INVESTASI UNTUK NYAWA MANUSIA
Heru Susetyo
Mahasiswa Program Doktor Human Rights and Peace Studies
Mahidol University, Thailand
“Semua dimulai dari penghargaan terhadap nyawa, ketika suatu nyawa mulai kurang dihargai, akan sering berujung pada musibah seluruh bangsa…” (Kofi Annan)
Di bulan Februari 2008 ini publik Indonesia seperti tertampar keras. Seorang anak SD bunuh diri di Magetan karena tak kuasa menahan sakit akibat kelaparan. Di Makassar, seorang Ibu hamil dan anaknya juga meninggal dunia. Karena kelaparan. Otoritas setempat membantah bahwa ihwal matinya mereka karena penyakit biasa. Apapun sebabnya, faktanya mereka telah mati.
Februari 2008, negeri jiran Singapura juga diguncang duka. Ah Meng, orang utan kelahiran Sumatra dan telah menetap di kebun binatang Singapura sejak tahun 1971 meninggal pada Jum`at 8 Februari 2008. Primata berusia 46 tahun yang memiliki empat anak dan enam cucu ini begitu dicintai rakyat republik pulau ini. Ia adalah figur non manusia paling populer yang kerap tampil di film, media cetak, mendampingi tamu negara, bahkan menjadi duta pariwisata Singapura.
Negeri jiran yang lain, Australia, memiliki keprihatinan yang sama. Di awal Februari ini, di lautan Antartika, penangkapan ikan paus untuk keperluan ilmiah oleh kapal riset Jepang menuai perseteruan diplomatik antara Jepang dan Australia. Petugas bea cukai Australia mengambil gambar penangkapan tersebut dan tak lama kemudian foto-foto eksklusifnya beredar ke mancanegara. Jepang luar biasa marah dan mengatakan bahwa tindakan tersebut dapat berdampak pada hubungan diplomatik kedua Negara. Australia sebaliknya mengatakan bahwa penangkapan tersebut adalah isu lingkungan hidup yang amat serius.
Di Thailand, Plai Sampran, seekor gajah berusia enam tahun terluka kakinya karena terjebak perangkap pemburu di daerah Chachoengsao. Luka biasa, namun media massa nasional menganggap peristiwa tersebut luar biasa. Kisah sang gajah ditransfer ke rumah sakit khusus di daerah Lampang Thailand menjadi berita tersendiri (The Nation, 21/01/08).
Ketiga cuplikan peristiwa nyata di atas adalah contoh betapa rakyat di belahan dunia lain begitu menghargai nyawa. Tak sekedar nyawa manusia. Juga nyawa hewan.
Jangan lagi ditanya tentang penghargaan terhadap nyawa manusia. Pada 6 Februari 2008, Manchester United, klub sepakbola tersohor Inggris memperingati lima puluh tahun tewasnya Busby Babes, delapan pemain bola klub tersebut yang tewas karena kecelakaan pesawat di Munich, Jerman. Lima puluh tahun berselang. Orang tetap berduka. Orang tetap ingat. Orang tetap bersedih dan berdo`a.
Sama halnya dengan peristiwa tewasnya lima wartawan asal Australia, Inggris, dan New Zealand pada 16 Oktober 1975 di Timor Leste. Lebih dari tiga puluh dua tahun berselang, peristiwa tersebut tetap dikenang. Bahkan otoritas di Australia tetap menyelidiki pihak yang dianggap bertanggungjawab. Mantan Gubernur Sutiyoso-pun sempat merasakan getahnya. Ketika tengah berkunjung ke Sydney pada akhir Mei 2007, kamar hotelnya dimasuki polisi federal yang mengantarkan surat perintah menghadap Pengadilan Coroner New South Wales. Ia dianggap turut bertanggungjawab sebagai salah seorang komandan militer di Timor Leste ketika itu.
Harga sebuah nyawa, tak pandang manusia tak pandang binatang memang demikian bermakna. Mereka yang pergi tak dilupakan. Mereka yang masih hidup tak meniadakan yang telah mati. Bagaimana halnya dengan Indonesia?
