KEKERASAN NEGARA SUMBU KONFLIK MYANMAR
(Tanggapan untuk Hamid Awaluddin)
Heru Susetyo
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia/
Aktifis Pusat Informasi dan Advokasi Arakan Rohingya (PIARA)/
Membaca tulisan Hamid Awaluddin di Kompas 21 Agustus 2012 dengan judul ‘Sumbu Konflik Myanmar’ saya tak bisa menahan diri saya untuk tidak menanggapi. Apa yang disampaikan mantan Menhukham dan Dubes RI di Russia ini bisa jadi benar ketika bicara tentang rehabilitasi pascakonflik, ketika bicara tentang perlunya program-program peace-building antara kedua kelompok yang bertikai dan seterusnya.
Namun, ketika bicara masalah akar konflik, saya melihat Hamid Awaludin terlalu menyederhanakan masalah. Memang konflik di negeri Arakan/ Rakhine ini kurang tepat untuk disebut sebagai konflik agama. Lebih tepat disebut konflik etnis, dimana kedua etnis yang bertikai (Rohingya muslim dan Rakhine Buddhist mewakili dua kelompok etnis yang berbeda yang ‘kebetulan’ keduanya mewakili dua agama yang berbeda. Saya-pun sepakat bahwa agama bukanlah penyebab lahirnya konflik. Walaupun identitas kelompok tertentu sebagai penganut agama tertentu, tak dipungkiri adalah salah satu sebab kelompok lainnya memerangi kelompok tersebut. Alias, identitas agama adalah suatu dasar pembeda yang membuat suatu kelompok terus menerus dibenci (hatred) atau diperangi .
Kemudian Hamid Awaludin menyebutkan kemiskinan sebagai akar masalah di Myanmar. Bahwasanya kemiskinan adalah berkontribusi terhadap lahirnya konflik memang betul. Namun kemiskinan saja tak dapat disalahkan sebagai penyebab tunggal apalagi penyebab utama lahirnya konflik. Kekerasan negara atau kekerasan yang disponsori, difasilitasi dan diamini negara adalah penyebab utama konflik di Arakan.
Dan pemerintah Myanmar yang didominasi oleh etnis Burma bukan hanya melakukan kekerasan dan dan diskriminasi terhadap muslim Rohingya, tapi juga kepada umat Kristiani dan etnis non mayoritas lain seperti Shan, Kachin, Karen, Chin, dan lain-lain.
Namun perbedaannya, etnis-etnis minoritas lain yang menjadi korban kekerasan negara adalah tetap diakui eksistensi dan kewarganegaraan Myanmar-nya sementara etnis Rohingya tidak. Padahal pada tahun 1948 – 1962, saat pemerintahan U Nu berkuasa di Burma, etnis Rohingya diakui secara legal maupun politis sebagai etnis yang eksis di Myanmar. Bahkan, sebelum tahun 1962, Sultan Mahmud, seorang etnis Rohingya, pernah menjadi Menteri Kesehatan Burma dan M.A. Gaffar, juga Rohingya, pernah menjadi anggota dan sekretaris parlemen Myanmar (AFK Jilani, 2005). Lebih dari itu, bahasa Rohingya juga pernah menjadi salah satu bahasa pengantar di Burmese Broadcasting Service di era pemerintahan U Nu sebelum tahun 1962 (Benedict Rogers, 2012).
Ketika pemerintahan U Ne Win berkuasa pada 1962, mulailah terjadi peminggiran dan pengingkaran terhadap eksistensi Rohingya di negara Burma. Berbagai macam operasi militer dan keamanan dilakukan yang berbuah pada penghilangan nyawa, penculikan, penghancuran rumah dan rumah ibadah, penyiksaaan fisik dan perkosaaan, perbudakan, penyitaan harta benda, hingga pembatasan bergerak, bahkan untuk ke desa tetangga sekalipun !
Puncaknya terjadi pada tahun 1982 ketika UU Kewarganegaraan Myanmar mengeluarkan Rohingya dari daftar delapan etnis utama (yaitu Burmans, Kachin, Karen, Karenni, Chin, Mon, Arakan, Shan) dan 135 kelompok etnis kecil lainnya. Status etnis Rohingya diturunkan (downgrade) menjadi hanya ‘temporary residents’ yang menyandang ‘temporary registration cards,’ (Benedict Rogers, 2012).
