Chonlada Bangluansanti, Muslimah Muallaf Thailand (22 tahun)
INGIN MENJADI GURU DI THAILAND SELATAN
Musholla kampus itu sangat sempit. Berukuran segitiga. Di Bagian belakang lebarnya empat meter namun di bagian depan hanya satu meter. Panjangnya sendiri hanyalah enam meter. Sempit? Memang. Namun di ruang sempit inilah jantung kegiatan mahasiswa muslim Chulalongkorn University di Bangkok.
Musholla memang nama khas Indonesia. Mahasiswa muslim Chula (nama populer untuk Chulalongkorn University) menyebutnya Muslim Study Club. Letaknya tidak strategis dan tidak mudah dicapai. Di lantai empat gedung aktivitas mahasiswa yang tidak memiliki lift. Berdampingan dengan klub kegiatan mahasiswa yang lain termasuk klub mahasiswa Buddhist dan Christian. Mengambil air wudhu-nya pun cukup jauh. Perlu berjalan kaki ke WC yang jaraknya nyaris sepanjang gedung. Musholla ini memang kurang menarik. Cukup ironis dengan keberadaan Chulalongkorn sebagai kampus paling bergengsi di Thailand.
Kendati kurang menarik, namun Muslim Study Club adalah tempat banyak mahasiswa muslim Chula melepas dahaga keislaman. Hidup di tengah mayoritas mahasiswa Buddhist di negara Buddhist tidaklah mudah. Maka, menemukan musholla, kendati jauh dari standar nyaman, ibarat menemukan oase di padang pasir. Dan hal ini berlaku pula bagi saudari kita, Chonlada Bangluansanti alias Tasnim.
Chonlada adalah mahasiswa sastra Inggris tingkat akhir di Chulalongkorn University. Tak heran, bahasa Inggrisnya di atas rata-rata mahasiswa Chula (karena rata-rata mahasiswa dan penduduk Thai memang tak cakap berbahasa Inggris). Tak ada kesulitan berdialog dengannya dalam bahasa Inggris. Namun, bahasa Inggris saja tak membuatnya menarik. Keputusan besarnya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada tahun 2005-lah yang lebih menarik. “Saya kembali kepada Islam bukan masuk Islam,” ujar Tasnim menegaskan.
Chonlada, yang ketika bersyahadat mengganti namanya menjadi Tasnim (atau Tasneem dalam ejaan Inggris), adalah muslimah asli Thai (keturunan China). Ia tak berdarah Thailand Selatan ataupun Pakistan dan Timur Tengah seperti halnya warga muslim Thailand yang lain. Orangtuanya asli Thai dan iapun tinggal di daerah warga Thai. Bukan di komunitas muslim ataupun komunitas Thailand Selatan seperti umumnya warga muslim Thai yang lain.
Tasnim telah bersinggungan dengan komunitas muslim sejak lama. Karena memang Thailand memiliki sepuluh persen warga muslim dan kota Bangkok sendiri dihuni sekitar tujuh ratus ribu warga muslim. Namun demikian, interaksi intensif antara Tasnim dengan muslim Thai memang ketika ia kuliah di Chula. Kendati warga muslim Chula, apakah mahasiswa, dosen, maupun karyawan, hanya berjumlah sekitar 100 orang, namun Tasnim tak menjumpai kesulitan dalam bergaul dengan mahasiswa muslim. Karena, mereka berbicara dalam bahasa yang sama, menggunakan busana yang sama (di kampus Chula, mahasiswa program S1 wajib menggunakan busana putih-hitam setiap hari), juga mudah menandai mahasiswa muslim dari jilbab dan janggutnya. Wajah mereka-pun tak terlalu berbeda, karena banyak pula muslim Thai berkulit putih dan bermata agak sipit. Seperti warga Thai yang lain.
