Feeds:
Posts
Comments

Archive for May, 2020

https://nasional.sindonews.com/read/17265/18/mencegah-korupsi-di-era-covid-19-1588619138

mencegah-korupsi-di-era-covid19-zsi

Heru Susetyo

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Peneliti Antikorupsi

VIRUS korona baru alias Covid-19 adalah musibah akbar seluruh umat manusia saat ini, tak terkecuali di Indonesia. Namun, bagi sebagian koruptor atau calon koruptor di Indonesia, Covid-19 bak “angin segar”.

Baca Juga:

Ketika perhatian dan trending topics seluruh dunia (termasuk di Indonesia) terpusat ke korona, korona, dan coran, disadari atau tidak, publik mulai lupa dengan kasus-kasus terkait korupsi di negeri ini. Apakah kasus PT Asuransi Jiwasraya, PT Asabri, kasus dugaan penyuapan Harun Masiku terhadap anggota KPU Wahyu Setiawan (WS), dan peradilan tersangka kasus penyerangan Novel Baswedan.

Dalam kasus Jiwasraya, BPK menyebutkan bahwa total kerugian negara mencapai Rp16,81 triliun. Terdiri atas kerugian negara (akibat) investasi saham Rp4,65 triliun dan kerugian negara akibat investasi di reksadana Rp12,16 triliun.

Adapun total nilai aset yang disita dari para tersangka Jiwasraya baru menyentuh Rp13,1 triliun. Aset yang disita berupa tanah, bangunan, saham, kendaraan, dan perhiasan. Enam tersangka sudah ditetapkan Kejaksaan Agung, yang terdiri atas para direktur dan komisaris PT maupun pejabat-pejabat PT Asuransi Jiwasraya.

Dalam kasus PT Asabri, BPK menaksir kerugian negara bisa mencapai Rp16 triliun. Dalam audit BPK, Asabri kedapatan membeli saham bodong senilai Rp802 miliar. Perseroan juga tercatat membeli dua saham gorengan, yakni milik PT Eureka Prima Jakarta Tbk (LCGP) senilai Rp203,9 miliar dan PT Sugih Energy Tbk (SUGI) sebesar Rp452 miliar.

Ada juga pelepasan 12 saham non-blue chip senilai Rp1,062 triliun, sebelumnya dibeli dengan harga Rp987 miliar ke reksadana afiliasi yang diduga bertujuan mengerek keuntungan akhir tahun.

Selain itu, BPK menyoroti pembelian ribuan kaveling tanpa sertifikat
senilai Rp732 miliar. Sementara itu, kasus penyuapan WS anggota KPU oleh tersangka Harun Masiku dan Saeful Bahri, orang suruhannya, sudah sampai proses persidangan. Saeful didakwa menyuap WS Rp600 juta terkait pergantian antarwaktu caleg PDIP, Harun Masiku. Uniknya, sampai tulisan ini dibuat, Harun Masiku tetap raib. Sudah tiga bulan sejak anggota KPU WS dan tujuh lainnya ditangkap pada pekan pertama Januari 2020, Harun Masiku masih tetap raib.

Kemudian, lahirnya Perppu No 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 membuat para pegiat antikorupsi menjadi waswas. Kemunculan Perppu ini amat wajar dan penting sebagai strategi keuangan negara untuk menangani pandemi Covid-19. Namun, ada satu pasal yang mengkhawatirkan, yaitu Pasal 27 (angka 1, 2, dan 3) yang menyebutkan bahwa segala uang yang dikeluarkan adalah biaya ekonomi bukan kerugian negara.

Pasal 27 Ayat 2 menyebutkan bahwa semua pejabat keuangan memiliki kekebalan hukum (secara pidana maupun perdata). Kemudian, Pasal 27 ayat 3 mengatur, semua kebijakan keuangan yang dikeluarkan berdasarkan Perppu No 1/2020 bukan merupakan objek gugatan di PTUN.

Perppu ini dinilai memberikan kekebalan hukum bagi pejabat pengguna anggaran. Apalagi, pejabat-pejabat tersebut tak dapat digugat perdata ataupun di proses pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan
pada iktikad baik. Dan, telah ada beberapa kelompok yang mengajukan uji materi terhadap Perppu ini ke Mahkamah Konstitusi RI.

