MENANTI KEADILAN UNTUK BOSNIA Heru Susetyo Mahasiswa Program Doktor Human Rights & Peace Studies Mahidol University/ Staf Pengajar Tetap Fakultas Hukum UI - Depok Masyarakat dunia, khususnya warga Bosnia Herzegovina wajib bersyukur. Akhirnya, Radovan Karadzic, mantan pemimpin Serbia di Bosnia Herzegovina yang kondang dengan sebutan jagal Bosnia karena aksi pembersihan etnis (ethnic cleansing) terhadap muslim Bosnia dan etnis Bosnia – Kroasia antara tahun 1992 – 1995 berhasil ditangkap pada 21 Juli 2008 di Beograd, setelah buron nyaris 12 tahun sejak tahun 1996. Kini, Karadzic tengah digelandang ke Mahkamah Kriminal Internasional untuk Kejahatan Perang di Mantan Yugoslavia (International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia - ICTY) yang berlokasi di Den Haag, Belanda. Namun, perjuangan mendapatkan keadilan bagi warga Bosnia dan Kroasia korban kekejaman politisi dan tentara Serbia tersebut masihlah panjang. Jenderal Ratko Mladic, panglima angkatan bersenjata Bosnia Serbia yang bertanggungjawab atas pembantaian muslim Bosnia di Srebrenica pada bulan Juli 1995 masihlah buron hingga kini. Slobodan Milosevic, mantan Presiden Federasi Yugoslavia dan Serbia, malah telah lebih dahulu meninggal karena sakit. Dalam status sebagai narapidana ICTY. Pembantaian massal (genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) yang terjadi di mantan Yugoslavia (Bosnia Herzegovina, Kroasia, Kosovo, dan sekitarnya) adalah salah satu pembantaian terbesar dalam sejarah dunia modern. Peristiwa lainnya yang pantas dikenang adalah pembantaian (holocaust) terhadap kaum Yahudi di Eropa pada Perang Dunia ke II, genosida dan pembersihan etnis di Rwanda pada tahun 1994 yang menewaskan sekitar satu juta jiwa (antara etnis Tutsi dan Hutu), dan kekerasan di Darfur, Sudan yang terjadi sejak tahun 2003 dan telah menewaskan 300.000 jiwa dan memaksa mengungsi 5 juta jiwa. Sayangnya, tidak seperti perhatian terhadap holocaust kaum Yahudi pada perang dunia II, dunia sudah mulai lupa dengan pembantaian di Bosnia. Tidak masyarakat dunia secara umum, tidak kaum muslimin. Sama lupanya. Padahal sebagian besar korban pembantaian adalah kaum muslimin Bosnia disamping warga Kroasia, yang mencapai puncaknya di Srebrenica, Bosnia Timur pada Juli 1995. Tak heran ketika Slobodan Milosevic, mantan presiden Serbia, meninggal di tahanan Den Haag tahun 2006 dan Radovan Karadzic tertangkap di Beograd pada Juli 2006, tak sedikit yang bertanya, siapakah mereka?. Padahal, dunia –utamanya para korban kejahatan perang di Bosnia- masih membutuhkan energi besar untuk mendapatkan keadilan dalam konflik Bosnia. Minimnya atensi dan dukungan tentunya akan menghambat tegaknya keadilan. Maka, apa yang dapat dilakukan untuk menegakkan keadilan dalam konflik Bosnia? Konflik Bosnia dan Pembantaian Srebrenica Konflik di Bosnia bermula dari kemelut politik di mantan Yugoslavia pada tahun akhir 1980-an dan awal 1990-an yang berujung pada pecahnya beberapa negara anggota federasi Yugoslavia (mengikuti pecahnya Uni Sovyet – USSR). Kroasia, Slovenia, Macedonia, dan Bosnia Herzegovina memerdekakan diri pada tahun 1991 – 1992 (Dilanjutkan dengan berpisahnya Montenegro pada 2006 dan Kosovo pada 2008). Sayangnya, deklarasi kemerdekaan Bosnia ini tidak mulus. Kendati dunia internasional (PBB dan USA) mengakui kemerdekaan Bosnia Herzegovina, namun di dalam negeri sendiri kemelut baru telah lahir. Negeri Bosnia Herzegovina dihuni oleh tiga besar kelompok