SATU NUSA SATU BANGSA BEDA AGAMA
Muslim Bangkok di Tengah Mayoritas Thai-Buddhist[1]
By : Heru Susetyo[2]
Pengantar
Mendengar kataThailand, imaji kita mestilah mengembara ke negeri gajah putih yang terkenal eksotis dengan daerah wisata cantiknya seperti Phuket,Ayutthaya, maupun Chiang Mai. Bagi mereka yang berpikiran nakal, kata `Thailand` mestilah identik dengan daerah turisme seks seperti Patpong di Bangkok dan Pattaya di propinsi Chon Buri yang luar biasa terkenal ke manca negara dan menyedot devisa luar biasa besar.
Sebagai negeri jiran, bagi kebanyakan masyarakatIndonesia,Thailandrelatif kurang dikenal dibandingkanMalaysiaataupun Singapura. Perbedaan bahasa, agama, dan budaya seringkali dituding sebagai penyebabnya. Mayoritas rakyat Thai berbahasa Thai, beragama Budha, dan memiliki budaya yang berakar kuat pada tradisi Sino-Siam yang berakulturasi dengan tradisi Budha-Hindu. Amat berbeda denganMalaysia, Singapura, ataupun Brunei Darussalam, yang sebagai negeri jiran nyaris memiliki kesamaan bahasa dan budaya dengan pendudukIndonesia.
Negeri yang terkenal sebagai `land of smile` ini berbatasan darat dengan Myanmar (Burma) di sebelah barat dan utara, Laos di utara dan timur, Kamboja (Cambodia) di timur, dan Malaysia di Selatan. Dengan luas wilayah sekitar 514.000km2, luasThailandhanya sekitar seperempat dari luasIndonesia. Demikian pula dengan penduduknya, data pada bulan Juli 2006 menunjukkan bahwa penduduk Thailand berjumlah 64 juta jiwa, alias lebih dari seperempat dari jumlah penduduk Indonesia.
Negeri yang kini bernamaThailandpada mulanya adalah suatu negeri berbentuk kerajaan yang telah berdiri sejak abad ke 6 dan 7 Masehi. Sedari awalnya kerajaan ini telah lekat dengan pengaruh Budha dan Hindu. Penguasa kerajaan ini juga berganti-ganti. Mulai dari kerajaan Dvaravati pada abad ke 6 dan 7 Masehi, kemudian Khmer pada abad 11 Masehi, Sukhothai (abad 13), Kerajaan Burma (abad 16 – 18), dan Siam yang antara lain ditandai dengan berkuasanya Dinasi Chakri (dengan gelar rajanya adalah `Rama`) hingga kini. Pada tahun 1932 melalui suatu revolusi tak berdarah, Thailand berubah bentuk dari kerajaan (monarkhi absolut) menjadi monarkhi konstitusional, dengan Raja sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri (PM) sebagai Kepala Pemerintahan. Nama `Thailand` sendiri sebagai nama resmi negara ditahbiskan pada tahun 1939 menggantikan nama `Siam`.
Tradisi Budha (terutama Budha Theravada) dan Hindu yang mengakar kuat di Thailand hingga kini, dengan populasi warga Thai Buddhist lebih dari 80% menyebabkan Thailand sering disebut sebagai negeri Budha. Orang Thai juga sering disebut orang Budha. Ada semacam generalisasi dan stereotipe bahwa menjadi Thai otomatis menjadi Budha. Sama seperti stereotipe yang berkembang di Malaysia dan Indonesia bahwa menjadi Melayu otomatis menjadi muslim.
Kenyataannya tidak demikian. Kendati warga Budha memang mayoritas, Thailand juga memiliki penduduk yang tidak beragama Budha. Warga minoritas ini ada yang beragama Islam, Hindu, Kong Hucu, bahkan aliran kepercayaan.
