KELAPARAN DAN KEAMANAN NASIONAL
Heru Susetyo
Mahasiswa Program Doktor Bidang Human Rights & Peace Studies
Mahidol University, Thailand
Anak SD bunuh diri karena kelaparan di Magetan. Ibu hamil tua dan anak ketiganya tewas karena kurang gizi di Makassar. Lima warga NTT meninggal karena busung lapar. Tiga peristiwa di bulan Februari-Maret 2008 ini mungkin bukan tergolong peristiwa luar biasa di Indonesia. Banyak orang kelaparan di negeri ini, kendati tidak banyak yang kemudian mati. Ataupun tak terberitakan ketika mati.
Padahal kelaparan dan kemiskinan adalah peristiwa yang sangat serius. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Millenium Development Goals (MDGs) –nya yang diluncurkan pada tahun 2000 menetapkan sasaran pertama dari delapan sasaran MDGs adalah mengurangi kemiskinan dan kelaparan yang berlebihan (eradicate extreme poverty and hunger).
Prestasi Human Development Index (HDI) Indonesia di tahun 2007 juga tak terlalu menggembirakan. Dalam Indeks Pembangunan Manusia yang dikeluarkan UNDP (2008) dengan indikator antara lain di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi tersebut, Indonesia menempati ranking ke 107. dengan indeks 0.728. Masih di bawah Malaysia (yang tergolong ber –HDI tinggi), Thailand, Philippina, dan Vietnam. Bahkan Palestina (Occupied Palestinian Territory) masih sedikit lebih baik dari Indonesia. Di Asia Tenggara, Indonesia hanya lebih unggul dari Laos, Myanmar, Cambodia, dan Timor Leste.
Maka, tewasnya rakyat Indonesia karena kelaparan, apakah satu ataupun ribuan jumlahnya, tetap harus mendapatkan perhatian. Harus ditetapkan sebagai peristiwa luar biasa. Juga, tidak sekedar berstatus luar biasa, namun mesti juga menjadi salah satu isu keamanan nasional Indonesia.
Hak atas Makanan
Hak atas makanan (right to food) terserak dalam berbagai instrumen hukum internasional maupun juga dalam hukum Indonesia. Pasal 25 Deklarasi HAM Universal (Universal Declaration of Human Rights 1948) dan Kovenan Hak –Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic Social and Cultural Rights- ICESCR), yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia, menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas standar kehidupan yang layak untuk keselamatan dirinya maupun keluarganya, termasuk hak atas makanan, pakaian, tempat tinggal, perawatan kesehatan, pelayanan sosial, serta jaminan sosial. Demikian juga halnya dengan pasal 40 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta kehidupan yang layak.
Penundukan Indonesia terhadap Kovenan Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya serta hadirnya UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM adalah menimbulkan kewajiban, di lain pihak, terhadap negara dan masyarakat Indonesia, untuk menjamin bahwa setiap masyarakat dapat memenuhi dan memiliki akses yang cukup terhadap hak atas makanan.
Kelaparan Sebagai Isu Keamanan
Masalah keamanan dan ketidakamanan tidak identik dengan ancaman fisik ataupun kemiliteran belaka. Paul Hoffman (2004) menyebutkan bahwa bagi ratusan juta penduduk dunia saat ini, salah satu sebab timbulnya ketidakamanan (insecurity) hidup mereka adalah bukan semata-mata terorisme, namun kemiskinan berlebihan (extreme poverty). Saat ini, lebih dari satu milyar penduduk bumi (dari total enam milyar) hidup hanya dengan pendapatan setara satu dollar per hari.
Penelitian dari Peace Research Institute (PRIO) Oslo dan Uppsala Conflict Data Program (2002) menyebutkan bahwa perang sipil (civil wars) ataupun konflik internal (internal conflict) di suatu negara menyebabkan kematian lebih banyak daripada konflik bersenjata antara negara (armed forces) dengan pemberontak ataupun gerakan separatis. Berbanding 1000 kematian per tahun untuk perang sipil dengan 25 kematian per tahun untuk konflik vertikal antara negara dengan pemberontak ataupun gerakan separatis. Di antara sebab tidak langsung terjadinya perang sipil adalah kemiskinan, kelaparan, ketimpangan distribusi pendapatan, maupun pemindahan paksa (forced displacement)
Toms dan Ron (2007) menyebutkan bahwa kemiskinan nasional berpengaruh sebagai sebab terjadinya konflik. Data statistik menyebutkan konflik berpotensi lahir di negara dengan Gross Domestic Bruto (GDP) per kapita rendah. Logika dari asumsi ini adalah negara bahwa negara miskin kurang memiliki angkatan bersenjata yang efisien dan taat hukum. Angkatan bersenjata-nya malah seringkali memerangi gerakan oposisi. Negara miskin juga cenderung lemah dalam pelayanan sosial namun sebaliknya memiliki tingkat korupsi yang tinggi. Menyebabkan lahirnya diskriminasi dan ketidaksetaraan (inequality) antar rakyat.
