OEMAR BAKRI MILLENIUM
By : Heru Susetyo
Kuliah Hukum Pidana Internasional rampung sudah. Lima kelompok mahasiswa berjumlah tiga sampai empat orang beranjak meninggalkan kampus Fakultas Hukum Universitas Nusantara.. Kelompok mahasiswa pertama bergegas memasuki Mercedez S 500 nya dan pamitan kilat padaku, “ Kami duluan ya, Pak. Senang deh ikut kuliah, Bapak,” teriak Shandy. Kelompok mahasiswa kedua, tak lama tancap gas dari Mercedez Sport 300 –nya. “Kami juga ya Pak, see you next week !”. Kelompok ketiga, dua wanita dan satu pria, tak kalah memacu pedal gasnya dari dalam kabin BMW X 5. “Bapak mau ikut, Pak, kami ke arah Pondok Indah kalau Bapak mau ikut,” tukas Jeanne, seorang penumpangnya, dengan santun. “Eh, makasih, Jeanne, saya ke arah Bojong kok, nggak ke Pondok Indah,” jawabku polos. Selang sepuluh detik kemudian mobil keempat, sebuah Audi A 6 warna silver merapat pelan ke arahku, “ Pak Radit, benar nih nggak mau ikut kami, kami ke arah selatan juga, ke Bukit Sentul,” Tanya Reggie ramah. “Saya memang ke selatan Reg, tapi ke Bojong. Makasih banyak, saya bawa motor kok. Tengah aku terpana menatap mahasiswaku menunggang sederet mobil ekstra mewah, mendadak kelompok mahasiswa terakhir, yang termiskin kurasa, membunyikan klakson dari Toyota Landcruiser 2005-nya dan sebuah kepala berjilbab menyembul malu-malu : “Assalamualaikum Pak Radit, kami mau ke arah Bojong, Bapak mau ikut kami? Sepintas kulihat isinya lima mahasiswi berjilbab, ah ya mereka aktivis musholla kampus. “Eh, nggak, makasih Nabila. Saya sudah ditunggu sama tunggangan saya. “Salam ya buat teman-teman,” jawabku tak kalah malu. Ya Allah, yang termiskin-pun, para aktivis musholla, menunggang Toyota Landcruiser yang berharga nyaris satu em. Lalu masuk kelompok mana aku ya? Lelah berpikir seperti itu segera aku menyeret motor Honda GL Pro 95 –ku dan segera mencabik gas-nya. Drive me to Bojong, buddy !
****
Sebelas tahun sudah aku lewatkan di Universitas Nusantara sebagai dosen. Dua tahun pertama aku terbenam dalam aktivitas pengajaran dan penelitian. Sembilan tahun berikutnya aku menghilang ke negeri orang. Dua tahun di Leiden , Belanda untuk menempuh gelar master di Leiden University, dan lima tahun berikutnya di University of Notre Dame -Indiana, Amerika Serikat, guna menyabet gelar Doktor. Usai menggaet Doktor, aku menjalani riset Post Doc di Oxford University, Inggris selama dua tahun.
Aku menikah dengan Miranti, ketika tengah studi di Leiden. Ia adalah dosen satu perguruan tinggi di Jawa Timur yang sama-sama mengambil program master di Leiden. Karena menikah denganku, usai studinya ia tak kembali ke Jawa Timur. Apalagi setelah si sulung lahir di Leiden. Lalu berturut-turut anak kedua, ketiga, dan keempat kami lahir di South Bend, Indiana. Si bungsu sendiri lahir di Cambridge, Inggris. Walhasil, kelima anak kami memiliki paspor dan kewarganegaraan ganda
Baru setahun terakhir aku kembali ke Jakarta. Yang ternyata sudah amat jauh berubah daripada sembilan tahun silam. Mobil-mobil mewah berderet di sepanjang tempat parkir mahasiswa. Coba lihat, Jaguar, Audi A 6, Mercedez, BMW seri 7, Volvo seri 9, Aston Martin seri James Bond 007, Maserati seri terakhir, Nissan Fairlady, hingga Jeep Humvee H-2 yang jadi legenda di perang teluk. Sementara, di tempat parkir para dosen, yang terlihat hanyalah minibus kurang dari 100 jutaan, sedan 1300 CC tahun 80-an, atau paling mewah adalah sedan timor Pak Dekan, yang aku dengar sebentar lagi akan dijual murah karena pak Dekan tak tahan menanggung angsuran bulanannya. Aku sendiri, tak pernah parkir di tempat parkir dosen. Karena memang tak punya mobil. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Guru pergi dengan metromini, murid pergi dengan Audi. Barangkali, kalau ada perlombaan dosen termiskin sedunia –katakanlah semacam Oemar Bakri Award- para dosen di fakultas-ku akan sangat berpeluang untuk menang.
Setibanya di rumah Bojong, Miranti istriku menyambut dengan sumringah. “Ayah, sudah baca Koran hari ini belum,” tanyanya manja. “Koran? Sudah. Tentang kasus poligami seorang kyai dan video porno anggota DPRI-kan?” jawabku sok tahu. “Bukan, ini lebih heboh dari poligami dan video porno. Harga Daihatsu Xenia dan Toyota Avanza makin miring ! Saat yang tepat buat beli mobil, ayah !” katanya lagi sambil bergelayut di lenganku.
