DUKA ETNIS ROHINGYA :
“JANGANKAN BERMIMPI TENTANG MASA DEPAN
MEMIKIRKAN HARI ESOK SAJA KAMI TAK BERANI”
By : Heru Susetyo
Siang hari di awal Agustus 2012 itu Tokyo begitu terik. Apalagi di lantai 4 bangunan bertingkat di dekat stasiun KA Shin Okubo, di barat Tokyo.. Ruangan yang dikenal sebagai Islamic Center Shin Okubo itu menempati area yang kecil saja. Tak ada AC, hanya kipas angin berkapasitas kecil. Di lantai dua-nya ada toko kelontong dan makanan yang menjual produk-produk halal. Banyak muslim berwajah Burma dan Asia Selatan lalu-lalang keluar masuk masjid dan toko tersebut.
Di tempat yang lazim disebut sebagai ‘Masjid Burma” itu kami berjumpa dengan Zaw Min Htut, pemimpin orang Rohingya di Jepang atau lazim disebut sebagai President of Burmese Rohingya Association in Japan (BRAJ). Kendati dikenal sebagai tokoh Rohingya, Zaw atau biasa dipanggil Lukman Hakim adalah pemuda 30-an yang berwajah klimis. Jauh dari citra garang pemimpin pergerakan ala Che Guevarra atau Fidel Castro, misalnya.
Kendati demikian, gurat wajahnya dan kelam matanya menyiratkan bahwa Zaw sudah lama berkubang dalam penderitaan. “Saya sudah limabelas tahun meninggalkan Myanmar, dan saya tak bisa pulang sampai hari ini,” ujarnya dalam bahasa Inggris yang amat fasih. “Dua bulan lalu ayah saya wafat, dan saya tetap tak bisa pulang, hanya mendoakannya dari kejauhan,” tutur Zaw dengan tabah.
“Saya meninggalkan Myanmar pada tahun 1998 ketika tengah studi di universitas di Yangoon (d/h Rangoon). Ketika itu ada aksi mahasiswa yang memprotes penguasa. Saya termasuk pimpinan mahasiswa yang diburu tentara. Sehingga saya melarikan diri dan akhirnya berlabuh di Jepang dengan menyandang status sebagai pengungsi,” papar Zaw.
“Bagaimana saya meninggalkan Myanmar? Terus terang saya tergolong sedikit dari orang Rohingya yang beruntung bisa sekolah di Yangoon. Orangtua saya tergolong mampu dan mempunyai beberapa properti. Dengan modal tersebut saya bisa sekolah di Yangoon dan menjadi aktifis mahasiswa. Untuk alasan keamanan dan supaya mudah mendapatkan passport, saya juga harus menukar nama muslim saya menjadi nama Burma (Zaw Min Htut) dan berpura-pura seolah-olah bukan orang Rohingya.”
“Lalu, dengan modal passport palsu tersebut saya keluar Myanmar dan akhirnya berlabuh ke Jepang. Teman-teman saya, aktifis Rohingya yang lain, kebanyakan melarikan diri melalui Malaysia untuk kemudian ke negara ketiga yang mau menampung kami. Sampai di Jepang bukan berarti masalah selesai. Saya sempat ditahan oleh imigrasi selama setahun. Itu saat-saat sulit bagi saya yang membuat saya akhirnya menjadi perokok,” lanjut Lukman lagi.
Lukman memang sedikit dari orang Rohingya yang beruntung. Bisa tinggal di negara maju seperti Jepang walaupun berstatus sebagai pengungsi. “Etnis Rohingya adalah kelompok masyarakat yang paling menderita di Myanmar. Paling miskin dan juga paling tidak berpendidikan,” papar Lukman. “Tapi kami di Jepang bisa hidup relatif lebih baik atas dukungan pemeriintah Jepang. Saya hidup di prefektur Saitama sekarang dengan seorang istri Rohingya dan dua anak.”
Masalah berikutnya, kaum muslimin maupun masyarakat internasional lainnya juga tidak banyak tahu dengan problem kekerasan di Arakan dan orang Rohingya. Etnis Rohingya adalah orang yang terlupakan (forgotten) dan termasuk yang paling teraniaya di dunia. “Bahkan Palestina yang dijajah Israel puluhan tahun saja masih punya negara dan kaum muslimin dunia mendukung mereka habis-habisan. Namun berbeda halnya dengan Rohingya,” tukas Lukman sendu.
Begitupun di Indonesia. Tidak banyak orang Indonesia yang tahu tentang etnis Rohingya. Jangankan memahami kasusnya, istilah `Rohingya` pun terasa asing di telinga. Sampai beberapa pekan terakhir ini kata `Rohingya` tiba-tiba menyesaki media-media di Indonesia.