Mencegah Potensi Korupsi

Demi memuluskan perang melawan Covid-19 dan sekaligus mencegah potensi terjadinya korupsi, pemerintah harus dapat menjamin bahwa Perppu No 1/2020 ini benar-benar dikeluarkan karena suasana genting dan kebutuhan mendesak, yaitu timbulnya pandemi yang disebabkan oleh Covid-19. Di mana diperlukan berbagai upaya pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan perekonomian, termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak.

Maka, diperlukan pemberian kewenangan bagi pemerintah agar dapat melakukan realokasi dan refocusing anggaran yang sebelumnya telah dialokasikan dalam APBN tahun 2020. Biaya yang dikeluarkan pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara.

APBN sebagai alat untuk mencapai tujuan negara digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaannya untuk menjadi penolong keselamatan negara sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara.

Sementara itu, Azsmar Halim (2020) menyebutkan bahwa di masa pandemi seperti saat ini, negara tetap dituntut bergerak cepat. Jangan sampai tidak adanya dasar peraturan perundang-undangan membuat pemerintah menjadi tidak dapat melaksanakan aktivitasnya.

Agar tidak adanya kebuntuan dan disfungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah dituntut berani untuk melakukan diskresi. Ihwal diskresi ini telah diatur oleh Undang-Undang No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 22 UU ini menyebutkan bahwa diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang.

Selain itu, setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan haruslah bertujuan untuk: (a). melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; (b) mengisi kekosongan hukum; dan (c) memberikan kepastian hukum. Selanjutnya Pejabat Pemerintah yang menggunakan Diskresi sebagaimana diatur pada Pasal 24 UU Administrasi Pemerintahan, harus memenuhi syarat antara lain: tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; sesuai dengan Asas-
Asas Umum Pemerintahan yang Baik (Good Governance and Clean Government); berdasarkan alasan-alasan yang objektif; tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan dilakukan dengan iktikad baik.

Perangi Korona dan Perangi Korupsi

Perang melawan korona dan perang melawan korupsi harus tetap berjalan. Jangan sampai pandemi Covid-19 ini bak memberikan “angin segar” bagi korupsi di Indonesia. Kasus Jiwasraya, Asabri, Harun Masiku, hingga persidangan terdakwa kasus penganiayaan Novel Baswedan, serta kasus-kasus lainnya harus terus berlangsung walaupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang terlemahkan secara struktural.

Pelemahan KPK memang amat disayangkan. Apalagi, Presiden tidak jadi melahirkan Perppu untuk menganulir UU KPK 2019. Undang-Undang KPK No 19 tahun 2019 secara eksplisit telah melemahkan KPK secara struktural di mana KPK diletakkan sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif yang akan mengurangi independensi KPK. Pegawai KPK merupakan Aparatur Sipil Negara.

Selanjutnya bagian yang mengatur bahwa pimpinan adalah penanggung jawab tertinggi dihapus. Pimpinan KPK bukan lagi Penyidik dan Penuntut Umum sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan projusticia dalam pelaksanaan tugas penindakan.

Dewan Pengawas lebih berkuasa daripada pimpinan KPK. Potensi pelemahan lain adalah kewenangan Dewan Pengawas masuk pada teknis penanganan perkara, yaitu memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.

Dampaknya, Operasi Tangkap Tangan (OTT) menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK.

Di sisi lain, Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) Indonesia tahun 2019 (versi Transparency International) masih memprihatinkan. Indonesia berada di peringkat 85 dari 186 negara dengan skor 40, seurutan dengan Burkina Faso, Lesotho, Kuwait, Guyana, dan Trinidad & Tobago.

Di Asia Tenggara, peringkat Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Singapura (10 besar dunia) dan Malaysia (di urutan ke-51).

Parahnya, menurut KPK, antara 2014-2019 institusi paling banyak melakukan korupsi justru adalah DPR dan DPRD (255 anggota), lalu eksekutif di pemerintahan (203 orang), kepala daerah (108 tersangka), menteri/ kepala lembaga negara (27 tersangka). Berikutnya, hakim sebanyak 22 tersangka, 7 jaksa dan komisioner, 11 advokat, 6 korporasi, 4 Duta Besar, dan 2 tersangka polisi.

Di luar institusi publik, pihak swasta sendiri adalah pelaku korupsi terbanyak dengan jumlah 372 tersangka dalam lima tahun. Maka, jangan beri angin segar pada korupsi. Tetaplah memerangi korona seraya memerangi korupsi. Lembaga seperti KPK, Kejaksaan dan Kepolisian harus kembali diperkuat ekosistemnya dalam perang melawan korupsi.

