BELGIA : NEGERI TINTIN YANG KLASIK DAN TERBELAH TIGA
By : Heru Susetyo
Anda pernah membaca komik Tintin? Kisah petualangan seorang wartawan muda yang selalu ditemani anjingnya Snowy, dan karibnya Kapten Haddock yang kerap mabuk dan gemar bersumpah serapah? Komik ini pernah sangat populer di Indonesia tahun 1970 – 1990-an sebelum lahirnya era komik-komik asal Jepang.
Nah Tintin adalah ‘kelahiran’ Belgia, karena penciptanya, Georges Prosper Remi alias Herge nama pena-nya, adalah orang Belgia. Dan Tintin telah menjadi icon dan ‘dutabesar’ tidak resmi Belgia. Bahkan, ada museum Tintin di kota Louvain La Neuve, juga toko-toko yang menjual merchandise Tintin di Brussels, Antwerpen, Ghent, dan hampir di semua kota besar Belgia.
Namun, Belgia memang bukan hanya Tintin. Negeri kecil yang yang tidak lebih luas dari Jawa Barat (Belgia memiliki luas 30.528 km2 dan Jawa Barat 34.816km2) ini juga terkenal dengan waffle, cokelat, dan kentang-nya. Konon kentang yang disebut French Fries ditemukan di Belgia dan bukan di negeri jirannya, Perancis (France).
Kendati kecil, negeri cantik ini bisa dikatakan terbelah tiga. Wilayahnya terbelah antara wilayah penduduk yang berbahasa Belanda di utara (Biasa disebut bahasa Flemish dengan daerahnya disebut Flanders), wilayah penduduk yang berbahasa Perancis (di daerah Walloonia) dan minoritas penduduk berbahasa Jerman di sisi timur yang berbatasan dengan Jerman. Dan, keterbelahan ini bukan sekedar pluralisme etnis dan lingustik belaka namun juga keterbelahan masyarakat secara faktual di bidang sosial dan politik. Belgia adalah negara monarki berbentuk Federal yang pembagian daerahnya ditentukan antara lain oleh penggunaan bahasa di daerah tersebut.
Maka, ada pemerintah Federal yang berlokasi di ibukota Brussels, ada daerah otonom Flanders yang berbahasa Flemish (Belanda) dan dibagi atas lima propinsi. Juga, daerah otonom Walloonia yang berbahasa Francais (Perancis) juga dibagi atas lima propinsi. Sementara itu, minoritas penduduk yang berbahasa Jerman tidak membentuk otonomi daerah tersendiri melainkan tergabung dalam daerah Walloonia.
Secara kasat mata, perseteruan sosial politik akhirnya memang mengerucut antara dua kelompok besar penduduk. Antara yang berbahasa Flemish/Belanda dan yang berbahasa Perancis. Padahal penduduk Belgia sendiri tidak banyak, hanya berkisar 10.8 juta jiwa di tahun 2010. Jauh lebih banyak penduduk DKI Jakarta. “Terus terang, kami mengalami konflik akibat perbedaan bahasa ini. Penduduk Belgia terbagi dua, demikian juga parlemennya. Bahkan saat ini pemerintah Federal Belgia sedang kosong. Akibat tidak ada kesepakatan antara parlemen Flanders dan Walloonia tentang siapa yang akan memimpin Belgia. Akibatnya, pemerintah yang kemarin demisioner sekarang diperpanjang sementara masa baktinya,” papar Didier, mahasiswa Doktoral Ghent University asal Flanders, kepada saya.
Dalam hati saya bersyukur sebagai orang Indonesia. Indonesia jauh lebih majemuk dan 23X
(baca : duapuluh tiga kali lipat) lebih banyak penduduknya dari Belgia namun tak mengalami keterbelahan seperti ini. Konflik bernuansa sosial budaya memang kerap terjadi di Indonesia, namun toh tak membelah masyarakat seperti halnya di Belgia.