Pemicunya adalah berita duka bertubi-tubi tentang kekerasan dan pembantaian yang terjadi terhadap muslim Rohingya di Arakan/ Rakhine, Myanmar. Tepatnya pada awal bulan Juni 2012 ketika terjadi konflik antara warga Arakan non muslim (Rakhine Buddhist) dengan muslim Arakan (Rohingya). Konflik ini adalah buah dari informasi bahwa ada perkosaan terhadap wanita non muslim oleh pria muslim di Arakan. Berlanjut dengan tindakan pembalasan oleh warga non muslim. Sepuluh pria muslim Myanmar (Non Rohingya) dibantai ketika berada di dalam bus di Thandwe menuju Yangoon oleh 300-an warga Rakhine.
Kemudian konflik antar dua kelompok tak terhindarkan. Terjadi saling bantai dan saling serang. Muslim Rohingya, karena berjumlah lebih sedikit dan beratus tahun terpinggirkan, lantas terdesak. Ratusan desa muslim dibakar dan dihancurkan dan sekitar 850- 1000-an warga tewas. Sekitar 90.000 ribuan lainnya terusir atau tetap berdiam dalam penderitaan. Karena hijrah ke bagian lain dari negara Myanmar adalah tidak mungkin. Mengungsi ke Bangladesh, negeri yang berbatasan langsung, adalah juga tidak mungkin. Karena Bangladesh menolak masuknya pengungsi Rohingya. Bangladesh sendiri adalah negeri miskin dengan luas wilayah kecil namun berpenduduk nyaris 150 juta jiwa. “Pengungsi Rohingya adalah masalah Myanmar bukan masalah Bangladesh, Myanmar-lah yang harus mengurusi mereka dan bukan kami. Negeri kami kecil dan sudah overpopulated,” ujar PM Bangladesh Hashina ketika diwawancara BBC
Dan itu adalah salah satu seri kekerasan terhadap warga Rohingya. Sebelum dan sesudah merdekanya negara Myanmar (dulu bernama Burma) dari Inggris pada 4 Januari 1948 warga Rohingya kerap mengalami kekerasan dan diskriminasi. Keberadaan mereka tidak diakui sebagai salah satu etnis yang eksis di Myanmar dari 136 etnis yang ada. Ada saat keberadaan mereka diakui oleh Parlemen Myanmar yaitu pada tahun 1948 – 1962. Lalu pada 1959 ada perwakilan Rohingya duduk di kabinet Myanmar. Namun, sejak diktator U Ne Win berkuasa pada 1962 berlakulah horror yang lestari sampai sekarang. Etnis Rohingya dikeluarkan dari daftar etnis yang eksis di Burma. Disusul UU Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982 yang tidak mencantumkan Rohingya sebagai salah satu etnis yang diakui pemerintah Myanmar. Akibatnya, mereka-pun tidak diakui sebagai warganegara Myanmar (stateless). Sampai hari ini.
Mengenai istilah ‘Rohingya’ sendiri ada perdebatan. Nama ‘Rohingya’ dianggap bukan sebagai identitas etnis. Lebih tepat sebagai identitas politik dan label yang disematkan oleh Francis Buchanan-Hamilton, dokter Inggris yang mengunjungi daerah Chittakaung pada akhir abad 18 untuk menyebut entitas muslim Arakan. Tidak ada makna yang jelas tentang apa arti kata ‘rohingya’ selain bahwa ia adalah label dan identitas untuk warga muslim Arakan tersebut.
Pendapat berbeda disampaikan Lukman Hakim. Menurutnya, “Rohingya” adalah juga identitas etnis. Warga muslim Arakan tak keberatan disebut sebagai ‘Rohingya’. “ Istilah ‘Rohingya’ berasal dari ‘Rohang”, nama daerah di Arakan. Maka orang yang tinggal di Rohang disebut sebagai ‘Rohingya’. Sama seperti anda orang Indonesia, “Indonesia adalah nama wilayah dan nama orang yang berdiam di dalam-nya disebut sebagai Indonesian,” ujar Lukman, mencoba membuat analogi.
Lukman juga menolak tegas bahwa etnis Rohingya adalah imigran dari Bangladesh dan punya keturunan Bengali. “Kami adalah orang Rohingya, bukan orang Bengali atau Bangladesh. Bahasa kami berbeda. Sejarah kami juga berbeda. Kami adalah percampuran Arab, Persia dan etnis local. Sampai sekarang saya juga tak bisa berbahasa Bengali,” jelas Lukman.