Kemiskinan dan kelaparan memang bukan penyebab utama terjadinya konflik. Sedikit sekali penelitian ilmiah yang membuktikan korelasi antara keduanya. Namun, bahwa kemiskinan dan kelaparan adalah sebab tidak langsung terjadinya konflik, tak diragukan lagi. Penelitian PRIO Oslo dan Uppsala (2002) menghadirkan relasi yang jelas antara kemakmuran nasional dengan perdamaian. Hanya satu dari tiga puluh negara terkaya di dunia yang mengalami konflik. Sebaliknya, pada saat yang sama tujuh belas dari tiga puluh satu negara termiskin mengalami konflik.
Asumsi ini dapat membantu menjelaskan sebab terjadinya konflik di Indonesia. Sebagian besar konflik yang terjadi sepuluh tahun terakhir (1998 – 2008) di Indonesia adalah bukan konflik bersenjata antara negara (TNI/ POLRI) dengan gerakan separatis, namun lebih bersifat konflik internal ataupun perang sipil antar pihak dalam masyarakat. Seperti yang terjadi di Poso-Sulteng, Maluku, Sambas-Kalbar, Sampit-Kalteng, dan Sanggau Ledo-Kalbar dalam kurun waktu 1998 – 2003. Di antara penyebab konflik sipil di tempat-tempat tersebut adalah tidak semata-mata perseteruan etnis ataupun agama belaka. Namun bercampur dengan kepentingan politik, kemiskinan dan rendahnya pendidikan, serta ketidakpuasan dalam hal distribusi pendapatan.
Saatnya Beralih ke Keamanan Manusia
Keamanan nasional yang memusatkan perhatian pada keamanan militer dan teritorial saja tak cukup. Ancaman yang menganggu stabilitas dan integrasi nasional kini lebih banyak berasal dari dalam negeri. Maka, perlu memperluas makna keamanan nasional dari keamanan komprehensif (comprehensive security) ala ketahanan nasional yang bertumpu pada keamanan militer (military security) menuju keamanan manusia (human security).
Konsep keamanan manusia (human security) muncul antara lain melalui laporan UNDP tahun 1994. Berangkat dari pemikiran bahwa berakhirnya perang dingin (cold war) seharusnya mengubah juga paradigma keamanan dari keamanan nuklir menuju keamanan manusia. Badan PBB ini berpendapat bahwa konflik yang terjadi saat ini lebih banyak di dalam negara (within nations) daripada antar negara (international conflicts). Bagi banyak orang, perasaan tidak aman lahir lebih banyak dari kehidupan sehari-hari daripada akibat peristiwa dunia tertentu. Misalnya, apakah mereka memiliki cukup makan, tak akan kehilangan pekerjaan, aman berjalan di jalan umum, akankah mereka menjadi korban karena status gender-nya, atau akankah asal usul agama atau etnis mereka akan menyebabkan mereka menjadi korban penyiksaan.
Pada analis akhirnya, human security identik dengan anak-anak yang tidak mati, penyakit yang tidak menyebar, pegawai yang tidak diberhentikan, dan konflik sipil yang tidak berujung pada kekerasan. Human security tidak berurusan dengan senjata. Lebih berurusan pada kehidupan manusia dan martabatnya (UNDP, 1994).
Laporan UNDP menekankan pemaknaan human security sebagai sesuatu yang universal. Relevan dengan semua manusia dimanapun. Karena ancaman keamanan dalam human security bersifat umum. Dimanapun terjadi tak memandang tapal batas negara. Human security memusatkan perhatian pada manusia (people-centered) dan bukan negara (state-centered), dengan memaknai keamanan pada tujuh wilayah yaitu : keamanan ekonomi (economic security), makanan (food security), kesehatan (health security), lingkungan (environmental security), pribadi/ individu (personal security), komunitas (community security) dan politik (political security).
Konsep ini juga mengidentifikasi enam ancaman terhadap human security yaitu : pertumbuhan penduduk yang tak terkendali, disparitas peluang-peluang ekonomi, tekanan migrasi penduduk, degradasi lingkungan, perdagangan narkotika, dan terorisme internasional (Smith, 2002).
Maka, saatnya kini mengembangkan paradigma keamanan nasional menjadi keamanan komprehensif yang mengakomodasi keamanan manusia disamping keamanan militer. Karena, tak guna negara aman secara militer, namun rakyat miskin dan mati kelaparan disana-sini.
Leave a Reply