TIN YU DAN KEMISKINAN DI NEGERI PENUH ANOMALI
By : Heru Susetyo
Namanya Tinyu atau Tin Yu. Nama asli. Ia lelaki berusia lima puluh tahun yang nampak lebih tua dari usianya. Profesinya adalah menarik becak Myanmar (alias threeshaw). Berbeda dengan becak Indonesia, becak Myanmar adalah sepeda onthel (jengki) yang dipasang bangku tambahannya di sampingnya. Bangku ini menghadap ke depan dan ke belakang. Maka, sang pengemudi berada persis di samping penumpang, tidak di depan apalagi di belakangnya.
Tin Yu biasa ngetem di 25th street Mandalay city Myanmar. Tepatnya di satu ruas jalan antara 82nd dan 83rd street. Seperti halnya hampir semua lelaki Myanmar, ia selalu menggunakan sarung (longyi) kemanapun. Terbayang kan bagaimana menarik becak dengan menggunakan sarung?
Di limapuluh tahun usianya hidup tampak masih amat sulit bagi Tin Yu. Saat pria-pria seusianya di negeri jiran Thailand, Malaysia dan Singapore sudah mentas dan menggapai puncak karir, Tin Yu masih asyik berkutat menekuri jalan-jalan rusak kota cultural Mandalay setiap hari.
“Terimakasih mau menjadi penumpang kami hari ini. Anda adalah tamu pertama kami di hari ini dan mungkin juga hanya satu-satunya.” Ujar Tin Yu riang dalam bahasa Inggris yang amat lancar.
“Bagaimana bisa?” tanya kami penasaran. “Ini kan kota turis?” “Kami sering tidak dapat pelanggan dalam satu hari . Susah mencari pelanggan disini. Makanya kami bilang anda mungkin pelanggan kami satu-satunya hari ini. Terimakasih mau menjadi penumpang kami. Kami akan pulang bawa uang hari ini, istri kami akan senang,” tambah Tin Yu.
Kami terkesima. Kami hanya membayarnya 2000 Kyat (setara dengan US $ 1.7 alias Rp 15.000 saja untuk perjalanan dari motel kami ke sisi Mandalay Ancient Royal Palace (istana tua kerajaan). Perjalanan sekitar lima kilometer dengan menggenjot becak berisi kami tentunya tidak mudah.
Layaknya tourist guide, Tin Yu kerap mengajak kami bercakap-cakap. Tak bosan-bosan ia menerangkan ini itu tentang Mandalay. Lelaki berputra lima dan bercucu dua ini ternyata rekan perjalanan yang mengasyikkan.
“Iya istri kami pasti senang kami membawa 2000 Kyat, kami bisa pulang dengan tenang,” tambahnya lagi. Kami jadi malu. Sering tanpa merasa berdosa kami menghambur-hamburkan uang senilai 2000 kyat untuk keperluan yang tidak jelas. Tapi, bagi seorang Tin Yu, 2000 Kyat adalah kehidupan. Maka, untuk ‘mengurangi dosa’ kami, seusai fun trip dengan Tin Yu, kami menambah lagi 1300 Kyat sebagai bonus untuknya (belakangan kami menyesal lagi, mengapa kami hanya menambah 1300 Kyat yang hanya setara US $ 1, padahal kami bisa memberi lebih).
Dan Tin Yu bukan satu-satunya orang yang mewakili wajah kemiskinan Myanmar. Masih banyak Tin Yu – Tin Yu lain dari beragam profesi yang tetap survive di tengah keterpurukan negeri ini. Rekan Myanmar kami, sebut saja Ko, mengatakan bahwa starting salary untuk lulusan S-1 di Myanmar hanya berkisar 40.000 kyat per bulan (alias US $ 34 sahaja karena US $ 1 = 1200 kyat). Tak heran negeri ini menempati urutan ke 135 dalam daftar Human Development Index UNDP tahun 2008. Bukan yang paling bawah di dunia, tapi termasuk yang paling jeblok di Asia Tenggara (Indonesia pada saat bersamaan menempati urutan ke 109, Vietnam 114, dan Lao PDR urutan ke 133. Hanya Brunei, Singapore dan Malaysia yang masuk kategori high HDI di papan atas).
Kembali, didorong rasa penasaran, kami mengajukan pertanyaan bodoh : “Kok bisa kalian survive dengan uang segitu?” “Buktinya bisa kok. Kami survive,” ujar Ma, rekan kami yang lain.
