NIKMAT TUHAN MANAKAH YANG KAMU DUSTAKAN
By : Heru Susetyo
Mai duduk termenung. Sedih, bingung, gembira, campur jadi satu. Gadis Thailand keturunan Narathiwat -propinsi selatan Thailand yang penduduknya mayoritas muslim Melayu- ini baru saja diwisuda sebagai Master bidang Pekerjaan Sosial Chulalongkorn University, Bangkok. Lulus dengan nilai terbaik. Thesis terbaik. Waktu tercepat. Dan juga lulusan termuda. Di kampus terbaik pula. Yang Mulia Maha Chakri Sirindorn, putri mahkota kerajaan Thailand sendiri yang menyalami dan memberinya rangkaian bunga anggrek pagi tadi. Pertanda ia sangat spesial. Diperlakukan layaknya keluarga kerajaan. Karena, memang kampus Chulalongkorn adalah milik keluarga kerajaan.
Usai peluk cium kiri kanan. Berfoto dalam berbagai pose dengan teman satu angkatan. Kini ia duduk terpekur persis di pinggir kolam kampus utama Chulalongkorn. Di depannya ada lukisan Raja Thailand Bhumibol, lengkap dengan pakaian kebesarannya. Raja tertua dan terlama berkuasa di dunia ini nampak berwibawa sekaligus makin nampak tua. Mai menatapnya dengan datar. Ia hormat dan respek kepada sang raja. Namun tetap tak ingin menyembahnya. Bagaimanapun ia adalah muslim, kendati berkewarganegaraan Thailand. Tak layak manusia menyembah sesama manusia.
Langit di atas kampus Chula mulai nampak memerah. Membelah Baiyoke Tower di sisi utara dan Hotel Pathumwan Princess di sisi baratnya. Burung berterbangan dengan riang dari arah Lumpini Park menuju Silom Road. Lumpini Park adalah tempat favorit Mai di Bangkok. Hari Ahad paginya dihabiskan disana dengan jogging sambil menikmati pemandangan itik berenang di danau Lumpini. Silom Road, sebaliknya, adalah musuh besar Mai. Karena di jalan ini berlokasi kawasan lampu merah Patpong yang luar biasa populer ke mancanegara.
Semua kenangan studi di Chulalongkorn mendadak hadir dalam benak Mai. Empat tahun untuk studi sarjana dan dua tahun untuk studi Master. Enam tahun silam ia bukan apa-apa. Tak mengenal siapapun dan tak dikenal siapapun di Bangkok. Datang dari kampung miskin di Tak Bai, Narathiwat, propinsi paling selatan Thailand yang berbatasan langsung dengan negara bagian Kelantan Malaysia. Kedua orangtuanya adalah petani miskin di Tak Bai. Tak pintar berbahasa Thailand pula. Hanya dapat berbahasa Melayu logat Narathiwat. Padahal mereka warganegara Thailand. Studi di Bangkok tak pernah masuk dalam agenda orang tuanya. Sampai Allah SWT mengirimnya ke Bangkok karena Mai lulus terbaik dari Madrasah Aliyah se-propinsi Narathiwat sehingga beroleh beasiswa dari pemerintah Thailand untuk studi di Chulalongkorn.
Ya itu enam tahun silam. Kini semua telah berubah. Dunia seperti ada dalam genggaman Mai. Gelar wisudawati terbaik dengan nilai tertinggi telah mengangkat dirinya tinggi. Lebih tinggi dari Baiyoke Tower, gedung tertinggi Thailand di kawasan Pratunam yang menjulang kokoh di hadapannya.
Chulalongkorn menawarinya langsung menjadi asisten professor (ajarn) di Fakultas Ilmu Sosial. Kedutaan Besar Australia di Bangkok menawarinya beasiswa Doktor ke Australian National University, Canberra dengan scheme Australian Development Scholarship for Women from Underrepresented Communities. Kementerian Pendidikan Thailand menawarinya posisi asisten riset. Dan itu semua sangat istimewa, mengapa? karena ia adalah muslimah, berjilbab, dan miskin pula. Alias, minoritas yang komplit ketertindasannya di tengah mayoritas Thai. Ah ya, ada satu lagi tawaran. Menjadi ajarn di Prince Songkla University, kampus Patani. Di tanahnya sendiri. Tapi untuk yang terakhir ini tak menjadi prioritas Mai. Mengajar di kampung sendiri memang mengasyikkan. Tapi bukankah ilmu adanya di Bangkok ataupun di negeri luar?
Tak terasa air mata meleleh dari dua pojok mata Mai. Ya Allah, semua berubah begitu cepat. Fabiayyi alaa`i Rabbikuma tukadzibaan...Semoga aku tak akan mengingkari nikmatMu ini ya Allah…. Mai mengucap lirih ayat favoritnya di Surah Arrahman tersebut.