Nilai Nyawa di Indonesia
Enam puluh dua tahun merdeka. Dalam hal penghargaan terhadap nyawa manusia, Indonesia saat ini nyaris belum berubah dari Indonesia di masa lalu. Nyawa manusia belum mendapat perhatian serius. Manusia Indonesia mati satu ataupun ratusan ribu nyaris tak ada bedanya.
Terlepas dari perihal takdir, banyak manusia Indonesia tewas karena sebab-sebab yang sebenarnya dapat diantisipasi. Apabila wajah kematian yang dominan di Februari ini adalah akibat kelaparan, maka Indonesia di akhir tahun 90-an dan awal milenium baru ditandai dengan tewasnya sejumlah besar anak bangsa akibat konflik sosial berlatar belakang etnis maupun agama. Ribuan nyawa melayang di Sambas, Sampit, Poso, Ambon, Halmahera Utara, hingga Aceh. Sedihnya, kematian tersebut nyaris tak bermakna apa-apa. Hanya sedikit pelaku kejahatan kemanusiaan tersebut yang nasibnya berujung di pengadilan. Padahal hingga kini para korban dan pengungsi masih hidup terlunta-lunta.
Setelah musim konflik sosial mereda, bencana alam dan bencana akibat peran manusia apakah bernama kecelakaan ataupun bencana teknologi bergantian mendera bangsa. Setelah tsunami, gempa bumi, tanah longsor, banjir bandang, maka terjadi pula bencana lumpur Lapindo diselingi kecelakaan transportasi disana sini. Apakah kecelakaan pesawat, kapal laut, kereta api hingga mobil dan motor.
Kecelakaan tak terjadi dengan sendirinya. Pesawat jatuh di berbagai tempat karena usianya sudah tua, pemeliharaan kurang baik, dan pemakaiannya terlalu diforsir. Kapal penumpang tenggelam di berbagai tempat karena penuh muatan ataupun karena piranti keselamatan yang minim atau bahkan tak tersedia. Musibah kereta api banyak terjadi karena minimnya piranti keselamatan kereta api dan longgarnya kedisiplinan penumpang maupun awak kereta. Awal Februari ini, sebuah panser amfibi tenggelam di lepas pantai Situbondo. Menewaskan tujuh prajurit marinir TNI AL. Informasi awal menyebutkan bahwa panser tenggelam karena usianya sudah tua. Lebih dari empat puluh tahun.
Tak salah kalau Andre Vitchek (Jakarta Post, 3/02/08) menyebutkan bahwa Indonesia adalah ibarat raksasa yang tenggelam (the sinking giant). Banjir Jakarta di awal Februari yang turut membenamkan mobil kepresidenan Presiden SBY, adalah dampak dari apresiasi yang rendah terhadap nyawa manusia dan pembangunan manusia (human development). Vitchek menyebutkan bahwa tidak seperti kota-kota besar di Asia Tenggara yang telah banyak berinvestasi untuk transportasi publik, penyediaan taman dan tempat bermain, trotoar, dan pembangunan wahana-wahana kultural seperti museum, gedung konser ataupun gedung pertemuan, Jakarta tetaplah secara brutal membangun wilayah kotanya mengikuti selera pasar dengan tujuan mengejar profit sebanyak mungkin (pro market and profit-driven). Tak peduli banyak warganya yang masih miskin.
Pendatang baru yang tiba di Jakarta akan heran melihat minimnya sarana publik di Jakarta. Sukar menemukan taman, ruang hijau, toilet gratis, ataupun air minum gratis. Ruang hijau yang tersisa akan sesegera mungkin berubah menjadi lapangan golf ataupun mal dan department store. Bangkok, Hanoi, dan Port Moresby di Papua New Guinea bukanlah kota-kota modern. Namun di kota-kota tersebut warga mudah mengakses taman, tempat bermain, toilet, trotoar untuk pejalan kaki ataupun air minum gratis.
