DELAPAN TAHUN ENAM BELAS BEASISWA
By : Heru Susetyo
Tak diragukan lagi, saya adalah seorang pemburu beasiswa. Aktifitas yang sudah saya lakukan sejak lulus Universitas Indonesia pada tahun 1996. Motifnya? Saya senang belajar. Senang melihat sesuatu yang baru. Hobi traveling ke tempat-tempat seru. Dan sangat ingin ke luar negeri. Apa daya sumber daya yang saya miliki terbatas. Memang keluarga saya Alhamdulillah tidak masuk kategori keluarga miskin. Namun juga bukan keluarga yang dengan mudah merogoh kocek dan mengirim saya kemanapun saya ingin. Seperti teman-teman saya. Ingin kuliah ke Boston, Sydney, London, Paris, Amsterdam, tinggal lapor orang tua. Sayapun lapor orangtua. Dan Bapak Ibu menanggapi dengan tersenyum saja. Maka, sayapun memutuskan menjadi scholarship hunter.
Alhamdulillah, dengan ijin Allah SWT, pilihan tersebut tidak terlalu salah. Dalam kurun waktu delapan tahun, 2002 – 2010, saya mendapatkan Enam belas beasiswa. Dua beasiswa studi lanjut, satu beasiswa riset, lima beasiswa training , enam beasiswa seminar, satu beasiswa internship, dan satu beasiswa pertukaran aktifis (student exchange). Dan semuanya Alhamdulillah di luar negeri. Tepatnya di Amerika, Asia, Eropa, Oceania, minus Afrika.
Saya mendapatkan beasiswa studi S2 ke Amerika Serikat tahun 2002. Studi S3 ke Thailand tahun 2007. Beasiswa riset lapangan di Jepang dan Thailand pada tahun 2006 – 2007. Beasiswa training masalah hukum dan HAM di Chicago, USA (2002 dan 2003), di New Zealand (2004), di Kaohsiung Taiwan (2005), di Mito Jepang (2007), di Malaysia (2008), di Ghent dan Antwepen, Belgia (2010). Sedangkan travel grant dan beasiswa seminar saya dapatkan untuk menjadi peserta ataupun penyaji seminar ke Shanghai RRC (2006), Nakhorn Si Thammarat Thailand (2007), Davao Philippines (2008), Salzburg Austria (2008), dan Tokyo (2010). Dua beasiswa dalam bentuk lain, masing-masing internship di Amnesty International, London- Inggris saya dapatkan tahun 2004 dan pertukaran aktifis ke Australia saya peroleh tahun 2005.
Mengapa beasiswa luar negeri? Jelas bukan karena negeri sendiri lebih buruk -fakta membuktikan bahwa keindahan alam Indonesia adalah tiada tara- tapi karena ada sejumlah tantangan, pengalaman dan wawasan yang ingin saya dapatkan. Yang terkadang hanya bisa diperoleh di luar negeri. Juga, usia kita adalah misterius, termasuk kondisi kesehatan kita. So, mumpung masih mudah dan badan sehat saya harus hunting beasiswa !
Dan tidak selamanya saya berhasil. Dalam kurun waktu delapan tahun (2002 – 2010) mungkin posisi saya 50 : 50 (baca : fifty fifty). Sebagian aplikasi beasiswa saya diterima, dan sebagian lagi gagal. Yang diterima-pun tidak otomatis langsung ikut program-nya. Pernah beasiswa saya diterima ke Inggris tapi visa-nya tidak keluar. Dapat beasiswa ke Australia, tapi mendadak program tahun itu ditunda. Dapat beasiswa seminar di Hongaria, eh malah sayanya yang tidak siap berangkat karena bentrok dengan program lain. Atau, saya pernah dapat beasiswa bersamaan waktunya di dua negara, satu training di Malaysia dan satu lagi seminar di Davao, Philippines. Walhasil, yang satunya saya lepas. Tak elok mengambil semuanya.
