MEDIA SEBAGAI PELAKU VIKTIMISASI
Heru Susetyo
Staf Pengajar Viktimologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia/
Executive Committee World Society of Victimology
Gatra edisi 30 Januari 2013 mengangkat berita menarik tentang lemahnya kode etik jurnalistik dalam perlindungan hak-hak korban kasus kekerasan seksual. Bahwasanya pemberitaan terhadap kasus kejahatan seksual yang mestinya hati-hati seringkali diabaikan oleh praktisi media. Berita yang ‘seksi’ dan ‘kontroversial’ seringkali diumbar . Media terjebak pada sensasionalisme sehingga keluar dari substansi mengedukasi publik.
Maka, ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan nasib korban kejahatan ini adalah sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah menderita karena dirampok, dianiaya, dipukul, disiksa ataupun diperkosa, tak jarang pula mengalami viktimisasi berulang (double victimization). Pelakunya bisa masyarakat umum. Bisa pula oknum penegak hukum di kepolisian, kejaksaan, hingga di pengadilan. Juga media, karena tak jarang media, alih-alih menyiarkan informasi yang sehat, malah mengeksploitasi penderitaan sang korban ataupun saksi.
Pengalaman berbeda dialami oleh korban kejahatan di India. Paling tidak untuk seorang gadis korban perkosaan di bus di New Delhi. Pada tanggal 16 Desember 2012 ia diperkosa oleh beberapa pria di atas bus ketika pulang malam dengan teman pria-nya. Sang gadis dianiaya dan lalu dibuang di jalan. Dua pekan kemudian ia meninggal dunia di satu RS di Singapore.
Tragis. Dan juga membangkitkan amarah publik. Kemarahan seluruh negeri tepatnya. Berbagai aksi dan demonstrasi dilakukan. Parlemen, pemerintah dan penegak hukum dikritisi. Setelah itu terjadi pembenahan cepat. Polisi berbenah diri dengan menambah jumlah dan piket polisi perempuan di setiap kantor polisi. Pada rute bus yang rawan kejahatan ditugaskan polisi yang menyamar untuk mengawal perjalanan. Aparat transportasi publik berbenah diri. Awak kendaraan umum harus memiliki ID card yang jelas dan terdaftar. Lalu CCTV dipasang di dalam bus. Serta semua sekolah dihimbau untuk tidak men-charter bus apabila perusahaan tak terdaftar dan awak bus-nya tidak jelas.
Hebatnya. Dari kesemua aksi dan reaksi tersebut, media massa, apakah cetak, online ataupun media penyiaran sama sekali tidak menampilkan foto ataupun nama korban. Publik hanya tahu bahwa ia adalah seorang mahasiswi jurusan kesehatan di New Delhi, usia 23 tahun…lain tidak.
Berbeda halnya dengan media massa di Indonesia. Hampir dalam semua jenis kejahatan, termasuk kejahatan seksual sekalipun, yang mestinya harus ekstra hati-hati pemberitaannya, baik tersangka pelaku, korban, ataupun saksi seringkali diekspos secara berlebihan.
Sekarang semua orang tahu siapa Maharani Suciyono, gadis muda yang terseret dalam kasus dugaan korupsi dalam penentuan quota impor sapi. Sebagian membincangkannya dengan serius, sebagian dengan nada memperolok dan mencandainya. Yang jelas, semuanya tak menguntungkan Maharani.
Sekarang hampir semua orang juga marah dengan Jamal, supir angkot yang membawa mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan UI, Annisa Azward, yang meloncat ketika angkot tengah berlari cepat namun melenceng dari rutenya, pada 6 Februari 2013 di Jembatan Asemka, Jakarta Barat. Akhirnya nyawa Annisa tak tertolong. Liputan media yang berlebihan terhadap Jamal, tanpa mem-blurred wajahnya, tanpa menyingkat namanya dengan inisial tertentu, melahirkan pengadilan opini terhadap Jamal. Pengadilan media sudah menjatuhkan vonis terhadap Jamal jauh sebelum pengadilan hukum bekerja.
Yang terparah adalah liputan terhadap tersangka teroris. Tidak sekali dua kali media massa, utamanya televisi, disengaja atau tidak, melakukan ‘viktimisasi berulang’ kepada tersangka teroris ataupun keluarganya. Dalam beberapa kali operasi melabrak tersangka teroris tak jarang media disertakan (ini juga mengherankan, mengapa aparat menjadi narsis begini?) . Entah kemudian sang tersangka tewas ataupun masih hidup, liputan tak berhenti sampai disitu. Apabila ia hidup maka ia akan dikejar untuk diwawancarai dan seringkali namanya ditulis lengkap, bukan nama alias, bukan pula inisial. Tak cukup sampai disitu, keluarganya juga akan dikejar. Istri, anak, ayah, ibu hingga tetangga sekitar. Sama terhadap sang tersangka, ekspos terhadap keluarga juga seringkali amat lengkap dengan menyebut nama keluarga, tempat tinggal berikut fotonya.