Keberadaan komunitas muslim sendiri cukup signifikan. Mereka tersebar di banyak provinsi Thailand. Tidak hanya di tiga propinsi selatan berbahasa Melayu-Yawi (Pattani, Yala, Narathiwat) seperti yang dikenal selama ini. Muslim Thailand terserak mulai dari Chiang Mai、Chiang Rai, dan Mai Hong Son di Utara, Khon Khaen di Timur Laut, Tak, Ayutthaya, Nakhon Nayok, Chachoengsao, Chon Buri dan Bangkok di tengah, Phuket, Ranong, Phang Nga dan Krabi di tepi laut Andaman (barat daya Thailand), muslim di Nakhon Si Thammarat, Surat Thani dan Songkhla, hingga Satun, Pattani, Yala, dan Narathiwat yang berdekatan dengan Malaysia.
Data dari Islamic Committee Office of Thailand (Kana Kammakan Klang Islam) pada bulan Desermber 2000 menunjukkan bahwa jumlah muslim Thailand sekitar 7.4 juta jiwa, dimana 6.3 juta diantaranya bermukim di propinsi selatan, masing-masing Pattani, Narathiwat, Yala, Satuin dan Songkhla dan 700.000 diantaranya bermukim di sekitar Bangkok dan Ayutthaya.
Asal muslimThailandjuga bervariasi. Adamemang yang berasal dari tiga propinsi selatan yang berbatasan denganMalaysia.Adayang dariChina, ada yang keturunan Pakistan-India-Persia.Adajuga yang berasal dari Champa, kerajaan kuno yang dahulu berada diVietnamdan kemudian hijrah ke Kamboja.
Muslim Bangkok dan Muslim Thai Selatan
Ketika bicara tentang muslim Thai lazimnya orang langsung merujuk kepada muslim di Pattani, Yala, dan Narathiwat di Thailand Selatan. Dengan jumlah sekitar 70% dari total muslim di Thailand amat wajar bahwa komunitas ini dianggap sebagai representasi muslim Thai. Padahal, secara geografis, etnis dan kultural mereka lebih dekat denganMalaysiadan tradisi muslim Melayu. Tak terlalu aneh. Thailandmemiliki empat propinsi yang berbatasan langsung denganMalaysia. Narathiwat berbatasan dengan Kelantan. Yala berbatasan dengan Perak dan Kedah. Songkhla berbatasan dengan Kedah dan Perlis, dan Satun berbatasan langsung dengan Perlis.
Sampai saat ini, bahasa Melayu Pattani (Yawi) adalah bahasa sehari-hari yang digunakan penduduk di Yala, Narathiwat, dan Pattani disamping bahasa nasional Thai. Sementara itu, penduduk propinsi Satun lebih banyak berbahasa Thai. Bahasa Melayu Pattani amat mirip dengan bahasa Melayu khas Kelantan (Malaysia) dari sisi dialek. Wajah, dan cara berbusana mereka juga tak jauh berbeda dengan saudara-saudaranya di Malaysia. Kaum perempuannya umumnya menggunakan jilbab/ kerudung khas Melayu dan kaum pria gemar menggunakan songkok (peci), sarung, dan memelihara janggut
Secara historis, muslim di Thailand Selatan memang tidak berakar secara kultural maupun genealogis dengan penduduk Thai yang lain. Dahulu, mereka adalah bagian dari warga kerajaan muslim Pattani yang kemudian dianeksasi oleh kerajaan Siam pada abad 18. Imperialisme dan perjanjian antara Inggris Raya dengan kerajaan Siam pada tahun 1909 semakin memperteguh aneksasi ini. Pattani, Yala, Narathiwat, dan Satun tetap dikuasai oleh Siam. Sedangkan Kedah, Perak, Perlis, dan Kelantan tetap dikuasai oleh Inggris Raya (yang kemudian menjadi bagian dari Malaysia).
Berbeda halnya dengan muslim Thai yang tinggal di sekitar Bangkok. Muslim Bangkok adalah komunitas muslim terbesar kedua di Thailand. Mereka tidak identik dengan muslim Thailand Selatan kendati sebagian kecil berasal dari Thailand Selatan untuk kemudian hijrah ke Bangkok berpuluh-puluh tahun yang lalu. Mereka hanya bisa berbahasa Thai seperti orang Thai yang lain. Berpenampilan fisik nyaris sama seperti orang Thai yang lain. Mengaku sebagai bagian dari bangsa Thai seperti orang Thai yang lain. Hanya satu saja perbedaannya. Mereka beragama Islam tidak sama seperti orang Thai yang lain. Satu Nusa, Satu Bangsa, Beda Agama.