Maka, syarat utama untuk menjadi pemburu beasiswa adalah pantang menyerah. Kita nothing to lose saja. Mungkin kita memang sedikit menghabiskan waktu, perangko, uang, email, ketika mengirim aplikasi, tapi itu tidak ada artinya dengan beasiswa yang akan kita dapatkan. Prinsip saya, kirimkanlah sebanyak mungkin aplikasi, masak satu saja tidak ada yang nyangkut? Kalau belum ada yang nyangkut? Kirimkan lagi ! belum dapat lagi? Kirimkan terus! Kirimkan lebih banyak lagi dan belajarlah dari kegagalan kita dan keberhasilan orang lain !
Syarat kedua adalah harus gaul. Alias rajin buka mata dan pasang telinga untuk dapatkan informasi sebanyak-banyaknya tentang beasiswa. Informasi beasiswa bisa mampir dari pintu mana saja. Surat resmi di kantor atau kampus, melalui poster, leaflet, e-mail di mailing list, tersurat di Koran atau majalah, atau dari mulut ke mulut dalam obrolan resmi ataupun informal. Banyak pintu menuju informasi beasiswa. Pengalaman saya pribadi, saya mendapatkan informasi lebih banyak via e-mail karena saya bergabung dengan banyak mailing list.
Kini, dengan maraknya social networking sites seperti facebook dll, akses menuju informasi beasiswa semakin terbuka luas. Juga, kita mesti proaktif dan tak sekedar menunggu informasi tersebut datang. Misalnya, apabila tertarik studi ke Amrik, bukalah secara periodik situs AMINEF, kalau ingin ke Inggris, pantaulah informasi tentang Chevening. Kalau hendak ke Australia, jangan lupa mengamati situs ADS Indonesia. Kalau gemar ke Jepang, selalu ikuti informasi terbaru tentang Monbukagakusho. Kalau kita tak bertemu situsnya, jangan segan-segan untuk mendatangi Kedutaan Besar ataupun Konsulat dan Pusat Kebudayaan negara-negara tersebut yang ada di Indonesia.
Syarat ketiga adalah mau dan berani mencoba dan yakin dengan kemampuan kita. Saya bukanlah sarjana dengan otak Einstein dan Indeks Prestasi sempurna. Kemampuan Bahasa Inggris juga tidak luar biasa. Saya yakin betul bahwa di atas langit masih ada langit. Masih banyak yang kemampuannya lebih dahsyat daripada saya. Masalahnya, mereka mau mencoba atau tidak? Karena mendapatkan beasiswa adalah masalah keberanian mencoba. Tidak semua orang mau bercapai-capai dan ber-repot-repot mengisi aplikasi, mencari referensi dan rekomendasi, membuat proposal, ataupun berkorespondensi dengan lembaga pemberi beasiswa. Jangan berpikir bahwa orang yang mendapatkan beasiswa adalah semuanya pintar, semuanya bahasa Inggrisnya bagus, semua curriculum vitae-nya sarat prestasi. Tidak juga. Satu kesamaan dari para penerima beasiswa adalah mereka orang yang berani mencoba.
Syarat keempat, yaitu pemberi rekomendasi ataupun referensi yang tepat dan handal. Karena, beasiswa seringkali adalah masalah kepercayaan dan keyakinan terhadap kemampuan kita. Lembaga pemberi beasiswa tidak tahu siapa kita. Apalagi kalau kita tidak terkenal. Maka, sepatutnya ada pemberi rekomendasi yang mengenal betul kita dan berani mempromosikan dan mendukung kita untuk mendapatkan beasiswa. Ia bisa guru, dosen, professor kita. Ataupun atasan, direktur, tokoh-tokoh yang baik reputasi dan dikenal oleh publik. Lebih bagus lagi kalau mereka adalah lulusan dari negeri asal lembaga pemberi beasiswa.