“Sawasdee khap Nong, Sabay dee may?”[1] sapaan ramah Chaiwat, teman seangkatannya mengganggu lamunan Mai. Sabay dee, Pi, jawab Mai datar. Kendati Chaiwat teman seangkatan Mai, tapi ia lebih tua dua tahun dari Mai. Maka Mai memanggilnya Pi, alias kakak. Chaiwat duduk disamping Mai. Seolah tahu gadis rapuh ini tengah mencari teman bicara. Teman berbagi gundah.
Apa yang bisa saya bantu, Nong? Kamu nampaknya tengah bingung. Tak tahu hendak kemana setelah usai studi Master?” Chaiwat membuka dialog dengan bahasa Thai yang santun. Pemuda Thai ini memang lawan bicara yang pintar menempatkan diri. santun. Ia berpengetahuan luas tapi tetap tidak sombong.
Lebih dari itu, Mai tahu, temannya ini menaruh hati padanya. Terus terang Mai tertarik pula. Siapa yang tak tertarik dengan Chaiwat. Berwajah ganteng, berotak encer, dan datang dari keluarga politikus kaya Thailand. Tapi terlalu banyak perbedaan di antara mereka. Mai muslim, Chaiwat Buddhist. Mai berasal dari Thailand Selatan, Chaiwat berasal dari Chiang Mai di utara Thailand. Mai keturunan Melayu Patani. Chaiwat keturunan China generasi awal yang bermigrasi ke Chiang Mai. Mai miskin abis, Chaiwat kaya abis. Seperti pungguk merindukan bulan. Maka, Mai-pun sedari awal sudah memangkas mimpi indahnya bersama Chaiwat. Tahu diri. Ia hanya menganggap Chaiwat sebagai teman biasa.
Pernah Chaiwat me`nembak`nya suatu waktu. Di tepi Sungai Chao Phraya. Ketika mahasiswa se-angkatan mereka bersama menghabiskan malam tahun baru 2004 sambil menikmati fireworks (kembang api) di sekitar Sanam Luang. Saat itu Chaiwat berjanji akan masuk Islam apabila Mai berkenan menikahinya. Ia tak keberatan dengan keislaman Mai. Dengan jilbab Mai. Dengan kemiskinan Mai. Mai sempat melambung ke langit ketujuh ketika itu. Namun kemudian sadar. Perbedaan di antara mereka terlalu lebar. Koo thoot, Pi…[2] jawabnya lirih.
”Jadi kamu mau kemana setelah lulus ini, Mai. Aku tahu kamu banyak mendapat tawaran menggiurkan. Lebih menggiurkan daripada aku. Chulalongkorn tidak menawariku jadi ajarn[3] disini. Kementerian pendidikan juga tidak. Aku tidak lebih beruntung dari kamu. Lalu kenapa kamu bersedih diri?” Tanya Chaiwat.
“Entahlah, Pi. Aku juga bingung. Begitu banyak nikmat Allah yang kuterima dalam waktu yang tak terlalu lama. Aku ingin jadi ajarn di Chula, ingin kerja untuk pemerintah, ingin studi di Australia. Tapi aku juga ingin kembali ke Narathiwat. Orangtuaku dan masyarakatku adalah petani miskin Thailand Selatan.“ Aku ingin membangun Narathiwat dengan bekal ilmu yang aku miliku. Untuk Pi Chaiwat ketahui, belum pernah ada perempuan Narathiwat yang seberuntung aku dalam sejarahnya selama ini. Kuliah hingga Master di Chula dengan biaya pemerintah. Teman-teman seusiaku kebanyakan sudah punya anak tiga. Tidak tamat sekolah menengah. Dan melulu hidup gelisah dalam ketakutan karena ancaman teroris lokal yang tak henti mengganggu kehidupan kami.“
Mai berkata jujur. Ia seperti fenomena baru bagi wanita muslim di selatan Thailand. Seperti namanya. Mai dalam bahasa Thailand berarti `baru`. Mai sendiri hanya nama panggilannya. Karena hampir semua orang Thailand punya nama panggilan (nickname). Nama Thai-nya adalah Chaleeda Bangluansanti. Nama muslimnya adalah Nuraini. Hampir semua muslim Thailand Selatan punya dua nama. Nama Thai maupun nama muslim.
”Luar biasa kamu Mai. Sangat idealis. Kalau aku jadi kamu, aku akan ambil Australia. Ini peluang besar Mai. Kamu belum pernah ke luar negeri kan? Apalagi kamu dapat beasiswa pula. Kamu bisa pulang ke Narathiwat setelah jadi Doktor nanti. Dan, untuk kamu ketahui, alhamdulillah aku-pun dapat beasiswa Doktor dari scheme Australian Development Scholarship. Tidak di Australian National University, tapi di University of New South Wales, Sydney. Jadi aku bisa menyambangimu setiap akhir pekan ke Canberra. Tak jauh kan jarak dari Sydney ke Canberra,” tutur Chaiwat.