Padahal, Etnis Rohingya sudah tinggal di Arakan sejak abad ke -7 Masehi, alias jauh sebelum negara Myanmar merdeka tahun 1948 dan negara Bangladesh merdeka pada 1971. Negeri Arakan bergabung bergabung dengan Union of Burma pada tahun 1948 bersama-sama dengan tujuh negeri lain yang mewakili kelompok etnis yang berbeda. Anehnya, kendati daerahnya dianggap sebagai bagian dari negara Burma/ Myanmar tapi etnis yang berdiam di dalamnya, yaitu Rohingya, dianggap tidak ada.
Rohingya sendiri adalah nama kelompok etnis yang tinggal di negara bagian Arakan/
Rakhine sejak abad ke 7 Masehi berdampingan dengan etnis Rakhine/ Rakhaing yang beragama berbeda. Ada beberapa versi tentang asal kata “Rohingya”. Rohingya berasal dari kata “Rohang”, nama kuno dari “Arakan”. Sehingga orang yang mendiaminya disebut “Rohingya”. Versi lain menyebutkan bahwa istilah “Rohingya” disematkan oleh peneliti Inggris Francis Hamilton pada abad 18 kepada penduduk muslim yang tinggal di Arakan.
Kemudian, Hamid Awaludin menyebutkan bahwa etnis Rohingya berasal dari etnis Be ngali. Ini juga tidak tepat. Etnis Rohingya bukanlah orang Bangladesh ataupun etnis Bengali. ‘Rohingya’adalah ‘Rohingya’. Nenek moyang Rohingya adalah berasal dari campuran keturunan Arab, Turk, Persian, Afghan, Mughal, Bengali dan Indo-Mongoloid. Bahasa Rohingya sendir berbeda dengan bahasa Bengali dan tak mengenal bahasa tulisan hanya bahasa percakapan.
Maka akar konflik di Myanmar adalah kekerasan negara atau kekerasan yang disponsori, difasilitasi dan diamini negara. Perbedaan etnis dan agama menjadi komoditas untuk memicu dan melestarikan kekerasan negara tersebut. Diskriminasi, intoleransi dan xenophobia adalah produk dari kekerasan negara yang target utamanya adalah peminggiran etnis Rohingya dari Union of Myanmar melalui serangkaian program Burmanisasi. Yang tidak hanya menghantam muslim Rohingya tapi juga warga Kristen dan etnis minoritas lain di Myanmar.
President Myanmar Thein Sein sendiri telah memperburuk krisis Rohingya Arakan dengan mengatakan bahwa : “Rohingya are not our people and we have no duty to protect them.’ Ia menginginkan supaya etnis Rohingya dikelola oleh UNHCR saja atau ditampung di negara ketiga yang mau menampungnya. Lebih jauh lagi, dia menyebut etnis Rohingya di Arakan sebagai : a ‘threat to national security’.
Etnis Rohingya tidak sekali-sekali ingin merdeka dan memisahkan diri dari Union of Myanmar. Mereka hanya ingin diakui sebagai bagian dari warganegara Myanmar yang berhak untuk hidup bebas dari rasa takut dan kemiskinan. Bebas bergerak dan berpindah kemanapun serta bebas berekspresi, beribadah dan menjalankan keyakinan agamanya.
Akibat kekerasan struktural yang berlangsung begitu panjang, maka warga Rohingya terpaksa mengungsi dan menjadi ‘manusia perahu’, mencari negeri aman yang mau menerima mereka di Asia Tenggara atau di negeri manapun di seluruh dunia. Tidak jarang para manusia perahu itu tenggelam ataupun mati karena kelaparan dan kehausan di tengah laut. Banyak pula yang ditahan atau diperlakukan semena-mena di negara-negara transit atau di negara-negara penerima mereka.
Maka, kemiskinan memang berperan terhadap terjadinya konflik di Arakan. Tapi kemiskinan saja tanpa kekerasan dan kebencian etnis yang disponsori negara tak akan melahirkan konflik latent seperti yang terjadi di Arakan. Solusi terbaik untuk konflik di Arakan adalah hentikan kekerasan negara dan kekerasan kelompok atas nama SARA, akui eksistensi dan kewarganegaraan etnis Rohingya, selenggarakan program-program peace-building, serta bangun kembali negeri Arakan sehingga mencapai tingkat kesejahteraan yang memadai dengan bekerjasama dengan negeri-negeri dan organisasi kemanusiaan internasional yang berjuang semata-mata untuk perdamaian dan kemanusiaan.
Leave a Reply