Tasnim lahir di Bangkok pada tanggal 27 April 1985. Ia memiliki tiga saudara. Hingga kini ia masih tinggal bersama keluarganya di daerah Bangkae Bangkok. Kembalinya Taslim ke pangkuan Islam tidak dengan sendirinya. Terjadi melalui proses dan pergulatan panjang. Bagi warga Thai Non Muslim, Thai muslim disebut `khek` alias orang asing. Karena kendati ciri-ciri fisik, bahasa, dan asal daerah hampir sama, namun tradisi hidup dan nilai-nilai religi mereka sangat bertolak belakang. Alias, mereka hidup secara terasing di tanahnya sendiri.
Hal yang sama dirasakan Tasnim. Kendati ia tak asing dengan pemandangan perempuan berjilbab, lelaki berjanggut, restoran muslim, dan masjid di seputar Bangkok, namun sebagai warga Thai yang lahir dan besar sebagai Buddhist ia tetap asing dengan tradisi Islam. Sampailah suatu waktu ketika Tasnim tertarik dengan kesenian Islam. Ia memang senang dengan kesenian. Suatu waktu ia terkesima dengan lagu-lagu Islam yang syair dan iramanya terkesan asing. Dari situ pengembaraannya dimulai. Berangkat dari kesenian Islam, ia kemudian melanjutkan dengan membaca buku-buku tentang Islam di perpustakaan kampus. Sehabis dua hingga tiga buku dilahap, ia melanjutkan dengan membaca Al Qur`an berbahasa Thai. “Saya menemukan sesuatu ketika membaca buku-buku Islam dan juga Al Qur`an. Apa temuan saya yang paling menarik? Saya menemukan kata dan konsep tentang `Tuhan`,” jelas Tasnim.
Bagi kebanyakan warga Thai Buddhist, konsep Tuhan memang terkesan asing. Tasnim sendiri tidak mengenal konsep Tuhan sebelumnya. Maka ia tak memiliki pengetahuan apakah Tuhan itu eksis atau tidak. “Maka, saya memutuskan untuk terus mencari dan tak menyerah begitu saja,” papar Tasnim.
“Saya sangat tertarik dengan konsep monotheisme Islam. Saya pernah juga belajar agama Christian, tapi menurut saya ajaran Christian lebih banyak berkisah tentang orang-orang masa lalu. Konsep tentang trinitas juga tidak make sense buat saya. Saya meyakini bahwa pasti ada Pencipta dari semua isi alam ini. Memikirkan Sang Pencipta saja membuat saya merasa lebih nyaman,” ujar Tasnim.
Tak sekedar buku-buku, Tasnim-pun melahap ajaran Islam dari browsing di internet, kemudian rajin silaturrahmi ke muslim study club Chula. Alhamdulillah para mahasiwa pegiat muslim study club ini sangat kooperatif dan inklusif. Terbuka terhadap mahasiswa non muslim yang ingin belajar Islam. Puncak silaturrahmi dengan para mahasiswa muslim ini terjadi pada bulan November 2005. Dimana ia memutuskan untuk bersyahadat di Muslim Study Club Chula yang disaksikan oleh tiga orang, masing-masing adalah Hamidah, Hafidz, dan Adib. Ketiganya adalah pimpinan mahasiswa muslim Chula. Ketiganya juga orang yang paling berperan dalam keislaman Tasnim. Hafidz adalah wakil ketua pemuda muslim se-Thailand sekaligus mahasiswa program Master di Chula, Adib adalah Ketua Muslim Student of Chulalongkorn University, dan Hamidah alias Pratubjit adalah mahasiswa senior sekaligus putri dari Somchai, pengacara muslim Thai yang diculik dan diduga dibunuh secara misterius pada tahun 2005 karena pembelaannya pada muslim di Thailand Selatan.