Mai dua kali bergidik mendengarnya. Pertama ketika Chaiwat mengucapkan lafadz alhamdulillah. Darimana pria Thai Buddhist ini belajar kata alhamdulillah dengan pengucapan yang sempurna pula? Kedua, ketika ia mengatakan…aku bisa menyambangimu setiap akhir pekan ke Canberra. Terus terang Mai senang bercampur takut. Berdua-duaan dengan laki-laki bukan mahram. Di luar negeri pula.
Khap khun ma kha[4] atas masukannya Pi. Aku pikir-pikir dulu ya. Sudah maghrib, aku shalat dulu ya di Muslim Study Club,
”Silakan Nong, dan tolong pikirkan kembali ucapanku tadi. Dan untuk kamu ketahui, aku masih belum mencabut janji-janjiku seperti yang aku ucapkan di tepi Chao Phraya malam tahun baru 2004 lalu,” jawab Chaiwat tenang. Dan, untuk ketiga kalinya dalam dua menit Mai bergidik.
##
Muslim Study Club Chulalongkorn nampak sepi. Tak heran ini kan hari libur. Hari wisuda. Mana ada mahasiswa muslim datang ke kampus. Tapi hari biasapun juga memang sepi. Disamping karena hong lamat[5] ini letaknya di lantai empat Student Club builiding, juga karena tak banyak mahasiswa muslim studi di Chula. Tapi alhamdulillah ada satu sosok muslimah tengah membaca Al Qur`an. Sosok yang sangat akrab di matanya. Maulida rupanya. Gadis Indonesia asal Aceh yang sama sepertinya baru saja diwisuda hari ini. Maulida adalah perawat asli Aceh yang bertugas di kampungnya, di Meulaboh. Ia studi Master bidang Public Health di Chulalongkorn atas beasiswa ASEAN. Teman diskusi yang menarik. Bersama mereka sering ke pasar Chatuchak ketika weekend, ke Soi 7 Petchburi Road untuk berburu makanan halal, berburu buku di Kinokuniya Siam Paragon, dan mengaji bersama di Islamic Center Ramkhamhaeng. Kendati Maulida tetap belum bisa berbahasa Thai, namun ia rajin mengikuti pengajian muslimah Thai. Mai-lah penerjemah setianya.
“Assalamualaikum Ukhti, apa kabar?” Maulida menyapa terlebih dahulu dalam bahasa Inggris. Dan cuma Maulida seorang yang menyapanya dengan panggilan `ukhti` di Thailand. Teman muslim lainnya menyapa dengan panggilan Pi atau Nong. ”Kabar baik Kak Ida” Mai menjawab dalam bahasa Indonesia yang patah-patah. Hanya itu kalimat Indonesia yang dikuasainya. Kendati ia dapat berbahasa Melayu Patani dengan lancar.
”Selamat atas keberhasilan Ukhti. Allah SWT telah mengangkat Ukhti ke posisi yang luar biasa. Lalu mau kemana setelah ini ukhti? Aku mendengar ukhti banyak sekali mendapat tawaran menarik?” tanya Maulida ramah.
”Alhamdulillah Kak Ida. Kayak di negeri dongeng. Semua berubah begitu cepat. Aku sendiri malah bingung sekarang mau kemana. Pulang ke Narathiwat, jadi ajarn di Chulalongkorn, jadi ajarn di Patani, atau kerja di Bangkok di kementerian Pendidikan. Ataupun studi Doktor di Australia. Tapi kayaknya aku condong dengan yang terakhir ini, tutur Mai.” “Kak Ida sendiri mau kemana? Kok hari ini tak ada orangtua yang ikut menghadiri wisuda?” tanya Mai polos. Maulida tertawa geli dan berkata, “ ha ha ha, Ukhti Mai bercanda ya. Mana mampu aku mendatangkan orangtuaku ke Bangkok. Mereka belum pernah keluar negeri. Tidak bisa berbahasa Inggris. Tak punya passport. Dan alasan yang paling utama adalah, kami adalah keluarga nelayan miskin dari Meulaboh. Jangankan ke Bangkok, ketika aku tamat studi sarjana di Syiah Kuala saja orangtuaku tak sanggup datang ke Banda Aceh karena tak punya uang.
“Maaf Kak Ida, aku tak bermaksud merendahkanmu. Kita senasib. Aku juga tak sanggup mendatangkan orangtuaku ke Bangkok. Padahal mereka tinggal di Thailand. Orangtuaku tak pernah pergi ke Bangkok seumur hidupnya. Mereka juga tak dapat berbahasa Thailand.”
