PELANGGARAN HUKUM HUMANITER DI GAZA
Heru Susetyo
Mahasiswa Program Doktor Human Rights and Peace Studies
Mahidol University, Thailand
Kekerasan demi kekerasan terus terjadi di Jalur Gaza. Hari Sabtu dan Ahad pekan pertama Maret 2008 ini tentara Israel kembali menuai darah melalui operasi militer berskala besar ke bagian utara wilayah Palestina tersebut. Sebanyak 67 orang Palestina tewas sementara 320 orang lagi cedera (Republika, 03/03/08).
Dr. Sami Abu Zuhri, Dosen Sejarah di Jamiah Islamiyah Ghaza menyebutkan kekerasan Israel terhadap bangsa Palestina di awal Maret 2008 ini adalah tragedi pembantaian Palestina paling berdarah sejak 1967, karena memakan jumlah korban paling banyak. Menurut Abu Zuhri, dari total korban meninggal akibat serangan Israel itu, dua puluh lima persennya adalah anak-anak dan kaum wanita (eramuslim, 02/03/08)).
Kejahatan perang dalam bentuk lain terjadi pada pertengahan Januari 2008. Selama lima hari Israel menyetop suplai listrik, bensin, dan bantuan kemanusiaan ke Gaza, suatu kekejian yang oleh Amnesty International (2008) disebut sebagai collective punishment (hukuman kolektif).
Akibat pemutusan ini, Gaza gelap gulita. Rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, hingga perumahan hanya mengandalkan lilin dan alat penerang seadanya. Padahal, di wilayah sesempit 360km2 ini tinggal 1.5 juta rakyat Palestina (1 juta diantaranya adalah pengungsi), dimana hampir 50% diantaranya adalah kaum perempuan dan 48% diantaranya adalah anak-anak berusia kurang dari 14 tahun.
Dan ini bukan pertama kalinya. Perseteruan antara Israel dengan Palestina, embargo ekonomi barat terhadap Palestina, dan konflik internal warga Palestina sendiri baik di jalar Gaza maupun di Tepi Barat Sungai Yordan (West Bank) telah mengorbankan sekian banyak anak-anak, perempuan non combatant (yang tak ikut berperang), para orang tua, dan orang sakit. Apa salah mereka sehingga harus dikorbankan? Bukankah ini termasuk pelanggaran hukum perang (hukum humaniter?)
Kekerasan terhadap Warga Sipil di Gaza
Kekerasan dan penderitaan warga sipil di Gaza, utamanya perempuan dan anak-anak telah berlangsung sama tuanya dengan penjajahan Israel di Palestina. Studi yang dilakukan oleh John Hopkins University (USA) dan Al Quds University (Jerusalem) untuk CARE International pada 2002 menyebutkan bahwa warga Palestina memiliki problem kesehatan dan kekurangan gizi yang tinggi. Tujuh belas setengah persen (17.5%) dari anak-anak usia 6 hingga 59 bulan menderita kekurangan gizi kronis (chronic malnutrition). Lima puluh tiga persen (53%) perempuan pada usia reproduktif dan 44% anak-anak didapati menderita anemia.
Kendati demikian, apa yang terjadi setahun terakhir ini sungguh luar biasa. Luar biasa karena dilakukan secara kolektif (collective punishment) oleh Israel bersama-sama quartet of Middle East (PBB, Uni Eropa, AS, dan Federasi Rusia) pasca kemenangan HAMAS pada pemilu legislatif 2006 yang menghantarkan pemimpin HAMAS, Ismail Haniya, sebagai PM Otoritas Palestina.
Kuartet Timur Tengah dan Israel menolak mengakui kepemimpinan HAMAS, kendati terpilih dalam pemilu yang demokratis. Dasar utama penolakan ini, menurut mereka, adalah karena HAMAS menolak mengakui Israel, menolak mengakui perjanjian dengan Israel yang dilakukan sebelumnya yang mengatasnamakan otoritas Palestina, dan menolak menghentikan kekerasan.
Akibat penolakan ini, maka kuartet Timur Tengah dan Israel menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap pemerintahan HAMAS dalam bentuk menahan pendapatan pajak (tax revenues) rakyat di dalam Otoritas Palestina, menghentikan bantuan internasional dari kuartet tersebut kepada Otoritas Palestina, Israel membatasi pergerakan barang masuk dan keluar teritori Palestina dan pembatasan oleh perbankan US terhadap otoritas Palestina
Ketika pemerintahan koalisi HAMAS dan FATAH pecah pada Juni 2007 yang berujung HAMAS menjadi penguasa de facto Jalur Gaza dan FATAH menguasai Tepi Barat, maka , sanksi ekonomi yang dijatuhkan kepada Jalur Gaza semakin ketat. Sebaliknya, sanksi ekonomi terhadap Tepi Barat yang secara de facto dan de jure dikuasai FATAH diperingan.
