Kebanyakan nonton film porno mencabuli
NB : Telah dimuat di Jurnal MTP
AKAR MASALAH PORNOGRAFI
Heru Susetyo
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia/
Dewan Pendiri Masyarakat Tolak Pornografi (MTP)
- A. Fenomena Pornografi
Negara-negara Asia mensikapi pornografi secara berbeda-beda. Di Singapura majalah-majalah ber-content pornografi mudah ditemukan di toko buku. Di Malaysia sangat sulit dan dibatasi. Di Thailand benda-benda pornografi tak mudah ditemukan di toko buku toko buku umum, tapi yang edisi local beredar secara liar di pasaran. Di Jepang sangat bebas. Dimana-mana, utamanya di convenience store (biasa disebut kombini) majalah-majalah porno digelar tanpa malu-malu.Di Indonesia? Peraturan cukup keras melarang (seperti dapat dilihat pada KUHP dan UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi) namun faktanya majalah-majalah dan video-video porno mudah didapatkan di tempat-tempat tertentu. Semua kelompok umur, tua muda maupun dewasa dan anak-anak mudah mengakses barang-barang pornografi diIndonesia.
Tak sekedar di darat, di jagat maya para netters Indonesia termasuk kampiun dalam mengakses situs-situs ber-content porno di internet. Dengan penelaahan sederhana melalui www.google.com/trends, dimana semua orang dapat melakukannya, nampak jelas bahwa hit-hit untuk content porno tertentu memang dipimpin oleh para netters Indonesia. Sebagai contoh, hit untuk content ber- keywords (kata kunci) ‘sex video’, ‘porn video’, ‘pornstar’, ‘miyabi’, ‘tube8’ dan ‘making love’ adalah didominasi oleh para netters Indonesia (data diperoleh melalui google.com/trends pada 3 Juni 2010).
Juga, tak sekedar Indonesia, kenyataannya banyak negara-negara dunia ketiga dengan penduduk mayoritas muslim adalah juga berpredikat sebagai pengakses situs porno terbanyak. Sebagai contoh, dalam dalam daftar 10 besar pengakses content ber kata kunci ‘making love’ setelah Indonesiaterdapat India, Pakistan, United Arab Emirates, Malaysiadan Mesir. Dalam daftar 10 besar pengakses ber kata kunci ‘sex video’ setelah Indonesia adalah Aljazair, Maroko, India, Malaysia, Turki, dan Mesir. Dalam daftar 10 besar untuk keywords ‘sex cam’ kendati Indonesia tidak menempati peringkat pertama, namun ada Negara-negara berpenduduk muslim seperti India, Mesir, Maroko, dan Turki yang menempati posisi 5 (lima) besar.
Mengapa banyak netters di negara-negara berpenduduk muslim mengakses content pornografi di internet? Mengapa pula akses netters negara maju terhadap content berbau pornografi tersebut terbilang rendah?
Tahun 2006 Indonesia adalah negeri terbesar ke – 7 pengakses situs pornografi. Tahun 2007 meningkat menjadi peringkat ke -5. Hingga Juni 2008 menyodok ke peringkat 3 (tiga) dunia. Dan menurut hasil riset yang dikemukakan oleh kantor berita internasional Associated Press (AP), Indonesia saat ini merupakan ‘sorga’ pornografi nomor tiga di dunia setelah Russia dan Swiss, dan bahkan pada tahun 2001 pihak kepolisian Indonesia telah menerima pengaduan pihak kepolisian federal Amerika Serikat akan adanya orang Indonesia yang mengoperasikan situs pornografi anak-anak (paedofilia) terbesar di dunia (Soefyanto, 2009 : 15).
Soefyanto (2009 : 3) menyebutkan bahwa pornografi sejak semula merupakan perilaku bermasalah, dalam perkembangannya menjadi dasar sanksi moral dan sanksi hukum karena dapat merusak nilai kesusilaan, merusak moral anak-anak dan remaja, bahkan orang dewasa dan menyebabkan meningkatnya kejahatan seksual, perkosaan, perselingkuhan, pelecehan seksual, perbuatan cabul dan perilaku lain sejenisnya. Pornografi merupakan perilaku bermasalah yang dinilai penyebab degradasi nilai-nilai yang dihormati masyarakat, merusak nilai-nilai agama, nilai-nilai kesusilaan dan moral, nilai budaya dan sopan santun, nilai-nilai kemanusiaan, melunturkan kesucian suatu perkawinan.
(Soefyanto. 2009 : 14) juga menyebutkan bahwa data dari berbagai Rutan dan Lapas Anak di seluruh Negara, ada kecenderungan bahwa angka kejahatan pencabulan, pemerkosaan atau pelecehan seksual yang dilakukan anak meningkat drastis yang jika digali lebih jauh penyebabnya adalah akses anak terhadap materi pornografi. Temuan penulis sendiri dalam kunjungan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang tahun 2008 dan 2010 mendapatkan data bahwa kejahatan seksual menduduki urutan kedua sebagai sebab para andikpas (anak didik pemasyarakatan) menghuni lembaga pemasyarakatan. Sedangkan urutan kejahatan pertama adalah kejahatan narkotika dan psikotropika.
