BANGSA YANG PEMAAF DAN PELUPA
Heru Susetyo
Staf Pengajar Viktimologi dan HAM
Fakultas Hukum Universitas Indonesia/
Executive Committee World Society of Victimology
Suka atau tidak suka, bangsa Indonesia dapat disebut sebagai bangsa yang pemaaf dan pelupa. Mudah memaafkan dan mudah melupakan. Suatu sikap dan kepribadian yang baik sebenarnya. Namun tidak apabila dikaitkan dengan hukum. Apalagi untuk mensikapi kejahatan dan pelanggaran berat HAM yang terjadi di masa silam.
Banyak kasus pelanggaran berat HAM (gross violation of human rights) yang terjadi di Indonesia sejak negeri ini merdeka tahun 1945 namun tidak semua terselesaikan dengan baik. Tidak semua pelaku kejahatan-nya diseret ke pengadian untuk kemudian dihukum. Banyak yang kemudian seolah-olah dimaafkan dan dilupakan. Begitu saja.
Tanggal 24 Maret setiap tahunnya, disamping adalah hari peringatan Bandung Lautan Api, adalah juga Hari spesial untuk Mendapatkan Hak atas Kebenaran bagi Korban Kejahatan HAM Berat(International Day for the Right to the Truth Concerning Gross Human Rights Violations and for the Dignity of Victims). Tanggal tersebut mungkin kurang populer di Indonesia, namun amat bermakna bagi para korban pelanggaran berat HAM di Indonesia.
Sejarah dari hari spesial ini adalah ketika pada 21 Desember 2010 Majelis Umum PBB (UN General Assembly) menetapkan tanggal 24 Maret sebagai hari untuk menghormati para korban pelanggaran berat HAM yang sistematis dan meningkatkan penghargaan terhadap hak atas kebenaran dan keadilan (right of truth and justice). Juga, untuk menghormati mereka yang telah mendedikasikan dirinya dan berkorban untuk memperjuangkan HAM bagi semua manusia.
Asal muasal penentuan 24 Maret adalah demi memperingati tanggal dibunuhnya Uskup Agung El Salvador,Oscar Arnulfo Romero, yang dibunuh pada 24 Maret 1980 oleh pasukan khusus paramiliter karena perlawanannya terhadap kesewenang-wenangan, penganiayaan dan pembunuhan warga gereja oleh kelompok bersenjata di El Salvador.
Amnesia Sejarah
Entah karena didesain sedemikian rupa atau memang karakternya seperti itu, bangsa Indonesia mudah ‘memaafkan’ dan ‘melupakan’ kejahatan HAM yang berat yang terjadi di masa silam. Bangsa ini seperti mengalami amnesia sejarah. Padahal sejarah kekerasan dan pelanggaran berat HAM di Indonesia begitu panjang. Sebutlah di era kejahatan dan pelanggaran berat HAM yang terjadi pada era penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, era DII/TII, era 1965/G30SPKI, era Malari 1974, peristiwa Tanjung Priok 1984, Peristiwa Talangsari Lampung 1989, kasus DOM di Aceh 1989-1998, kerusuhan Mei 1998, tragedi Semanggi 1 dan Semanggi 2 tahun 1998 dan 1999, tragedi Trisakti 1998, konflik sosial dan pembantaian manusia bernuasa SARA di Maluku, Maluku Utara, Poso, Sampit, Sambas, Sanggau Ledo pada akhir tahun 90-an dan awal 2000-an, dan lain sebagainya.
Kasus-kasus di atas memenuhi syarat untuk disebut sebagai pelanggaran HAM yang berat. Korban jiwa yang tewas dan teraniaya begitu banyak. Kemudian, serangan dilakukan atas motif politik, SARA, maupun dengan tujuan-tujuan yang sama sekali tak memiliki legitimasi dari sisi hukum humaniter internasional maupun hukum nasional.
Yang lebih menyedihkan adalah, tak banyak pelaku langsung ataupun mereka yang memerintahkan perbuatan tersebut yang kemudian benar-benar dibawa ke pengadilan dan dihukum. Pengadilan HAM terhadap kasus Tanjung Priok 1984 yang berlangsung tahun 2001 – 2002 tak memberikan keadilan bagi korban. Semua terdakwa, dibebaskan apakah di tingkat pertama, kasasi atau banding. Pengadilan HAM untuk kasus Timor Leste di Pengadilan Negeri Jakpus sama juga. Semua terdakwa dibebaskan, apakah di tingkat pertama, di tingkat banding ataupun di kasasi. Satu-satunya yang dipidana adalah Eurico Gueterres. Itupun akhirnya dibebaskan setelah memenangkan Peninjauan Kembali (PK) kasusnya di Mahkamah Agung. Pengadilan HAM untuk kasus Abepura tahun 2000 juga sama halnya. Dua terdakwa dalam kasus tersebut juga dibebaskan dari segala dakwaan.
Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia dibentuk oleh UU No. 26 tahun 2000 atas mandat dari UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Yurisdiksinya adalah untuk mengadili Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity) dan genoside (genocide). Pengadilan HAM berwenang untuk mengadili kasus-kasus kejahatan di masa kini maupun di masa silam (sebelum tahun 2000) dengan nama Pengadilan HAM Ad hoc karena menganut asas retroaktif. Sungguhpun demikian, kasus-kasus yang berujung ke Pengadilan HAM selama duabelas tahun usianya barulah tiga kasus saja. Memprihatinkan.
Akan halnya kasus-kasus lain yang bermuara ke Pengadilan Umum (negeri ) sama juga. Dalam konflik sosial bernuansa SARA, walaupun korban tewas begitu banyak, bahkan hingga banyak korban yang kepalanya dipenggal dan dijadikan permainan, toh para pelakunya tak kunjung diadili. Korban tewas satu orang atau beribu-ribu orang bernasib sama di Indonesia. Tidak diperhatikan. Mungkin ini amat menyenangkan bagi pelaku. Mereka mendapat impunitas (impunity) karena kejahatannya tidak pernah dihukum. Tapi bagi korban dan keluarga korban hal ini sungguh menyakitkan. Menimbulkan trauma sejarah dan ketidakpercayaan kepada hukum dan pemerintah yang berkuasa.
Tidak Memaafkan dan Tidak Melupakan
Pelanggaran berat HAM tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di seluruh dunia. Namun perbedaannya, tidak semua negara mudah memaafkan dan melupakan tragedi-tragedi kemanusiaan tersebut.
Yang paling tersohor adalah upaya Israel memburu para jagal NAZI yang membunuh bangsa Yahudi di era Perang Dunia ke II di sekitar Jerman, Polandia dan Austria. Peristiwa mana dikenal dengan istilah holocaust. Jutaan warga Yahudi (jumlah aslinya masih kontroversi) bersama-sama orang Gypsy dan kalangan homoseksual dibunuh oleh rezim Hitler antara tahun 1933 – 1945. Genosida dan Kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut terekam betul dalam ingatan bangsa Yahudi. Pelbagai museum holocaust didirikan di banyak tempat. Studi tentang holocaust diselenggarakan di banyak universitas. Bahkan sampai tahun 2011, pengadilan terhadap mantan algojo NAZI masih dilakukan.
Yang terakhir adalah terhadap John ‘Ivan’ Demjanjuk. Mantan penjaga kamp pembantaian Sobibor NAZI berkebangsaan Ukraina-Amerika ini dianggap turut bertanggungjawab atas pembantaian warga Yahudi di kamp tersebut pada tahun 1943. Demjanjuk diadili berkali-kali di Israel pada tahun 1980-an. Kemudian tahun 2009 – 2011 diadili di Munich – Jerman dan dijatuhi hukuman lima tahun penjara pada tahun 2011, pada usia 90 tahun. Namun pada 17 Maret 2012 ia meninggal dunia karena usia tua. Bayangkan, kejahatannya sudah berlangsung 68 tahun silam di Jerman, namun toh warga Yahudi-Israel masih serius memburunya. Sebagian bangsa Indonesia boleh jadi membenci Israel atas penjajahannya terhadap bangsa Palestina. Tapi mesti diakui, bangsa Yahudi tersebut memiliki ingatan kolektif dan memori sejarah yang baik. Tidak memaafkan, apalagi melupakan.
Contoh baik berikutnya adalah bagaimana otoritas Australia terus mengenang dan menuntut keadilan terhadap peristiwa Balibo 1975 di Timor Leste. Ketika itu pada 16 Oktober 1975, dua orang jurnalis Australia, dua jurnalis Inggris dan seorang jurnalis Selandia Baru ditembak mati dalam kontak senjata di Balibo, Timor Leste (Balibo Five). Otoritas Australia menduga kuat bahwa mereka dibunuh oleh pasukan khusus Indonesia secara sengaja. Suatu hal yang terus dibantah oleh otoritas Indonesia dengan mengatakan bahwa mereka adalah korban peluru nyasar tanpa diketahui dari mana asal peluru tersebut menyalak.
Walau telah lebih dari tigapuluh tahun berlalu, peristiwa yang dikenang sebagai ‘Balibo Five’ tersebut terus dikenang oleh keluarga korban dan pemerintah Australia. Investigasi terus dilakukan atas mandat dari Pengadilan Koroner negara bagian New South Wales. Hasilnya, mereka meyakini bahwa para jurnalis tersebut dibunuh secara sengaja oleh pasukan khusus Indonesia. Nama mantan menteri penerangan M. Yunus Yosfiah turut terseret dalam peristiwa tersebut. Karena pada tahun 1975, ketika masih berpangkat kapten, ia diduga turut menjadi bagian dari pasukan khusus tersebut.