etnis, masing-masing Bosnia (mayoritas Muslim), Kroasia, dan Serbia. Etnis Bosnia dan Kroasia bersepakat atas kemerdekaan Bosnia, namun tidak bagi etnis Serbia. Etnis Serbia di Bosnia melalui politisinya memboikot referendum kemerdekaan, bahkan meluncurkan serangan militer ke Sarajevo, ibukota Bosnia Herzegovina pada April 1992. Pemimpin Serbia di Bosnia (Radovan Karadzic) kemudian mendirikan Republik Srpska dan membangun tentaranya dengan dukungan penuh dari Federasi Yugoslavia (Serbia). Selama tahun 1992 – 1995 tentara Serbia di Bosnia dengan dukungan Federasi Yugoslavia (Serbia Montenegro) pimpinan Slobodan Milosevic menebar terror dan kekerasan di bumi Bosnia. Pembersihan etnis (ethnic cleansing) menjadi salah satu cara maupun tujuan untuk menghalangi kemerdekaan Bosnia. Apakah dengan cara genosida (genocide), perkosaan , penganiayaan, pengusiran paksa dan aneka bentuk kekejaman lainnya yang memenuhi syarat untuk disebut sebagai Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes Against Humanity) maupun kejahatan perang (War Crimes)..
Puncak kekejaman Serbia di Bosnia adalah apa yang disebut sebagai pembantaian di Srebrenica pada Juli 1995 (Srebrenica Massacre). Tentara Bosnia yang memang sejak awal amat lemah dibandingkan kekuatan militer Yugoslavia – Serbia, didukung oleh pasifnya dukungan pasukan PBB di Srebrenica memudahkan tentara Serbia di Bosnia (tentara Republik Srpska) merangsek Srebrenica di bawah pimpinan Jenderal Ratko Mladic. Turut bergabung dalam serangan tersebut adalah paramiliter (milisi) Serbia yang menggunakan nama Scorpions. Dalam serangan selama kurang lebih sepekan, sekitar 8700 jiwa telah tewas, baik tentara maupun masyarakat sipil (bayi, anak-anak, kaum perempuan dan pria dewasa yang tak ikut berperang). Tak sekedar pembantaian, dalam pembersihan etnis ini terjadi juga perkosaan dan penganiayaan yang luar biasa kejam.
Serangan balasan dari NATO pada tentara Republik Srpska pada Agustus 1995, dilanjutkan dengan Perjanjian Dayton, USA pada Desember 1995 akhirnya menghentikan konflik Bosnia. Hingga perjanjian ditandatangani oleh Presiden dari tiga negara (Bosnia dan Herzegovina, Croatia, dan Serbia) jumlah total korban tewas adalah sekitar 110.000 jiwa dan 1.8 juta jiwa terpaksa menjadi pengungsi .
Status Kejahatan di Bosnia dan Srebrenica
Berakhirnya konflik Bosnia melalui Perjanjian Dayton bukanlah akhir dari segalanya. Memang kekerasan sudah relatif berkurang, namun keadilan juga belumlah datang. Utamanya bagi para korban dalam konflik tersebut.
Mahkamah Kriminal Internasional untuk Kejahatan Perang di Mantan Yugoslavia (ICTY), melalui Hakim Theodor Meron, pada tahun 2004 menetapkan bahwa pembantaian di Srebrenica adalah termasuk genosida (genocide). Dasarnya adalah bahwa pembantaian tersebut ditujukan semata-mata untuk pemusnahan etnis muslim Bosnia (ethnic cleansing) yang berjumlah 40.000 jiwa di Srebrenica. Pada February 2007, Mahkamah Internasional (International Court of Justice – ICJ) turut menegaskan bahwa apa yang terjadi di Srebrenica adalah genosida karena bertujuan untuk memusnahkan sebagian atau seluruh muslim Bosnia di daerah tersebut. Mahkamah Internasional juga menegaskan bahwa Serbia telah gagal untuk melakukan semua langkah yang harus dilakukan untuk menghindari terjadinya genosida. Selanjutnya Mahkamah memerintahkan Serbia untuk bersikap kooperatif dengan menyerahkan semua tersangka dan buronan dari kejahatan tersebut ke mahkamah di Den Haag, Belanda.