Mai pen rai[6] ukhti. Semoga do`a orangtua kita dan keikhlasan mereka diganjar Allah SWT dengan balasan yang berlimpah. Mereka membanting tulang dan berbasuh keringat supaya kita dapat sekolah. Dan kini kita di Bangkok dengan segala kemuliaan kita, sementara mereka tetap tinggal di kampung dengan segala kesahajaannya. Allahumaghfirlana waliwalidayna warhamhuma kamaa Rabbayana Shaghirra… ”jawab Maulida sambil terisak-isak. Tangis yang menular, karena sepuluh detik kemudian, Mai pun menangis. Teringat ayah Ibu di Tak Bai yang tak turut menikmati kegembiraannya di hari wisuda ini. Isakan tangis kedua muslimah berbeda kewarganegaraan ini memecahkan keheningan lantai empat Student Club Chulalongkorn.
Lima menit keduanya berkubang dalam tangis masing-masing. Hingga Mai berkata lirih. ”Kak Ida sendiri akan kemana setelah wisuda ini?” tanya Mai. “Itulah yang aku bingung Ukhti Mai. Aku baru saja membaca email sore tadi setelah wisuda. Alhamdulillah aku mendapat beasiswa untuk studi Doktor bidang Public Health di Nagoya, Jepang. Aku mesti berangkat bulan depan. Pada saat yang sama aku juga ingin pulang ke Meulaboh. Sudah tiga tahun aku meninggalkan kedua orangtuaku. Mereka sudah tua dan aku adalah anak tertua. Adikku ada empat orang. Aku juga masih bekerja di Rumah Sakit setempat sebagai kepala perawat. Kami punya begitu banyak pasien miskin, yang semakin miskin karena konflik tak henti mendera Aceh,“ tutur Maulida panjang.
“Bila aku ke Jepang, berarti akan empat tahun tinggal lagi di negeri orang. Tak tega aku menatap wajah adik-adikku yang masih di sekolah dasar. Aku harus pulang. Memang berat. Tapi aku tak punya pilihan. Mungkin suatu waktu, insya Allah bila adik-adikku sudah mandiri, aku akan kembali mengejar gelar Doktor-ku. Dimanapun. Tak mesti di Jepang,“ tambah Maulida.
Gubrakk! Mai seperti tertampar mendengarkan jawaban Maulida. Ia dan Maulida sebenarnya dalam perahu yang sama. Pepatah Inggris menyebutkan we are in the same boat. Sama-sama miskin. Sama-sama dibesarkan di daerah konflik. Sama-sama mendapatkan beasiswa karena keenceran otak mereka. Sama-sama punya tanggungan adik-adik yang masih kecil. Bedanya, Maulida berfikir lebih jernih. Tak silau karena keinginan studi ke luar negeri. Sedangkan aku? Tanya Mai pada dirinya sendiri. Sangat ingin ke Australia. Karena tak pernah ke luar negeri. Lalu akan terbenam minimal empat tahun lamanya disana. Bagaimana orangtua dan adik-adikku nanti kalau aku tetap ke Australia?
##
Mai akhirnya memutuskan pulang ke Narathiwat. Tawaran studi ke Australia ditundanya. Tak ditolaknya. Karena ia berharap suatu waktu, entah kapan, bisa ke Australia. Minimal ketika adik tertuanya sudah mandiri. Sehingga dapat membantu keuangan keluarga. Kasihan ayah ibu yang semakin tua. Ia memilih menjadi ajarn di Prince of Songkla University kampus Patani. Kampus ini berjarak dua jam perjalanan dari Narathiwat dan tiga jam perjalanan dari kampungnya di Tak Bai. Baik Patani maupun Narathiwat adalah provinsi Thailand yang penduduknya mayoritas muslim. Maka, Mai tak menemukan kesulitan hidup di Patani . Tidak seperti di Bangkok. Sukar menemukan makanan halal. Sukar menemukan tempat shalat. Dan anjing berkeliaran dimana-mana.
Hidup terasa begitu indah di Patani dan Narathiwat. Kendati ancaman konflik tak henti mendera Patani, Yala dan Narathiwat. Salah satu yang terbesar adalah penyerbuan masjid Krue Se di Pattani pada 28 April 2004. Tiga puluh satu aktivis muslim tewas diterjang peluru tentara yang menerjang masuk ke dalam masjid. Selama beberapa bulan kehidupan di sekitar Patani begitu mencekam. Tentara berpatroli dua puluh empat jam setiap hari dengan jeep Humvee dan motor trail. Menyandang senapan otomatis M-16 dan perlengkapan tempur. Setiap satu kilometer ada military checkpoint dimana kendaraan yang melintas harus berjalan zig zag dan pengemudi wajib menunjukkan identitasnya. Penduduk luar Patani enggan masuk Patani. Mahasiswa Thai non muslim menghentikan studinya dan pulang ke daerah asal di utara Thailand. Penduduk lokal Patani sebagian mengungsi ke Malaysia atau ke bagian utara Thailand. Kehidupan terasa begitu mencekam.
