BERNEGOSIASI DENGAN BABI DAN UDARA DINGIN
Tribute to Indonesian Women Migrant Workers in Macau SAR
Shelter itu sejatinya adalah sebuah apartemen sederhana. Berada di lantai lima di salah satu rumah bertingkat di Rua Silva Mendes. Tetangga kiri kanannya adalah warga Macau (dapat diidentifikasi dari perangkat sembahyang yang digeletakkan di luar). Tak ada pemanas ruangan juga tak ada hot water pada shower di kamar mandi. Padahal winter di Macau lumayan sangar. Di bawah 10 derajat Celcius. Maka, sayapun duduk merinding dan berharap matahari segara muncul. Maklum salah kostum.
Hebatnya, teman-teman BMI (Buruh Migran Indonesia) atau bahasa kasarnya TKI/ TKW, bisa survive dalam keadaan seperti itu. Tak hanya satu, ada sekitar enam penghuni tetap dan beberapa penghuni tetap lainnya yang datang dan pergi. Maklum, namanya juga shelter, alias tempat penampungan sementara.
Hampir semua penghuni shelter adalah pekerja part time di rumah tangga keluarga Macau. Pagi hingga malam hari mereka bekerja sebagai domestic workers ataupun helper, dan malam hari pulang ke shelter tersebut. Selain penghuni tetap, ada beberapa tamu yang pulang dan pergi. Sebagian adalah mereka yang menunggu visa kerja ke Hongkong, menunggu kontrak baru dengan majikan, ataupun yang bermasalah karena urusan imigrasi, ekonomi, dan lain-lain.
Macau seringkali menjadi tempat persinggahan sementara apabila para pekerja yang sebelumnya bekerja di Hongkong kontraknya usai ataupun visanya expired. Karena, visa habis berarti mereka tak dapat lagi tinggal secara legal di Hongkong. Pulang ke Indonesia biaya mahal, maka alternatifnya, selagi menunggu visa dan kontrak kerja baru, adalah pergi ke Macau SAR. Negeri mantan koloni Portugis, yang memiliki status serupa Hongkong yaitu Special Autonomous Region dari RRC. Mengapa Macau? Karena negeri ini hanya berjarak 60km dari Hongkong dan dapat ditempuh dari Hongkong dengan ferry dalam waktu sejam saja. Sebenarnya RRC (mainland China) lebih mudah diakses dari Hongkong, karena berbatasan darat langsung, namun untuk memasuki RRC memerlukan visa khusus. Sedangkan, Macau, seperti halnya Hongkong, menerapkan policy bebas visa untuk kunjungan kurang dari 30 hari bagi WNI.
Kebanyakan BMI yang menghuni shelter MATIM (Majelis Taklim Indonesia Macau) berasal dari pulau Jawa, utamanya Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ada beberapa Mbak-Mbak BMI dari Jawa Barat maupun luar Jawa, namun jumlahnya tak dominan. Maka, bahasa Jawa adalah bahasa yang paling banyak digunakan di shelter selain bahasa Cantonese.
Bahasa Cantonese? Ya, inilah yang membuat kami salut. Hampir semua BMI di Macau dapat berbahasa Cantonese, bahasa yang sehari-hari digunakan di Hongkong dan Macau. Kendati logatnya berbau Jawa, namun tetap di telinga kami mereka bertutur Cantonese dengan lancar. Kadang diantara teman-teman Indonesia mereka bercakap-cakap dalam bahasa Cantonese. Padahal, amat sedikit dari mereka yang pernah duduk di bangku kuliah, pun yang pernah belajar bahasa Cantonese secara khusus. Kebanyakan belajar bahasa tersebut secara singkat di Indonesia (PJTKI) ataupun bisa dengan sendirinya karena paksaan kondisi dan tinggal dengan keluarga China Macau.
Shelter tersebut dikelola oleh MATIM, suatu pengajian yang dibina oleh seorang Ustadz Indonesia di Hongkong dan juga Dompet Dhuafa. Tak sekedar shelter, ia juga adalah tempat pengajian dan pembinaan keagamaan. Setiap hari diadakan shalat jama’ah dengan imam bergantian. Bahkan, setiap hari Ahad, hari libur mereka, ada pengajian rutin, belajar Iqra, belajar menjahit dan computer, dan lain sebagainya.
