Hidup Maupun Mati Tetap Dihargai*
By : Heru Susetyo
Siapapun mengakui bahwa bumi Jepang amat indah. Tak hanya indah alamnya, budaya dan tradisinya-pun terpelihara, santun pula perilaku manusia-manusianya. Amat menantang untuk direkam oleh para pecinta fotografi, termasuk saya.
Hobi fotografi membawa saya mengitari Jepang. Di sela-sela penelitian lapangan dan traveling selalu saya sempatkan menggendong camera Olympussaya (yang saya beli di Yamada-denki Kobe tapi ternyata made in Indonesia !) untuk merekam momen-momen indah yang jarang saya temukan di Indonesia. Memang saya hanya fotografer amatiran, namun keindahan bumi Jepang membuat obyek bidikan saya selalu tampak indah, minimal kata rekan-rekan saya.
Namun sekali waktu saya kena batunya. Ketika mengambil gambar di ruang pamer Japanese Red Cross kantor Tokyo (Palang Merah Jepang) pada bulan September 2006, seorang tua penjaga ruangan memarahi saya. Saya tak paham dia bicara apa. Namun dari nada bicaranya sepertinya sedang marah. Ohki-san, sahabat Jepang saya menerjemahkan bahwa saya dimarahi karena saya mengambil gambar para pengungsi dan korban tsunami di Aceh tanpa minta ijin ke dia.
Saya komplain, lah saya kan hanya mengambil gambar korban tsunami Aceh yang dibantu oleh Red Cross Jepang. Mereka adalah bangsa saya sendiri dan sayapun pernah ke Aceh untuk mengambil gambar-gambar yang sama, jawab saya gusar.
Ohki-san dengan sabar menjelaskan, tidak bisa seperti itu di Jepang. Kamu harus minta ijin ketika mengambil gambar obyek manusia. Apalagi ini adalah korban bencana, mereka punya hak sebagai korban untuk tidak dipublikasi dan tetap dihargai privacy-nya. Saya protes lagi, lah, ini kan untuk keperluan riset saya bukan untuk dipublikasi kemana-mana? Masih dengan sabar Ohki-san menjawab, tak pandang apa kewarganegaraannya, tak penting masih hidup ataupun sudah mati, yang jelas foto-foto korban yang terpampang disini adalah tak boleh difoto atau kamu harus minta ijin kepada mereka untuk mengambil gambar-gambar tersebut.
Saya tak protes lagi. Bukan karena sudah paham, tapi mencoba untuk memahami pilihan sikap seperti ini. Hmmm…penghargaan terhadap privacy manusia, entah hidup ataupun mati.
Dan privacy ini tak sebatas untuk korban bencana, juga dalam adab bertransportasi umum. Dimanapun di seluruh Jepang orang tak boleh menerima maupun menelpon dengan telepon genggam-nya ketika berada di kereta api maupun di bus umum. Saya menyaksikan sendiri, seorang Bapak tua memarahi seorang Ibu muda dalam perjalanan KA antara Kyoto – Osaka, hanya karena si Ibu menerima telepon. Tak heran, rata-rata perjalanan KA dan bis umum di Jepang adalah sunyi. Sepi dari lalulintas telpon dan obrolan antar penumpang. Rata-rata penumpang menyibukkan diri dengan membaca buku, bermain games atau internet-an dengan telepon genggam-nya, ataupun tidur.
Transportasi Anti-Pelecehan
Demi menjamin privacy dan keselamatan publik pula, pemerintah dan sejumlah perusahaan di Jepang menerapkan kebijakan-kebijakan yang mungkin tidak umum di mata publik Indonesia. Misalnya, kebijakan mengadakan gerbong KA khas perempuan. Sejak tahun 1912 telah diperkenalkan gerbong khusus perempuan (hana-densha) di Tokyo. Kemudian berlanjut di Osaka tahun 1950-an dan berkembang terus hingga merambah jalur JR (Japan Railway) East di Tokyo Area dan JR West di Osaka area pada awal tahun 2000-an.
Mengapa gerbong khusus perempuan? Pasalnya adalah di KA kota besar, khususnya Tokyo dan Osaka, sering terjadi pelecehan seksual (sexual molestation ataupun chikan) terhadap perempuan, utamanya pada saat-saat padat di jam-jam sibuk. Maka, hana-densha(kereta bunga) yang kadang berwarna pinkadalah satu proteksi untuk kelompok rentan ini, hanya perempuan yang boleh masuk. Lelaki silakan ke gerbong lainnya.
Untuk alasan yang berbeda, pemerintah maupun banyak perusahaan transportasi di Jepang menerapkan perlakuan khusus untuk penyandang cacat, ibu hamil dan menyusui, penumpang yang bepergian dengan anak kecil, dan orang lanjut usia (lansia). Dimanapun dalam moda transportasi umum mereka selalu mendapat perlakuan khusus dengan penyediaan kursi khusus di gerbong kereta maupun di bis umum. Tak ada orang boleh duduk di special seats tersebut selain penumpang dari kelompok rentan tersebut. Khusus bagi tuna netra, disamping kursi khusus, hampir di semua trotoar umum di jalan raya Jepang menyediakan jalur khusus bagi mereka. Bentuknya adalah jalur yang merupakan rangkaian ubin berwarna kuning yang permukaannya menonjol sebagian yang berfungsi sebagai pembeda untuk jalur umum pejalan kaki non tuna netra.
Kelompok lain yang menikmati perlakuan khusus sebagai kelompok rentan adalah para korban, apakah korban bencana alam, korban kecelakaan transportasi, maupun korban kejahatan. Disamping mendapatkan santunan dari negara ataupun pelaku kejahatan, hak-hak korban akan privacy dan keadilan terus dilindungi. Dalam kasus kecelakaan KA JR West di prefektur Hyogo (Amagasaki area dekat Osaka) pada 25 April 2005 yang menewaskan 107 jiwa dan mencederai 555 penumpang, berulangkali pimpinan perusahaan dan stafnya mendatangi korban dan keluarga, untuk menyampaikan permohonan maaf ataupun menyampaikan santunan. Bahkan, Direktur perusahaan KA tersebut mengundurkan diri tujuh bulan kemudian sebagai bentuk tanggung jawab moral-nya.
Bagi korban kejahatan, berdasarkan Basic Act for Crime Victims 2004, hak-haknya tidak sekedar mendapatkan kompensasi dari pelaku maupun Negara, namun juga berhak memberikan kesaksian di pengadilan baik sebagai saksi (terhadap pelaku/ tersangka) maupun sebagai korban, dalam kondisi perlindungan dan pengamanan penuh. Korban dimungkinkan memberikan kesaksian di tempat khusus tanpa terlihat oleh pelaku/ tersangka, yang membuatnya dapat memberikan keterangan tanpa takut diintimidasi dan meminimalisir trauma. Korban juga berhak tahu perkembangan proses persidangan terhadap sang pelaku sehingga ia dapat meyakini bahwa keadilan bagi dirinya selaku korban telah terjamin oleh hukum maupun peradilan.
Dan masih banyak lagi sisi indah perlindungan terhadap privacy dan kelompok-kelompok rentan di Jepang. Suatu bentuk penghargaan yang begitu indah dan amat manusiawi. Membuat setiap jiwa merasa aman dan nyaman tinggal di Jepang. Membuat saya selalu ingin pergi ke Jepang dari waktu ke waktu dan memaksanya menjadi tanah air kedua saya setelah negeri Indonesia tercinta.
*Pernah dimuat pada webtorial ‘Surat dari Osaka’ tahun 2010
Leave a Reply