BULAN SABIT DI TENGAH PALU ARIT
Minoritas Muslim di Hanoi-Vietnam
Bendera dan lambang palu arit bisa dipastikan mustahil bisa ditemukan di Indonesia. Karena negeri ini masih trauma dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan G30/S PKI-nya. Bahkan TAP MPR yang melarang PKI dan penyebarluasan ajaran komunisme masih berlaku sampai kini.
Beda halnya dengan di Vietnam. Di negeri ini sejauh mata memandang, setiap kantor pemerintah atau lembaga resmi mesti ditaburi bendera bintang kuning berlatar merah dan bendera palu arit berwarna kuning dengan background juga merah. Lambang komunisme.
Vietnam memang negeri komunis. Predikat yang disandang sejak tahun 1975 ketika Vietnam Utara dan Vietnam Selatan bergabung di bawah pemerintahan Sosialis Vietnam, yang didahului oleh Perang Vietnam (atau ‘Perang Amerika’ menurut bangsa Vietnam) pada kurun waktu 1965-1975. Sebelumnya, Vietnam dijajah Perancis sejak abad 20 hingga tahun 1954.
Kendati palu arit bertaburan dengan leluasa dimana-mana, tetap saja napas bulan sabit masih terasa. Islam dan muslim tetap eksis di Vietnam kendati jumlahnya kurang dari 1% dari total penduduk Vietnam yang 89 juta jiwa (data tahun 2011).
Konsentrasi muslim di Vietnam sebagian besar berada Vietnam Selatan-Tenggara, utamanya di Delta Sungai Mekong, di Propinsi Ninh Thua, Binh Thuan, An Giang dan Ho Chi Minh City (HCMC). Asal usul muslim Vietnam dapat diurut sejak abad 10-11 Masehi, saat dimana utusan Khalifah Utsman bin Affan dari jazirah Arab berdakwah dan mensyi’arkan Islam di Kerajaan Champa.
Sepertiga dari muslim Vietnam memang ber-etnis Cham (Champa). Sebagian lainnya adalah keturunan Khmer, India-Pakistan, Melayu, Indonesia (utamanya dari Pulau Bawean) , dari Timur Tengah dan juga Afrika Utara. Secara sosio-kultural Muslim Cham amat dekat dengan bangsa di Semenanjung Malaya yang kini bernama Malaysia. Bahkan ada yang mengatakan bahwa orang Cham berasal dari Malaysia. Faktanya, hingga kini memang banyak keturunan Cham yang tinggal dan bersekolah di Malaysia. Ketika Republik sosialis Vietnam didirikan 1975, sekitar 55.000 muslim Cham hengkang ke Malaysia dan juga ke Yaman. Hal ini turut menjelaskan mengapa orang Cham banyak yang bisa berbahasa Melayu dan mengapa ada beberapa restoran Malaysia di Ho Chi Minh City (Saigon).
Satu hal sering dilupakan. Di luar komunitas besar muslim di Vietnam Tenggara (Delta Sungai Mekong), ada minoritas muslim lain yang tinggal di Hanoi, ibukota Vietnam. Saigon alias Ho Chi Minh City (HCMC) memang kota terbesar dan pusat bisnis Vietnam, namun sejatinya ibukota Vietnam adalah Hanoi. Keunikan berikutnya, apabila di Ho Chi Minh City mudah menemukan masjid (paling tidak ada 8 masjid di dalam kota), maka di Hanoi hanya ada satu masjid. Bahkan bukan hanya di Hanoi, satu masjid tersebut adalah mewakili seluruh daerah di Vietnam bagian utara (menurut versi Rough Guides 2006 Edisi Vietnam-buku panduan traveller).
Masjid An-Noor namanya, atau Guiding Light Mosque dalam bahasa Inggris. Terletak di jalan Hang Luoc No. 12 Old Quarter alias di kawasan kota tua Hanoi yang khas Pecinan (Chinatown). Kawasan yang padat dengan pertokoan dengan jalannya yang kecil-kecil dan aktifitas perdagangan yang luar biasa marak dari pagi hingga malam.
