MENGKRIMINALISASI PENGHINA NABI
Heru Susetyo
Mahasiswa PhD Human Rights & Peace Studies Mahidol University- Thailand/
Staf Pengajar Fakultas Hukum UI – Depok
Penghinaan dan kebencian terhadap agama tak henti-henti mendera masyarakat dunia. Tak hanya terhadap agama Islam, hampir semua agama dan kepercayaan pernah menjadi sasaran kebencian dan penghinaan. Termasuk disini penghinaan dan kebencian terhadap kelompok-kelompok agama dan kepercayaan tertentu (lazim disebut hate crime). Istilah lain untuk penghinaan agama adalah blasphemy yaitu mengeluarkan perkataan yang tidak hormat terhadap Tuhan atau entitas sakral lainnya (Oxford dictionary) ataupun suatu sikap tidak hormat terhadap Tuhan dalam bentuk kata-kata, simbol, tulisan, dan lain sebagainya (Webster Dictionary).
Beberapa peristiwa yang dapat dikategorikan penghinaan terhadap agama ataupun kelompok agama, khususnya agama Islam, antara lain novel Satanic Verses dari Salman Rushdie, novelis India-Inggris, pada tahun 1988, heboh kontes kartun Nabi Muhammad pada koran Jylland Posten di Denmark pada tahun 2005 dan film Fitna, karya Geert Wilders, anggota parlemen Belanda, pada tahun 2008.
Pada November 2008 ini publik Indonesia dihebohkan dengan hadirnya blog/ situs pribadi www.lapotuak.wordpress.com yang memvisualisasikan dan memuat cerita bergambar seseorang yang dianggap Nabi Muhammad. Visualisasi tersebut lengkap dengan fitnah petualangan seksualnya dan gambar-gambar yang tak senonoh plus penafsiran sembarangan terhadap beberapa ayat Al Qur`an di surat At Talaq dan Al Ahzab. Tak sekedar kartun, pada situs yang sama, terdapat begitu banyak posting yang menafsirkan Al Qur`an secara sembarangan, memfitnah Islam, yang berpotensi menimbulkan provokasi dan kemarahan pada umat Islam.
Blog ini memang kini sudah tak dapat diakses. Di-blok oleh pengelolalnya wordpress.com karena melanggar terms of service, namun sisa-sisa penghinaannya telah terlanjur menyebar dan menodai keyakinan banyak pihak. Dapatkah kejahatan ini dikriminalisasi dan pelaku penghinaannya diproses secara hukum? Dapatkah ia berlindung di balik klausul kebebasan berekspresi (freedom of expression)?
Hukum Blasphemy di Berbagai Negara
Blasphemy disikapi secara berbeda-beda di berbagai negara. Di Inggris hukum tentang blasphemy telah dihapuskan sejak 8 Juli 2008. Sebelumnya, hukum blasphemy di negara ini hanya terkait dengan Kristiani dan hal-hal terkait dengan penghinaan terhadap Jesus Kristus. Itupun tidak sangat efektif, karena dakwaan terhadap kasus blasphemy terakhir yang berhasil, terjadi sudah lama sekali, yaitu pada tahun 1977. Bahkan pada tahun 2007 kasus Jerry Spranger Opera yang memvisualisasikan Kristus sebagai berdandan ala bayi dan sedikit berperilaku homoseksual tak pernah berhasil dipidanakan.
Di Amerika Serikat, beberapa negara bagian masih memiliki hukum tentang blasphemy yang utamanya dikaitkan dengan penghinaan terhadap agama Kristiani dan Jesus Kristus. Namun, sama seperti di Inggris, juga tak efektif. Orang terakhir yang dipidana karena blasphemy adalah Charles Lee Smith, seorang Atheist di Arkansas, pada tahun 1928.
Sementara itu, untuk kategori negara berpenduduk mayoritas muslim, hukum Blasphemy yang relatif keras dan masih berlaku ada di Pakistan. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pakistan tahun 1982 dan amandemennya tahun 1986 (pada era Presiden Zia Ul Haq), mereka yang menghina Al Qur`an diancam dengan hukuman seumur hidup, dan penghinaan terhadap Nabi Muhammad diancam dengan hukuman mati.
Di Indonesia sendiri tidak ada Undang-undang khusus terkait dengan blasphemy selain beberapa pasal pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu pasal 156, 156 a dan 157 yang walaupun bersifat umum, namun dapat digunakan sebagai dasar untuk menindak blasphemy. Pasal 156 dan 156a mengkriminalisasi setiap orang yang di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beherapa golongan rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa hagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara. Kemudian juga bagi mereka yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 157 KUHP secara lebih spesifik mengkriminalisasi penyiaran, pertunjukkan,penempelan tulisan yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketuhui atau lebih diketahui oleh umum.
Blasphemy vs Kebebasan Berekspresi
Salah satu ranah kontroversi dalam perdebatan mengenai blasphemy adalah batas-batas sesuatu ekspresi disebut sebagai blasphemy. Karena pihak lain akan berpendapat bahwa ekspresi tersebut adalah bagian dari kebebasan berekspresi (freedom of expression). Misalnya dalam kasus Salman Rushdie. Ketika ia banyak mendapat hujatan dari warga muslim bahkan dijatuhi fatwa mati oleh Ayatollah Khomeini, ia malah dapat melenggang santai dan mendapat suaka di Inggris. Belakangan ia malah mendapat gelar `Sir` karena dianggap berprestasi dalam bidang tertentu.