“Daihatsu Xenia dan Toyota Avanza?, ayah nggak pernah dengar tuh,” sahutku polos. “Yah, ayah kuper banget sih. Itu kan dua mobil SUV murah yang belakangan sedang digilai keluarga muda Indonesia. Karena harganya murah tapi modelnya cantik banget. Ayo dong , Yah. Ini saatnya kita punya mobil. Ayah nggak capek apa naik motor bolak-balik Jakarta Bojong lima puluh kilometer sehari. Anak-anak juga kan sudah pada sekolah. Mereka lebih aman naik mobil daripada kita bonceng motor terus setiap hari. Lagian, di Oxford dan di Indiana kita kan selalu punya mobil. Kenapa di Indonesia nggak, yah?” ujar Miranti.
“Honey, Indonesia berbeda dengan Inggris dan Amerika. Disana kita harus punya mobil karena tak ada alternatif alat transportasi yang lain. Lagian, harga mobil disana kan super murah. Dengan seribu dollar Amerika, kita sudah bisa punya mobil. Kita memang perlu mobil di Indonesia, tapi harganya terlalu mahal. Gaji ayah nggak cukup. Lagian kita-kan sudah punya dua motor,” jawabku santai.
“Lho, ayah-kan punya tabungan dollar Amerika lumayan besar. Lima tahun di Amerika dan dua tahun di Inggris masa nggak ada dollar dan poundsterling tersisa, Yah? Ayah kerja di library di Municipal, jadi cleaning service di kampus, pagi harinya anterin koran sampai perbatasan Michigan. Aku juga dapat family support dari State of Indiana karena tiga anak kita lahir di Indiana, masak kita nggak ada saving, yah?” Miranti setengah tak percaya.
“Ya Allah, kamu lupa yah. Kita memang punya tabungan tiga puluh ribu dollar selama kita melanglangbuana di luar, tapi kan sudah tinggal lima ribu dollar. Lima ribu dollar untuk sangu Bapak dan Ibu yang naik haji. Lima ribu dollar untuk infaq kaum muslimin di Poso, Maluku, Aceh, dan Sambas yang tengah terzhalimi karena konflik internal. Sepuluh ribu dollar untuk bayar angsuran KPR BTN rumah ini, dan yang lima dollar berikutnya macam-macam. Jadi dua motor bekas. Jadi perlengkapan bayi. Untuk tambahan renovasi rumah. Untuk bantu saudara-saudara kita yang sakit dan untuk infaq pembangunan musholla depan rumah kita.” Sisa lima ribu dollar nggak cukup-kan honey untuk beli Xenia dan Avanza?” tambahku.
“Astagafirullah. Iya ya. Kok aku jadi lupa. Tapi ini penting sekali, ayah. Kita harus punya mobil. Terus terang aku capek kemana-mana naik motor membonceng Fitra dan Fathiya. Ayah nggak capek apa membonceng Faraz, Farhan, dan Farah? Insya Allah aku ikhlas, yah, karena mereka adalah anak-anak kita sendiri. Tapi aku juga makin tua. Tenagaku tak sekuat dulu ketika mengendarai motor,” ujar Miranti sedih.
Memang, kami adalah keluarga motor. Aku kemana-mana mengendarai Honda GL Pro 95, dan Miranti mengendari Honda Legenda 99. Ketika bepergian bersama keluarga, biasanya aku memang mbonceng tiga anak. Farah di depan, Faris dan Farhat di belakang. Sementara, Miranti membonceng Fitra dan Fathiyah. Karena Farah masih berusia satu setengah tahun, maka aku menggendongnya di depan dengan ransel bayi. Empat anak kami yang sudah besar duduk di belakang. Dua di belakang ayahnya dan dua di belakang ibunya. Ketika ada acara keluarga kami biasanya berkonvoi. Aku duluan dengan GL Pro dan tiga anak melaju di depan dan Miranti di belakang dengan Honda Legenda-nya bersama dua anak.
“Maaf, honey. Aku sadar betul bahwa kita perlu mobil. Tapi kita kan masih harus mencicil rumah setiap bulan sampai sepuluh tahun ke depan. Gaji ayah sendiri di kampus kurang dari tiga juta rupiah. Secara matematis, kita belum sanggup punya mobil, jadi mari kita lupakan keinginan untuk punya mobil,” ujarku tegas.
“Tapi, yah…,” belum usai berkata Miranti sudah menangis dan pergi ke kamar tidur.
Aku menghela napas. Kejadian seperti ini bukan yang pertama kali. Miranti adalah istri yang baik. Permintaannya selalu wajar. Dan, ia telah berkorban banyak untukku. Ia rela menanggalkan karir dosennya di Jawa Timur demi untuk mendampingiku. Lima anak lahir sudah dari rahimnya dan tak sekalipun ia ingin kembali ke kampus. “Kampusku di rumah, Mas. Dan mahasiswaku adalah anak-anak kita. Kamu silakan menjadi Rektor di rumah ini, tapi akulah Pembantu Rektor bidang Akademis-nya, Pembantu Rektor Bidang Administrasi dan Pembantu Rektor bidang Kemahasiswaannya,“ ujar Miranti suatu ketika. Lalu, haruskah aku kini menuruti keinginannya yang teramat wajar? Ia hanya ingin Daihatsu Xenia atau Toyota Avanza yang keduanya kurang dari seratus juta rupiah. Ia tak ingin BMW Z-4 atau Audi A 6 seperti yang dimiliki mahasiswa-mahasiswaku.