Penyelenggara Negara dan swasta juga jangan memancing di air keruh dari anggaran penanggulangan Covid-19. Transparansi dan akuntabilitas adalah harga mati. Juga integritas dan kejujuran harus dibangun di semua institusi, termasuk dari rumah, keluarga, lingkungan masyarakat sekitar, di sekolah, kampus, hingga badan-badan pemerintah maupun swasta. Asas-asas umum pemerintahan yang baik dan prinsip-prinsip good governance and clean government wajib menjadi pegangan.

Selandia Baru (New Zealand) dan Denmark bisa bergantian menduduki posisi puncak negara paling bersih dari korupsi di dunia (versi Transparency International) dengan menerapkan budaya antikorupsi dan toleransi nol terhadap korupsi. Padahal, di kedua negara tersebut tak ada lembaga serupa KPK. Di sana, transparansi dan akuntabilitas adalah harga mati. Semua institusi sudah memiliki “KPK-nya” sendiri.

Sistemnya sudah terinternalisasi secara pribadi kepada warga negara maupun secara kelembagaan. Setiap lembaga adalah “KPK”. Setiap orang adalah “KPK.”

Sekali lagi, jangan beri angin segar pada korupsi. Cukuplah korona membuat kita menderita secara kolektif, jangan tambah penderitaan kita dengan korupsi. Bersama kita melawan korona, bersama kita melawan korupsi.

(jon)

Read Full Post »

Melawan Stigma dan Viktimisasi Terhadap Nakes

heru susetyo photo ID

 

Staf Pengajar Viktimologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia/Sekretaris Jendral Asosiasi Pengajar Viktimologi Indonesia (APVI)

Siapa pahlawan di era pandemi COVID-19 ini?  Tentunya para tenaga kesehatan (Nakes) adalah yang pertama-pertama disebut.  Disamping profesi-profesi lainnya seperti petugas keamanan,  petugas transportasi publik, penyedia jasa energi, pengusaha kuliner, para pengusaha yang tetap mempekerjakan karyawannya di tengah minim pemasukan, dan sebagainya.

Pengorbanan dari para nakes adalah luar biasa.  Bahkan tidak sedikit yang telah wafat karena terpapar COVID-19.  Belum lagi yang mengalami sakit dan penderitaan yang luar biasa karena terinfeksi COVID-19 ketika tengah menangani pasien.  Data dari PB IDI menyebutkan bahwa telah 24 dokter gugur karena COVID-19 (detik.com, 16/04/2020).   Sementara itu,  jumlah perawat yang gugur karena COVID-19 adalah 14 orang, sampai dengan 19 April 2020 (Republika, 19/04/2020).

Di Inggris, delapan dokter meninggal per 8 April 2020 (nytimes.com). Di Italia lebih parah lagi.  100 dokter dan 26 perawat telah gugur per 9 April 2020 (Aljazeera.com & cnn.com). Sedihnya, ada pula yang bunuh diri karena tak kuat menahan stigma dari masyarakat dan rasa takut dirinya menginfeksi orang lain.  Paling tidak seorang perawat di Monza Italia, perawat di London, UK dan seorang dokter di Perancis telah bunuh diri pada akhir Maret dan pekan pertama April 2020.

Begitu besarnya perjuangan dan pengorbanan para nakes, sedihnya, tidak semuanya mendapatkan penghormatan yang pantas dari masyarakat.  Ada perawat gugur yang ditolak masyarakat untuk dimakamkan di daerahnya. Ada petugas klinik yang ditampar karena meminta calon pasien menggunakan masker di Semarang (Republika, 12/04/2020).

Entah apa yang ada di benak warga, ketika menolak jenazah perawat dimakamkan di Ungaran Barat, Semarang pada 9 April 2020 (Republika, 09/04/2020).  Sampai akhirnya harus dipindahkan ke TPU Bergota di Semarang.  Penolakan ini menurut kemarahan para tenaga kesehatan.  Apa salah sang perawat yang telah mengorbankan nyawanya demi kemanusiaan, namun ketika wafat-pun malah ditolak dimakamkan?

Sebelumnya, pada 31 Maret 2020 satu jenazah korban COVID-19 ditolak warga untuk dimakamkan di tiga lokasi berbeda di Banyumas. Di Cianjur seorang jenazah COVID-19 juga ditolak warga hingga harus dimakamkan di Bandung. (detik.com, 07/04/2020) dan di Makassar warga mengusir ambulan dan menolak jenazah COVID-19 dimakamkan di pemakaman Baki Nipanipa Makassar, hingga harus dipindahkan ke pemakaman lain (kompas.com, 29/03/2020).

