INDONESIA, THAILAND DAN KAMBOJA
Heru Susetyo
Dosen Fakultas Hukum UI/ Mahasiswa Program Doktor
Human Rights & Peace Studies Mahidol University Bangkok
Bagi sebagian warga Indonesia, isu negeri Kamboja lama hilang dari memori. Ingatan terkuat bangsa ini barangkali adalah kekejaman Pol Pot dan Khmer Merah-nya yang menuai banyak nyawa tahun 1975 – 1979 yang berdampak aliran manusia perahu (pengungsi) yang turut membanjiri Indonesia. Ingatan berikutnya, adalah bahwa di Kamboja, tepatnya Siem Reap, ada candi besar maha dahsyat bernama Angkor Wat yang kesohor sebagai keajaiban dunia.
Thailand, sebaliknya, jauh lebih populer. Apalagi lima tahun terakhir ini ketika era penerbangan murah seperti Air Asia, Jetstar, Tiger Airways, sampai Lion Air menyerbu negeri ASEAN. Kini, warga Indonesia bisa bercerita banyak tentang Chao Praya River, Grand Palace, Pasar Chatuchak di Bangkok, ataupun tempat-tempat indah lain seperti Phuket, Chiang Mai sampai pantai Pattaya. Jarak Jakarta-Bangkok ataupun Jakarta-Phuket serasa lebih dekat dibandingkan Jakarta dengan Bali, Yogya apalagi ke Maluku dan Papua yang memang lebih jauh.
Khususnya bagi warga Bandung, pesepakbola Thailand yang pernah bermain di Persib Bandung (2009-2010) yaitu Suchao Nuthnum dan Kosin Hathairatanakoll juga menempati posisi tersendiri. Tak heran ketika mereka berdua membela timnas Thailand melawan Indonesia di piala AFC 2010, sebagian penonton tidak merasa ada jarak kultural dengan dua pemain yang membela tim lawan tersebut.
Sekitar lima ribuan warga Indonesia kini hidup di Thailand untuk tujuan belajar, bekerja ataupun menikah dengan warga setempat. Apalagi, sejak perang dunia II juga telah ada warga Indonesia, utamanya dari Jawa, yang dipekerjakan tentara Jepang di Thailand dan sampai kini beranak pinak di Bangkok dan sekitarnya. Tidak hanya itu, bahkan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah-pun, memiliki anak dan keturunan di Thailand, yang kini menjadi pemuka masyarakat yang terpandang pula.
Sebaliknya, walaupun ada restoran Indonesia di Phnom Penh, namun jumlah warga Indonesia yang bermukim di Kamboja jauh lebih sedikit daripada di Thailand. Mahasiswa bisa dikatakan tidak ada terkecuali para periset atau mereka yang menjalani pertukaran mahasiswa.
Padahal, Cambodia-pun memiliki ikatan historis dengan Indonesia. Menurut riset, ada persamaan motif dari relief-relief candi di Kamboja-Vietnam dengan yang ada di pulau Jawa. Juga, di Kamboja kini bermukim ratusan ribu etnis Cham (Champa) yang rata-rata muslim dan memiliki ikatan historis dengan bangsa Melayu. Banyak orang Cham yang pandai berbahasa Melayu (karena studi atau menikah dengan warga Malaysia) dan di masjid mereka mudah pula menemukan buku belajar baca Al Qur’an IQRO (yang jelas-jelas produksi warga Indonesia).
Memahami Konflik Thailand-Kamboja
Konflik Thailand dan Kamboja sejatinya tidak dapat dilihat hanya pada persengketaan candi Preah Vihear dan masalah perbatasan belaka. Rivalitas dua negeri ini, baik yang terbuka maupun terpendam, bisa dikatakan sudah berlangsung ratusan tahun lamanya.
Kerajaan Khmer (kini Kamboja) pada abad 9 – 13 Masehi adalah penguasa dominan di wilayah Indochina. Kekuasaannya mencakup negeri-negeri yang kini bernama Kamboja, Vietnam, Lao PDR, Thailand, dan Myanmar. Kekuasaan Khmer di tanah Siam (negeri yang kini bernama Thailand) kemudian melemah pada abad 13 seiring dengan munculnya kerajaan Sukhothai (kini di Central Thailand) dan Kerajaan Lanna (kini di sekitar Chiang Mai, Thailand Utara) dan juga kerajaan Ayutthaya (kini di utara Bangkok) di tanah Siam.
Pada gilirannya, kerajaan Ayutthaya menghajar Angkor sebagai pusat kekuatan kerajaan Khmer sekaligus menandai masa-masa akhir kekuasaan Khmer di akhir abad ke 15. Derita kerajaan Khmer terus berlanjut karena periode selanjutnya ia lebih banyak dikontrol oleh kerajaan-kerajaan tetangganya daripada memiliki kekuasaan yang mandiri. Provinsi seperti Battambang dan Siem Reap di Kamboja pernah diklaim oleh Siam pada abad 19 sebagai buah perjanjian dengan Perancis yang ketika itu menjadi protektorat Kamboja.