Begitupun Mai tak ingin meninggalkan Patani. Hatinya sudah berlabuh disini. Sejujurnya ia takut, namun iapun tak tega meninggalkan mahasiswa dan masyarakat sekitar. Keahliannya sebagai pekerja sosial sangat berharga di Patani. Bersama masyarakat dan mahasiswa ia mendirikan posko kesehatan dan ketahanan keluarga. Menyalurkan bantuan makanan dan pelayanan kesehatan kepada penduduk yang terisolasi di daerah konflik.
Hampir setiap hari ia bertukar SMS dengan Maulida yang telah kembali bertugas di Meulaboh. Sekedar mengucapkan Sabay Dee May[7]. Maulida benar-benar tak ingin studi Doktor di Jepang. Cinta Maulida pada tanah Aceh membuat Mai malu pada dirinya sendiri. Maka iapun kembali menata cintanya untuk tanah Patani Darussalam yang terdiri atas empat propinsi, Patani, Yala, Narathiwat, dan Songkla. Semuanya berjalan indah. Sampai suatu waktu ayah ibunya menemuinya di kampus Prince Songkla University. Inilah kali pertama orangtuanya menemuinya di kampus. Pasti ada yang istimewa.
”Mai, kami harap kamu mempertimbangkan betul lamaran dari keluarga Abdul Syukur, kerabat jauh kita di negeri Kelantan Malaysia. Putra tertua mereka, Haznan, baru saja kembali dari studi Master di Al Azhar, Kairo. Kini ia menjadi pengajar di Kelantan. Tengah mencari istri. Dan sepertinya ia tertarik dengan kamu,” ayahnya berkata pelan. Khawatir menyinggung hati Mai.
”Iya sayangku, kamu sudah berusia dua puluh lima tahun, sudah cukup layak untuk menikah. Kamu juga sudah bekerja. Apalagi yang kamu tunggu? Ayah Ibu sudah ingin punya cucu. Memang kita keluarga miskin. Tapi tak salah juga kan kalau kita menambah anggota keluarga besar kita? Apalagi keluarga Abdul Syukur termasuk keluarga berada di Kelantan?” Ibunya menambahkan.
Gubrakkk!!!. Mai terhenyak. Menjadi istri dan ibu memang sudah masuk dalam agenda hidupnya. Tapi tidak sekarang. Juga tidak dengan orang yang tidak dikenalnya. Tapi iapun enggan mengecewakan ayah ibunya yang tiga jam menempuh perjalanan darat dari Tak Bai untuk menyampaikan kabar ini. Maka Mai hanya mengatakan,” Saya pertimbangkan Babo[8] dan Ummi. Sejujurnya Mai belum siap menikah sekarang. Mai masih ingin bekerja buat saudara-saudara kita disini.”
”Tapi Mai sayang, kamu tetap dapat bekerja disini walaupun kamu menikah. Tak ada yang berubah kan? Malah hidupmu akan lebih semarak dengan kehadiran suami dan mungkin anak-anakmu nanti.” sanggah Ibunya. ”Betul Bu, tapi…” Mai tak kuasa menahan tangisnya. Alih-alih putra keluarga Abdul Syukur, bayangan Chaiwat dan segenap janjinya untuk menjadi mualaf malah berkelebat dalam benaknya. Malam hari sebelum tidur, Mai mengirim SMS kepada Maulida. Menanyakan pendapatnya tentang perjodohan tersebut. Pagi harinya Maulida membalas dengan menyitir penggalan surat Arrahman,…Fabiayyi allaa` i rabbikumma tukadzibaan.... Terus terang, Mai tak mengerti apa maksudnya.
##
24 Oktober 2004
Seminggu sebelum hari peminangan tiba. Mai memutuskan untuk meninggalkan Patani. Ia tak berani menolak perjodohan tersebut dengan lisannya. Juga tak sanggup mengiyakan. Ia teringat dengan teman-teman sebayanya yang kini tetap tinggal di rumah, berpendidikan rendah, sibuk dengan urusan dapur dan mengurusi suami. Beberapa suami teman-temannya kemudian menikah lagi, berpoligami, dan menyisakan sebagian kecil saja nafkah bagi keluarga. Mai trauma. Bayangan menjadi Doktor bidang Social Development di Canberra kemudian menjadi Professor di Prince of Songkla University, terlihat lebih indah dalam benaknya. Tapi iapun tak berani menolak orangtuanya. Maka ia memilih menulis surat kepada orangtuanya. Dititipkan via Halimah, mahasiswinya yang berasal dari Tak Bai. Isinya, ia tak menolak perjodohan tersebut, namun menundanya sampai ia pulang dari Australia. Namun iapun tak memaksakan. Silakan saja apabila keluarga pihak pria ingin mencari yang lain. Dalam benak Mai, alasan untuk sekolah Doktor adalah alasan yang paling halus dan masuk akal untuk menggagalkan perjodohan ini.
