FAMILE FATMA ARSLAN SANG PIONEER
Pengacara Muslimah Berjilbab Pertama di Belanda
Dalam kunjungannya ke Salzburg Austria akhir Oktober 2008 sebagai partisipan Salzburg Global Seminar on Islamic Law and International Law, kontributor Tarbawi Heru Susetyo bertemu dengan Famile Fatma Arslan, pengacara muslimah pertama di Belanda yang mengenakan jilbab. Berikut petikan kisah Famile dalam beradvokasi di Belanda yang disarikan dari wawancara dalam bahasa Inggris.
Profilnya tak mengesankan sebagai pengacara. Berbadan kecil, selalu mengenakan jilbab warna-warna cerah, berkulit putih dan berwajah khas Turki. Namun ketika berdialog dengannya nampak jelas bahwa ia sangat berkualifikasi sebagai pengacara. Sorot matanya tajam, tutur katanya runtut, kritis, dan menampakkan keluasan perspektif. Dan hebatnya, ia lihai berbicara dalam enam bahasa, bahasa Ibunya Turki, bahasa negerinya kini Belanda, bahasa Inggris, Perancis, Jerman, dan sedikit bahasa Arab.
Sampai dengan awal tahun 2000 belum banyak orang mengenal namanya, Famille Fatma Arslan. Apalagi sebagai minoritas muslim, perempuan pula, di Belanda, posisinya kurang menguntungkan. Nasib yang sama dialami oleh semua perempuan minoritas di dunia ini.
Lahir sebagai etnis Turki di Diyarbakir Turki Timur pada tahun 1974, Famile hijrah ke Belanda (Netherland) ikut orangtuanya pada usia empat tahun. Setelah itu, ia tinggal di Belanda hingga kini. Tiga puluh tahun lebih di negeri keju, tak heran langgam bahasa Belanda Famile amat khas Belanda. Iapun mengerti betul kultur dan kehidupan sosial negeri Kincir Angin ini yang notabene amat berbeda dengan negeri tempat lahirnya.
Belanda, atau Nederland (Netherlands dalam bahasa Inggris) ataupun Holland memang adalah negeri yang semula ramah untuk para imigran. Dari 16.5 juta penduduknya (tahun 2008) 20% nya adalah imigran. Imigran terbesar adalah keturunan Indonesia/ Maluku sebanyak 2.4.% diikuti German (2.4%), Turki (2.2%), Suriname (2%), Maroko (1.9%) dan lainnya.
Namun konstelasi politik dunia, utamanya pasca tragedi WTC 9/11, cenderung kurang menguntungkan bagi minoritas muslim di negeri-negeri barat. Termasuk di Belanda. Berbagai bentuk diskriminasi, pembatasan, kekerasan atas nama kebencian (hate crimes), subordinasi dan marjinalisasi terjadi terhadap minoritas muslim. Puncak kebencian terhadap kaum muslimin di Belanda adalah dilansirnya film Fitna oleh Geert Wilders anggota parlemen Belanda pada tahun 2008. Pada film tersebut Wilders menggambarkan Islam sebagai agama haus darah, paling tidak toleran, dan tidak cocok untuk negara Belanda. Ia bahkan mensinyalir imigran muslim Belanda pada tahun 2025 akan melampaui jumlah orang Belanda asli.
Dalam situasi yang kurang nyaman inilah Famile hidup dan mengaktualisasikan dirinya. Dia menyebut dirinya sebagai pioneer. “Saya adalah wanita muslim pertama di Belanda yang masuk ke fakultas hukum. Saya juga wanita muslim pertama yang bekerja di Kementerian Kehakiman. Saya yang pertama juga menjadi pengacara. Dan saya juga muslimah pertama yang mengenakan jilbab ketika beracara di pengadilan Belanda,” tukas Famile berapi-api tanpa bermaksud menyombongkan diri.
Dan memang begitulah yang terjadi. Bagi wanita muslim di Belanda untuk masuk ke fakultas hukum adalah suatu persoalan. Suasana bekerja yang kurang nyaman, biaya studi yang mahal, prospek karir yang belum jelas, dan persaingan dengan pengacara asli Belanda, adalah beberapa alasan yang mengemuka. “Kalaupun imigran muslim termasuk keluarga yang kaya, mereka lebih suka mensekolahkan putrinya ke fakultas kedokteran daripada fakultas hukum. Prospek karir dan suasana bekerja di wilayah kesehatan cenderung lebih nyaman bagi muslimah daripada di bidang hukum,” Famile menjelaskan.
“Ketika saya studi di Universitas Leiden tahun 1992 – 1997, kemudian mengikuti ujian pengacara, sampai akhirnya mengenakan jilbab ketika beracara di pengadilan, banyak orang yang terkejut dan saya menjadi pemberitaan di media massa,” ujar Famile. “Alhamdulillah keluarga saya mapan secara ekonomi dan bisnis sayapun lancar, hal mana amat mendukung profesi hukum saya,” tambah Famile.
Saat ini Famile menjalankan firma hukumnya, bernama Arslan Advocaten (Arslan Lawyers dalam bahasa Inggris) yang berkedudukan di kota Den Haag (The Hague). Suatu pilihan yang tepat, Den Haag adalah Ibukota Hukum Dunia, karena di kota ini berlokasi lima pengadilan internasional.
Kini nama Famile amat identik dengan pembelaan hak-hak kaum minoritas muslim di Belanda. Ia hampir selalu berada dalam barisan terdepan dalam menyuarakan hak-hak kaum minoritas. Iapun menjadi anggota untuk Dewan Belanda untuk Islam dan Kewarganegaraan (Islam and Citizenship).
Suara Famile dikenal vokal untuk pembelaan terhadap hak-hak mengenakan busana muslimah, kebebasan beribadah, termasuk penentangan kerasnya terhadap film Fitna karya Geert Wilders. Famile dan aktivis muslim lainnya menentang film Fitna melalui masjid-masjid, pertemuan publik, dan program-progam kampanye dan pendidikan masyarakat. Majalah The Economist mengomentari Famile sebagai : If there is a problem between Islam and the West, people like her are surely part of the answer.
Namun, di usianya kini yang telah 34 tahun ia masih tetap melajang. “Saya terlalu sibuk dan mobile untuk urusan advokasi maupun bisnis, saya bisa berada di beberapa negara berbeda dalam satu pekan. Saya tak tahu apakah saya bisa membagi waktu untuk keluarga kalau saya menikah,” ujarnya menutup perbincangan kami.
Tidak mengapa Fatima, apabila Ayat-Ayat Cinta memiliki tokoh sentral Aisha wanita Turki – Jerman, maka Ayat-Ayat Hukum Eropa telah memiliki tokoh sentralnya, Fatima, wanita Turki – Belanda !
Leave a Reply