****
Pulang dari kampus aku tak langsung ke rumah. Aku ingin ke Pondok Bambu. Mampir ke rumah Bapak dan Ibu yang sudah dua bulan tak kusambangi. Bapak di usianya yang mendekati tujuhpuluhan masih tampak gagah. Maklumlah, mantan perwira tinggi TNI Angkatan Udara. Dua kali ayah bertugas sebagai Atase Pertahanan di Kedubes Indonesia di Inggris dan di Amerika. Kami sekeluarga ikut kesana. Hingga pendidikan dasarku aku habiskan disana. Wajarlah, alhamdulillah, bahasa Inggrisku laksana native speaker.
Ibu sendiri sempat menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung. Karena sering ikut Bapak bertugas ke luar negeri, akhirnya Ibu ikhlas melepas karirnya di kampus dan memulai karir di dalam rumah. Sisa-sisa kehidupan Ibu sebagai mantan dosen berbekas banyak bagi kami. Wajarlah, tiga dari empat anak-anaknya menempuh hidup sebagai dosen. Termasuk aku.
Tiba di rumah Ibu di Pondok Bambu, aku langsung terhenyak. Ada pemandangan baru di garasi. Dua buah mobil yang masih brand new bak fresh from oven. Satu Toyota Avanza dan satu Toyota Xenia !
“Eh Mas Radit, tumben datang nggak telpon dulu, langsung diparkir aja motornya atuh,” Ibu menyambutku persis di muka garasi. Masih dengan logat Sunda-nya yang kental.
“Iya nih Bu, Radit kangen sama Bapak dan Ibu. Sudah lama nggak kesini. Begitu kesini Radit makin kaget, Bu. Punya siapa dua mobil baru ini ?” tanyaku gelisah.
“O iya. Baru lihat ya Mas. Sudah hampir sebulan kok dua mobil baru ini mendekam di garasi kita. Yang Avanza punya Ibu, Bapak kamu membelikan Ibu karena Kijang Ibu yang lama kan sering mogok. Nah, alhamdulillah, Bapak-mu masih punya sisa-sisa dana berlebih dari dinas terakhirnya di Inggris. Apalagi harga mobil ini relatif terjangkau dan kita bisa angsur dengan ringan. Jadi deh Ibu punya mobil baru lagi. Lumayan, Mas, bisa bawa cucu-cucu keliling komplek kalau mereka kesini!” Ibu menjawab dengan riangnya.
“Kalau yang Xenia ini punya siapa Bu?”, tanyaku makin gelisah. “Wah kalau ini mah punya Jasmine, lihat aja pelat nomornya B 1070 GI.” (baca : BIOLOGI) Jasmine? bisa beli mobil? Dia kan masih asisten di fakultas MIPA?” tanyaku terheran-heran. “Jasmine baru ikut proyek riset kelautan di Maluku. Kerjasama dengan Jepang. Nah, hasilnya cukup untuk DP (down payment –pen.) beli mobil ini. Sisanya akan dia angsur setiap bulan dari gaji dan proyek-proyek risetnya.
Aku semakin shock. Jasmine adalah adikku yang paling bungsu. Ia lahir di Washington D.C. Menamatkan studi sarjana dan master biologi-nya di Jepang. Dan kini bekerja sebagai asisten pengajar di jurusan biologi di kampus yang sama denganku. Masih berusia 24 tahun dan belum menikah. Tapi sudah punya mobil?
“Mas Radit sendiri mana mobilnya, kok masih betah naik motor hitam ini. Miranti sama anak-anak apa nggak minta dibelikan mobil?”, tanya Ibu polos. “Eh iya Bu, mereka juga minta dibelikan mobil. Sama sih Bu, salah satu dari kedua jenis mobil ini,” jawabku jujur sambil menunjuk kedua mobil Jepang itu. “Terus, kenapa nggak dibelikan atuh? Mas Radit kan sudah Doktor. Lama tinggal di luar negeri. Anak sudah lima pula. Apa nggak repot kemana-mana boncengan dua motor?”
“Memang agak repot sih, Bu. Tapi kami enjoy kok.” Jawabku tergagap. “Mas Radit, terus terang Ibu agak sedih melihat kalian kemana-mana naik motor. Bahaya kan? Ibu sudah lama diskusi sama Bapak. Kalau masalahnya uang, kita bisa bantu meminjamkan uang untuk DP-nya. Mas Radit kembalikan kapan saja kalau sudah ada. Alhamdulillah tabungan Bapakmu selama dinas luar negeri sudah lebih dari cukup.” , Ibu berucap dengan tenang.
“Terimakasih, Bu. Tidak usah. Bapak dan Ibu sudah begitu banyak membesarkan dan memberikan apapun selama tiga puluh tiga tahun ini. Radit tak mau lagi menyusahkan Bapak dan Ibu. We are fine, Bu,” jawabku setengah menangis.