25 Oktober 2004.
Mai sudah berada di Bandara Don Muang Bangkok. Tiket pesawat Thai Airways jurusan Sydney sudah digenggamnya. Bersamanya ada Chaiwat dan delapan orang calon mahasiswa program Doktor lain di Australia. Sebenarnya studi di Canberra baru akan dimulai pada Februari 2005, namun pihak sponsor meminta waktu untuk orientasi kultural dan memperdalam bahasa Inggris-Australia selama tiga bulan sebelum studi dimulai.
Pada saat boarding. Telepon selular Mai berdering. Dari Tak Bai. Mai tak kenal dengan nomor tersebut. Ia enggan mengangkatnya. Khawatir yang menelpon adalah keluarganya. Tapi, ayah dan ibuku tak pernah menelponku langsung. Mereka tak punya handphone juga di rumah tak memiliki telpon rumah. Lagipula mereka tak tahu pula nomor ponselku. Barangkali dari adikku. Maka dengan setengah ragu ia menekan tombol `yes`. ”Assalamualaikum kha, Pi Mai? Sawasdee kha!” suara Halimah ternyata. ”Waalaikumussalam kha, ada apa, Nong Halimah?”
“Pi Mai masih di Bangkok, kan? Belum akan terbang?” gadis muda ini bertanya cepat. Ada nada kepanikan dalam kalimatnya. “Aku sudah di Don Muang Nong, sebentar lagi boarding dengan Kham bin Thai[9] ke Sydney via Singapura. Ada apa?” Mai berusaha tenang, walaupun terus terang iapun panik.
”Emergency Pi Mai, pagi tadi ratusan warga Tak Bai berdemonstrasi di muka kantor polisi Tak Bai. Menentang penahanan enam warga yang beberapa hari silam diduga memasok senjata kepada kaum pejuang. Polisi tak dapat menahan laju massa yang begitu banyak. Akhirnya mengobral tembakan. Tujuh warga tewas di tempat dan lainnya diangkut dan dilempar paksa ke dalam truk polisi. Menurut informasi, akan dibawa ke penjara di daerah Patani,” Halimah bicara terengah-engah melalui handphone-nya.. Terdengar nada bising dan suara orang-orang berteriak di sekitarnya.
”Innalillahi wa ina ilahi raajiuun. Ya Allah, mengapa semua ini terjadi,” teriak Mai dalam bahasa Melayu Patani. Membuat Chaiwat dan delapan teman penerima beasiswa lainnya terkejut. ”Dan, yang lebih gawat lagi Pi Mai, Halimah meneruskan. ”Ayah Pi Mai dan Zakariya, adik laki-laki Pi Mai termasuk yang ditangkap dan dibawa ke penjara di Patani,” tutur Halimah hati-hati. ”Termasuk, adik laki-lakiku ku juga, menghilang sejak tadi pagi. Ia ikut berkerumun di muka kantor polisi Tak Bai,” kali ini Halimah tak kuasa menahan tangisnya.
”Astaghafirullah!” Mai menjerit. ”Cobaan apa lagi ini…” lanjut Mai. ”Ada apa Nong Mai, kamu bicara dalam bahasa apa?” tanya Chaiwat keheranan. ”Pi Chaiwat, ada insiden di kampungku, Tak Bai Narathiwat pagi ini. Ayah dan adikku ditahan polisi karena ikut berdemonstrasi.” ”Sepertinya aku harus meng-cancel pesawatku ke Sydney, dan segera ke Hat Yai, ” Mai menjawab cepat. ”Are you insane, Nong Mai, I`m sorry to say[10]. Kamu sudah check in, bagasimu sudah di pesawat dan sebentar lagi kita naik pesawat. Dan juga, insiden dan konflik di Selatan kan sudah biasa terjadi setiap saat, ” sergah Chaiwat. ”No way Pi Chaiwat, kali ini berbeda, karena kini korbannya adalah ayah dan adikku. Pi Chaiwat, tolong jaga bagasiku sampai di Sydney, ini aku berikan baggage tag-nya berikut boarding pass-ku. Tolong sampaikan pada pramugari Kham Bin Thai kalau aku batal terbang.
”Kamu gila Mai, to be honest. Aku prihatin betul dengan musibah yang menimpa keluargamu, tapi kamupun tak harus membatalkan kepergianmu ke Sydney. You are running your own life. Bagaimana kontrakmu dengan AusAid nanti?” kali ini Chaiwat kehilangan kesabarannya. ”Tidak Chaiwat,” kali ini Mai tidak memanggil Chaiwat dengan `Pi` lagi. ”Aku bertanggungjawab dengan AusAid. Akan aku kontak mereka dari Narathiwat. Ini emergency. Aku akan jadi anak durhaka kalau tetap ke Sydney dalam situasi seperti ini.” ”Durhaka, apa artinya? Bahasa apa itu,” tanya Chaiwat keheranan. ”Maaf aku susah menjelaskannya, aku harus pergi sekarang. Sawasdee kha!” teriak Mai. Meninggalkan Chaiwat dan delapan temannya dalam kubangan keheranan.