Dua kali mengunjungi Belgia, pada tahun 2000 dan 2010, saya menyaksikan fenomena keterbelahan yang sama. Penduduk Belgia harus bisa berbahasa minimal dua bahasa, Perancis dan Belanda (Flemish). Contohnya rekan saya, Kathy. Wanita setengah baya asal Ghent ini bahasa Ibunya adalah Flemish/ Belanda. Iapun bercakap dalam bahasa Belanda sehari-harinya. Namun ketika ada orang mengajak bicara dalam bahasa Perancis (Francais), dengan seketika iapun dapat men-switch bahasanya menjadi bahasa Perancis. Yang sama lancarnya dengan bahasa Belanda-nya. “Kami biasa seperti itu. Sejak kecil kami belajar bahasa Perancis disamping bahasa Belanda dan juga bahasa Inggris,” ujar Kathy.
Semua bentuk informasi resmi apalagi informasi pemerintahan wajib disampaikan dalam dua bahasa. Di Ibukota Brussels, kendati berada di daerah Flanders, namun penduduknya lebih banyak menggunakan bahasa Perancis. Maka, mereka yang tinggal di Brussels harus bisa berbahasa Perancis, atau akan disebut sebagai warganegara kelas dua (second class citizen). “Kalau anda tinggal di daerah Flanders, anda cukup berbahasa Flemish saja, tapi kalau anda bekerja di Brussels, anda harus bisa bicara minimal tiga bahasa, yaitu, Francais, Flemish, dan English,” ujar Cedric (nama asli), resepsionis di Novotel Hotel, Ghent, yang asli Belgia.
“Saya sendiri bisa berbicara dalam lima bahasa, disamping tiga bahasa tersebut, juga bahasa Jerman dan bahasa Indonesia,” ujar Cedric lagi. Bahasa Indonesia? “ya, karena saya pernah tinggal tiga tahun di Indonesia dan istri saya juga orang Indonesia.” Oh pantaslah kalau begitu ujar saya dalam hati.
Sebenarnya tak terlalu mengherankan apabila negeri ini terbelah. Karena posisinya memang strategis. Terletak persis di tengah pusat-pusat budaya Eropa. Belgia berbatasan di sisi barat dan selatan-nya dengan Perancis. Di sisi timurnya dengan Belanda dan Jerman. Di sisi tenggara dengan Luxemburg. Dan di sisi utaranya dengan Inggris Raya (Great Britain) yang terhalang oleh Selat Channel.
Kendati secara sosial terbelah, mesti diakui bahwa negeri ini cantik dan klasik. Ia tidak sangat modern seperti Jepang ataupun Korea. Tidak jumawa dan megah seperti USA ataupun Australia. Tidak berlomba-lomba membangun arsitektur termegah dan tertinggi ala Dubai, Hong Kong, Taipei dan Shanghai. Sebaliknya, Belgia adalah negeri kecil dengan alam yang indah, dengan warisan budaya abad pertengahan yang masih terpelihara, dan penduduk yang welcome dengan pendatang asing.
Kota-kota besar di Belgia rata-rata dipadati dengan peninggalan budaya yang klasik. Apakah gereja, puri (castle), benteng, gedung pemerintahan kota dan parlemen, universitas, ataupun istana-istana. Sejauh mata saya memandang di kota-kota utamanya seperti Brussels, Antwerpen, Ghent, dan Leuven, sisi klasik ini yang selalu mendominasi.
Landmark utama kota Brussels adalah patung bocah pipis yang sering disebut Manneken Piss. Patung anak kecil yang memancurkan air dari alat kelaminnya ini dibuat pada tahun 1619 oleh Jerome Duquesnoy, dan terletak di persimpangan antara Rue de l’Étuve/Stoofstraat dan Rue du Chêne/Eikstraat. Ada semacam kewajiban bagi siapapun yang menyinggahi Brussels, untuk mampir ke patung bocah pipis ini.
Berlawanan dengan sisi klasiknya, Brussels juga memiliki landmark lain yang disebut atomium. Yaitu bangunan bertinggi 102 meter seperti ikatan atom (terdiri dari Sembilan unit sel-sel atom yang saling berhubungan) dan dibangun pada tahun 1958 dalam rangka World Expo 1958. Apabila kita berdiri pada unit atom tertinggi-nya maka akan terhampar pemandangan indah kota Brussels.