Tengah butiran air mata menetes perlahan dari mataku, Jasmine keluar dari pintu depan. “Eh Mas Radit, assalamualaikum, Mas. Kemana saja? long time no see. Sudah lihat dong, Mas, mobil baruku? ujar Jasmine menggoda tanpa dosa “Sudah, Sis, (Sister-pen.) selamat ya! kamu sudah sering ngebut dong!” “So pasti, Mas. Mobil ini murah tapi nyaman buat ngebut. Aku jadi nggak usah berkompetisi lagi untuk mengejar Kopaja dan Metromini. “Mas Radit masih betah aja naik motor, apa kata dunia?” Tanya Jasmine, masih dengan mimik tanpa dosa. “Dunia berkata, mobil atau motor yang penting masuk surga!” jawabku sekenanya. “Eh, Mas, by the way, motornya dipinggirin dong, Xenia-ku mau keluar nih. Aku mau ke kampus nih!” ujar Jasmine santai. Setengah menggerutu, aku memindahkan si kuda tua ini diiringi tatapan sedih dari Ibu.
****
Sepulang dari rumah Bapak dan Ibu aku malah semakin suntuk. Maksud hati membebaskan diri dari permasalahan mobil, eh malah bertemu lagi masalah yang sama. Akupun segera melaju ke kampus kembali. Menenangkan diri di perpustakaan kampus adalah jalan terbaik. Sekaligus aku bisa mencari referensi buku untuk persiapan mengajar besok.
Tengah aku memasuki pintu perpustakaan, dua orang mahasiswa menghampiriku. “Assalamualaikum Pak Radit,” sapa mereka ramah. “Eh, kalian, Wiwid dan Satria. Ada yang bisa saya bantu?”
Iya Pak. Kami dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Nusantara sedang melaksanakan program Oemar Bakri Award. Ini program serius lho, Pak, bukan bercanda. Kami ingin memberikan award bagi dosen atau staf pengajar yang hidupnya pas-pasan, sederhana, namun memiliki visi dan profesionalisme dalam bidang akademik. Seperti Oemar Bakri di jaman millennium-lah. Bagaimana caranya? kami membuat questioner yang disebarkan ke seluruh mahasiswa dan staf pengajar. Isinya adalah siapa yang mereka anggap layak menerima Oemar Bakri Award. Juga, dengan bekerjasama dengan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) kami berusaha mendata kekayaan dan asset yang dimiliki oleh para dosen pegawai negeri di kampus ini. Dari kedua data itulah kemudian kami memutuskan siapa yang layak menerima Oemar Bakri Award tahun ini,” ujar Wiwid serius.
“Luar biasa ide kalian. Bagaimana bisa ide sejenial ini lahir?” tanyaku heran. Heran, karena akupun pernah berpikir tentang ide tersebut sebelumnya. “Semuanya berangkat dari perang melawan korupsi yang dilancarkan pemerintah lima tahun terakhir Pak. Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, vonis sepuluh tahun terhadap seorang gubernur aktif, dan disidangnya sejumlah anggota KPU di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi membuktikan bahwa penyelenggara negara tak steril dari korupsi. Yang menyedihkan, dalam kasus korupsi di KPU, beberapa pelakunya adalah staf pengajar perguruan tinggi seperti Bapak. Apakah para dosen sekarang telah kehilangan idealisme, Pak? apakah mereka kini telah menghalalkan segala cara demi menangguk sekian ribu US dollar yang jelas-jelas haram? apakah mereka telah bosan sekian tahun lamanya hidup dalam kesederhanaan? “ tukas Wiwid.
“Berarti, menurut kalian dosen tidak boleh hidup kaya dong,?“ tanyaku menggoda. “Bukan begitu, Pak,“ jawab Satria cepat. “Semua orang juga tahu, bapak juga tahu, bahwa kalau ingin kaya janganlah menjadi dosen. Jadilah pengusaha atau businessman. Ketika ada dosen yang kemudian hidup berlebih dari hasil keringat mengajarnya, kami hargai itu. Tapi ketika ada dosen yang tak jelas darimana nafkahnya namun tiba-tiba kaya. Punya mobil dan rumah mewah. Wajar dong kami curiga, Pak, “ tambah Satria lagi.
“Berarti saya boleh dong mencurigai mahasiswa yang tiba-tiba kaya padahal sehari-harinya hanya makan lontong sayur dan minum teh pahit panas?” tanyaku menggoda. “Banyak lho aktivis mahasiswa yang kemudian menjadi aktivis pengusaha ataupun aktivis penguasa. Yang rajin menjadi broker demi mendapat kenikmatan politik dan uang. Yang rajin menggerakkan massa untuk kepentingan kantong sendiri. Dulu ketika masih mahasiswa motornya Honda Legenda. Kini motor tersebut benar-benar tinggal legenda karena ia telah memiliki Nissan X-Trail pemberian pengusaha yang puas atas hasil kerjanya menyediakan massa untuk mendukung aktivitas melanggar hukum sang pengusaha.“ tambahku lagi.