Kendati sanksi ekonomi ini ditujukan kepada HAMAS, pada kenyataannya berdampak luas pada warga sipil, utamanya perempuan dan anak-anak. Dampak yang paling jelas adalah terjadinya darurat kesehatan. Malcolm Smart dari Amnesty International (2008) menyebutkan bahwa lebih dari 40 pasien telah tewas sejak otoritas Israel menutup perbatasan dengan Gaza pada Juni 2007. Situasi diperburuk oleh Mesir yang juga turut menutup pintu perbatasannya dengan Gaza di daerah Rafah. Akibat penutupan ini, warga Gaza terkunci di negerinya. Tak dapat pergi kemana-mana. Akses pasien ke rumah sakit di luar Gaza menjadi tertutup. Kesempatan bersekolah ataupun bekerja di luar Gaza menjadi hilang. Sementara itu Israel tetap leluasa mengontrol Gaza, karena perjanjian yang dilakukan sebelumnya memberikan hanya wilayah darat kepada otoritas nasional Palestina. Sebaliknya, wilayah udara dan laut Gaza tetap dikuasai Israel.
Penghentian pasokan listrik dan bahan bakar selama lima hari pada pertengahan Januari 2008 nyata-nyata telah mengancam kesehatan dan keselamatan seluruh penduduk Gaza. Tidak hanya rumah sakit yang menderita, warga-pun menderita kekurangan air bersih, karena listrik dan bahan bakar diperlukan untuk memompa air. Wargapun kesulitan menyimpan makanan, karena ketiadaan listrik membuat kulkas tak dapat dihidupkan. Bisa dipahami bila akhirnya warga membobol tembok perbatasan Gaza dengan Mesir hanya untuk membeli makanan dan barang keperluan sehari-hari (Yahoonews, 23/01/08).
Kekerasan dan sanksi ekonomi yang terjadi membuat warga Gaza kini hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka menggantungkan hidup hanya dari bantuan internasional. Yang itupun turut terjegal oleh blokade Israel.
Amnesty International (2008) berpendapat bahwa Israel memiliki hak untuk membela dirinya dari serangan roket maupun serangan bersenjata lainnya yang diluncurkan dari Gaza, namun adalah suatu kesalahan untuk juga turut mengorbankan orang-orang yang tak turut bertanggungjawab atas serangan roket tersebut, yaitu orang sakit, para orang tua, wanita yang tak ikut berperang, dan anak-anak.
Pelanggaran Hukum Humaniter
Tak diragukan lagi, apa yang dilakukan Israel, kuartet Timur Tengah, maupun faksi Palestina yang bertikai, dalam bentuk sanksi ekonomi maupun kekerasan terhadap warga sipil non combatants adalah suatu bentuk pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional.
Hukum humaniter atau hukum perikemanusiaan internasional adalah serangkaian kompilasi hukum dan aturan-aturan yang berusaha untuk mengurangi dampak dari sengketa bersenjata. Hukum humaniter internasional memberi perlindungan hukum terhadap orang-orang yang tidak ikut ataupun tidak lagi dapat berperang. Hukum humaniter juga mengatur sarana dan metode dalam berperang. Maka, hukum ini tidak melarang perang namun mengatur bahwa ketika perang tak dapat dicegah maka sedapatpun tetap harus memperhatikan perikemanusiaan, seperti halnya perlindungan terhadap warga sipil, tawanan perang, tentara yang terluka, dan batasan penggunaan senjata yang diperbolehkan dalam berperang (ICRC, 2008).
Hukum humaniter terdiri dari dari serangkaian perjanjian internasional yang diinisiasikan sejak lahirnya gerakan palang merah internasional (1863). Di antara sumber hukum humaniter terpenting adalah Konvensi Den Haag (1899 & 1907) dan Konvensi Geneva (1949 dan Protokol Tambahan 1977).
Terkait dengan perlindungan terhadap warga sipil, Konvensi Geneva ke III tahun 1949 mengatur perlindungan terhadap warga sipil yang tak ikut berperang (non combatants), termasuk para tentara yang terluka. Mereka wajib diperlakukan sesuai standar kemanusiaan tanpa memandang SARA. Dalam arti, pembunuhan, penyiksaan, penyanderaan, penghinaan, perendahan martabat (degrading treatment) dan penghukuman sama sekali dilarang dilakukan terhadap mereka.
Konvensi ini telah diratifikasi oleh negara-negara seluruh dunia, termasuk Israel, AS, Rusia, dan negara-negara Eropa Barat. Disamping itu, Pasal 38 Konvensi Hak Anak (Children Rights Convention) 1989 juga mengatur bahwa anak-anak adalah subyek dari hukum humaniter internasional (Konvensi Geneva III 1949) yang sekali-sekali tak dapat dikorbankan ataupun dijadikan sebagai kelompok bersenjata (combatants).
Maka, kekerasan yang dilakukan oleh Israel, ketika mengorbankan warga sipil di Gaza, adalah bentuk pelanggaran berat terhadap hukum humaniter, utamanya Konvensi Geneva 1949. Hukum humaniter tidak mempersoalkan apa penyebab perang. Karena perang memang seringkali tak dapat dicegah. Namun bahwa perang, kalaupun tetap terjadi, tak boleh sekali-sekali mengorbankan warga sipil di Gaza. Yaitu, perempuan, anak-anak, dan orang tua yang tak ikut berperang. Kuartet Timur Tengah (AS, Uni Eropa, Rusia dan PBB) juga turut bertanggungjawab dan melanggar hukum humaniter secara tidak langsung. Utamanya ketika mereka bersetuju atas sanksi ekonomi dan membiarkan terjadinya kekerasan Israel di bumi Gaza.
Wallahua`alam
Leave a Reply