LONCENG KEMATIAN MULTIKULTURALISME BARAT
Heru Susetyo
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia
dan Advokat pada PAHAM Indonesia
hsusetyo@ui.ac.id
Dunia barat, apakah Eropa ataupun Amerika Utara dan Australia, adalah suatu paradoks multikulturalisme. Ide-ide besar tentang kebebasan, persamaan dan hak asasi manusia tumbuh dan berkembang di Eropa Barat dan Amerika Utara. Bahkan, beberapa abad lamanya Eropa Barat dan Amerika Utara menjadi rujukan utama untuk belajar kebebasan, persamaan, HAM dan demokratisasi. Namun, di dunia barat juga sikap-sikap intoleran terhadap kultur, ras, etnis dan bangsa lain tetap tumbuh subur. Masih banyak penduduk barat yang berkehendak negerinya cukup dihuni oleh satu etnis saja. Satu identitas kultur yang bersifat homogen. Bukan untuk pendatang berkulit berwarna. Apalagi imigran muslim.
Pada dataran tertentu, sikap intoleran ini bisa berkembang menjadi racism dan xenophobia. Ketakutan berlebihan terhadap orang-orang asing atau yang dianggap berbeda dari mainstream. Geert Wilders, anggota parlemen Netherlands yang membuat film Fitna pada 2008 yang sarat dengan kebencian terhadap Islam dan imigran muslim adalah contoh ekstrem-nya. Geert menyamakan Al Qur’an dengan Mein Kampf, ‘kitab suci’-nya Hitler. Menolak rencana pembangunan masjid-masjid baru di Netherlands. Aktif berkampanye menentang masuknya imigran muslim ke Netherlands atas nama ‘anti Islamisasi Netherlands’.
Contoh ekstrem lain adalah Anders Behring Breivik, teroris Norwegia yang membom gedung di Oslo (8 orang tewas) dan menembak massal kumpulan pemuda Partai Buruh Norwegia yang tengah camping pada 22 Juli 2011 (69 orang tewas) di pulau . Alasan pembantaian Breivik sederhana. Negara Norwegia dan Partai Buruh terlalu membuka ruang untuk imigran muslim. Muslim disebutnya suatu waktu akan mengambil alih tanah Norwegia. Maka, Breivik hadir sebagai ‘martir’ untuk menyelamatkan Norwegia dan Eropa dari Muslim dan mempertahankan Eropa sebagai ‘Christendom.’ Hasil pemeriksaan medis pada 10 April 2012 menyebutkan bahwa ketika melakukan aksi terror tersebut Breivik dalam keadaan sadar dan tidak gila.
Jangan lupakan juga kasus Marwa El Sherbini. Muslimah Mesir yang tinggal di Dresden, Jerman ini dibunuh oleh seorang xenophobist lain, Alex Wiens, warganegara Jerman keturunan Russia, persis di dalam ruang pengadilan Dresden pada 1 Juli 2009. Ia ditikam 15 kali dan suaminya 16 kali. Marwa menjemput syahid-nya dan suaminya koma selama dua hari namun tetap hidup. Parahnya, pada saat kejadian Marwa tengah hamil tiga bulan dan penikaman dilakukan persis di depan anaknya yang berusia tiga tahun. Tak cukup itu, polisi Dresden kemudian salah menembak. Suami Marwa, Okaz, yang melawan serangan Alex hingga ikut ditikam berkali-kali malah dianggap pelaku oleh polisi dan ditembak kakinya.
Peristiwa ini memancing kemarahan besar dari kaum muslim Eropa dan dunia. Marwa kemudian disebut sebagai “martyr of hijab”. Sebab, serangan Alex kepada Marwa bermula dari hinaan verbal-nya kepada Marwa di suatu taman bermain anak di Dresden pada Agustus 2008. Pertengkaran akibat berebut fasilitas bermain anak antara Alex dan Marwa berujung dengan hinaan Alex yang menyebut Marwa sebagai : “islamist’, “terroris” dan “slut” (pelacur). Marwa melaporkan Alex kepada polisi hingga akhirnya ia disidangkan di pengadilan. Namun pengadilan ternyata bukan tempat yang aman. Alex tetap bisa membawa pisau dan menikam Marwa dan suaminya di dalam pengadilan.
Di level komunal, gejala ketidaktoleranan terhadap kultur lain dapat dilihat di Belgia. Negeri kecil Belgia dengan luas wilayah tak lebih luas dari Jawa Barat sudah beberapa lama terbelah. Antara bagian utara yang berbahasa Belanda (Vlaam atau Flemish) dan bagian selatan yang berbahasa Perancis (Wallonia). Antara tahun 2010 – 2011 sekitar 541 hari Belgia tak memiliki pemerintahan. Karena dua partai dengan suara terbanyak dari dua bagian negara yang berbeda selalu tak memiliki kesepakatan untuk membentuk pemerintahan. Kecurigaan dan prasangka antar penduduk maupun kelompok politik berbeda bahasa terus berkembang. Padahal, total penduduk Belgia hanya 11 juta jiwa.