Menilik lokasinya di tengah kawasan bisnis, siapapun takkan mengira ada tersempil sebuah masjid. Apalagi di kiri kanan-nya sama sekali tidak ada perkampungan muslim. Sebaliknya, di luar masjid berkeliaran anjing-anjing dan tempat makan yang menghidangkan daging babi. Kendati nyaris tak terdeteksi oleh mata wisatawan asing yang umumnya menjelajahi Hoan Kiem Lake (danau kecil di daerah Old Quarter yang menjadi sentra turisme Hanoi), sejatinya masjid ini memiliki nilai historis juga. Bentuknya mengingatkan kita pada masjid-masjid kuno di Indonesia yang dibangun di era Wali Songo. Di atas mihrab-nya ada tulisan timbul ‘la ilaha ilallah’ dan angka 1323 dalam aksara Arab. Menurut versi buku panduan turis Rough Guide Edisi Vietnam 2006, masjid ini didirikan tahun 1890 oleh pedagang dan imigran asal India yang bermukim di Hanoi.
Masjid ini tidak besar. Walau juga tidak kecil. Berwarna putih dengan aksen hijau di beberapa sisi. Tidak ada tempat parkir untuk mobil. Ruang yang tersisa hanya dapat menampung beberapa motor. Terdiri dari satu lantai saja yang ditutupi dengan karpet. Tempat wudhu berada di sisi kanan masjid. Ruang shalat sendiri ditinggikan sekitar dua meter dari permukaan jalan. Tempat shalat pria dan wanita dipisah dengan hijab kain.
Lokasi masjid ini memang di kawasan turisme Old Quarter Hanoi, namun jangan tanya tentang jama’ahnya. “Total jama’ah di masjid ini hanya berkisar 70 orang saja dan itu datang dari seluruh Hanoi. Kalau digabung dengan muslim dari kalangan diplomatik asing yang berdinas di Hanoi maka sekitar 150 orang saja,” tutur Imam Abdussalam, Imam Masjid An-Noor yang keturunan Cham dan menempuh studi Islam-nya di Libya. Jumlah yang cukup memprihatinkan karena di Indonesia itu setara dengan jama’ah masjid satu RT saja.
Dan penulis sudah membuktikannya. Dua kali menyambangi masjid ini pada Januari 2010 dan Agustus 2011 masjid ini memang sepi. Pada kunjungan kedua adalah bertepatan dengan bulan Ramadhan 1432 H maka jama’ah sedikit lebih banyak. Pada kesempatan empat kali shalat tarawih disana jama’ah tidak beranjak dari tiga shaf dengan jumlah berkisar 30 orang saja. Jama’ah Shalat Subuh di bulan Ramadhan juga tidak lebih dari 20 orang.
“Jama’ah disini memang tidak banyak Mas, juga orang Indonesianya. Kebanyakan hanya kami yang bekerja di KBRI Hanoi saja,” ujar Rizal, staf lokal di KBRI Hanoi yang telah delapan tahun tinggal di Hanoi. “Di dalam kantor KBRI juga tidak ada masjid dan tidak diselenggarakan tarawih, maka kami ikut shalat di masjid An-Noor ini,” tambah Rizal lagi.
“Betah tidak tinggal di kota ini Mas?” ujar saya iseng. “Buktinya saya bisa bertahan delapan tahun disini Mas. Saya tinggal dengan istri saya (asli Indonesia) dan anak-anak saya. Anak-anak saya bahkan bersekolah di sekolah Vietnam dengan bahasa pengantarnya bahasa Vietnam. Tidak di sekolah internasional,” jawab Rizal saat bersantai usai shalat tarawih di Masjid An-Noor.
Pemahaman masyarakat Vietnam, utamanya Hanoi tentang Islam memang minim. Umumnya hanya mengetahui bahwa orang Islam tidak makan babi dan lelakinya bisa menikah lebih dari satu kali. Akan halnya apa itu Allah, Nabi Muhammad, Al Qur’an, masjid dan Al Qur’an nyaris tidak diketahui. Maklum negeri komunis, dimana agama dinihilkan dan dianggap urusan pribadi, sama sekali bukan urusan negara.
Walau berwajah komunis, namun penganut agama apapun tetap bisa bertahan dan hidup tenang di Vietnam. Disamping masjid di selatan Vietnam, banyak gereja bertebaran di seantero Vietnam. Tidak ada intimidasi dari negara. Negeri komunis era millennium ini memang berbeda dengan komunis di era awal atau pertengahan abad 20 yang memandang agama sebagai candu yang mengganggu tercapainya masyarakat komunis sejati yang ‘sama rata sama rasa’. Dalam pemantauan kami, negeri ini malah tampak luarnya lebih ‘kapitalis’, karena dunia bisnis begitu maju dan dimana –mana bertebaran produk-produk ‘kapitalis’ seperti resto siap saji KFC, McDonald, Burger King, dan sebagainya.