Ketahanan Nasional dan Keamanan Manusia
Nyawa manusia sedikit banyak terkait dengan masalah keamanan. Dan Indonesia sudah sejak lama memiliki doktrin keamanan nasional. Sayangnya, sedari awal paradigma keamanan tersebut belum banyak menaruh perhatian pada keamanan rakyat sebagai individu. Konsepsi ketahanan nasional (national resilience), sebagai doktrin keamanan nasional Indonesia (national security) terlalu memusatkan perhatian pada negara (state-centered) sedangkan rakyat hanya salah satu komponen dari negara. Dari segi komprehensifitasnya sebenarnya doktrin ini sudah mumpuni, karena komponennya tidak sekedar pertahanan keamanan, namun juga Ideologi, politik, ekonomi dan sosial budaya. Namun tetap saja, titik dominan pada konsepsi ketahanan nasional adalah keamanan militer (military security).
Padahal, sudah sejak tahun 1980-an paradigma keamanan dunia sudah melebar. Tak lagi sekedar keamanan militer namun juga keamanan ekonomi dan keamanan lingkungan. Bahkan UNDP, badan PBB yang memiliki mandat di bidang pembangunan, pada tahun 1994 melalui laporannya mempopulerkan istilah keamanan manusia (human security). Dimana pengertian keamanan dipandang secara luas. Tidak hanya keamanan militer namun juga keamanan ekonomi (economic security), pangan (food security), lingkungan (environmental security), kesehatan (health security), keamanan individu (personal security) keamanan kelompok budaya (community security) dan keamanan politik (political security).
Berdasarkan konsepsi human security, titik tolak keamanan mestilah bertolak pada sisi manusia (people-centered security) dan tidak melulu pada negara apalagi militer. Konsepsi ini juga menekankan perlunya keseimbangan antara kebutuhan untuk bebas dari rasa takut (freedom from fear) dan kebutuhan untuk bebas berkeinginan (freedom from want). Dalam arti, keamanan dalam pendekatan hankam dan militer amat penting supaya rakyat bebas dari rasa takut. Namun juga rakyat harus terjamin keinginannya, apakah dalam wilayah ekonomi, pangan, kesehatan, lingkungan, dan keamanan selaku individu maupun komunitas.
Khususnya dalam hal keselamatan manusia, konsepsi human security menaruh perhatian pada keamanan manusia secara fisik, apakah dari ancaman kekerasan maupun kejahatan (personal security), juga keselamatan dari bencana alam dan bencana teknologi (environmental security).
Investasi untuk Nyawa Manusia
Saatnya kini untuk memperluas makna keamanan nasional dengan menjangkau aspek human security. Saatnya kini berinvestasi untuk nyawa manusia. Saatnya kini untuk menitiberatkan pembangunan pada pembangunan manusia (human development) dan pembangunan yang berlandaskan hak-hak manusia (rights-based development).
Investasi disini tak sekedar dalam ukuran kapital ekonomi-perdagangan, namun juga investasi di bidang sosial, kesehatan, pembangunan budaya, pendidikan, fasilitas umum-sosial, hingga teknologi. Pada tahun 2002 – 2003, pembelanjaan Indonesia di bidang pendidikan hanya berkisar 1.2.% dan untuk kesehatan juga 1.2 % dari GDP-nya. Sementara itu pembelanjaan militer berkisar 1.5 %. Pada saat yang sama pembelanjaan pendidikan negeri jiran Malaysia adalah 8.1.%, Thailand 5.2. % dan Philippina adalah 3.1. dari GDP-nya. Tak heran Indonesia menempati urutan ke 110 dalam indeks HDI (Human Development Index) 2005 yang antara lain meliputi wilayah pendidikan, kesehatan dan ekonomi (UNDP, 2005).
Pembangunan militer dan mengejar keuntungan materiil amat penting. Namun menjadi tak ada artinya ketika mengorbankan subyek dan obyek utama dari pembangunan, yaitu manusia Indonesia. Kofi Annan, mantan Sekjen PBB pernah mengatakan : ”kemanusiaan takkan dapat menikmati keamanan tanpa pembangunan, ataupun takkan dapat menikmati pembangunan tanpa keamanan, dan keduanya takkan tercapai tanpa penghargaan terhadap hak-hak manusia…”.
Semoga takkan pernah lagi ada manusia Indonesia yang mati karena kelaparan.
Leave a Reply