Bangkok sendiri adalah Ibukota Thailand sekaligus satu kota terbesar di Asia Tenggara yang didirikan pada tahun 1782 oleh Raja Siam Rama I, menggantikan ibukota Siam sebelumnya yaitu Ayutthaya. Kota ini didirikan persis di tepi sungai Chao Phraya dan berjarak hanya 40 (empat puluh) kilometer saja dari Teluk Thailand. Bangkok kerap dijuluki sebagai Krung Thep alias `Kota Malaikat`. Dari sekitar 10 juta penduduknya, 70% diantaranya adalah keturunan China.
Muslim Bangkok bermukim di sekitar kota Bangkok maupun di kota-kota satelit di sekitarnya seperti Ayutthaya, Chachoengsao, Nakhon Pathom, Pathumthani, dan Samut Prakan. Di kota Bangkok saja ada sekitar 570.000 muslim dengan masjid berjumlah 165 dan imam berjumlah 2475 (data Islamic Committee of Thailand December 2000). Apabila digabungkan dengan kota-kota satelitnya, muslim Bangkok berjumlah sekitar 700.000 dengan masjid berjumlah 260 buah. Suatu angka yang cukup signifikan.
Asal muslim Bangkok bervariasi. Ada yang berasal dari Thailand Selatan, Persia, Arab, Pakistan-India, Bengali, Cambodia, China Selatan – Yunan, ataupun dari Thailand Utara seperti daerah Chiang Mai dan Chiang Rai. Kita dapat mengenal asal etnis muslim Bangkok dari pilihan tempat tinggal mereka. Muslim di daerah Soi Nana (soi berarti `gang` atau jalan kecil dalam bahasa Thai) biasanya adalah keturunan Arab. Muslim di daerah Si Lom dan Bang Rak adalah keturunan Pakistan – India. Muslim di daerah Bang Kha Lam berasal dari India maupun Afrika. Muslim di Ban Khrua adalah keturunan etnis Cham di Cambodia. Muslim di daerah Soi 7 Thanon Petchburi maupun di Minburi Nongcok berasal dari Pattani dan sekitarnya. Mayoritas muslim Bangkok adalah muslim Sunni bermazhab Syafi`i. Mirip dengan kebanyakan muslim di Thailand Selatan dan juga di Indonesia.
Berbeda dengan muslim di Thailand Selatan, muslim Bangkok relatif lebih berpendidikan dan baik status sosial ekonominya. Mereka bekerja hampir di semua wilayah seperti halnya warga Thai yang lain. Menjadi pedagang, pegawai swasta, ataupun menjadi pegawai pemerintah. Komunitas mereka, kendati kecil namun tetap solid. Muslim Thailand Selatan secara kuantitas berjumlah besar namun cenderung miskin, kurang berpendidikan, dan lemah aksesnya terhadap sumber daya kekuasaan di Thailand.
Kegamangan dan Konflik Identitas
Hidup sebagai minoritas di tengah mayoritas Thai Buddhist bukan sama sekali tanpa persoalan. Kendati berpenampilan fisik sama, berbahasa sama, lahir-pun di negeri Thai, namun perbedaan agama sedikit banyak mengundang masalah. Masalah terbesar bukanlah dengan warga Thai non muslim di Bangkok, karena mereka tergolong toleran dan tak bersikap diskriminatif terhadap warga muslim. Perbedaan cara hidup, kebiasaan, dan sistem nilai yang berakar dari perbedaan agama adalah masalah yang lebih serius.
”Masyarakat Thai non muslim relatif memperlakukan warga muslim dengan baik. Kami tidak menemukan kesulitan untuk hidup sebagai muslim di Bangkok. Hanya saja pengetahuan mereka tentang Islam amat minim. Mereka hanya memahami Islam sebatas melarang makan daging babi,” ujar Ibnu Abdul Razak, muslim Bangkok yang berdiam di Soi 7 Thanon Petchburi.