Segera Mai berlari dari terminal internasional ke terminal domestik. Ia berlari menuju sales counter Thai Airways untuk mencari go show ticket, ticket yang dibeli langsung pada hari penerbangan. Tiket habis. Ia berlari lagi ke sales counter Thai Air Asia. Tiket habis juga. Mai makin bingung dan panik. Akhirnya ia ke sales counter Nok Air. Tiket habis juga. Tapi Mai ngotot dan minta diberangkatkan sekarang. Ia siap duduk di kursi manapun dan siap membayar berapapun. Pihak Nok Air mengalah. Diberikannya ia kursi jump seat, kursi darurat persis di belakang pilot dan copilot. Dengan harga dua kali lipat. Di dalam pesawat, Mai senantiasa bergumam, Fabiaayi alaa`i Rabbikumma tukadzibaan….ayat favorit Maulida. Ketakutannya terhadap nasib ayah dan adiknya mengalahkan ketakutan terhadap perjodohannya di Tak Bai.
###
Setibanya di Hat Yai, Mai memerlukan delapan jam lagi untuk mencapai Tak Bai. Itupun dengan susah payah. Ia berganti mobil sebanyak empat kali. Karena tak semua mau masuk ke daerah konflik. Hampir setiap tiga kilometer ada military checkpoint dimana mobil harus berjalan zigzag kemudian berhenti. Tentara yang bertugas akan menanyakan identitas sopir dan penumpangnya. Cukup seram, karena senapan M-16 mereka dalam posisi terkokang dan ia menggunakan bullet-proof vest. Rompi anti peluru. Di belakang sang tentara puluhan temannya bersiaga di dalam Jeep humvee armoured vehicle dan panzer. Maka, perjalanan ke Tak Bai yang biasanya dapat ditempuh dalam empat jam menjadi delapan jam.
Tak Bai mirip kota mati. Puing-puing berserakan. Asap membubung di sana sini. Patroli tentara dengan jeep humvee dan motor trail berseliweran. Penduduk masuk ke dalam rumah dan mengintip dari sela-sela jendela. Anak-anak menangis karena tak diperkenankan keluar rumah. Jam malam diberlakukan. Tak boleh orang berkumpul dan berseliweran di atas jam enam sore. Susah payah ia mencapai rumahnya. Listrik mati. Hanya dua lilin menyala. Di pojok rumah, nampak Ibu dan adik-adiknya tengah menangis.
Tak Bai, 27 Oktober 2004
Kabar terakhir dari penjara Patani. Tujuhpuluh delapan warga Tak Bai tewas. Bukan karena ditembak. Namun hampir semua karena kehabisan napas. Ditumpuk dan dilempar ke dalam truk begitu saja dalam enam lapis. Dengan tangan terikat ke belakang pula. Tiga jam perjalanan ke Patani cukup untuk membuat mereka kehabisan napas. Sungguh tak berperikemanusiaan. Penduduk Tak Bai murka. Termasuk Mai. Ayah dan adik Mai tidak termasuk mereka yang tewas. Namun Mai tetap marah. Ia tak suka dengan kesewenang-wenangan ini. Bersama warga Tak Bai, ia mendirikan posko relawan untuk membantu mereka yang kehilangan anggota keluarganya. Dapur umum, pengumpulan sandang dan pangan, hingga posko informasi orang hilang berada dalam kendalinya. Malam harinya Mai mengirim SMS kepada Maulida di Aceh. Lima menit kemudian Maulida membalas dalam tiga kali pengiriman. Pertama ia menyatakan keprihatinan mendalam. Kedua, mendo`akan keselamatan keluarga Mai. Ketiga, menuliskan sepenggal kalimat favoritnya, “Nikmat Tuhan Manakah yang Kamu Dustakan…”
26 Desember 2004
Alhamdulillah ayah dan adik Mai sudah kembali ke rumah. Kendati dalam kondisi berantakan. Bekas pukulan, siksaan, dan jeratan terlihat di dada, tangan, dan punggung. Baju mereka lusuh bercampur darah. Lama tak diganti. Seisi keluarga menjerit dan menangis. Bercampur antara sedih, senang, sekaligus marah. Siang harinya Mai kembali mengirim SMS kepada Maulida. Tak ada jawaban. Sampai malam hari. Ini bukan kebiasaan Maulida. Ia selalu cepat membalas SMS. Kalaupun tak punya pulsa kadang ia meminjam handphone kerabatnya. Tapi ini tak biasa. Mengapa? Jawabannya tiba di malam hari. Melalui berita TV3 Malaysia yang ditangkap jelas oleh antena parabola warga Tak Bai, pagi tadi pukul 08.15 waktu Aceh telah terjadi gempa bumi yang disusul oleh tsunami dahsyat yang menerjang pantai Barat dan Utara Aceh dan Sumatera Utara. Selanjutnya tsunami menghantam pantai barat Thailand di sisi Lautan Andaman yaitu Phang Nga, Krabi dan Phuket di tepi lautan Andaman, Thailand barat daya. Mai terhenyak. Ia tahu persis bahwa Maulida tinggal dan bekerja di Meulaboh. Kota kecil di pantai barat Aceh.