Kasus lain adalah Nasr Abu Zayd, seorang professor Mesir yang dianggap murtad oleh pengadilan Mesir pada tahun 1990-an karena menafsirkan Al Qur`an kelewat bebas dan akhirnya dianggap sebagai telah melakukan penghinaan terhadap Al Qur`an dan agama Islam. Pengadilan-pun menetapkan Abu Zayd harus bercerai dengan istrinya karena seorang murtadin tak diperkenankan menikah dengan muslimah. Alih-alih mematuhi, belakangan Abu Zayd hengkang ke Spanyol dan akhirnya menetap di Belanda hingga kini. Ia memiliki posisi professorship yang amat bergengsi di Universitas Leiden dan juga Utrecht. Tak cukup itu, pada tahun 2005 ia beroleh Ibn Rushd prize untuk Kebebasan Berpikir dari satu institusi di Berlin.
Namun, satu puncak perdebatan tentang blasphemy dan kebebasan berekspresi adalah pada heboh kontes kartun kontroversial Nabi Muhammad di koran Jylland Posten di Denmark pada tahun 2005. Otoritas eksekutif dan yudikatif di Denmark pada kenyataannya tak dapat mengkriminalisasi pelaku pembuatan kartun ataupun penanggungjawab koran tersebut. Dengan alasan, sistem hukum Denmark tak dapat menjangkau perbuatan tersebut karena kategorinya adalah freedom of expression. Sikap ini nyata-nyata memicu amarah dan warga dan negara muslim di dunia.
Dalam heboh kasus film Fitna, karya Geert Wilders, anggota parlemen Belanda, reaksi dari otoritas agak berbeda. Geert Wilders memang tidak pernah diadili, namun alih-alih membiarkan dengan alasan kebebasan berekspresi, pemerintah Belanda menyetop peredaran film ini dan tak kurang dari Sekjen PBB Ban Ki Moon menyatakan bahwa film tersebut tak memiliki justifikasi atas nama kebebasan berekspresi karena yang terjadi lebih condong berupa provokasi dan hate speech.
Yang sering menjadi dasar perdebatan adalah klausul tentang kebebasan berekspresi pada instrumen HAM internasional. Deklarasi HAM Universal 1948 pada pasal 18-nya menyebutkan bahwa setiap orang memiliki hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Pasal 19 deklarasi yang sama menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan beropini dan berekspresi. Klausul ini tercantum juga pada UUD 45 dan juga pada UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 28 E UUD 45 menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, bebas meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya serta bebas berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Mengkriminalisasi Penghina Nabi
Apabila penghinaan terhadap agama atau kelompok agama pada era-era lalu dilakukan via metode-metode konvensional. Apakah dengan ceramah umum, pembuatan buku, novel, siaran di televisi ataupun radio, dan lain-lain. Kini marak terjadi blasphemy via internet dan teknologi informasi lainnya. Penghinaan tersebut mudah ditemukan dalam situs-situs resmi, blog-blog pribadi, komentar-komentar pada situs-situs resmi, e-mail, situs social networking, chat conference, dan lain-lain.
Apakah penghinaan agama dalam media seperti internet dapat dikriminalisasi? Pasal 27 dan pasal 28 Undang-Undang Indonesia No. 10 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) melarang setiap orang untuk mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya informasi dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan menimbulkan kebencian dan permusuhan atas dasar SARA. Sanksi pidananya juga cukup jelas, yaitu pidana penjara paling lama enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya satu milyar rupiah. Pasal pada Undang-Undang ITE ini memperkuat pasal pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di atas yang mengatur tentang kejahatan terhadap ketentraman umum dalam bentuk menimbulkan kebencian dan permusuhan atas dasar SARA.
Khususnya penghinaan terhadap Nabi Muhammad seperti pada blog www.lapotuak.wordpress.com sangat patut apabila dikriminalisasi. Alias harus ada penindakan hukum terhadap tersangka pelakunya tidak hanya berupa pemblokiran situsnya. Penghinaan, kebencian, disinformasi, dan manipulasi yang dilakukan situs tersebut sulit dijustifikasi sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Kebebasan berekspresi bukannya tanpa batas. Pasal 28 (J) UUD 45 menyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Dukungan masyarakat terhadap kriminalisasi pembuat blog tersebut juga amat besar. Satu contoh adalah polling pada www.detik.com. Dalam polling yang dilakukan via SMS dengan pertanyaan apakah blogger dapat dihukum dalam kasus kartun Nabi Muhammad? Ternyata 91.26% setuju untuk dihukum dan hanya 8.74% yang tidak setuju (detik.com, 27/11/2008).
Masalahnya kemudian adalah sejauh mana aparat memiliki kemampuan secara teknologi untuk dapat melacaknya? Mengingat blog tersebut adalah blog pribadi yang disediakan secara cuma-cuma dimana baik pengelola maupun server-nya sangat mungkin tidak berada di tanah Indonesia? Disinilah tantangan untuk aparat hukum. Aparat hukum kita, utamanya polisi, sudah seringkali berhasil melacak jejak tersangka teroris dan penyebar teror bom via SMS dengan pelacakan menggunakan teknologi tingginya. Maka, sepertinya untuk melacak dan memproses hukum pembuat blog fitnah tersebut bukan masalah besar bagi kepolisian. Semoga.
Leave a Reply