MEREKONSTRUKSI NASIONALISME INDONESIA
Heru Susetyo
MahasiswaProgramDoktorHuman Rights & Peace Studies
MahidolUniversity – Thailand/ Staf Pengajar Tetap Fakultas Hukum UI – Depok
Apabila anda bertandang ke negeri jiran Thailand dan berada di tempat publik pada pukul delapan pagi dan enam sore, jangan heran melihat warga sekitar tiba-tiba berdiri mematung sambil tekun mendengarkan lagu kebangsaan (Thai National Anthem) yang diputar di kedua waktu tersebut setiap hari. Sama halnya ketika menonton film di bioskop, sebelum film diputar penonton diminta berdiri untuk menyimak lagu kerajaan (Royal Anthem) sekaligus menghormati raja Thailand yang begitu dicintai rakyatnya.
Itulah salah satu kiat negeri gajah putih itu dalam membangun nasionalisme dan membuat rakyat cinta dengan raja dan kerajaan Thailand. Sesuatu yang pernah dan masih terjadi di Indonesia meski dengan konteks, skala dan frekuensi yang berbeda.
Disadari atau tidak, nasionalisme Indonesia bertendensi semakin lama semakin memudar. Terlepas kita telah memasuki era globalisasi dan masyarakat tanpa batas (borderless society) yang ditandai dengan lajunya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, pengetahuan dan kedekatan bangsa terhadap tanah air Indonesia tidaklah sekental di era-era sebelumnya. Utamanya bagi kaum muda, banyak dari mereka yang tak paham ideologi dan dasar negara Indonesia, tak mengerti sejarah pergerakan dan perjuangan bangsa Indonesia, tak memahami geografi dan budaya Indonesia, ataupun tak bisa lagi melantunkan lagu kebangsaan dan lagu-lagu perjuangan. Alias, tidak memiliki derajat kedekatan sehebat yang dimiliki para pendiri republik ini.
Padahal, memasuki tahun 2008 ini, Indonesia memasuki salah satu titian penting dalam perjalanan sejarah kebangsaannya, karena bertepatan dengan seratus tahun kebangkitan nasional, enam puluh tahun sumpah pemuda dan juga enam puluh tiga tahun kemerdekaan Indonesia. Maka, merekonstruksi nasionalisme menjadi suatu hal yang signifikan dalam memelihara semangat kebangsaan..
Apakah Bangsa Indonesia ?
Apakah yang disebut bangsa Indonesia itu eksis? Craig Calhoun (1997) menyebutkan bahwa eksisnya suatu bangsa paling tidak dapat dikenali dari hadirnya solidaritas sosial (social solidarity) dan identitas kolektif (collective identity) dari anggota-anggotanya. Lebih jauh lagi, suatu bangsa dapat dikenali dari adanya : (1) batas-batas wilayah ataupun adanya penduduk; (2) ada integralitas; (3) kedaulatan ataupun aspirasi terhadap kedaulatan; (4) gagasan tentang legitimasi; (5) partisipasi publik dalam urusan-urusan kolektif; (6) keanggotaan langsung; (7)adanya kebudayaan, bahasa, keyakinan, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan; (8) eksistensi dalam sejarah maupun eksistensi di masa mendatang; (9) adanya unsur kekerabatan ataupun karakteristik rasial yang hampir sama; dan (10) adanya hubungan khusus dan relasi menyejarah dengan wilayah tertentu.
Merujuk pada batasan Calhoun tersebut, cukup alasan bawah bangsa Indonesia adalah eksis. Bangsa Indonesia memiliki wilayah, penduduk, kedaulatan, kebudayaan, kekerabatan dan pengalaman sejarah yang hampir sama. Minimal adalah pengalaman sejarah yang sama ketika dijajah oleh Belanda ataupun Jepang. Masalahnya adalah, setelah merdeka pada tahun 1945 hingga kini, setiap daerah ataupun kelompok etnis mengalami situasi sosial politik dan ekonomi yang berbeda. Perbedaan kesejahteraan dan disparitas pendapatan telah menjadi salah satu realita yang mengancam integritas bangsa. Ada daerah yang begitu makmur karena sarat dengan kekayaan alam dan SDM berkualitas, sebaliknya banyak juga daerah yang miskin kekayaan alam dan minim SDM berkualitas. Kemiskinan dan ketidakpuasan terhadap sentralisasi kemakmuran pada kelompok dan daerah tertentu telah memberikan kontribusi untuk disintegrasi bangsa dan lahirnya separatisme di daerah-daerah tertentu. Alias, syarat adanya pengalaman dan nasib yang sama sebagai suatu bangsa mulai tidak terpenuhi.
Pemikiran lain yang mempertanyakan eksistensi suatu bangsa antara lain dikemukakan oleh Benedict Anderson (1983). Ia menyebutkan bahwa bangsa dan nasionalisme adalah cenderung seperti masyarakat khayalan (imagined communities). Disebut imagined (khayalan) karena anggota-anggota dari komunitas terkecilnya saja terkadang tak mengenal semua anggota komunitasnya, apalagi dalam komunitas yang lebih besar. Maka, nasionalisme adalah tidak semata-mata membangkitkan semangat kebangsaan (karena bangsa sebenarnya tidak eksis), namun lebih untuk menemukan bangsa dan semangat kebangsaan. Ben Anderson menyebut contoh penduduk desa di Jawa yang memahami bahwa mereka berhubungan dengan penduduk di tempat lain di Indonesia. Suatu pemahaman yang imajinatif karena mereka tak pernah betul-betul melihat masyarakat lain tersebut terkecuali mereka berkeliling Indonesia. Selanjutnya ia meyebutkan bahwa bangsa ataupun nation juga disebut sebagai community (komunitas), karena dalam batasan tertentu, di lokasi tertentu, pada lingkup kekerabatan tertentu, memiliki ikatan persaudaraan horisontal (horizontal comradeship) yang cukup mendalam.