Satu hal menarik dari fenomena pornografi adalah ia tak semata-mata alat untuk memuaskan kebutuhan seksual individu namun juga adalah suatu komoditas ataupun industri baru. Shepher dan Reisman (1985 : 103) menyebutkan bahwa :
Supporters and antagonist woud both agree that pornography is a commodity for which millions of people in the Western world are prepared to pay billions of dollars every year. Pornographic pictures, novels, films, cassettes, records, and devices are sold in thousands of specialty shops, with a hierarchy of levels, styles and prices for the products (Shepher and Reisman, 1985 : 103).
- B. Debat Pengertian Pornografi
Debat pengertian dan ruang lingkup pornografi di Indonesia barangkali sudah dianggap selesai dengan lahirnya UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Namun di dunia barat debat tersebut tak pernah selesai. Masih banyak yang menyebutkan bahwa pornografi adalah bagian dari hak (rights) dan kebebasan berekspresi (freedom of expression), dan bahwasanya pornografi tak ada hubungannya dengan peningkatan kejahatan seksual dan meningkatnya penyimpangan sosial dalam masyarakat. Debat tentang pornografi antara lain sebagai berikut :
Pornography’s intended and most direct effect is to produce sexual arousal. Pornography used to be a sort of litmus test for where one stood on the political spectrum. Conservatives claimed, sometimes on the basis of religious considerations that pornography is something disgusting and immoral. Liberals, with varying degrees of enthusiasm, declared pornography something to be tolerated, and a few self-proclaimed sexual radicals argued for less state control over sexually explicit material (Dwyer,1995 : 3)
Pornography is not synonymous with obscenity. The latter term dates back to late sixteenth century and refers to things that are highly offensive or morally repugnant. Pornography, on the other hand, entered the language only in the nineteenth century and is strictly defined as the explicit description of exhibition or sexual objects or activity in literature, painting, films, etch., in a manner intended to stimulate erotic rather than aesthetic feelings. The word ‘pornography’ originates from the Greek and means writing about prostitutes. Pornography should be distinguished from obscenity, which means the filthy or disgusting. Obscenity rather than pornography is the term normally found in legal instruments. It defines pornography as the description of the life and manners of prostitutes and their patrons and the pornographer as one who writes of prostitutes or obscene matters (Dwyer, 1995 : 5).
- C. Akar Masalah Pornografi
Bagaimana tanda-tanda orang kecanduan pornografi? Michael Bayer (2010) menyebutkan bahwa tanda-tandanya adalah seseorang keranjingan membaca atau melihat pornografi, sangat terobsesi untuk melihat atau berpikir tentang pornografi dalam semua wilayah kehidupannya.
Banyak alasan mengapa orang mengakses benda-benda ber-content pornography. Khususnya mengenai pornografi anak, Max Taylor dan Ethel Quayle dalam bukunya Child Pornography (2003) menyebutkan bahwa paling tidak ada beberapa fungsi pornografi anak (child pornography) bagi para penikmatnya, antara lain : (1) untuk membangkitkan hasrat seksual (sexual arousal); (2) pornografi anak sebagai barang-barang koleksi (collectibles) yang bisa melahirkan kepuasan seksual; (3) sebagai media untuk memfasilitasi hubungan sosial (social relationship) sehingga seseorang dapat diterima sebagai anggota suatu kelompok sosial; (4) sebagai media untuk menghindari kehidupan nyata (a way of avoiding real life); dan (5) pornografi anak sebagai terapi.
Maka, tidak serupa memang alasan orang mengkonsumsi pornografi. Sama sulitnya untuk menjelaskan mengapa ada orang yang menyukai pornografi anak, pornografi sesama jenis (homosexual) ataupun adegan seks dengan binatang, seks dengan mayat, ataupun seks dengan kekerasan (sado machism).
Sementara itu Thomas Barker (2006) yang menganalisis fenomena VCD Porno di Indonesia menyebutkan bahwa …pornography in Indonesia is not just copies of Western products and culture or as the result of post – 1998 press freedoms. Pornography is a complex issue…Pornography is a very modern creation, far removed from its Greek lexical roots as the “writing of harlots”.
Barker (2006) yang meneliti dan menganalisis video porno era 2000 – 2003 masing-masing Anak Ingusan, Bandung Lautan Asmara, Medan Lautan Asmara, Casting Iklan Sabun, Gadis Baliku dan Ganti Baju, menyebutkan bahwa :
Tracing the genesis of these films is a more complicated but necessary operation and two often discussed possibilities come to mind. The first is that these films are a direct result of Westernization and they are another example of how Indonesians are adopting Western norms and values in regards to sex and pornography. The experience of foreign pornography has certainly contributed to the production of these pieces in varying ways to each of the protagonists. However, the films are not replicas of foregin pornography. The assumption that they are politically and morally convenient reasoning which relies on a simple association than any empirical basis.