Tenaga Kesehatan

Tak pelak lagi, nakes berada di garda terdepan (frontline) dalam menghadapi COVID-19 ini.  Mereka ada di depan di saat orang-orang duduk manis di rumah dan rebahan nyaman di kamar.  Mereka tetap terjaga ketika orang-orang tertidur.  Mereka sulit pergi ke toilet, makan minum, bahkan untuk mengatur waktu beribadah ketika saat-saat darurat tiba dan harus mengenakan protokol pakaian yang safety (yang sayangnya juga tak tersedia lengkap di semua fasilitas kesehatan).

Undang-Undang Tenaga Kesehatan tahun 2014  menyebut bahwa nakes tidak hanya tenaga medis (dokter), tenaga psikologi klinis, tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, dan sebagainya.  Nakes ada hampir di semua fasilitas kesehatan yang menangani pasien yang terduga terpapar COVID, apapun status-nya (OTG, ODP, PDP, Suspect, Positif). Entah di puskesmas, klinik, rumah sakit, tempat praktek mandiri, apotek, unit transfusi darah, laboratorium, dan lain-lain.  Seringkali mereka tak punya pilihan selain untuk menangani pasien terduga terpapar COVID-19.  Panggilan professional dan jiwa kemanusiaan membuat mereka berada di garda terdepan. Mereka harus standby dalam waktu lama di fasilitas kesehatan.  Untuk pulang menjumpai keluarga dan orang-orang tercinta pun sulit.  Karena mereka harus juga menjaga kesehatan dan keamanan keluarga.  Kalaupun pulang, mereka harus mengisolasi diri secara mandiri.  Sungguh pengorbanan yang luar biasa.  Dan entah sampai kapan perjuangan ini harus dilakukan.  Karena hingga saat ini pandemi COVID-19 belum menampakkan tanda-tanda akan tamat.

Untuk pulang menjumpai keluarga dan orang-orang tercinta pun sulit. Karena mereka harus juga menjaga kesehatan dan keamanan keluarga.

Stigma dan Viktimisasi

Kemarahan tenaga kesehatan terhadap warga yang menolak pemakaman kolega perawat di Semarang amat wajar.  Di saat harusnya mereka diapresiasi, tapi warga malah mem-viktimisasi mereka.  Di saat mereka mestinya dihormati, mereka malah beroleh diskriminasi.

Mengapa terjadi viktimisasi terhadap nakes?  Karena beredar stigma tidak jelas terhadap COVID-19.  Akibat edukasi terhadap warga yang belum optimal. Yang membuat kesadaran dan pemahaman warga juga masih di level standar. Bahwasanya jenazah COVID-19 masih dapat menularkan virus. Bahwasanya nakes yang masih hidup-pun rawan menularkan virus.  Hingga ada nakes yang dusir dari rumah kost-nya

Stigma ini pada gilirannya akan menimbulkan guilt by association.  Yaitu suatu kondisi dimana ada generalisasi terhadap suatu kelompok hanya karena ada satu ada beberapa anggota dari kelompok tersebut yang dianggap bersalah (guilt). Lazimnya teori ini berlaku dalam dunia kejahatan. Katakanlah, satu saja seseorang bersalah karena kejahatan, maka orang-orang yang diasosiasikan sebagai satu kelompok dengan sang penjahat akan dianggap sebagai ‘penjahat’ juga (Youell, 2019).   Dan stigma ini memang tidak memerlukan bukti, cukup hanya dengan prasangka (prejudice) yang pada akhirnya melahirkan fallacy (kekeliruan).

Dalam penerapannya, satu saja tenaga kesehatan terpapar COVID-19 dan meninggal dunia.  Maka seluruh tenaga kesehatan akan dianggap sebagai ancaman dan mengalami stigma sebagai sumber penularan COVID-19.  Sesuatu yang terlalu sembrono dan menihilkan peran mulia para nakes dalam penanggulangan COVID-19.  Apalagi, protokol pencegahan penularan COVID-19 tentunya sudah dijalankan oleh para nakes.

