MEMERANGI PORNOGRAFI ALA THAILAND :
KERAS TAPI JUGA PERMISIF
Heru Susetyo[1]
Negara gajah putih Thailand sudah lama dikenal sebagai surga bagi penikmat kepuasan syahwati. Berbagai macam bentuk eksploitasi seksual apakah bernama prostitusi liar maupun resmi, strip bar, karaoke, rumah bordil, lady escort, `istri sewaan` dan lain-lain bertebaran di kantong-kantong sextourism Thailand, apakah di kota Bangkok, Chiang Mai, maupun kota wisata seperti Pattaya dan Phuket.
Termasuk dalam hal pornografi. Thailand terkenal sebagai produsen pornografi terbesar ketiga di Asia setelah Jepang dan Hong Kong. Namun berbeda dengan Jepang, pornografi di Thailand lebih banyak berbentuk barang cetakan daripada dalam bentuk film.
Laporan tahun 2004 (Thai Health Issues 2005) menyebutkan bahwa pornografi tergolong satu dari 10 masalah serius yang mengancam kesehatan masyarakat Thailand. Pornografi menempati urutan nomor 7 (tujuh). Laporan tersebut menyebutkan bahwa bagi kebanyakan orang Thai, pornografi berarti gambar-gambar yang vulgar (obscene images). Banyak orang Thai mengkatagorikan pornografi sebagai amoral, walaupun ada juga yang menganggapnya sebagai bagian dari seni dan masalah pilihan pribadi.
Laporan yang sama menyebutkan bahwa pada tahun 2004 angka kejahatan seksual (sexual crimes) meningkat pesat. Otoritas yang berwenang mensinyalir bahwa meningkatnya angka kejahatan ini berbanding lurus dengan maraknya pornografi via telepon selular, internet, maupun pada koran dan majalah. Iklan-iklan yang mengeksploitasi seksualitas belakangan juga jadi masalah di Thailand. Begitu banyak iklan yang mengumbar ketelanjangan di koran maupun majalah yang sebenarnya tak terlalu terkait dengan misi yang diemban oleh produk yang diiklankan. Kartun-kartun cabul produksi Jepang termasuk yang dipersalahkan. Karena banyak kaum muda Thailand yang gemar membaca kartun-kartun tersebut.
Sungguhpun bagi orang Thai hadirnya muatan-muatan pornografi pada sejumlah besar media dapat dikatagorikan sebagai lumrah, namun tetap saja ketersediaan muatan erotis dalam jumlah besar tersebut adalah sangat mengkhawatirkan dan berkontribusi pada meningkatnya kejahatan seksual. Utamanya bagi kaum muda yang rata-rata masih labil dan belum memiliki pijakan sikap yang tegas. Merekalah yang rata-rata menjadi korban sekaligus pelaku (victims and perpetrators). Banyak pelaku perkosaan yang mengaku bahwa mereka memperkosa karena terpengaruh oleh tayangan dari film porno yang mereka tonton.
Pornografi via internet adalah salah satu media pornografi yang dianggap paling mengkhawatirkan. Suatu studi terhadap sepuluh situs porno di Thailand menyebutkan bahwa situs-situs tersebut memiliki link terhadap lebih dari seribu situs lain dimana pengaksesnya dapat dengan mudah melihat foto-foto porno, mengirim foto porno, membeli buku-buku porno dan perangkat berhubungan seks hingga belajar teknik-teknik berhubungan seks. Diantara yang paling digemari oleh remaja Thailand adalah `webcam sex` dengan memanfaatkan fasilitas pada situs camfrog dimana penggunanya dapat saling mengekspos ketelanjangan via kamera pada komputer dan membayar jasa pornografi tersebut melalui internet banking ataupun phone banking dengan menggunakan sistem yang dikenal dengan nama `sex multi media service`.
Fenomena penggunaan komputer dan internet untuk mengakses muatan-muatan pornografi ini adalah satu sebab lahirnya `sex crisis` di Thailand saat ini. Remaja Thailand kontemporer disinyalir mengalami gejala ketagihan sex (sex addicted) dan banyak yang memulai aktivitas seksualnya pada usia di bawah 17 tahun. Somchai Chakrabhand, direktur pada Departemen Kesehatan Jiwa Thailand, menengarai bahwa krisis remaja ini sebagian besar disebabkan oleh media-media pornografi yang mempengaruhi pengetahuan dan pengalaman remaja, disamping minimnya program pendidikan seks (sex education) dari para orangtua Thailand (Thai Health Issues 2005).