Negeri Spanyol setali tiga uang. Negeri sepakbola tersohor sejagat ini tak sepenuhnya damai. Masih ada riak-riak ketidakpuasan terhadap pemerintahan Madrid. Daerah Catalan di sisi tenggara Spanyol dan Basque di Utara selalu menuntut otonomi hingga pemisahan diri dari pemerintah pusat di Madrid. Sentimen ini berkembang hingga ke jagat sepakbola. Kompetisi antara dua raksasa sepakbola Spanyol (bahkan Dunia), Real Madrid dan Barcelona, tak sepenuhnya kompetisi olahraga murni. Karena Real Madrid bercokol di Madrid dan secara historis adalah representasi otoritarianisme Madrid. Sementara Barcelona bercokol di kota Barcelona yang merupakan kota terbesar di daerah Catalan. Daerah yang secara historis memiliki keengganan untuk bergabung dengan Federasi Spanyol di Madrid. Laga sepakbola antara kedua jawara ini selalu diwarnai dengan celotehan bernada fanatisme, kebencian (hate crimes), hingga separatisme. Sport is not just sport.
Masih di jagat bola. Tak sekedar menjadi tontonan paling menarik sejagat. Sepakbola Eropa adalah juga pentas fanatisme berlebihan yang tak jarang berbuah pada rasisme dan penghinaan. Pemain sepakbola berkulit hitam dan yang berasal dari negeri muslim, acapkali mendapat hinaan. Dari sesama pemain, pelatih maupun penonton dan media massa. Samuel Eto’o, pesepakbola Barcelona berkulit hitam, diteriaki sebagai ‘monyet’ dan dilempari kacang ketika ia menguasai bola oleh fans dari Real Zaragoza pada Februari 2005. Patrice Evra, pesepakbola Manchester United berkulit hitam, dihina oleh pemain Liverpool, Luis Suarez pada 15 Oktober 2011. Berulangkali Suarez menghina Evra dengan mengatakan ‘negro’, ‘saya tak mau bicara dengan negro’, dan lain-lain. Hinaan mana berujung pada dilarangnya Suarez bermain di delapan pertandingan plus didenda 40.000 poundsterling.
Jose Mourinho, pelatih legendaris dunia yang pernah membesut FC Porto, Chelsea, Inter Milan dan kini Real Madrid pernah dikecam karena komentar-nya terhadap pemain muslim Inter Milan asal Ghana, Sulley Muntari, pada Agustus 2009. Performa Sulley yang dianggap merosot dianggap oleh Mourinho karena Sulley menjalankan puasa Ramadhan. Komentar ini menuai kritik keras dari pemimpin muslim Eropa.
Tak hanya individu dan masyarakat umum. Negara-pun bisa mendukung sikap tidak toleran dan anti multikulturalisme. Masih ingat dalam benak kita betapa pemerintah dan parlemen Prancis meloloskan begitu saja Undang-Undang yang melarang penggunaan dan penampakkan simbol-simbol agama seperti jilbab bagi muslimah, kippa bagi Yahudi dan kalung salib bagi Kristiani di sekolah-sekolah publik pada Maret 2004. Kebijakan ini adalah atas nama melindungi sekularisme Perancis dan menjaga ‘netralitas’ lembaga publik dari simbol-simbol agama. Berlaku buat para siswa, guru maupun tenaga administrasi. Dan, bisa diduga. Korban-korban-pun bermunculan. Sejumlah siswi muslimah jadi subyek diskriminasi di sekolah publik, hanya karena memilih berhijab.
Tak cukup itu. Apabila pelarangan hijab hanya berlaku di sekolah publik, maka pada September 2010 parlemen Perancis mensahkan UU yang melarang penggunaan burqa (cadar/ penutup wajah) di seantero Perancis. Pengambilan keputusan di parlemen sangat dramatis. Dimana hanya 1 suara menolak sementara 246 suara lainnya setuju pelarangan burqa. Kenyataan ini sangat ironis. Mengingat di Perancis ada beberapa tempat yang legal sebagai nudist beach (pantai dimana orang bebas bertelanjang ria), sementara mereka yang ber-burqa malah dilarang dan yang berjilbab dibatasi.
Sikap tidak toleran dan xenophobic juga ternyata memakan korban hampir semua strata. Tidak hanya warga berpenghasilan rendah dan imigran miskin. Dalam kasus Marwa El Sherbini, ia adalah apoteker yang bekerja di Rumah Sakit di Dresden. Sementara suaminya adalah peneliti untuk program Doktor di universitas. Selebriti juga tanpa pengeculian. Aktor legendaris Bollywood Shah Rukh Khan, tanggal 12 April 2012 lalu ditahan oleh imigrasi AS di White Plains Airport dekat New York City selama dua jam sebelum bisa memasuki tanah Amerika. Alasannya, antara lain, karena nama belakangnya adalah ‘Khan’ yang berkonotasi sebagai nama muslim. Jadi, kata siapa dunia barat penuh dengan toleransi dan penghargaan terhadap multikulturalisme?
Leave a Reply