Syarat kelima adalah rekam jejak kita. Tak ada makan siang yang gratis. Tak ada lembaga pemberi beasiswa yang ikhlas memberikan beasiswa kalau mereka tak yakin terhadap rekam jejak calon penerima beasiswa. Tapi rekam jejak ini tergantung ‘selera’ lembaga pemberi beasiswa yang kita tuju. Ada yang senang apabila calon yang diincar-nya orang yang tinggi IP dan sarat prestasi akademiknya. Ada yang senang dengan tingginya skor bahasa Inggris (TOEFL/ IELTS). Ada yang tak peduli dengan keduanya namun melihat apa saja karya yang dihasilkan oleh sang kandidat. Karya tersebut bisa berupa karya tulis, karya seni, publikasi, dan seterusnya. Uniknya, ada juga yang mem-verifikasi kandidat berdasarkan komitmen dan kontribusi sosial sang kandidat terhadap masyarakatnya. Tak melihat prestasi akademik sama sekali. Semakin banyak dan nyata aktifitas sosialnya maka peluang mendapatkan beasiswa semakin besar.
Syarat keenam adalah pengenalan kita terhadap negara dan lembaga pemberi beasiswa. Karena tak kenal maka tak sayang. Setiap negara dan lembaga ‘punya selera’ sendiri terhadap beasiswa yang akan mereka berikan. Mereka juga punya pilihan-pilihan issue dan kepentingan yang apabila dapat ‘dibaca’ oleh sang kandidat maka peluang beroleh beasiswanya lebih besar. Saya mendapatkan beasiswa ke Amerika karena saya menuliskan proposal tentang Hak-Hak Perempuan. Saya bisa mendapatkan beasiswa riset tentang manajemen bencana ke Jepang karena saya tahu di Jepang adalah tempat terbaik untuk belajar manajemen bencana. Apalagi ketika itu tahun 2005 Indonesia baru terdera tsunami akbar di Aceh dan Sumatera Utara. Maka, kenalilah medan dan kepentingan yang mengiringi, serta sumber daya yang dimilikinya. Kasarnya, jangan belajar tentang tsunami di Laos, karena mereka tak punya laut. Dan jangan belajar bahasa Arab di Venezuela karena anda akan sulit menemukan profesornya!
Syarat ketujuh adalah bisa menulis. Tak perlu handal betul namun minimal bisa mengekspresikan dan menunjukkan isi kepala kita kepada lembaga pemberi beasiswa. Karena, seringkali mereka menilai kita melalui tulisan. Apakah melalui proposal penelitian kita, melalui curriculum vitae kita, melalui contoh publikasi kita. Ataupun sekedar menilai melalui isian formulir aplikasi kita.
Syarat kedelapan adalah syarat pada umumnya. Yaitu prestasi akademik di atas rata-rata dan penguasaan bahasa asing (utamanya Inggris). Tapi sekali lagi, ini bisa diabaikan juga oleh sejumlah lembaga pemberi beasiswa. Alias, bukan hal yang utama. Dalam kasus saya, Indeks Prestasi saya tidak sangat istimewa dan score TOEFL saya tidak sangat tinggi. Namun Alhamdulillah tetap mendapat beasiswa karena saya tahu issue apa yang cocok saya pelajari dan tersedia dengan baik di negara dan lembaga pemberi beasiswa. Juga, mereka bisa melacak rekam jejak saya hanya dengan meng-googgling saya di jagat internet yang Alhamdulillah tidak jelek-jelek amat juga.
Syarat terakhir dan utama tak lain dan tak bukan adalah faktor langit. Alias selalu berdo’a dan rajin bermohon kepada Allah SWT. Bagaimanapun manusia amat memiliki keterbatasan dan tak selamanya bisa mendapatkan apa yang diinginkannya. Maka, kita mesti mengiringi delapan syarat di atas dengan do’a dan permohonan kepada Allah SWT. Karena Dia-lah, sejatinya, Zat Yang Maha Memberi Beasiswa. Apabila bukan karena rahmat dan karunia Allah, tak mungkinlah kita mendapatkan beasiswa. Mungkin saja, pihak yang secara kasat mata memberi kita beasiswa bernama Fulbright, atau ADS, atau Chevening, atau DAAD, atau Monbukagakusho, atau bernama STUNED dan NUFFIC, apapun namanya. Namun mereka hanyalah semacam ‘provider’ sedangkan keputusan utama jelas ada pada Allah SWT. Maka, jangan pernah bosan meminta dan berdo’a kepada Dia Yang Maha Memberi Beasiswa.
Nah, selamat berjuang teman !
[…] Ditulis oleh: Heru Susetyo […]
tengkyu Bro !