Bagaimana keluarga Tasnim bereaksi atas keislamannya? “Memang ketika kembali pada Islam pada November 2005 saya tidak langsung menyampaikannya pada keluarga saya. Saya melakukannya dengan diam-diam. Shalat-pun saya lakukan dengan diam-diam. Barulah pada bulan Mei 2006 saya berani memproklamirkan pada orang tua saya sekaligus memproklamirkan keputusan saya mulai menggunakan hijab. Awalnya orang tua saya sangat kecewa. Saya menduga bahwa Ibu saya pasti akan melarang saya. Namun alhamdulillah itu tidak terjadi. Ibu dan ayah saya hanya berdiam diri. Lagipula saya berkeyakinan bahwa keislaman saya tak harus membuat saya hidup terpisah dengan mereka. Sebagai muslimah saya tetap dapat hidup dengan siapapun,” tutur Tasnim tegas.
Hingga kini Tasnim masih tinggal bersama orangtuanya. “Kesulitan saya hanya dalam hal makanan. Makanan keluarga kami bertaburan daging babi dan lingkungan tempat tinggal saya banyak anjing. Maka, saya selalu masak sendiri di rumah. Di kampus Chula sendiri malah tidak masalah, karena selalu ada kios makanan muslim terselip di tengah kios-kios makanan umum,” Tasnim menjelaskan.
Tasnim juga jarang bepergian ke luar kota apalagi ke luar negeri. Perjalanan paling jauhnya adalah ke Pattani di Thailand Selatan. Daerah yang selama ini diemohi oleh warga Thai lainnya karena sarat dengan konflik. Alih-alih menghindar, Tasnim justru pergi ke Pattani untuk menghabiskan Ramadhan pertamanya di tahun 2006. “Saya punya teman muslimah asli Pattani yang selalu pulang ketika Ramadhan. Maka sayapun mengunjunginya ketika Ramadhan dan menjumpai Idul Fitri 2006 juga di Pattani. Sungguh amat berkesan,” ujar Tasnim.
Namun, disamping keindahan berislam yang ditemuinya, ia juga sedikit kecewa dengan muslim di Pattani. “Saya melihat bahwa banyak muslim di Thailand, utamanya yang saya lihat di selatan, tidak menjalankan perintah Allah SWT dan tuntunan Rasulullah SAW secara benar. Saya melihat sesuatu yang berbeda. Muslimah mengenakan pakaian berlengan pendek, berjilbab pendek. Juga dengan muslimnya, kurang menghargai hak-hak muslimah,” tambah Tasnim.
Tasnim memang memiliki ekspekstasi yang tinggi dengan keislamannya. Ia ingin turut mengembangkan Islam dan kaum muslimin. Utamanya di Thailand selatan. “Setelah lulus nanti saya ingin mengambil program Master bidang pendidikan di Chula, setelah itu saya ingin mengajar di Thailand Selatan. Daerah tersebut sungguh memprihatinkan. Penduduknya kurang berpendidikan dan rata-rata lebih miskin dari penduduk Thailand yang lain, “ ujar Tasnim.. Sungguh suatu cita-cita yang tak terbayangkan dalam benak warga Thai yang lain. Apalagi ia seorang perempuan.
Di ujung perjumpaan dengan Chonlada Bangluansanti, alias Tasnim, tak lupa ia menyampaikan harapannya tentang lembaga keluarga. “Jelas saya ingin menikah dan berkeluarga. Kendati sayapun tak mengharapkan calon suami saya adalah orang yang sangat ideal. Saya tak berharap terlalu banyak. Namun semoga Allah SWT mengirimkan saya suami yang baik, dapat memimpin keluarga dan membimbing saya. Ia tidak harus orang kaya, tapi minimal ia dapat menasehati saya. Mengenai anak? Saya ingin anak dua orang, laki laki ataupun perempuan,” tutur Tasnim mengakhiri perjumpaan kami.
Seperti disampaikan Chonlada Bangluansanti alias Tasnim di Muslim Study Club Chulalongkorn University- Bangkok, Thailand, kepada Heru Susetyo dan Krisnadi Yuliawan pada 8 Januari 2007.
Leave a Reply