Begitupun Ramadhan di Hanoi. Kendati suasana Ramadhan nyaris tak terlihat dan tak terasa, namun di Masjid An Noor begitu terasa. Makanan untuk sahur dan ifthar diberikan Cuma-Cuma. Makanan disediakan secara bergiliran oleh kedutaan-kedutaan dari negeri-negeri muslim yang memiliki perwakilan di Hanoi. Oleh karena itu, tidak aneh apabila menu harian ifthar di masjid ini bervariasi. Kadang makanan penuh kari dan nasi biryani apabila Kedutaan Pakistan yang menjamu. Kadang makanan Melayu apabila tiba giliran Kedubes Malaysia-Indonesia, ataupun makanan khas Timur Tengah ketika tiba giliran menjamu negara-negara Arab.
Kesempatan menikmati makanan halal di waktu Ramadhan secara percuma ini adalah suatu berkah bagi muslim di Hanoi. Karena tidak ada restoran halal di Hanoi. “Disini tak ada restoran halal. Ada satu restoran India di dekat Hoan Kiem Lake, dagingnya saja halal dan selebihnya tidak,” ujar Imam Abdussalamn dalam bahasa Inggris bercampur Arab. Tak heran selepas tarawih, banyak jama’ah membungkusi sisa makanan yang tersisa untuk dibawa ke rumah .
Mengenai ibadahnya sendiri, terbilang unik. Masjid ini amat toleran terhadap perbedaan. Sebagai contoh, dalam shalat isya dan shalat tarawihnya ada empat imam yang berbeda. Ketika kami shalat disana pada malam ketiga Ramadhan, imam shalat isya adalah orang Vietnam, imam empat rakaat pertama tarawih adalah orang Arab, imam empat rakaat kedua adalah orang Afrika dan imam witirnya (tiga rakaat) adalah orang Indonesia. Bisa dibayangkan, perbedaan langgam qira’ah dan cara shalat melahirkan sensasi tersendiri bagi para ma’mum. Para ma’mum pun berasal dari banyak negeri. Ada wajah-wajah Vietnam, Malaysia-Indonesia, Pakistan-India, Arab-Afrika Utara, hingga muslim berwajah Eropa.
Karena populasinya kecil juga, penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal amat mudah dan sederhana disini. Tak ada komite khusus yang merukyat hilal atau menghisab wujudul hilal. Cukup dengan tulisan tangan dari Sang Imam Masjid yang ditempelkan di papan pengumuman di muka masjid yang menyatakan : “tanggal ini sudah masuk tanggal 1 Ramadhan”. Bisa jadi Sang Imam merujuk pada putusan di Vietnam Selatan atau bahkan di Malaysia yang menjadi rujukan muslim Cham. Sedangkan, mengenai jadwal imsakiyah Ramadhan sendiri, Sang Imam mencetak jadwal imsakiyah online yang tersedia secara gratis di internet di situs-situs islam internasional. Begitu mudah, sederhana dan minim konflik.
Di masjid ini saya-pun bertemu dengan Hisyam. Seorang muslim asli Maroko yang warganegara Perancis dan bekerja sebagai engineer di perusahaan konstruksi Perancis di Hanoi. Brother Maroko ini terlihat amat rajin shalat dan tawadhu. Ketika shalat subuh dan maghrib sampai tarawih ia selalu hadir. “Saya sudah empat tahun disini dan saya tetap bisa bertahan. Dimana-mana adalah bumi Allah,” tutur Hisyam dalam bahasa Inggris. Ia datang dan pergi ke masjid dengan moda transportasi yang mayoritas digunakan oleh rakyat Hanoi, yaitu sepeda motor. Sayangnya dia enggan difoto. “Saya tak mau difoto, brother” ungkapnya tegas.
Melihat kesahajaan masjid di Hanoi dengan kesahajaan warga muslimnya yang multietnis namun minoritas, yang tetap bersemangat menyelenggarakan ibadah Ramadhan di tengah segala keterbatasan, hati siapapun akan tersentuh, sekaligus tertantang. Mereka telah membuktikan bahwa minimnya jumlah masjid dan saudara-saudara muslim tidak berarti dakwah dan ibadah mereka harus berhenti. Juga, kendati hidup di bawah naungan Palu Arit tak mesti Bulan Sabit harus tenggelam di bawah permukaan lalu iman menjadi defisit. Karena, The show must go on. Isyhadu bi ana muslim !
Leave a Reply