1 Januari 2005
Mai berdiri mematung di rumah sakit Meulaboh yang telah rata dengan tanah. Sudah tiga hari ia berada di Meulaboh. Melacak jejak keberadaan Maulida. Tak dinyana pengalaman pertamanya ke luar negeri adalah ke Indonesia. Selain Malaysia tentunya. Yang tak dianggap luar negeri karena negeri Kelantan, Malaysia, berbagi batas dengan kampungnya di Tak Bai. Mestinya negeri pertama yang diinjaknya setelah Thailand dan Malaysia adalah Australia. Dan mestinya saat ini ia tengah bertahun baru di Canberra. Mungkin juga di Sydney. Bermalam tahun baru di Darling Harbour sambil menatap fireworks[11] dari gedung opera Sydney yang terkenal. Barangkali juga bersama Chaiwat yang memang sudah berada di Sydney.
Susah payah Mai mencapai Meulaboh. Jalan darat Banda Aceh – Meulaboh putus,. Maka ia merangsek masuk Meulaboh dari Sumatera Utara. Beruntung ia bertemu dengan rombongan Bulan Sabit Merah Malaysia yang juga hendak masuk ke Meulaboh. Selama tiga hari itu ia selalu mengirim SMS ke Maulida. Namun gempa dan tsunami memutuskan jaringan telepon selular di sekitar Aceh.
Dengan bahasa Melayu seadanya Mai melacak jejak Maulida. Maulida lenyap dari muka bumi. Sampai hari ini, di muka rumah sakit yang rata dengan tanah. Ia mendapati posko kesehatan darurat yang sekaligus menyajikan daftar orang hilang di sekitar Meulaboh. Diantara nama orang hilang tercantum nama yang amat diakrabinya …Maulida binti Hasyim, SKP. MA..
13 Januari 2005
Sudah enam belas hari Mai di Meulaboh. Maulida tetap belum ditemukan. Baik hidup ataupun mati. Di antara hari-hari itu Mai membantu rumah sakit darurat sebagai relawan. Beruntung ia dapat berbahasa Melayu Patani hingga sedikit banyak dapat berinteraksi dengan para korban. Kepada para korban ia selalu bertanya tentang Maulida. Namun tak ada yang tahu keberadaan perawat shalihah ini. Sampai suatu waktu seorang anak kecil menemukan telepon seluler yang diyakini Mai sebagai milik Maulida. Karena dalam ponsel itu ada nama Maulida tertulis dalam huruf Thai. Dan hanya Mai yang dapat membaca huruf Thai disitu. Perlu seharian lebih untuk mereparasi dan mengaktifkan ponsel yang lama terendam air itu. Setelah ponsel berada pada posisi ON, Mai melacak feature INBOX, tak ada pesan baru. Pada feature SENT, juga tak ada pesan terkirim. Barulah pada feature DRAFTS Mai menemukan kalimat yang belum sempat terkirim. Bunyinya “Ukhti Mai, aku terbawa ombak, kini tersangkut di pohon, aku sudah tak kuat, do`akan kami dan tetaplah berjuang untuk Narathiwat, Maka Nikmat Tuhan Manakah…… Kalimat tersebut terputus. Dan Mai meneruskannya dalam hati…yang kamu dustakan…
Maulida tak pergi ke Nagoya. Juga tak lagi tinggal di Meulaboh. Allah SWT lebih mencintainya. Dan Mai percaya Allah SWT akan memberi Maulida tempat tinggal baru yang jauh lebih baik. Jauh lebih baik dari Meulaboh dan Nagoya..
Esoknya Mai kembali ke Narathiwat. Meneruskan semangat Maulida membangun Aceh. Tidak di Bangkok. Tidak di Canberra. Di Narathiwat.
Salaya – Putthamonthon, Nakhon Pathom
18 Desember 2007
P.S. : Terima kasih untuk Ajarn Alisa dari Patani yang telah memberikan inspirasi cerita ini. Semoga kecintaanmu pada tanah Patani dan tanah Aceh adalah kontribusimu untuk kemenangan di Yaumil Akhir kelak.
Leave a Reply