Memaafkan Namun tidak Melupakan
Ada beberapa pilihan memang untuk bernegosiasi dengan kejahatan masa silam. Tidak memaafkan dan tidak melupakan (not to forgive, not to forget). Memaafkan dan Tidak Melupakan (To forgive but not to forget). Tidak memaafkan tapi melupakan (Not to forgive but to forget). Dan memaafkan dan melupakan. Yang terakhir ini adalah yang berbahaya. Karena mengukuhkan kebijakan impunitas dan menimbulkan ketidakadilan bagi korban dan keluarganya.
Celakanya, model seperti itulah sepertinya yang dianut bangsa dan pemerintah Indonesia. Baik disengaja atau tidak. Mudah memaafkan dan mudah melupakan. Begitu seringnya terjadi kekerasan dan kejahatan, begitu seringnya penegakan hukum tidak berjalan, membuat seolah-olah semuanya biasa saja. Hiang satu nyawa atau ratusan ribu sama saja. Tetap tidak menjadi perhatian. Martabat manusia direndahkan dan nyawa tidak ada harganya.
Indonesia bersyukur pernah memiliki Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang berdiri dengan UU No. 27 tahun 2004. Komisi ini dibentuk sebagai alternatif untuk menyesaikan kejahatan dan pelanggaran berat HAM yang terjadi di masa silam yang tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme pengadilan. Komisi ini, yang banyak mengambil model dari Truth and Reconciliation Commission South Africa (Afrika Selatan) berkepentingan untuk menegakkan hak-hak korban kejahatan masa silam, utamanya hak untuk tahu, hak untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan, hak untuk mendapatkan permohonan maaf dari pelaku dan hak atas reparasi berupa rehabilitasi, kompensasi ataupun restitusi. Sayangnya sejak tahun 2006 KKR tak bisa berjalan lagi akibat pasal-pasal signifikan pada Undang-Undangnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi RI.
Pelajaran yang baik datang dari negeri Belanda. Dalam Media Indonesia (9/12/2011) disebutkan bahwa pemerintah Belanda secara resmi menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga korban pembantaian Rawagede tahun 1947. Permintaan maaf serta pemberian kompensasi untuk keluarga korban Tragedi Rawagede, ini, dilangsungkan di dalam sebuah acara di Desa Balongsari, Kecamatan Rawamerta, Karawang, Jawa Barat. Perwakilan Pemerintah Belanda pun melakukan tabur bunga sebagai permintaan maaf bagi korban pembantaian Rawagede 1947.
Permintaan maaf Pemerintah Belanda itu disampaikan menyusul keputusan Pengadilan Den Haag yang memutuskan Pemerintah Belanda bersalah dan bertanggung jawab atas kerugian yang diderita tujuh janda korban pembantaian Rawagede. Pembantaian Rawagede terjadi 9 Desember 1947 dengan 431 pria Rawagede tewas dibunuh tentara Belanda. . Dana kompensasi sebesar 20 ribu euro atau sekitar Rp240 juta per-orang, akan diserahkan kepada korban dan keluarga korban (Media Indonesia, 9/12/2011). Inilah sisi menariknya. Terlepas Belanda pernah menjajah Indonesia, namun mereka juga tidak melupakan hak-hak para korban dari kejahatan yang sudah berlangsung 64 tahun silam.
Dalam konteks Indonesia, harapan terakhir adalah pada UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan serangkaian peraturan pelaksananya tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Kendati belum sangat sempurna, UU tersebut adalah landasan hukum minimal untuk menegakkan hak-hak korban. Namun undang-undang saja tidak cukup. Belajar dari kasus holocaust, Balibo Five, dan Rawagede, perlu ada keseriusan dari pemerintah dalam penegakkan hukum terhadap kasus-kasus kejahatan HAM berat masa silam maupun saat ini. Tidak membiarkan adanya impunitas walaupun pelaku ataupun mantan pelakunya adalah orang yang punya atau pernah punya akses kepada uang maupun kekuasaan.
Selanjutnya, peran korban, keluarga korban dan masyarakat selaku driving force terhadap penegakan hukum kasus tersebut amat vital. Korban dan keluarganya harus difasilitasi untuk mendapatkan penguatan dan perlindungan. Kemudian, masyarakat juga harus melembagakan budaya hukum yang sehat dalam menghadapi kejahatan HAM berat. Tidak memaafkan dan tidak melupakan. Atau dalam kondisi yang paling minimal, memaafkan namun tidak melupakan.
Wallahua’lam
Bangkok, 28 Maret 2012
Leave a Reply