Disamping miskin, negeri ini juga sarat dengan anomali. Mulanya kami tak percaya informasi tentang sejumlah anomali di buku biru Lonely Planet berjudul “Myanmar” yang kami miliki. Namun setelah terjun ke dalamnya, ternyata sebagian besar benar adanya. Ini dia beberapa anomali Myanmar yang kami jumpai :
1. Negeri ini tidak memiliki ATM (Automatic Teller Machine) satupun juga dan kurang menyukai pembayaran dengan credit card. Pembayaran model tunai paling disukai.
2. Mata uang US Dollar lebih disukai daripada mata uang mereka sendiri, Kyat. 1 USD sama dengan 1200 Kyat. Kondisi ini hampir sama dengan Lao PDR, Cambodia, dan Vietnam. Anehnya lagi, mereka hanya menerima US Dollar seri yang lebih baru, tak boleh ada noda sedikitpun, tak boleh terlipat atau lecek dan tak terpotong. Hampir mirip money changer di Indonesia.
3. Money changer adalah barang langka di negeri ini. Hanya sedikit dijumpai dan rata-rata diemohi oleh pelanggan karena rate-nya yang abnormal. Pelanggan lebih suka ke ‘black market’ karena rate-nya yang biasanya lebih tinggi ataupun menukar di hotel yang sedikit lebih terpercaya.
4. Myanmar memiliki traffic yang aneh. Mobil dan semua moda transportasi berjalan di sebelah kanan jalan (seperti di US dan Eropa) dan mirip dnegan jirannya Lao PDR, Vietnam dan Cambodia. Namun, sebagian mobilnya justru ber-stir kanan juga (persis di Indonesia dan Thailand). Padahal, semestinya apabila jalan di kanan harus menggunakan stir kiri supaya lebih safe dan tidak disoriented.
5. Kami seperti melihat Indonesia di tahun 1970 – 1980-an ketika melihat moda transportasi Myanmar. Mobil-mobil jadoel berstir kanan seperti Corolla DX, Corolla GL, Corona 76, Nissan jadul, hingga Mazda kotak sabun produksi tahun 1960-an masih bertebaran di jalanan Yangon dan Mandalay. Sulit sekali menemukan mobil produksi 90-an apalagi 2000-an.
6. Hampir semua taxi-nya, maaf, buruk rupa. Ber-cat putih, bertahun jadoel, sering tanpa jendela, tanpa karpet di bawahnya, persneling nyaris lepas dari dudukannya, dan, ini yang menarik, sama sekali tak perlu menggunakan seat belt.
7. Listrik adalah persoalan besar di Myanmar. Di kota besarnya seperti Yangon dan Mandalay saja sering mati lampu. Maka, hampir semua bangunan publik memiliki generator. Jalanan di Mandalay pada malam hari diliputi kegelapan. Karena lampu jalan tak tersedia. Cahaya-cahaya yang tersedia kebanyakan berasal dari lampu-lampu rumah yang menyala via generator.
8. Air Conditioner alias AC juga tak otomatis mudah dinikmati. Kamar ber-AC di hostel murahan, seperti yang kami tinggali di Mandalay, bisa diperoleh tapi dengan embel-embel : “listrik akan mati sewaktu-waktu, Air Conditioner akan nyala selama listrik disuplai oleh pemerintah”
9. Sirih menyirih adalah budaya Myanmar yang menarik. Hampir semua kalangan gemar mengunyah sirih. Sebungkah daun yang konon tumbuh di sekitar Inle Lake, diisi dengan satu dua jenis tumbuhan lalu dipoles dengan cairan tertentu dan akhirnya dilipat. Ketika dikunyah akan meninggalkan rona merah pada gusi dan gigi lalu siap disemprotkan. Kendati tradisi ini menarik, sayangnya orang terkadang tidak pilih-pilih tempat untuk menyemprot dan meludah. Seorang rohaniawan yang duduk di kursi samping kami di pesawat ATR 72 Air Bagan , dengan tenangnya meludah beberapa menit sekali ke dalam plastic yang dibawanya. Kumpulan ludah berwarna merah itu ditinggalkan begitu saja dalam plastic di bawah kursi pesawat ketika ia beranjak keluar pesawat. Meninggalkan pe-er besar bagi cleaning service.