Pendapatan mereka memang tidak besar untuk ukuran Macau. Namun terbilang besar untuk ukuran Indonesia. Rata-rata gaji minimalnya adalah 3000 MOP (Macau Pataca). Ada pula yang bekerja di dua rumah tangga (anak dan orangtua) sehingga mendapat gaji 5000 MOP (1 MOP = Rp 1200,-). Kondisi kerja mereka relatif baik, dibandingkan dengan sesama BMI di Timur Tengah ataupun Malaysia yang kerap mengalami penderitaan.
Kendati demikian, tinggal dan bekerja di luar negeri bukanlah cita-cita mereka. “Saya bertahan untuk bekerja disini Pak, dua anak saya sekolah di satu perguruan tinggi swasta di Purwokerto, kalau saya pulang mereka tak bisa bayar kuliah lagi. Ayah mereka sudah almarhum sejak anak nomor dua berusia empatbelas bulan, karena kecelakaan,” ujar Ibu Y.
“Saya lama tinggal di luar negeri. Tiga tahun di Malaysia, empat tahun di Singapura, delapan tahun di Hongkong, dan sekarang sudah tahun keempat di Macau,” tambah Ibu Y lagi.
“Sama Pak, saya juga sudah lama disini. Sekarang saya nunggu visa untuk kontrak kerja baru di Hongkong. Sudah Sembilan tahun saya kerja di Hongkong. Saya lulus S1 Teknik Sipil dari satu PTS di Jakarta. Tapi saya kerja di rumahtangga lho Pak, bukan sebagai engineer. Inginnya sih saya kerja di company, tapi sejak awal kontrak saya di Hongkong sebagai domestic worker, mau bilang apa,” tutur Mbak A.
Rata-rata para BMI di Macau memang pernah punya pengalaman kerja di Hongkong atau di negeri lain seperti Malaysia, Singapore, dan Timur Tengah. Ibu L bercerita bahwa ia pernah bekerja selama delapan tahun di Saudi Arabia. “Saya sudah pernah tinggal hampir di semua kota di Saudi Arabia, mengikuti majikan saya yang Dokter. Alhamdulillah saya sudah pergi haji dan berkali-kali umrah. Tapi disana saya tak bisa keluar rumah Pak. Saya tak pernah belanja karena semua keperluan rumah dibelikan oleh majikan laki. Di Macau sini lebih bebas. Gaji lumayan, tapi ya nggak bisa lihat Mekkah,” tambah Ibu L polos.
Apa hal terberat menjalani hidup selaku domestic helper di Macau? “terus terang kita nggak mengalami banyak masalah, Pak, hanya suka kagok saja kalau harus masak daging babi. Kita nggak bisa nolak wong kerja sama majikan. Saya sering belanja daging babi, mencuci, hingga memasaknya. Tapi jangan tanya gimana rasanya wong saya sedikitpun tak pernah mencicipi. Saya bilang sama majikan, okelah saya masak daging babi tapi saya takkan pernah mencicipinya, jadi tolong jangan tanyakan saya bagaimana rasa masakan saya,” ujar Ibu Y lugas.
“Dulu pertama-tama, saya selalu membasuh tangan tujuh kali untuk menghilangkan najis daging babi tersebut. Tapi sekarang ada sabun khusus dari Malaysia, namanya sabun Thaharah, yang bisa menghilangkan najis tersebut. Jadi saya cukup menggunakan sabun tersebut. Tapi memang harganya agak mahal.
Untuk ibadah sehari-hari, rata-rata teman-teman BMI ini tak mendapati kesulitan. Hanya saja disini sulit menemukan masjid. Menurut informasi mereka, hanya ada satu masjid di Macau yang sekaligus menyediakan tanah untuk pekuburan (muslim cemetery). Sayangnya, ketika kami kesana, masjid digembok dan ditutup. Tak bisa melihat selain dari kejauhan. Memandang luas tanah dan asri pepohonannya lengkap dengan tanah pekuburannya. Seram? Tidak sama sekali wong masjid ini berlokasi di kawasan padat, di seberang public school dan tak jauh dari tepi laUt. Konon, Imam masjid ini adalah seorang pria keturunan Indonesia yang menikah dengan wanita Pakistan.