Baca juga: Terima Kasih Tenaga Medis

Stigma dan viktimisasi yang sama terjadi di negara lain.  Di Philippina contohnya.  Seorang supir ambulance ditembak warga di Quezon Luzon karena warga takut ia membawa pasien covid-19.  Seorang perawat ditolak pulang oleh warga lingkungannya di Metro Manila.  Pada 27 Maret 2020 lima orang menyiram pekerja rumah sakit dengan cairan pemutih di Sultan Kudarat.  Di Cebu City seorang perawat disiram klorin oleh pengendara motor. Di Visayas dan Metro Manila, tenaga kesehatan diusir dari apartemen, ditolak masuk supermarket, restoran, fasilitas laundry dan transportasi umum (Rubrico, 2020).

Tidak hanya di negara berkembang.  Hal yang sama terjadi di negara maju.  Di Vancouver, Canada, ada kisah supir taxi dan bank yang menolak melayani perawat (Buffam, 15/04/ 2020). Di Mexico, 150 orang mengancam petugas kesehatan di Axochiapan, Morales termasuk mengancam akan membakar direktur rumah sakit.  Di Culiacan, Sinaloa, perawat diserang secara fisik dan verbal, bahkan ada yang menyiramkan cairan pemutih.  Di Guadalaraja, enam perawat diserang dan didiskriminasi, termasuk ditolak naik kendaraan umum.  Di RS Sabina Hidalgo, Nuevo Leon, Rumah Sakit Sabina Hidalgo dibakar oleh orang-orang tak bertanggungjawab (El Universal 16 April 2020).

Dalam kajian viktimologi, alias ilmu mengenai korban dan proses terjadinya korban (viktimisasi), para tenaga kesehatan tersebut dapat disebut sebagai ‘korban’ dalam teori general victimology ala Beniamin Mendelsohn (1976). Karena korban bukan hanya korban kejahatan seperti yang diteori-kan oleh Ezzat Fatah (1989) namun semua jenis korban, apapun penyebabnya.  Apakah kejahatan, bencana alam, kecelakaan, bencana teknologi,  pelanggaran HAM, penyalahgunaan kekuasaan,  sampai korban akibat pandemi massif ini.

Apabila ditanyakan, siapakah pelaku?  Maka pelaku-nya (victimizer) adalah sang coronavirus-19 itu sendiri.  Sulit mencari pelaku lainnya.  Namun apabila para nakes yang sudah terpapar COVID-19 kemudian mendapatkan stigma, diskriminasi, sampai serangan dan hinaan, maka pelaku re-viktimisasi ataupun secondary victimization–nya adalah tentunya masyarakat, individual, kelompok sosial hingga institusi tertentu.

Secondary victimization (atau reviktimisasi) adalah reaksi sosial negatif yang berlangsung setelah viktimisasi primer (kejadian pertama) yang berupa suatu tindakan atau sikap yang melanggar hak-hak daripada korban (Montada, 1994). Sering juga diartikan sebagai perilaku, sikap dan praktek-praktek yang menyalahkan korban (victim-blaming) yang dilakukan oleh masyarakat, yang menimbulkan trauma atau penderitaan tambahan kepada korban (stopvaw.org).

Viktimisasi oleh sang virus tentunya sulit dicegah.  Kecuali ada yang sengaja melakukannya dengan tujuan kejahatan.  Namun, re-viktimisasi oleh manusia kepada manusia lain (misalnya tenaga kesehatan) sangat bisa dicegah dan diantisipasi.  Kuncinya adalah pengetahuan dan pemahaman yang mumpuni terhadap fenomena COVID-19, empati dan apresiasi terhadap profesi nakes, dan komunikasi yang lancar antara pihak pemerintah (pusat maupun daerah) dengan masyarakat.  Ditambah lagi, perlu hadirnya kebijakan yang harmonis dan memberikan kepastian hukum terkait penanganan COVID-19 ini apakan di tingkat pusat maupun di level daerah.

Maka, daripada membuang waktu untuk mencaci maki suasana pandemic, yang tak mengubah apapun, marilah kita tebarkan hawa positif.  Lebih baik menjadi penebar lilin dalam gelap.  Kalau kita bukan seorang nakes dan tidak bisa menolong langsung para korban, minimal kita tidak menyulitkan, memberi stigma negative apalagi sampai melakukan diskriminasi dan kejahatan pada para Nakes.  Lebih baik lagi apabila kita bisa mendukung kerja mulia mereka dengan menyediakan Alat Pelindung Diri (APD) yang layak, masker yang layak, serta turut memelihara diri dan keluarga dari bahaya dengan menjaga social distancing dan physical distancing.

Read Full Post »