“Yah si Bapak, bercanda terus. Gimana nih Pak, mau bantu kamu, tidak?” potong Wiwid tidak sabaran. “Insya Allah,” jawabku cepat. “Jenis pertolongannya apa?” tanyaku mulai serius. “Mudah, Pak. Bapak-kan pengajar mata kuliah Metode Penelitian. Bapak bisa tolong buatkan kami instrumen questioner-nya. Kami menitipkan sejumlah pertanyaan yang menurut kami urgent untuk mengukur tingkat kekayaan dosen. Sebagian pertanyaan kami comot dari model pertanyaan di Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebagian lagi kami kumpulkan dari masukan teman-teman mahasiswa. Gimana, pak, bisa bantu ya? terus terang kami lemah dalam Metode Penelitian. Kami khawatir hasilnya kurang valid kalau Bapak tidak ikut terlibat,“ ujar Wiwid setengah merayu.
Aku tersenyum dalam hati. Anak-anak ini kreatif sekali. Terus terang ini ide lucu tapi menarik. Mahasiswa mana-sih yang terfikir untuk menyelidiki harta kekayaan dosennya? “Oke, insya Allah saya buatkan. Berapa nih bayarannya? tarif saya lima ratus dollar untuk per jam konsultasi,” jawabku bercanda. “Hah, Pak? Bapak serius? kami tak sanggup, Pak! memang sih kami telah memiliki sejumlah sponsor untuk mendanai program ini, tapi kalau tarif Bapak lima ratus dollar per jam terus terang kami defisit, Pak,” tukas Satria setengah tak percaya.
Aku kembali tertawa lagi. “heh Satria, Wiwid, sejak kapan saya mengutip uang dari mahasiswa. Saya tahu kok berapa isi kantong kalian!” tambahku cepat. Pokoknya no worries deh, saya bantu kalian buat instrumen questioner-nya for free! tapi, ada tapinya, jangan minta selesai cepat ya. Beri saya dua minggu at least.” Alhamdulillah, kami kira Bapak serius. Dua minggu cukup kok Pak….
***
Dan aku menepati janji itu. Dua pekan sesudahnya aku menyerahkan instrumen questioner tersebut kepada mereka. “Terima kasih banyak, Pak. Entahlah bagaimana nasib award ini kalau Bapak tidak membantu kami,” kata Satria. “Betul, Pak, terus terang awalnya kami putus asa dan nyaris meninggalkan program ini, namun melihat instrumen di tangan ini kami jadi bersemangat kembali, terima kasih Pak !” tambah Wiwid. “Berterimakasih-lah pada Allah SWT, teman, selama tujuannya baik insya Allah Dia akan memudahkan, trust me!” ujarku bijak. Aku melihat betul perubahan wajah Satria dan Wiwid ketika aku mengucap kata ‘teman’. Tapi tak salah kan, jarak usiaku dengan mereka tak terlalu jauh, kurang dari sepuluh tahun. Aku-pun pernah dibesarkan di tempat yang sama dengan mereka beberapa tahun silam. Di musholla kampus tepatnya.
“Kalau boleh saya bertanya, siapa juri dalam pemberian award ini?” tanyaku setengah ingin tahu. “Ini penting lho untuk menjaga independensi program ini,” tambahku lagi. “Jangan khawatir, Pak. Semua ketua Badan Perwakilan Mahasiswa di kampus ini menjadi tim juri. Ketua Tim Juri-nya adalah seorang pejabat di Komisi Pemberantasan Korupsi dan wakilnya adalah pejabat di Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara. Kendati ini bukan program instansi mereka, namun mereka sangat bersemangat membantu. Secara tidak langsung ini sesuai dengan misi instansi mereka khususnya dalam pendidikan kesadaran anti korupsi dalam masyarakat.” papar Wiwid bersemangat. “Subhanallah, you guys are really doing a great job, please keep up the good work. I’m proud of you,” ujarku dalam bahasa American-English slank. Ungkapan ini juga yang selalu disampaikan supervisor-ku ketika studi di Amerika ketika melihat grade –ku yang bagus, bertaburan huruf ‘A”. So, apa salahnya aku mengungkapkannya juga untuk para mahasiswaku disini?
“Syukran Pak, Jazakumullahu khairan katsiiran…” sahut Wiwid dan Satria bersamaan.
Mendengar jawaban mereka aku jadi malu sendiri. Kenapa juga aku lebih bangga berbahasa Inggris daripada berbahasa Arab? Bahasa Al Qur’an dan bahasa Rasulku Muhammad SAW.
Sebulan setelahnya kampus Universitas Nusantara dipenuhi aktivitas mahasiswa yang tak biasa. Seratusan lebih ‘peneliti dadakan’ yang semuanya mahasiswa mendatangi hampir semua fakultas. Mewawancarai dekan, dosen-dosen, bagian keuangan, bagian personalia, mahasiswa, hingga pegawai kampus. Beberapa yang lain mendatangi kantor departemen pendidikan dan dinas pendidikan setempat . Yang lainnya melakulan studi kepustakaan dan internet research. Suatu pekerjaan yang tidak mudah, tak semua peneliti dadakan ini dapat memperoleh data dengan leluasa. Karena mereka menanyakan data tentang gaji dan kekayaan dosen. Sesuatu yang selama ini dianggap ‘rahasia dapur’ dan tak boleh diungkap ke publik.