Kehidupan muslim Bangkok memang dikepung ritual, kebiasaan, dan budaya-budaya Thai Buddhist. Dan ini berlangsung sejak pagi hari. Adalah pemandangan yang umum di pagi hari menyaksikan para pendeta Budha (monk) berpakaian orange (saffron) berkepala plontos dengan hanya mengenakan sandal, mengedarkan bakul kosong di pagi hari supaya diisi oleh warga yang didatanginya. Para warga, apakah pedagang pasar, orang lewat, pegawai kantor yang tengah menanti kendaraan, biasanya mengisi bakul tersebut entah dengan makanan ataupun barang lain. Kemudian sang monk memberkati si pemberi barang tersebut. Menurut Roger Welty (2005), tradisi ini berlangsung setiap hari selama lebih dari 2500 tahun silam. Para monk adalah `warganegara kelas satu` di Thailand. Mereka selalu mendapat prioritas di mana-mana. Ketika menumpang bus, kereta maupun kapal, monk selalu mendapat kursi khusus.
Hampir di setiap rumah warga Thai juga selalu tersedia rumah roh (spirit house) yang menurut keyakinan penduduk Budha adalah salah satu cara untuk melokalisir pengaruh buruk dan memberi keselamatan bagi rumah, gedung dan penghuninya. Rumah roh ini lazimnya diberikan sesajen di pagi hari, bisa berupa kelapa muda, minuman botol, makanan kecil, hingga bunga-bungaan dan patung-patung gajah berukuran kecil. Apabila melewati rumah roh, lazimnya warga Thai Buddhist akan merapatkan kedua tangannya (wai) dan menunduk menghormat seraya berdoa. Rumah roh ini mudah ditemukan dimana-mana. Di pusat-pusat pertokoan besar di Bangkok seperti Central World ataupun Mahboonkrong, rumah-rumah roh ini bahkan menjadi tempat pemujaan yang berukuran besar lengkap dengan patung Ganesha, gajah, dan lain-lain.
Warga Bangkok non muslim juga amat mencintai dan menghormati raja. Raja Bhumibol Adulyadej (Rama IX) yang bertahta sejak tahun 1946 nyaris seperti tuhan bagi warga Thai Buddhist. Mereka menyembah raja nyaris seperti muslim menyembah Tuhan. Raja adalah pemimpin tertinggi dan simbol keadilan dan kebenaran. Maka, mengkritisi dan berbicara buruk tentang raja adalah suatu kejahatan berdasarkan hukum Thailand. Saking cintanya kepada raja, warga Thai biasa menggunakan baju berwarna kuning bertuliskan `long live the king` setiap hari Senin. Karena raja Bhumibol lahir pada hari Senin, dan warna untuk hari Senin adalah kuning berdasarkan kepercayaan mereka. Warga juga biasa memakai baju berwarna biru muda setiap hari Jum`at, karena Ratu Sirikit lahir pada hari Jum`at dan warna untuk hari Jum`at adalah biru muda. Warga Thai juga tak pernah berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan raja. Apabila mereka menjumpai raja, biasanya mereka duduk di lantai dengan bersila atau lesehan dan tidak memandang langsung wajah raja, sementara sang raja duduk di kursi kebesarannya. Bahkan para petinggi militer Thailand yang melakukan kudeta tak berdarah pada 19 September 2006 untuk menggulingkan PM Thaksin Shinawatra-pun, ketika menjumpai raja tetaplah duduk lesehan di lantai.
Penghormatan terhadap raja berlangsung dimana-mana. Setiap hari pada jam 08.00 dan jam 18.00 di tempat-tempat publik disiarkan lagu kebangsaan untuk menghormati raja. Dimana siapapun yang mendengarnya wajib berdiri mematung dan menghormati raja. Tak hanya itu, di bioskop-pun sebelum film diputar ada film pendahuluan sekitar 2 menit tentang raja dimana para penonton wajib berdiri menghormat sebelum menonton film yang sebenarnya.