Lain di Brussels, lain di kota-kota besar lainnya. Antwerpen, selaku kota terbesar kedua di Belgia, juga sarat dengan peninggalan abad pertengahan. Utamanya gedung parlemen kota dan gereja katedral yang sangat indah. Ada pula puri indah seperti benteng yang berdiri persis di tepi sungai besar Scheldt yang membelah kota Antwerpen. Kendati agak jauh dari laut, uniknya Antwerpen juga dikenal sebagai pelabuhan terbesar kedua di Eropa setelah Rotterdam di Belanda, karena dialiri oleh Sungai Scheldt yang cukup luas dan dalam. Maka, bisnis dan turisme berjalan seiring di kota yang hanya berjarak setengah jam perjalanan darat dari perbatasan dengan Belanda ini.
Kota Ghent memiliki keunikan yang lain. Ia lebih kecil dan kurang ramai dibandingkan dengan Brussels dan Antwerpen, namun sangat klasik. Sebuah kanal yang membelah kota menambah kecantikan kota yang berlokasi di wilayah Flanders ini (wilayah berbahasa Flemish/ Belanda). Pemandangan gedung-gedung tua di kiri kanan kanal dan plaza yang amat luas di pusat kota (centrum) menjadikan kota ini salah satu tujuan wisata utama di Belgia. Para turis dimanja dengan kereta kuda, dentingan bel gereja, bunga warna-warni di setiap sudut kota, dan restoran multi rasa yang terserak di setiap sudut kota.
Kota Leuven di sisi timur Brussels memiliki sisi yang berbeda. Terletak di perbatasan antara wilayah Flanders yang berbahasa Flemish dan Walloonia yang berbahasa Perancis, ia dikenal sebagai kota pelajar. Leuven adalah rumah bagi kampus terkenal, Katholieke Universiteit of Leuven. Salah satu kampus tertua dan terbaik Belgia yang sarat dengan mahasiswa asing. Banyak juga orang Indonesia yang pernah studi di kampus ini.
Rata-rata kota berukuran besar di Belgia penduduknya terbilang sedikit untuk ukuran Indonesia. Ibukota Brussels saja hanya dihuni satu jutaan jiwa, itupun nyaris sepertiganya adalah imigran. Tak heran, kenyamanan bertempat tinggal ini pulalah yang antara lain menyebabkan Belgia menjadi rumah yang relatif ramah bagi pelbagai macam kultur dan etnis. Brussels dikenal sebagai ibukota dari Uni Eropa (European Union) sekaligus markas besar dari NATO (North Atlantic Treaty Organization).
Satu keunggulan Belgia yang patut ditiru Indonesia adalah kemudahan transportasi umum. Kemanapun kaki melangkah hampir selalu ada bus kota, kereta api, subway, hingga tram yang menjangkau hampir semua sudut-sudut kota dengan tarif yang relatif terjangkau.
Pelajaran indah berikutnya adalah gaya hidup sehat dengan bersepeda ria. Hampir di seluruh negeri mudah dijumpai orang bersepeda dari semua kalangan. Kota dan desa-pun dirancang sedemikian rupa hingga ramah terhadap pengguna sepeda. Dengan menyediakan jalur khusus sepeda hingga parkir khusus sepeda. Mahasiswa dan Professor-pun sama-sama bersepeda untuk menuju kampus. Tak terlalu aneh melihat sang Professor menyandang ransel dengan helm sepeda tergantung di tali ranselnya. Sementara, pada saat bersamaan, ia tetap mengenakan jas, kemeja tangan panjang dan dasi. Pemandangan yang cukup langka di Indonesia.
Begitu tingginya perhatian terhadap kesehatan diri dan lingkungan, setiap beberapa waktu kota besar seperti Brussels menerapkan ‘Car Free Day’. Hebatnya, kebijakan tanpa mobil dan motor selama satu hari ini berlaku untuk semua wilayah kota Brussels. Tidak seperti di Jakarta yang hanya menyentuh jalan protokol Sudirman-Thamrin atau HR. Rasuna Said, itupun hanya untuk setengah hari saja. Semua kendaraan bermotor tak boleh melewati semua ruas jalan, terkecuali KA dan tram, kendaraan pribadi dalam keadaan emergency ataupun mereka yang mendapat ijin dari otoritas kota. Maka, sungguh merupakan pemandangan yang indah melihat warga kota berjalan kaki, bersepeda, jogging, bersepatu roda, dan menyesaki KA dan tram dengan sepeda-nya, yang memang boleh dibawa ke dalam gerbong KA.