Namun, disinilah kehebatan para mahasiswa ini. Hadirnya dua pejabat publik di bidang anti korupsi ibaratnya ‘password’ yang dapat membuka akses kepada data yang selama ini dirahasiakan. Walhasil, kendati awalnya berlangsung sulit namun akhirnya berhasil baik. Minimal sampai sebulan kemudian. Sampai aku mendapat undangan dari panitia Oemar Bakri Award.
****
Acara penyerahan award ini dilangsungkan tidak di gedung atau balai pertemuan seperti layaknya acara sejenis. Karena semangat kesederhanaan dan anti korupsi ,maka panitia menyelenggarakannya di tepi danau kampus. Mereka memasang tenda, menggelar tikar, dan hanya menggelar aqua. Tak ada makanan sama sekali. Para tamu yang hampir semua adalah pimpinan universitas, pimpinan fakultas, dan pimpinan badan kemahasiswaan agak terkejut. Utamanya yang datang dengan busana formal plus jas dan dasi. Karena mereka juga harus duduk lesehan. Dalam hati aku mengagumi ‘kreativitas’ sekaligus ‘keisengan’ mahasiswa ini. Memang, tak ada salahnya duduk lesehan dan membuat acara di alam bebas. Daripada yang selama ini terjadi, setiap pertemuan digelar di hotel sekitar Puncak, atau di salah satu villa di Anyer-Carita. Padahal kampus sendiri memilki ruang-ruang pertemuan yang layak. Sungguh pemborosan telah menjadi tradisi di negeri ini.
Satu jam setelah acara dibuka, barulah tim juri membacakan hasil keputusannya. Untuk yang satu ini sepertinya tradisi belum berubah. Satu jam digunakan hanya untuk menyampaikan sambutan demi sambutan. Sebelum juri membacakan keputusannya, aku sudah menerka-nerka siapa pemenangnya. Kendati aku yang membuatkan instrumen penelitiannya, tapi aku sendiri tak terlibat dalam proses pengumpulan data.
“Pemenang pertama akan mendapatkan mobil Toyota Avanza dan hadiah umrah ke tanah suci. Pemenang kedua akan mendapatkan mobil Daihatsu Ceria dan hadiah umrah ke tanah suci. Pemenang ketiga akan mendapatkan uang tunai sejumlah lima puluh juta rupiah dan hadiah umrah ke tanah suci…” papar panitia . Subhanallah, mantap sekali hadiahnya. Beruntunglah mereka yang mendapatkannya, ujarku dalam hati.
Dalam benakku sudah terbayang siapa pemenangnya. Mesti satu di antara tiga orang ini. Pak Rifai, Dekan Fakultas Ekonomi. Pak Jaka, ketua masjid kampus sekaligus dosen agama Islam di tiga fakultas di kampus ini. Atau Ibu Rika, guru besar Fakultas Psikologi. Ketiganya terkenal sederhana. Pak Rifai, kendati kampusnya telah melahirkan ratusan konglomerat dan puluhan menteri, namun hanya memiliki sebuah Suzuki Carry keluaran tahun 1994. Pak Jaka bahkan tak punya mobil sama sekali. Ia selalu menumpang KRL (kereta rel listrik –KRL) untuk pergi dan pulang dari kampus. Bu Rika sama saja. Kendati kenyang studi di luar negeri hingga bergelar guru besar, tak sekalipun ia menggunakan fasilitas kampus untuk keperluan pribadi. Pergi kemanapun ia menggunakan kendaraan umum ataupun naik ojek.
Terus terang, tiga pribadi di atas adalah idola-ku. Pintu ruangan mereka selalu terbuka untuk para mahasiswa. Mereka selalu haus akan ilmu dan tak segan bertanya kepada orang yang lebih tahu, walaupun kepada mahasiswa sekalipun. Mereka jarang sekali menggunakan fasilitas kampus untuk keperluan keluarga. Kendati mereka berhak untuk itu. Dan hebatnya, tak sekalipun mereka meninggalkan kewajiban terhadap Tuhan-nya. Mudah sekali menemukan mereka di masjid kampus ataupun musholla fakultas pada waktu-waktu shalat fardhu. Aku seperti melihat figur sahabat Mushab bin Umair pada diri Pak Rifai. Figur Khalifah Umar bin Abdul Aziz pada diri Pak Jaka. Dan, teladan sahabiyah Asma binti Abu Bakar pada pribadi Ibu Rika.
Satu jam telah berlalu dan panitia tak kunjung mengumumkan siapa pemenangnya. Malah, acara diselingi oleh coffee break selama lima belas menit. Bosan dan letih menunggu akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke toko buku dan pulang ke rumah. Lebih baik pulang ke rumah lebih awal dan bermain dengan anak-anak yang baru pulang sekolah. Nanti juga panitia akan menyampaikan beritanya kepadaku via SMS. Pikirku dalam hati.