10. Bandara alias airport adalah anomali berikutnya di Myanmar. Di tiga bandara yang kami singgahi, Yangon, Naypyidaw, dan Mandalay, terkandung nilai-nilai kemewahan sekaligus kemiskinan. International terminal di Yangon Airport begitu mewah, sementara domestic terminalnya begitu kumuh. Domestic terminal Yangon airport tak ubahnya, maaf, seperti bis terminal. Tak ada ban berjalan dalam bentuk yang modern maupun yang sederhana sekalipun untuk menghantarkan bagasi ke penumpang. Maka, begitu barang dihantarkan petugas ke pintu terminal, silakan geret sendiri bagasi anda mulai dari pintu terminal hingga ke taxi.
11. Petugas porter banyak tersedia, yang uniknya, menunggu langsung di tangga pesawat atau di tempat bis airport menurunkan penumpang. Security terminal juga santai saja. Kami kebetulan masuk terminal pertama kali di pagi hari. Ketika kami check in, metal detector belum lagi dinyalakan dan counter check in baru buka. Barang kami dengan enteng digeret saja oleh petugas menuju mobil pengangkut. Karena ban berjalan tak tersedia. Kamipun melenggang masuk terminal keberangkatan dengan leluasa, karena kami datang lebih cepat dari petugas dan metal detector belum nyala. Serunya, sebelum pintu terminal dibuka, para calon penumpang duduk lesehan berjongkok di tangga terminal dan di parkiran sambil membawa berbagai macam perabot. Persis, maaf lagi, menanti bus antar kota tiba.
12. Kemubaziran adalah bahasa yang pantas untuk fasilitas bandara di Yangon dan Mandalay. International terminal-nya memiliki garbarata cukup banyak namun tak satupun digunakan. Penumpang turun dari pesawat dengan menumpang bus aiport lalu masuk ke arrival terminal melalui tangga biasa. Lalu untuk apa garbarata yang masih baru dan tampak lux tersebut?
13. Myanmar memiliki lima maskapai penerbangan, Myanma Airways-Myanmar Airways International, Yangon Airways, Air Bagan dan Air Mandalay. Tiga yang terakhir adalah dimiliki. . Mayoritas pesawat kelima maskapai ini adalah pesawat tua berbaling baling, apakah Fokker 27 dan ATR 42/ ATR 72. Air Bagan memiliki Fokker 100 dan Airbus A310 (namun sedang tidak terbang), dan MAI punya pesawat Boeing 737 800. Namun tetap yang terlihat lalu lalang beredar adalah pesawat propeller ATR. Maka, pemandangan di bandara cukup unik. Apron di bandara internasional-nya sepi pesawat, kalaupun ada hanyalah pesawat berbaling-baling.
14. Informasi dari buku Lonely Planet, imigrasi di Myanmar tidak hanya untuk international tapi juga untuk domestic departures. Dan kami menemukannya di Mandalay, ketika penumpang berkewargenegaraan Burma mesti dicek ID card-nya di bandara Mandalay hanya untuk terbang ke kota lain di negara yang sama. Kondisi ini mengingatkan pada Muslim Rohingya di provinsi Rakhaing/ Rakhine/ Arakan, dimana untuk bepergian ke desa lain saja mereka mesti memiliki traveling permit.
15. Jaringan selular di Myanmar termasuk mengerikan. Harga satu sim card amat mahal, sekitar US $ 20, itupun pulsanya mahal dan berlaku hanya satu bulan.
16. Internet? Ini problem besar. Di dua warnet yang kami kunjungi di Yangon dan Mandalay, aksesnya lumayan lambat dan situs umum seperti http://www.yahoo.com serta http://www.gmail.com diblokir. Dan jangan lama-lama di warnet, karena listrik bisa mati sewaktu-waktu ketika kita tengah asyik fesbukan dan ber-email ria.
17. Jangan banyak bicara politik di Myanmar. Dalam bahasa apapun. Dua teman Myanmar kami amat hati-hati (bahkan cenderung takut) menjawab pertanyaan kami yang sering ‘kelepasan’. Ketika kami terlalu banyak bertanya tentang berbagai macam anomali politik sosial dan ekonomi Myanmar, mereka dengan gampang menjawab, “ Ok, kami akan jawab pertanyaan kamu di Bangkok, tidak disini.”
18. Resep untuk survive di Myanmar di tengah iklim ketidakbebasan ini, menurut kedua teman Myanmar kami adalah : “Jadilah low profile dan bekerja keras, jangan terlalu hiraukan segala macam keanehan di sekeliling kamu,”
Namun, bagaimanapun parah kondisinya, Myanmar tetap worth visiting. Tetap banyak local wisdoms yang bisa kita pelajari dan orang-orang hebat tempat kita berguru, di tengah segala kesederhanaan dan keterbatasan yang mereka miliki.
Leave a Reply