Rohingya bukan satu-satunya etnis minoritas yang menderita di Myanmar. Ada etnis Kachin yang mayoritas kristiani, lalu perlawanan etnis Chin, Kayah, Karen dan Shan. Perbedaannya, hanya etnis Rohingya muslim yang demikian tak berdaya. Orang Kachin melawan pemerintah Myanmar dengan senjata api dan 20.000 tentara aktif. Juga gerakan separatis Karen. “Orang Rohingya hanya berjuang dengan tangan kosong dan paling bagus dengan pisau,” tambah Lukman.
Perbedaan berikutnya, ujar Lukman. “Kami berjuang bukan dalam rangka memisahkan diri dari Union of Myanmar seperti halnya gerakan separatis etnis minoritas lain. Kami berjuang dalam rangka survival karena justru kami ingin diakui sebagai bagian dari warganegara Myanmar.”
Saat ini, papar Lukman. Muslim Rohingya terdesak hanya tinggal di 4 dari 17 kota kecamatan yang ada di Arakan/ Rakhine. Sebelumnya orang Rohingya mendiami sisi utara negara bagian Rakhine (sebelumnya bernama Arakan) di kota-kota Maungdaw, Buthidaung, Rathedaung, Akyab (Sittwe), Sandway, Tongo, Shokepro, Rashong Island, dan Kyauktaw. Namun kini orang Rohingya bertahan hanya di empat kota saja, antara lain di Maungdaw, Buthidaung dan Sittwe..
Kendati Burma telah merdeka pada tahun 1948, namun warga Rohingya tak pernah merdeka. Mereka terus menerus mengalami kekerasan. Pembantaian dalam skala besar terhadap warga Rohingya terjadi berturut-turut pada tahun 1942, 1948, 1978, 1992 -1993 dan akhirnya pada Juni 2012.
Pada saat bersamaan ada sekitar 300.000 pengungsi Rohingya di Bangladesh dan jumlah yang cukup signifikan di Thailand, Malaysia, Pakistan, India, Timur Tengah dan beberapa yang memperoleh status pengungsi atau suaka politik di Inggris, AS, Jepang dan beberapa negara lainnya. “Kalau dijumlahkan secara total ada sekitar 1.5 juta jiwa orang Rohingya. Sekitar 800.000 hidup di Arakan dan selebihnya mengungsi dan hidup menderita sebagai pendatang tak diinginkan di banyak negara,” kata Lukman.
Masalahnya, apabila mereka tidak ditampung di negara lain, hendak kemana mereka pergi? Lukman mengatakan : “Brother, perhaps it is easier for you to dream about the future, but for us, Rohingya People, never dream about the future since we are also not sure whether we still have tomorrow…”
Kegalauan Lukman Hakim amat beralasan. Presiden Myanmar Thein Sein sudah mengatakan di forum internasional pada Juli 2012 supaya warga Rohingya mencari negara lain saja di luar Myanmar atau PBB mencarikan tempat penampungan lain di luar Myanmar. Myanmar tidak welcome dengan orang Rohinya dan siap mendeportasi mereka. Suatu pernyataan yang ahistoris dan tidak pantas, dari seorang kepala negara yang berdaulat.
Atas nama kemanusiaan, keadilan dan hak asasi manusia, sudah sepantasnya dunia memikirkan secara bersama-sama solusi permanen untuk Rohingya. Tanggung jawab utama dan pertama jelas terletak pada negara Myanmar yang sejak awal berdirinya telah menegasikan eksistensi bangsa Rohingya. Termasuk yang wajib memperjuangkan warga Rohingya adalah icon perjuangan demokrasi Myanmar, Daw Aung San Suu Kyi. “Terus terang kami kecewa dengan Daw Aung San karena dia diam saja ketika berhadapan dengan masalah Rohingya,” tukas Lukman.
Sebelum menutup perjumpaan kami, Lukman berpesan supaya Indonesia dan pemerintah Indonesia memainkan peran lebih proaktif terhadap persoalan Rohingya. “Indonesia adalah negeri demokrasi yang bebas dan berpenduduk muslim terbesar sedunia. Indonesia juga adalah pendiri ASEAN dan bahkan sekretariat ASEAN ada di Jakarta. Kami mohon kepada Presiden Indonesia untuk menekan pemerintah Myanmar supaya menghentikan kekerasan di Arakan dan menetapkan solusi permanen permasahan Rohingya di Arakan secara damai. Akui kami sebagai manusia yang sama seperti anda, yang berhak untuk hidup bebas dari rasa takut dan kemiskinan….
Leave a Reply