Berbeda dengan pengukuhan status genosida untuk Srebrenica, kejahatan perang lain yang terjadi Bosnia Herzegovina antara tahun 1992 – 1995 ditetapkan Mahkamah tersebut sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity). Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan adalah dua kejahatan amat serius (most serious crimes) dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (gross violations of human rights).
Pengadilan dan Collective Memory Radovan Karadzic memang sudah ditahan. Slobodan Milosevic sudah dipidana dan kemudian meninggal di tahanan. Namun keadilan untuk korban konflik Bosnia belum tercipta sepenuhnya. Jenderal Ratko Mladic dan ratusan penjahat perang lainnya masih-lah buron. Tiga belas tahun buronnya Radovan Karadzic sebelum akhirnya tertangkap di Beograd pun menyisakan kecurigaan, bahwa selama ini ia telah dilindungi oleh otoritas di Serbia. Tak sekedar dilindungi, bagi banyak warga Serbia, Karadzic dan Mladic masih dianggap sebagai pahlawan. Dari sisi yuridis, keadilan untuk Bosnia bisa diserahkan ke Mahkamah Kriminal Internasional untuk Kejahatan Perang di Mantan Yugoslavia (ICTY) yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi No. 687 tahun 1991. Karena yurisdiksi dari mahkamah ini adalah mengadili pelanggaran terhadap hukum humaniter dan HAM di mantan Yugoslavia selama 1992 – 1996. Namun, tentunya publik mesti juga bersikap aktif dan memonitor jalannya peradilan di Mahkamah ini. Juga, jangan berharap para pelaku kejahatannya akan dihukum mati, karena mahkamah ini tidak mengenal hukuman mati dan hukuman mati telah dihapuskan di Eropa. Dari sisi sosial kemasyarakatan, hal yang perlu dilakukan antara lain adalah mengukuhkan ingatan kolektif (collective memory) terhadap konflik tersebut. Jangan sampai terjadi amnesia sejarah. Contoh paling baik untuk collective memory adalah holocaust. Pemerintah Israel, warga Yahudi, dan para korban Holocaust NAZI di era Perang Dunia II amat pintar dalam mengelola opini dan ingatan publik akan peristiwa tersebut. Disamping museum dan memorial, dibangun pula banyak pusat studi dan riset, penerbitan buku dan artikel, pembuatan film dan dokumentasi, drama dan teater, dan berbagai media komunikasi publik lainnya melalui jalur formal maupun budaya pop. Tak heran, hingga kini ingatan publik terhadap holocaust masih amat kuat. Padahal ia terjadi lebih dari enam puluh tahun silam. Padahal, debat publik tentang kebenaran banyaknya jumlah korban yang tewas dalam holocaust tersebut masih terus berlangsung. Selain para korban, warga dunia juga turut bertanggungjawab untuk hadirnya keadilan untuk Bosnia. Tanggungjawab PBB selaku pengayom keamanan dan kedamaian di dunia amat signifikan disini. Juga mantan para tentara PBB yang gagal mengamankan Srebrenica dan wilayah lainnya di Bosnia dan Kroasia turut bertanggujawab. Negara-negara berpenduduk muslim (Organization of Islamic Conference) termasuk Indonesia juga harus berperan maksimal. Dan tentunya, pada akhirnya keadilan ini tidak hanya untuk Bosnia. Karena genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan telah terjadi di banyak tempat dan terus terjadi hingga kini. Di Cambodia, Sierra Leone, Kroasia, Chechnya, Irak, Afghanistan, Rwanda, hingga Sudan.
Leave a Reply