Lembaga Perantara Nasionalisme
Terlepas apakah yang disebut bangsa itu eksis atau hanya sekedar khayalan (imagined communities), nasionalisme jelas tak lahir dengan sendirinya (given). Kebangsaan, nasionalitas, ataupun nasionalisme adalah produk sosial budaya yang berkembang dari generasi ke generasi melalui perkawinan dengan konstelasi politik dan ideologi tertentu.
Nasionalisme adalah produk akhir abad ke -18 yang dipicu oleh sekularisasi pemikiran politik buah dari renaissance dan abad pencerahan di Eropa, juga dari deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat 1776 dan Revolusi Perancis 1789. Rangkaian momentum besar tersebut melahirkan konsep-konsep yang kini populer seperti egalitarian, liberalisme, republicanism, dan citizenship (kewargaan).
Nasionalisme berbeda dengan kekerabatan (kinship) dan juga etnisitas. Kekerabatan memiliki karakteristik adanya jaringan hubungan-hubungan yang direproduksi melalui relasi antar pribadi (interpersonal interaction). Sementara itu, nasionalisme adalah identitas kategoris yang direproduksi melalui lembaga-lembaga perantara yang memiliki standar-standar tertentu (standardized mediating agencies) (Calhoun, 1997). .
Lembaga-lembaga perantara tersebut bisa berbentuk negara ataupun non negara. Dalam kasus Thailand, bioskop-pun terlibat dalam penanaman cinta kepada Raja dan kerajaan Thailand. Dan, dimanapun di dunia, kelahiran nasionalisme tidak terjadi dengan sendirinya melainkan tersinkronisasi dengan lahirnya media lokal, pasar dan pekerjaan, pendidikan, produksi dan industri dan konsumsi, migrasi besar-besaran karena lahirnya kereta api, kapal laut, mobil dan motor dan populernya penggunaan arloji dan penanda waktu modern (Oxford, 2004).
Itulah sebabnya, perjuangan kebangsaan (kemerdekaan) Indonesia bisa dibilang agak `terlambat`. Pada awal abad ke -17 Belanda telah mulai menjajah Indonesia, namun nasionalisme dan perjuangan kebangsaan baru dapat dikatakan lahir pada awal abad 20 (antara lain dengan lahirnya Budi Utomo). Hal yang sama terjadi dengan Philipina. Pada akhir abad ke -16 penjajah Spanyol telah menguasai hampir seluruh wilayah negeri yang kini bernama Philipina, namun nasionalisme Philipina baru lahir tiga abad kemudian.
Mengapa lahirnya nasionalisme di kedua negara tersebut dapat dibilang ‘terlambat’? tak lain dan tak bukan karena lembaga-lembaga perantara bangkitnya nasionalisme (pers, pendidikan, moda transportasi, industri, konsumsi dan produksi, dan lain-lain) baru lahir ataupun baru berkembang beberapa abad setelah penjajahan bermula.
Merekonstruksi Nasionalisme Indonesia
Karena nasionalisme adalah sesuatu yang lahir tidak dengan sendirinya, melainkan lebih karena bentukan sosial budaya (dan juga politik dan hukum), maka kitapun tak dapat mengharapkan nasionalisme Indonesia lahir dengan sendirinya, bak hujan turun dari langit.
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah meredefinisi nasiolisme Indonesia. Nasionalisme seperti apa yang ideal dan cocok dengan ideologi dan tujuan bangsa Indonesia di era globalisasi dan teknologi informasi ini. Karena sekedar hafal lagu Indonesia Raya dan teks Pancasila saja belum berarti telah berjiwa nasionalisme. Sama juga halnya, banyak mahasiswa dan pekerja Indonesia telah lama belajar dan bekerja di luar negeri, namun tidak berarti mereka telah kehilangan nasionalisme-nya juga.
Kemudian langkah selanjutnya adalah merekonstruksi nasionalisme tersebut melalui lembaga-lembaga perantara, apakah lembaga negara ataupun non negara. Peran lembaga media massa, kesenian dan budaya pop, pasar, produksi dan konsumsi, transportasi, teknologi informasi, pendidikan, dan aktor-aktor lokal dan pemimpin tradisional non negara janganlah juga dilupakan. Sebaliknya, peran mereka amat signifikan. Pengalaman sejarah bangsa membuktikan bahwa penataran P4 dan pendidikan kewarganegaraan di sekolah saja belum menjamin rakyat semakin cinta negerinya. Cara-cara penghormatan kepada raja dan pemutaran lagu kebangsaan setiap hari ala Thailand juga belum tentu cocok diterapkan di Indonesia. Maka, setiap lembaga perantara perlu menemukan kembali metode merekonstruksi nasionalisme Indonesia, yang khas Indonesia. Belajar dari suksesnya film Naga Bonar Jadi Dua, ternyata menanamkan kecintaan terhadap perjuangan bangsa , dapat juga dilakukan melalui film dengan cara yang tidak konvensional.
Leave a Reply