Bagaimana dengan warga muslim? ”Saya tak pernah menggunakan baju kuning setiap hari Senin, karena saya kan muslim,” ujar Zaman, warga muslim Bangkok asli Songkhla. ”Menggunakan baju kuning berarti menuhankan raja dan itu termasuk syirik,” ujar Zaman lagi.
”Terus terang kami jarang pergi ke Ayutthaya untuk melihat reruntuhan kuil dan pagoda, itu kan peninggalan kerajaan Siam-Budha, sedangkan kami muslim. Terlalu banyak berhala disana,” ujar Farid, muslim Bangkok yang aktif di Islamic Center Ramkamhaeng Bangkok.
”Orang Thai Buddha tak memiliki konsep monotheisme. Adalah aneh dalam konsep orang Thai apabila hanya memiliki satu tuhan atau satu dewa yang disembah saja. Itulah yang membuat saya masuk Islam. Saya tertarik dengan konsep satu Tuhan dalam Islam,” ujar Chonlada, mahasiswa sastra Inggris Chulalongkorn University yang ketika masuk Islam pada tahun 2005 mengganti namanya menjadi Tasnim.
Benturan-benturan nilai dan kebiasaan di atas adalah wajah keseharian muslim Bangkok. Mereka mengalami konflik identitas, sebagai warganegara Thailand, sebagai bangsa Thai, namun juga sebagai muslim. Ada nilai-nilai Islam tertentu yang tak memudahkan mereka untuk hidup layaknya warga Thai yang lain. Mereka tak mungkin menyembah raja Thailand sebagaimana rakyat Thai yang lain. Mereka-pun tak mungkin menghormati rumah roh dan patung, karena terkategori syirik besar. Mereka-pun tak mudah makan di sembarang tempat dan membeli makan di kedai-kedai penjual Thai Buddha, karena tak jelas halal haramnya dari makanan yang digelar tersebut. Juga, mereka tak mudah untuk shalat di sembarang tempat, karena warga Bangkok banyak yang memelihara anjing di dalam maupun di luar rumah.
”Inilah salah satu kesulitan hidup sebagai warga muslim di Bangkok. Kita harus hidup secara sekuler untuk dapat bekerja dan mencapai jenjang tertinggi di pemerintahan,” papar Ibnu Abdul Razak.
Perbedaan cara hidup dan sistem nilai dengan mayoritas Thai Buddhist membuat warga muslim kerap dijuluki sebagai ’khek’ (`pendatang’ atau ’orang asing’ dalam bahasa Thai). Semula istilah ini digunakan untuk menyebut muslim pendatang dari Timur Tengah maupun dari India-Pakistan-Bengali. Namun lama kelamaan semua muslim akhirnya disebut sebagai `khek` juga. Berbeda dengan orang asing yang datang dari barat dan berkulit putih, dimana untuk kelompok ini disebut sebagai `farang’.
Upaya Mempertahankan Eksistensi
Sedikit tapi bergigi adalah ungkapan yang paling pas untuk melukiskan muslim Bangkok. Mirip seperti oase di tengah padang pasir, yang kendati jumlahnya jarang namun mampu menawarkan kesejukan.
Satu contoh paling menarik adalah aktifnya berbagai asosiasi pelajar muslim di universitas-universitas Thailand. Kampus-kampus utama di Bangkok, seperti Chulalongkorn University, Thammasat University, Mahidol University, dan Asian Institute of Technology (AIT) memiliki asosiasi mahasiswa muslim (Muslim Students Association) yang sangat aktif dan saling berhubungan erat satu sama lain.
Di Chulalongkorn University ada sekitar 100 mahasiswa dan pegawai muslim. Namun hanya ada satu musholla kecil yang mereka sebut sebagai `hong lamat` ataupun muslim study club center disana. Letaknya di lantai empat gedung serbaguna Chulalongkorn. Persis di atas cafetaria. Musholla ini berukuran kecil. Kurang dari 6 X 3 meter. Dengan bentuk yang tidak persegi empat. Nyaris berbentuk segitiga dimana di bagian Imam musholla menyempit menjadi hanya berukuran dua orang dewasa saja.