Bagaimana halnya dengan muslim Belgia? Citra Belgia sebagai negeri yang ramah terhadap imigran rupanya menarik minat banyak migran muslim juga. Islam adalah agama terbesar kedua di Belgia setelah Katolik Roma. Penganut Katolik Roma berjumlah sekitar 47% dan muslim sekitar 6% (pada tahun 2008) atau sama dengan 630.000 jiwa. Di Ibukota Brussels bahkan 25% penduduknya alias seperempat-nya adalah muslim. “Lihat saja Mas, mudah kan menemukan para muslimah berkerudung dimana-mana. Tidak di jalanan, tidak di dalam kereta api, banyak wajah-wajah muslim disini,” tukas Pak Edi, warga Indonesia di Brussels yang menemani kami berkeliling kota.
Ada benarnya. Amat mudah menemukan wajah-wajah muslim di Brussels. Bahkan tak hanya muslim, ratusan ribu wajah-wajah migran entah dari India ataupun kaum Yahudi amat mudah ditemui dimana-mana. Mereka bertebaran di antara wajah-wajah para ‘bule’ berkulit putih.
Populasi muslim terbesar berasal dari Maroko sekitar 265 ribu jiwa dan dari Turki sebanyak 160 ribu jiwa, kemudian imigran Albania, Pakistan, dan dari negara-negara Afrika Barat. Imigran Maroko dan Turki datang ke Belgia sejak tahun 1960-an. Mulanya sebagai pekerja migran dan akhirnya berlabuh turun temurun tinggal di Belgia.
Tak heran, mudah menemukan masjid dan restoran-restoran halal di kota-kota besar seperti Brussels, Antwerpen, Ghent dan Charleroi. Restoran yang menjual kebab, shawarma, nasi biryani khas India-Pakistan, dan lain-lain cukup mudah ditemukan dimana-mana. Kendati adzan memang tak terdengar dari menara-menara masjid, namun muslim Belgia relatif bebas untuk beribadah dan terkesan dapat beradaptasi dengan warga setempat.
“Hanya memang ada sedikit masalah dengan perilaku. Muslim perlu belajar hidup lebih bersih dan lebih santun dalam bergaul dengan warga setempat. Karena masih banyak warga Belgia kulit putih yang merasa kurang nyaman bertetengga dengan warga muslim, bukan karena mereka muslim namun karena perilaku yang kurang disiplin ataupun belum terbiasa hidup bersih. Migran muslim perlu membuktikan bahwa mereka dapat hidup berdampingan secara nyaman dan damai dengan warga Eropa lainnya. Karena sesungguhnya Islam sendiri amat mencintai kedisiplinan, kebersihan, dan kedamaian kan, sebagai agama yang rahmatan lil alamin,” tambah Pak Edi lagi.
Memang, ada betulnya. Di luar keindahan dan kecantikan warisan kultural Belgia, pada beberapa wilayah yang sarat imigran dan jauh dari kontrol petugas, seperti gerbong-gerbong KA, jembatan dan jalan-jalan kecil, tampak penuh dengan graffiti beraneka rupa. Beberapa tampak indah namun secara umum malah merusak kecantikan kota. Tidak jarang tulisan pada graffiti tersebut bernada kasar.
Memang, graffiti tersebut tidak menjadi tanggungjawab warga muslim sepenuhnya. Bukan hanya pekerjaan para anak-anak muslim saja. Namun sebagai minoritas terbesar dan penganut agama terbesar kedua di Belgia, mau tidak mau dan suka tidak suka, muslim Belgia harus turut menjamin dan meyakinkan warga Belgia bahwa mereka bisa juga menjadi warganegara dan warga kota yang baik. Disamping sebagai muslim yang shalih dan shalihah. Karena, Islam adalah rahmat bagi semesta alam dan sebaik-baik muslim adalah yang mendatangkan manfaat bagi sekitarnya. Termasuk manfaat bagi negeri cantik bernama Belgia…
Wallahua’lam
Leave a Reply