**
Anak-anakku amat terkejut ketika aku pulang cepat. Sekitar jam dua siang. “Ayah sudah taubat!” ledek Faris. “Ayah sudah kembali ke jalan yang benar!” tambah Farhat berseri-seri. Aku tersenyum kecut. Memang aku jarang sekali pulang lebih cepat dari jam sembilan malam. Terlalu banyak amanah hidup ini ketimbang waktu yang tersedia. Namun aku lebih terkejut lagi mendapati sepeda motor istriku dan sepeda anak-anakku diparkir di luar rumah. Kenapa tidak di dalam garasi?
Jawabannya tiba lima detik kemudian ketika aku melangkah ke garasi. Sebuah mobil Avanza berwarna hitam metalik telah bertengger manis di garasiku. Lengkap dengan pita berukuran besar berwarna pink yang diikatkan mengelilingi body mobil bagian tengah. “Mobil siapa ini?” tanyaku kebingungan. Seketika istriku Miranti yang tengah berada di belakang setir segera menghambur ke luar. Memelukku dan mencium pipiku. “Ini mobil kita ayah !” seru Miranti. “Horee kita punya mobil baru!” teriak anak-anakku kegirangan. “Mobil kita?” tanyaku semakin bingung.
“Ayah kemana saja sih? Ayah kan pemenang pertama Oemar Bakri Millenium Award! Ayah bukannya tadi datang ikut acara tersebut? Panitia mengkontak ayah berkali-kali via SMS dan telpon langsung ke handphone ayah. Tapi sepertinya handphone ayah sedang ‘off’. Mereka lalu telpon ke rumah dan mengirim langsung mobil ini berikut tiket umrah ke tanah suci atas nama ayah dan aku !” papar Miranti cepat. Nampak sekali wajahnya memerah karena senang. “Akhirnya mimpi kita selama ini mewujud ayah, our dream come true!” lanjut Miranti. “Panitia sebentar lagi akan datang lagi untuk bertemu ayah langsung, aku akan menyiapkan makanan dan minuman untuk mereka !” Miranti segera pergi ke dapur tanpa menanti komentarku. Sementara itu anak-anakku kembali bermain-main di dalam mobil. Faris bermain-main dengan setir. Farhat mengocok-ngocok persneling, dan Fathiya tidur-tiduran di jok belakang. Aku sendiri terduduk di ruang tamu. Pusing dan bingung atas semua peristiwa ini.
**
“Satria, Wiwid, tolong jelaskan. Pasti ada kesalahan!” sergahku langsung ketika panitia Award ini baru saja duduk di ruang tamuku. “Tidak Pak Radit. Tak ada kesalahan. Kami telah menghitung secara cermat. Dibantu pula oleh dosen statistik dari FMIPA dan dosen komputer dari Fakultas Ilmu Komputer. Semuanya akurat. Skor Pak Radit paling tinggi. Sedikit di bawah Bapak adalah Ibu Rika diikuti Pak Jaka dan Pak Rifai. Maka, Bapak lah pemenang pertama Oemar Bakri Award tahun ini. Ibu Rika pemenang kedua dan Pak Jaka pemenang ketiga. Pak Rifai sendiri menjadi pemenang favorit,” papar Wiwid tenang.
“Satria, Wiwid, mohon dengarkan penjelasan saya. Saya sangat berterima kasih atas penghargaan ini. Namun saya merasa tak berhak menerimanya. Ketiga orang tadi jauh lebih berhak daripada saya. Disamping itu, saya-pun turut membuat instrumen penelitiannya. Saya punya banyak alasan untuk tidak menerima penghargaan ini. Maka, dengan mengucapkan beribu maaf dan basmalah, insya Allah penghargaan ini saya kembalikan kepada kalian,” ujarku. Terasa ada getaran dalam nada bicaraku. Mataku pun sedikit berkaca-kaca.
“Tapi Pak, Bapak juga pantas menerimanya. Penelitian ini akurat. Untuk orang dengan status sosial dan status pendidikan seperti Bapak, Bapak termasuk cukup miskin. Maafkan saya Pak. Tapi ini kenyataan. Survey ini kami gelar ke lebih dari 3000 dosen di kampus ini. Dan inilah hasilnya Pak. Mohon diterima…” tambah Satria setengah tak percaya.
Selanjutnya, tak perlu aku ceritakan bagaimana aku mendebat kedua mahasiswaku itu. Cukup panjang dan complicated. Akhirnya mereka-pun menyerah. “Hare gene masih ada aja orang kayak malaikat!” bisik Satria kepada Wiwid pelan.
***
Miranti nyaris pingsan ketika mendapati Toyota Avanza hitam metallic itu lenyap dari garasi. Dibawa kembali oleh Satria dan Wiwid. Anak-anakku menangis dan merajuk. Ya Allah, kuatkan-lah hambamu yang dhoif ini.
“Ayah, kenapa ayah lakukan semua ini?” bukankah itu harta yang halal dan tak ada salahnya kita menikmati kenikmatan dunia seperti ini?” protes Miranti setengah tak percaya. Tampak sekali ada kesedihan dalam suaranya. Matanya pun berkaca-kaca. “Ayah jahat, ayah jahat !” teriak anak-anakku sambil menangis. “Bukankah Rasul kita pernah bersabda bahwa rumah yang luas dan kendaraan yang baik adalah bagian dari kesenangan dunia yang sah-sah saja kita nikmati selama kita memperolehnya secara wajar?” tambah Miranti. “Iya, Ayah gimana sih, nggak boleh kita seneng!” sambung Faris, memprotes.