Kendati kecil, musholla ini ramai dikunjungi oleh mahasiswa muslim baik pria maupun wanita. Baik mahasiswa Thai maupun mahasiswa muslim, termasuk mahasiswa Indonesia. Pria menempati bagian depan dan wanita di bagian belakang dimana diantara keduanya diletakkan hijab kayu setinggi tubuh orang dewasa. Setiap waktu sholat musholla ini nyaris penuh , karena memang berukuran kecil sekali. Setiap hari Jum`at, utamanya ketika musim kuliah, digelar shalat Jum`at dengan imam yang bergantian di kalangan mahasiswa. Berapapun makmumnya shalat Jum`at tetap digelar. Pernah suatu Jum`at makmum laki-lakinya hanya berjumlah dua orang saja dan shalat Jum`at tetap berjalan. Muslimah Chulalongkorn University juga berhijab rapi dan amat rajin melaksanakan shalat fardhu dan mengikuti shalat Jum’at.
Menurut Adib, mantan ketua Chulalongkorn Muslim Study Club sekaligus mahasiswa tingkat akhir faculty of engineering, kegiatan keislaman seperti ini adalah kegiatan yang umum terjadi di kampus-kampus Bangkok. ”Kami memiliki hubungan dengan mahasiswa muslim lain di universitas lain. Secara berkala kami mengadakan muslim study camp bersama ke luar kota untuk mempererat ukhuwah Islamiyah, ” tukas Adib dalam bahasa Melayu Pattani bercampur bahasa Inggris.
Kalangan pedagang dan pengusaha muslim Bangkok juga bangga dengan keislaman mereka. Pedagang muslim selalu menandai makanan dagangannya dengan stiker berlafaz Allah, Muhammad, ataupun Bismillahirrahmanirrahim, disamping label halal yang mereka tempelkan di etalase. Ini adalah cara mudah untuk mengidentifikasi bahwa makanan yang mereka jual adalah layak dikonsumsi dan berstatus halal. Hal ini perlu dilakukan mengingat wajah dan bahasa yang digunakan Thai muslim dan non muslim relatif sama. Juga tak hanya pedagang kaki lima, salah satu toko komputer eksklusif di lantai 5 Panthip Plaza Thanon Petchburi di Bangkok-pun dengan bangga memasang kaligrafi di tembok atasnya untuk menandakan bahwa pemiliknya adalah muslim.
Sentra kegiatan muslim Bangkok adalah di Islamic Center di daerah Ramkamhaeng. Di dalamnya terletak masjid berukuran besar berlantai dua. Tempat shalat terletak di lantai dua, dan di lantai bawahnya digunakan untuk aula, perpustakaan, tempat makan, toko buku, dan kantor-kantor. Masjid ini selalu ramai dikunjungi minimal setiap hari Jum`at dan Ahad dengan beragam corak muslim yang mendatanginya. Dari yang bercadar dan berjilbab lebar, ataupun bersorban dan bergamis putih hingga muslim yang mengenakan celana jeans ketat dan kaos oblong saja.
Muslim Bangkok telah memberi warna lain bagi kehidupan kota Bangkok dan negeri Thailand pada umumnya. Mudah sekali menemukan mereka berseliweran di pojok-pojok kota Bangkok yang amat mudah dikenali dari pakaian yang mereka gunakan. Terkadang amat kontras dengan penduduk Bangkok yang lain yang cenderung berbusana ala kadarnya. Dari rahim mereka telah lahir banyak orang penting Thailand seperti Jenderal Sonthi Boonyaratglin, panglima Angkatan Bersenjata dan Ketua Dewan Keamanan Nasional Thailand, yang sekaligus pemimpin kudeta tak berdarah tahun 2005. Juga ada figur-figur akademisi terkenal seperti Professor Anas dari Mahidol University, Professor Chaiwat Satha Anand dari Thammasat University, ataupun Professor Isra Santisart dari Chulalongkorn University. Muslim Bangkok memang minoritas dan hidup setengah terasing dengan warga Bangkok yang lain. Namun eksistensi mereka nyata.
Wallahua`lam
Leave a Reply