 

Read Full Post »

Heru Susetyo Family at Cambodia Royal Palace Phnom Penh Heru Susetyo Family at Ho Chi Minh City Jan 2011 Heru Susetyo Family at Penang Airport Heru Susetyo Family in Angkor Wat Cambodia

 

MENJADI BOLANG DENGAN AIR ASIA

 Heru Susetyo*

             Tanpa sengaja,  terjadi dengan sendirinya,  bisa dibilang saya adalah “Si Bolang’ (Bocah Petualang) Air Asia.  Hampir setiap dua bulan sekali saya terbang dengan Air Asia,  ke banyak tujuan berbeda di Asia.  Walau seringnya adalah berpergian ke Bangkok, tempat saya studi doktoral sejak tahun 2007 akhir.  Saking seringnya menjajal Air Asia,  saya jadi hafal juga terminal transit-nya di LCCT KLIA (sebelum pindah ke KLIA2).  Saya hafal sekali dimana letak restoran enak yang menyediakan nasi lemak atau laksa sarawak, letak kedai buku, surau, lokasi Tune Hotel, jalur parkir bus ke KL dan sebagainya.

Ketika Air Asia kemudian memiliki direct flight Jakarta-Bangkok (Alhamdulillah),  petualangan saya dengan Air Asia dari hub di LCCT tak lantas tamat.  Apalagi kemudian saya memiliki credit card HSBC Air Asia dan belakangan jadi member dari BIG.  Maka,  di sela-sela perkuliahan di Bangkok sejak akhir 2007 saya bepergian ke banyak destinasi Air Asia.

Paspor saya mencatat, saya bolak balik ke Vietnam (Hanoi dan Ho Chi Minh City) dengan Air Asia.  Ke Cambodia (Siem Reap, Phnom Penh), Myanmar (Yangoon),  India (Kolkata),  Sri Lanka (Colombo), ke kota-kota besar di Malaysia (Penang, Johor, Kota Bharu, Kuching, Kota Kinabalu), Singapore, juga beberapa kota di Indonesia (Medan, Makassar, Surabaya, Bali) dengan Air Asia.   Jangan kata lagi Thailand,  Air Asia membawa saya merambah negeri  gajah putih ini mulai dari ujung selatan di Hat Yai, Krabi, dan Phuket,  hingga Chiang Mai dan Udon Thani di ujung utara.   Alhamdulillah saya sempat juga menjajal rute terjauh saya dengan Air Asia,  yaitu Kuala Lumpur – Haneda (Tokyo) di tahun 2013 dan Bali – Perth (Australia) di tahun 2014.

Tak betah terbang sendirian,  saya menularkan kegilaan saya travelling dengan Air Asia kepada istri dan keempat anak saya.  Bersama istri,  saya  travelling dari Jakarta ke Ho Chi Minh City,  lanjut ke Bangkok, Phuket dan akhirnya Jakarta, pada tahun 2010.  Lalu,  bersama istri dan keempat anak saya pada tahun 2011, kami terbang dari Jakarta ke Penang,  lalu Penang ke KL,  KL ke Phuket,  Phuket ke Bangkok,  Bangkok ke Ho Chi Minh City, dan akhirnya pulang ke Jakarta.    Tak kurang kami berenam, enam kali terbang dengan Air Asia dalam kurun waktu tujuh hari saja.  Sehingga anak saya nomor tiga,  Faris, berkomentar, “Naik Air Asia lagi, yah?’ saking seringnya.

Sekeluarga juga pada tahun 2013 kami bepergian ke Bali,  kemudian dari  Bali ke Surabaya dan akhirnya ke Jakarta.  Lalu beberapa saat setelah Idul Fitri 2013 usai, kami sekeluarga menjajal Air Asia ke Siem Reap (Cambodia) via KL untuk melongok keindahan Angkor Wat.  Lalu kami meneruskan perjalanan dengan bus ke Phnom Penh, ibukota Cambodia, untuk menikmati panorama Royal Palace Cambodia dan Sungai Mekong. Dari Phnom Penh kami kembali ke Jakarta via KL dengan Air Asia.  Kemudian,  tak cukup menikmati pesawatnya,  kami juga pernah  menikmati Tune Hotel di KL, Kuching, dan Kota Kinabalu.

Motto Air Asia ‘Everyone Can Fly’ terasa betul bagi saya dan keluarga.  Itulah sebabnya sampai kini saya terus memantau informasi terkini dari Air Asia.  Promo-promo teranyar dari Air Asia tak pernah saya lewatkan.  Saya bagi tahu juga informasi tersebut ke teman-teman saya sehingga orang curiga saya jadi ‘marketer’ atau bekerja untuk Air Asia. Ha ha ha.

Lalu, lama kelamaan saya juga belajar sendiri kiat terbang dengan Air Asia.  Kalau saya rasa tiket direct flight Air Asia sedang tak akrab dengan kantong saya,  maka saya tempuh penerbangan transit.  Misalnya,  untuk menuju  Jakarta dari Bangkok saya bisa gunakan enam jalur.  Pertama, direct flight Bangkok-Jakarta.  Kedua, transit via KL baru ke Jakarta.  Ketiga,  transit via Singapore, baru ke Jakarta.  Keempat,  transit via Penang.  Kelima, via Phuket-Thailand dan akhirnya via Medan,  baru ke Jakarta.

Maka,  Air Asia akhirnya bukan saja membuat setiap orang mudah terbang,  tapi juga membuat orang lebih memiliki kebebasan dan kemandirian dalam mengatur dan mengelola sendiri jadwal terbangnya.  Terimakasih Air Asia !

*Traveller dan Writer,  sehari-hari bekerja sebagai Dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Advokat

Read Full Post »