“Honey, terus terang aku juga berat untuk melakukannya. Aku sadar dan paham bahwa kita sangat butuh mobil. Aku juga paham bahwa ini harta yang halal. Namun, ingat sayangku, tidak semua yang halal itu thayyib. Kita perlu harta yang halalan thayyiban. Allah sudah memberikan kita semua kenikmatan dunia yang kita inginkan. Bahkan lebih daripada yang kita inginkan. Kita pernah punya mobil di Amerika dan Inggris. Kita pernah merasakan tinggal di luar negeri sembilan tahun lamanya. Kita menangguk gelar akademis kita luar negeri. Anak-anak kita berbicara minimal dua bahasa dan berkewarganegaraan ganda. Mereka juga menempuh pendidikan dasarnya di luar negeri. Apakah ini bukan bagian dari kekayaan dan kenikmatan? Kitapun selama ini telah dikaruniai kesehatan, kebugaran fisik, dan kecerdasan dalam berfikir. Kita jarang sakit ketika orang lain sakit. Kita juga diberkahi Allah kesuburan ketika banyak pasangan belum juga diberkahi anak setelah bertahun-tahun menikah. Apakah ini bukan kenikmatan? Bukankah kenikmatan tidak selamanya harus berbentuk mobil? Fabiayyi alaa i Rabbikuma tukadzibaan…maka nikmat Allah manakah yang telah kita dustakan? “ ujarku seraya mengutip penggalan surat Ar-rahman.
Sweetheart, masih banyak orang yang lebih layak menerima hadiah itu daripada kita. Ibu Rika, Pak Jaka dan Pak Rifai, jauh lebih berhak menerimanya. Mereka sangat tawadhu dan zuhud untuk ukuran dosen yang bekerja di kampus favorit ini. Ibu Rika dan Pak Jaka belum memiliki ataupun belum mau memiliki mobil. Kendati sebenarnya mereka sangat membutuhkannya. Tidak sempurna iman kita sebelum kita mencintai diri kita lebih daripada kita mencintai diri kita sendiri…Laa yu’minuu ahadukum hatta yuhibbu li akhihi maa yuhibba linafsih…
Miranti hanya bisa menangis. Karena ia pun paham betul makna surat Ar-rahman dan hadits tersebut. Sementara itu anak-anakku kabur entah kemana. “Lalu bagaimana dengan hadiah umrah-nya Ayah? Apakah Ayah tolak juga?” Tanya Miranti tergagap. “Sayangku, bukankah kita sudah pernah pergi haji ketika kita di Belanda. Bukankah kewajiban haji hanyalah sekali seumur hidup?” tuturku tenang. Alhamdulillah, dengan mundurnya aku, maka Ibu Rika menjadi pemenang pertama, Pak Jaka kedua, dan Pak Rifai ketiga. Maka, insya Allah Ibu Rika akan mendapatkan Toyota Avanza dan Pak Jaka Daihatsu Ceria. Insya Allah juga mereka semua akan pergi umrah tahun ini. Setahuku, mereka bertiga belum pernah sekalipun menginjak tanah suci…
Miranti beranjak dari tempat duduknya. Hendak menuju kamar tidur. Tetap sambil menangis. “Tunggu dulu sayang !” ujarku setengah berteriak. “Aku belum selesai bicara.” “Sayangku, aku juga manusia biasa. Aku tidaklah sekelas ataupun belum mencapai derajat seperti Rasulullah, Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Aku bukan hamba Allah yang tegar menolak ghanimah. Bukan hamba Allah yang kuat untuk tidak mereguk kenikmatan dunia. Disamping itu aku juga sadar bahwa kamu dan anak-anak kita punya hak juga. Kalian adalah juga harta-ku….. Sampai sini aku mendadak terdiam.
Miranti tersentak. “Ayah bicara apa sih, langsung saja to the point!” Miranti tampak tidak sabar.
“Besok kita pergi ke showroom Toyota Avanza di Bogor. Pilih sendiri warna kesukaanmu. Aku sudah memutuskan untuk mengambil kredit ringan pemilikan mobil melalui fasilitas leasing di Bank Syariat. Cicilan perbulannya akan dipotong dari gajiku di kampus dan royalti dari penerbitan buku-bukuku selama ini. Aku lupa, ternyata selama ini ada tambahan cukup signifikan dalam buku tabunganku hasil dari penerbitan buku-bukuku.
Miranti terbelalak? Are you kidding, honey? Tanya Miranti gugup. “No, I’m damned serious, sweetheart ! “ tukasku cepat sambil tersenyum. Anak-anakku yang semula merajuk dan bersembunyi di balik sofa segera menghambur keluar begitu aku mengucapkan kata-kata ‘showroom Toyota.’ “Hore kita mau beli mobil ! Hore, ayah juga manusia !!!
Bangkok, 28 Desember 2006
P.S. : Teriring salam Iedul Adha untuk keluarga besar FHUI dan keluarga besar muslim Indonesia di Bangkok. Terima kasih atas kebersamaannya selama ini !
Leave a Reply