Selanjutnya mudah ditebak. Masyarakat pembaca dan masyarakat penonton media mudah sekali menyimpulkan. Mudah memberi stigma dan label. Keluarga tersangka teroris dianggap sebagai teroris juga. Mayat tersangka teroris ditolak untuk dikuburkan di daerah tertentu oleh masyarakat setempat. Dan semua ini tentunya membuat tidak nyaman para istri dan anak-anak tersangka. Tidak jarang mereka harus pindah rumah atau merubah identitas supaya tidak mendapatkan viktimisasi dari masyarakat sekitar. Viktimisasi dan label yang bisa melekat sepanjang hidup : istri teroris dan anak teroris…
Tidak kalah serunya adalah persidangan perkara korupsi. Tidak sedikit media menayangkan sidang-sidang besar macam Nazaruddin, Angelina Sondakh dan Anggodo Widjojo. Kamera foto dan kamera film serta alat perekam mudah masuk ke ruang sidang. Setiap saat dan setiap waktu berita di-update. Masyarakat menikmati liputan tersebut dan lantas beropini sendiri. Putusan hakim masih lama dijatuhkan, namun masyarakat sudah menjatuhkan vonisnya sendiri. Sebagai perbandingan, pada banyak persidangan di negeri barat, kamera sama sekali tak boleh masuk ruang sidang. Suasana sidang dan personil yang terlibat di dalamnya hanya digambar atau disketsa saja.
Memang, adalah amat penting untuk memberikan informasi yang lengkap dan luas kepada masyarakat. Agar masyarat melek informasi. Dan memang adalah tugas dari praktisi media dan insan pers untuk menginformasikan. Masalahnya adalah, tidak jarang liputan dan ekspos dari media justru membuat para tersangka, korban dan saksi mengalami viktimisasi berulang. Mereka sudah mengalami kerugian dan penderitaan karena menjadi tersangka, korban ataupun saksi, namun masih pula mengalami ancaman penderitaan tambahan (viktimisasi) dari masyarakat dan media yang sudah memberikan opini, label dan stigma kepada mereka, jauh sebelum palu hakim diketok.
Sejatinya rambu-rambu dan koridor untuk menangkal bahaya viktimisasi tersebut telah tersedia. Yaitu Kode Etik Jurnalistik dan P3SPS alias dua Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tahun 2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS).
Kode Etik Jurnalistik tahun 2006 antara lain menyebutkan bahwa wartawan haruslah menunjukkan sikap profesionalisme, antara lain dengan menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Sementara itu P3SPS menyebutkan bahwa dalam peliputan terorisme lembaga penyiaran wajib menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi secara lengkap dan benar; namun juga tidak melakukan labelisasi berdasarkan suku, agama, ras, dan/atau antargolongan terhadap pelaku, kerabat, dan/atau kelompok yang diduga terlibat; dan tidak membuka dan/atau mendramatisir identitas kerabat pelaku yang diduga terlibat.
Lalu, lembaga penyiaran tidak boleh mewawancarai anak-anak dan/atau remaja berusia di bawah umur 18 tahun mengenai hal-hal di luar kapasitas mereka untuk menjawabnya, seperti: kematian, perceraian, perselingkuhan orangtua dan keluarga, serta kekerasan, konflik, dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik. Serta, wajib mempertimbangkan keamanan dan masa depan anak-anak dan/ atau remaja yang menjadi narasumber; dan wajib menyamarkan identitas anak-anak dan/atau remaja dalam peristiwa dan/atau penegakan hukum, baik sebagai pelaku maupun korban.
Memang, kode etik dan pedoman penyiaran hanyalah bertaji di wilayah etik dan administratif. Kurang sakti untuk memaksa praktisi dan insan media untuk betul-betul mentaatinya secara hukum. Disamping itu, sebagian masyarakat sendiri, harus diakui, senang dengan berita yang lebay, sensasional dan menabrak wilayah privat individu, tanpa berfikir bahwa liputan tersebut berdampak buruk terhadap korban dan saksi. Singkatnya, masih cukup panjang jalan yang harus ditempuh untuk menuju media dan masyarakat yang sehat tanpa viktimisasi berulang.
Leave a Reply