Secondly, that this pornography has emerged as a direct consequences of the press freedom which came after the 1999 dissolution of the Ministry of Information. As these films are private productions, these films are not part of the press per se and are quite distinct in their mode of existence. They are exist outside the formal media sphere as illegal material produced and distributed by the black market.
Temuan lain dari Barker (2006) mengutip Iwu Dwisetyani Utomo (2002) bahwa sebelum tahun 1998, anak muda metropolitan yang berasal dari kelas menengah mengalami peningkatan dan liberalisasi dalam memandang seks dan sering menjadikan pornografi sebagai pengganti dari kurangnya ‘sex education’ yang mereka miliki.
Barker (2006) juga mengutip Ariel Heryanto dan Vedi Hadiz (2005) yang menyebutkan bahwa peran dari globalisasi dan kapitalisme amat signifikan dalam membentuk corak media setelah 1998. Termasuk dalam hal ini adalah peningkatan banyaknya content seksual di media.
Selanjutnya, Barker menyalahkan internet sebagai salah satu biang keladi dari maraknya pornografi. Ia menyebutkan : “…the VCD revolution and its impact on consumer entertainment has been previously noted and it goes hand in hand with the availability of other consumer technologies that make production possible…VCD pornography as Indonesian have made it would not have been possible without technology for both producers and consumers.
Mengenai internet pornography, Michael Porteous (2009) menyebutkan bahwa penyebab kecanduan pornografi di internet adalah kompleks dan sangat tergantung dengan sang individu. Penyebabnya bisa berbeda pada setiap individu. Namun dampak dari pornografi internet ini rata-rata sama antara lain : kepercayaan diri yang rendah (low self esteem), frustrasi seksual (sexual frustration), melarikan diri dari masalah (escapism from problems), depresi (depression) dan kebosanan (boredom). Patrick Carnes (2010) sendiri berpendapat bahwa ada gejala-gejala umum dari orang yang ketagihan pornografi, antara lain : they usually result from growing up in a dysfunctional,especially one with rigid rules, little warmth and affirmation, abandonment, and sexual or emotional abuse. Beberapa nilai-nilai yang mereka percayai antara lain : (1) saya adalah orang yang buruk dan tak berharga; (2) tidak ada seorangpun yang mencintai saya seperti saya mencintai diri saya; (3) kebutuhan saya tak akan pernah terpenuhi jika saya hanya mengandalkan orang lain; (4) seks adalah kebutuhan saya yang paling penting.
Menurut Porteous (2009) pornografi dapat menjadi semacam jalan keluar alternatif, suatu cara untuk melarikan diri dengan hidup dalam fantasi tertentu, walaupun setelah itu penikmatnya kemudian merasa sedih, depresi, bahkan merasa bersalah. Selanjutnya porteous menyebutkan : “…the brief moments of escapism become more and more needed to fill whatever hole there is in addicts life making each session less fulfilling but increasing the cravings for it all the more.”
- D. Penutup
Akar masalah pornografi memang kompleks dan tidak tunggal. Bisa berbeda pada setiap individu. Kendati ada juga gejala-gejala yang berlaku secara umum. Akar pornografi bisa dari sebab internal maupun eksternal. Sebab eksternal yang mengemuka dalam kasus di atas adalah regulasi yang lemah, ketidakpedulian masyarakat, perkembangan teknologi informasi utamanya internet, serbuan budaya asing dan budaya pop tanpa batas, globalisasi dan kapitalisme. Dan lain sebagainya. Hal yang menarik adalah, ternyata pornografi juga bisa bersifat lokal dan kultural, tak semata-mata dampak dari serbuan budaya luar. Hal ini menyeruak dalam kasus VCD pornografi di Indonesia.
Bahwasanya pornografi membawa akibat buruk terhadap masyarakat secara keseluruhan memang masih diperdebatkan. Sebagian yakin bahwa pornografi berkontribusi terhadap peningkatan kejahatan seksual di masyarakat. Sebagian yang lain tidak meyakini dan percaya bahwa pornografi sepenuhnya adalah masalah individu. Titik temu dari semua perdebatan tentang dampak pornografi, bahwa pornografi memang tidak semata-mata menyenangkan individu namun juga membuat penikmatnya berpotensi mengalami gangguan sosial, emosional, ataupun seksual.
Bahan Bacaan
Max Taylor and Ethel Quayle, Child Pornography an Internet Crime, New York, Brunner- Routledge, 2003.
Soefyanto, Memahami Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi, Jakarta, Universitas Islam Jakarta, 2009.
Susan Dwyer, The Problem of Pornography, Belmont, Wadsworth Publishing Company, Belmont, 1995
Susan M.. Easton, The Problem of Pornography, Regulation and The Right to Free Speech, London, Routledge, 1994.
http://www.treatment4addiction.com/addiction/sex/
http://ezinearticles.com/?Causes-of-Internet-Pornography-Addiction&id=2243297
Leave a Reply