Macau memang berbeda dengan Hongkong. Kendati sama-sama merupakan Special Administrative Region dari PRC/ RRC, namun sejarahnya berbeda. Macau adalah mantan koloni Portugal/ Portugis sedangkan Hongkong adalah mantan koloni Inggris. Macau kembali bergabung dengan RRC dan menjadi SAR sejak tahun 1999, sedangkan Hongkong sejak 1997. Di Hongkong takkan ditemukan papan penunjuk jalan dan berbagai macam informasi public dalam bahasa Portugis. Macau menggunakan mata ulang Macau Patacas (MOP) sedangkan Hongkong dengan Hongkong Dollar (HKD). Nilai tukar keduanya dengan USD tak berbeda jauh. 1 USD adalah berkisar 100 HKD dan 103 MOP. Mengenai bahasa, kedua negeri ini sama-sama menggunakan bahasa Cantonese. Bahasa yang berbeda dengan bahasa nasional RRC, yaitu Mandarin.
Di Hongkong masjid dan tempat makan halal tersedia lebih banyak. Negerinya lebih luas dan dinamika kehidupannya lebih terasa. Macau jauh lebih kecil dari Hongkong. Hanya seluas 29.2 km2 dengan penduduk hanya 541.000 jiwa (tahun 2009). Macau SAR terdiri atas tiga region, masing-masing Macau City yang melekat dengan mainland China, lalu Taipa Island dan Coloane Island. Belakangan antara Taipa dan Coloane Island sudah tak berjarak lagi karena pemisah antara keduanya telah direklamasi.
Denyut nadi Macau sepertinya memang terletak pada bisnis perjudian alias Casino. Begitu banyak casino berukuran dahsyat dan mewah serta megah. Transportasi dari dan ke Casino dari terminal bus diberikan cuma-Cuma. Dengan bus super mewah, pelancong ataupun penjudi bebas melenggang ke Casino-casino ngetop seperti The Venetians, City of Dreams, Wynn, Sands, Grand Lisboa, dan lain sebagainya. Tak salah kalau negeri ini kerap disebut surga para penjudi.
Pekerja migran Indonesia di Macau tak banyak. Berkisar 3700 – 4000 jiwa saja. Bandingkan dengan di Hongkong yang berkisar 140.000 jiwa. Sayangnya, tak ada konsulat permanen Indonesia di Macau. KJRI hanya ada di Hongkong yang membuka special branch-nya di Macau konon untuk dua hari saja setiap pekan.
Kendati sedikit, teman-teman BMI ini cukup solid dan berhimpun dalam beberapa organisasi. Ada yang bersifat kedaerahan, ada juga yang keagamaan. Selain MATIM, wadah organisasi muslimah BMI lainnya adalah HALIMAH.
Yang luar biasa, kendati hidup jauh dari anak dan suami, dari orang tua dan kerabat, kedinginan di musim dingin dan kepanasan di musim panas, para BMI di MATIM tetap istiqomah. Tetap beribadah, mengaji dan saling berbagi ilmu dan ketrampilan. Lalu, mereka juga amat menghargai tamu, dalam kunjungan singkat kami ke MATIM, sedikitpun kami dilarang mengeluarkan uang dan dilarang menginjak dapur. Alias biaya akomodasi, transportasi, dan makanan semua mereka tanggung. Membersihkan dan mencuci piring sehabis makan dilarang keras. Saya jadi tak enak, saya paham bahwa mereka bukanlah orang yang sangat berada dan berpunya, namun izzah dan keinginan memuliakan tamunya luar biasa. Padahal, saya tak pernah mengenal mereka, tak berhubungan darah, keluarga, ataupun perkawinan. Pun, tak mengkontak mereka secara langsung, hanya via SMS dan email dengan seorang rekan di Hongkong yang kenal dengan mereka.
Salam hormat teman-teman BMI di Macau, semoga Allah SWT meringankan jalan dan ikhtiar suci teman-teman sekalian…
Salaya, 200110
Leave a Reply