Saat ini, disamping ‘dendam sejarah’ antara Khmer dengan Siam, masalah yang mengemuka adalah disparitas ekonomi yang terlalu mencolok antara Thailand dan Kamboja. Kendati tak putus dirundung konflik politik nasional, Thailand masih menjadi magnet bagi negeri-negeri sekitarnya yang relatif lebih miskin. Industri, agroindustri hingga bisnis pariwisata Thailand banyak menyedot pekerja (baik pekerja tercatat ataupun tak tak tercatat) dari Myanmar, Lao PDR, dan juga Kamboja. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index-HDI) Thailand per 2010 adalah di urutan 92 dunia. Sementara Cambodia di urutan 124, Lao PDR urutan 122 dan Myanmar/ Burma di urutan 132 dunia.
Selanjutnya adalah perbedaan budaya. Kendati secara geografis bersebelahan, bahasa Thailand amat berbeda dengan bahasa Khmer. Bahasa Thai lebih dekat dengan Lao PDR tapi berbeda dengan Kamboja. Bangsa Thai-pun tak pernah mengalami penjajahan dari negeri-negeri barat. Sebaliknya, Kamboja mengalami era penjajahan (protektorat) Perancis pada 1863 – 1953 dan juga Jepang pada 1941-1945.
Dari segi fisik, mereka yang melakukan perjalanan darat di Thailand dan kemudian pergi ke Kamboja, akan dengan mudah membedakan mana daerah Thailand dan mana Kamboja. Infrastruktur dan fasilitas di Thailand begitu lengkap. Jalan-jalan, jembatan, permukiman dan pertokoan tertata baik. Lahan pertanian digarap dengan serius dan irigasi lancar. Sebaliknya, di Kamboja infrastruktur dan fasilitas tak terbangun dengan baik. Pertanian-pun tampak tak terkelola. Kedua negeri itu memang berbeda.
Peran Indonesia
Kini Indonesia mengemban amanah yang tidak ringan. Sebagai ketua ASEAN tahun 2011, salah satu pendiri senior dan negara terluas dan terpadat penduduknya di ASEAN, wajar apabila Indonesia mengambil prakarsa untuk menengahi konflik Thailand dan Kamboja.
Pasalnya, pemerintah dan warga Indonesia tidak cukup familiar dengan Kuil Preah Vihear dan perbatasan fisik di Kamboja Utara/ Thailand Timur-Tenggara yang jadi pokok persengketaan. Pun, bagi warga Indonesia yang tinggal di Thailand. Candi besar Angkor Wat jauh lebih populer. Maka, banyak orang baru tahu ada kuil Hindu tua bernama Preah Vihear (yang pada 2008 dianugerahi sebagai UNESCO World Heritage Site) ketika pecah konflik senjata antara tentara Thailand dengan Kamboja sejak tahun 2008 silam.
Namun itu bukan alasan. Karena Indonesia sudah beberapa kali mengambil prakarsa di ASEAN. Juga prakarsa untuk Kamboja dan Thailand. Indonesia pernah menjadi tuan rumah penyelesaian konflik Kamboja dengan penyelenggaraan Jakarta Informal Meeting tahun 1988. Capaiannya lumayan positif. Ikut meretas jalan untuk lahirnya pertemuan Paris dan proses-proses selanjutnya.
Indonesia pernah juga memfasilitasi penyelesaian konflik Thailand Selatan (Patani) antara pemerintah Thailand dengan pimpinan faksi-faksi Thailand Selatan,yang dilakukan di Bogor pada tahun 2008. Meski hasilnya masih jauh panggang dari api, namun ikhtiar tersebut tetap patut diapresiasi.
Yang juga jangan dilupakan adalah Indonesia pernah berperan menampung pengungsi transit dari Vietnam dan Kamboja korban antara tahun 1979 – 2006. Penangangan pengungsi yang antara lain dimukimkan sementara di Pulau Galang ini adalah satu wujud kepedulian Indonesia terhadap penyelesaian masalah regional ASEAN.
Memang skeptisisme terhadap peran Indonesia pasti ada. Editorial harian Bangkok Post pada Senin 8 Mei 2011 menyebutkan bahwa ikhtiar Indonesia tersebut cenderung tak bermakna banyak. Karena, menurut opini tersebut, ASEAN tak pernah punya prestasi signfikan dalam menyelesaikan konflik di antara Negara-negara anggotanya. Semisal invasi Vietnam terhadap Kamboja, sengketa di Laut China Selatan, sampai penyelesaian konflik politik dan kekerasan di Myanmar yang terus berlarut. Ditunjang lagi, dengan prinsip tidak ikut campur (non interference) yang selama ini dianut ASEAN.
Semoga Indonesia tetap bisa mengambil prakarsa di tengah segala skeptisisme tersebut. Juga meluweskan pendekatan untuk penyelesaian konflik. Tidak hanya menggunakan diplomasi konvensional belaka. Seperti kata Sekjen ASEAN Surin Pitsuwan (dalam Seputar Indonesia 10/5-2011), KTT ASEAN ke 18 di Jakarta kemarin telah mendekatkan blok itu kepada masyarakat dengan menyentuh isu-isu seperti anak-anak dan perempuan, pekerja migrant dan sepakbola, bukan hanya politik dan ekonomi. Semoga demikian.
Leave a Reply