Di sisi lain, hukum tentang pornografi di Thailand tergolong keras. Sangat ironis, di negeri yang terang-terangan mengakomodasi prostitusi, hukum tentang pornografi amat tegas. Bahkan memproduksi segala bentuk pornografi adalah ilegal (www.thaipulse.com, 2008).
Masalahnya adalah definisi tentang pornografi sendiri dalam hukum Thailand masih `remang-remang` dan multitafsir. Akibatnya, televisi-televisi di Thailand masih menyiarkan program dengan perempuan bertaburan mengenakan pakaian dalam dan bikini. Koran-koran masih menampangkan figur-figur telanjang katakanlah korban-korban perkosaan dan pembunuhan- dengan hanya menghitamkan (black out) ataupun mengaburkan (blurred) bagian dada ataupun alat vital. Dan kalau kita berkunjung ke mini mart 24 jam yang tersedia hampir di semua pelosok Thailand (dengan nama seven eleven, family mart, dan lain-lain), kita juga akan mudah menemukan majalah-majalah gossip dan majalah yang mengumbar sensualitas dan seksualitas kendati tidak sangat vulgar. Majalah jenis ini tersedia baik untuk mereka yang heteroseksual (straight) maupun kelompok homoseksual (gay dan lesbian) dan transgender yang memang komunitasnya termasuk paling besar di dunia..
Majalah-majalah asing terkategori porno atau yang berlindung di balik nama `entertainment for men` seperti Playboy, Penthouse, Hustler, FHM, Maxim dan lain-lain akan sulit ditemui di mini mart. Namun mudah menjumpainya di toko buku-toku buku asing yang banyak terserak di shopping center Thailand maupun di airport utama Suvarnabhumi, Bangkok. Majalah-majalah cabul tersebut kebanyakan dibungkus plastik dan ditempatkan pada rak yang paling tinggi.
Penegakan hukum terhadap pelaku pornografi terbilang serius. Banyak pelancong ataupun ekspatriat yang kemudian dipenjara ataupun diusir keluar dari Thailand karena terlibat dalam produksi pornografi baik berupa foto maupun video. Kota pantai Pattaya yang berlokasi di tenggara Bangkok (dapat dicapai dalam dua jam perjalanan) adalah salah satu pusat bisnis tersebut. Banyak video erotis yang diproduksi produsen asal Jerman, Jepang, Amerika, dan Inggris diproduksi disana. Kesudahan dari kisah para produsen mesum tersebut apabila tidak dipenjara adalah dideportasi keluar dari Thailand.
Terkait dengan pornografi di computer dan internet, Indonesia boleh malu dengan Thailand. Dari sisi regulasi, baru pada tahun 2008 Indonesia memiliki UU Pornografi dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang antara lain mengatur dan membatasi laju pornografi di ranah maya. Sementara itu sejak tahun 1997 rezim pemerintahan di Thailand telah memberlakukan hukum yang tegas tentang pornografi di komputer dan internet. Dalam hukum tersebut disebutkan bahwa siapa saja yang men-download, meng-upload, ataupun mendistribusikan pornografi, menulis dan menyajikan materi-materi yang mengeksploitasi seksualitas, mencuri informasi pribadi orang lain, termasuk barangsiapa yang secara sengaja menyebarkan virus di komputer akan dilacak dan kemudian ditangkap.
Thailand cyber crime act 1997 juga mewajibkan setiap kafe internet untuk merekam nama dan identitas (ID card) setiap orang yang menggunakan komputer dan internet di tempat mereka, termasuk waktu penggunaannya, tanggal dan durasinya serta alamat dari semua website yang telah diakses oleh pelanggannya. Barangsiapa yang tidak merekam informasi ini atau tidak mematuhi hukum terkait perkara ini akan dikenakan denda (fine) senilai 100.000 – 500.000 baht (atau sama dengan Rp 30 juta – 150 juta).
[1] Dewan pendiri MTP, staf pengajar tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan mahasiswa program Doktor bidang human rights and peace studies, MahidolUniversity.
Leave a Reply