BELAJAR HAM DARI BANGSA CHINA*
By : Heru Susetyo
Advokat Publik pada Pusat Advokasi Hukum dan HAM Indonesia (PAHAM)
Sesuai dengan hadits dhaif, tuntutlah ilmu sampai ke negeri China. Kesanalah akhirnya kami berlabuh untuk belajar Human Rights Education sejak Ahad 27 November 2005. Tepatnya di kota Kaohsiung, Taiwan. Kendati berjudul ‘Taiwan’, namun negara ini adalah juga negeri bangsa China. Karena sejak tahun 1949 China terpecah dua. Antara China daratan yang kemudian disebut RRC (Republik Rakyat China atau People Republic of China) dan China kepulauan yang kemudian memerdekakan diri dan menjadi Taiwan (nama formalnya adalah ‘ROC’ – Republic of China). Pangkal perpecahan adalah berkuasanya partai Komunis di daratan China sejak 1949, yang membuat dua juta warga nasionalis pimpinan Chiang Kai Sek gerah dan menyeberang ke pulau Formosa lalu mendirikan negara baru disana (kemudian dikenal sebagai Taiwan).
Tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya, ternyata bangsa China (terutama yang berada di Kaohsiung) sangat ‘civilized’ dan peduli dengan masalah-masalah kemanusiaan. Alias, tidak semata-mata hobby berdagang dan bisnis seperti yang menjadi ‘stereotipe’ etnis China (utamanya di Indonesia) selama ini.
Chinese di Taiwan (sebagian dari mereka lebih suka disebut sebagai Taiwanese, karena ‘Chinese’ lebih diasosiasikan dengan RRC), adalah sama seperti kelompok manusia lainnya di muka bumi. Mereka bekerja hampir di seluruh wilayah kehidupan. So, tidak semua semata-mata hidup untuk uang dan bisnis. Kami menjumpai banyak dari mereka yang juga senang menjadi guru, pekerja sosial, polisi, bahkan menjadi aktivis NGO yang otomatis minim pendapatannya.
Paling tidak itu bisa dilihat di Kaohsiung. Kaohsiung adalah kota terbesar kedua di Taiwan. Penduduknya sekitar 1.5 juta jiwa. Taiwan sendiri berpenduduk sekitar 23 juta jiwa. Kendati berstatus ‘second city’, namun Kaohsiung adalah kota pelabuhan nomor tiga terbesar di dunia. Sepanjang pesisir pantainya mudah ditemui aktivitas bongkar muat kontainer dari pelabuhan yang bekerja nyaris 24 jam. Hebatnya, pekatnya aktivitas bisnis tersebut tak lantas mengurangi keindahan dan kebersihan kota ini.
Kaohsiung adalah kota besar yang bersih ‘abis.’ Sukar menemukan sampah dan gunungan kotoran disini. Walau di pelabuhan dan pasar sekalipun. Semuanya ‘rightly in order’ dan ‘well organized.’ Sama seperti negara barat, penduduk disini sudah terbiasa mendaur ulang (recycle) sampah rumah tangga maupun sampah industrinya. “Taiwan is environmental friendly country,” ujar Andy Lee pemandu training kami, dengan bangga.
Kaohsiung Kota Hak Asasi Manusia
Kaohsiung menahbiskan dirinya menjadi ‘kota HAM’ (human rights city) sejak akhir tahun 2002. Inisiatif ini datang langsung dari kantor walikota, setelah sebelumnya mendapat pencerahan dari PDHRE (People Decade for Human Rights Education – NGO Amerika yang bergerak di bidang human rights education). Konsekuensinya, Kaohsiung membaktikan dirinya kepada HAM dan mendasarkan seluruh aktivitas kotanya kepada HAM.
Istilah kota HAM (human rights cities) memang pertama kali diperkenalkan oleh PDHRE yang bermarkas di New York, USA, sejak tahun 90-an. Sampai kini, ada sekitar 12 kota HAM yang telah berdiri, terserak mulai dari Canada, Argentina, Phillipina, India, Ghana, Mali, Afrika Selatan, sampai Austria.
Kendati inisiatifnya datang dari pemerintah kota , tak pelak banyak NGO lokal yang bergerak di bidang HAM yang mendukung ide cerdas ini. Apalagi, sebelumnya telah banyak NGO lokal bergerak di bidang HAM di negeri ini. Sebutlah Amnesty International, Taiwan Association for Human Rights, Taiwan Foundation for Democracy, dan lain-lain.
Ikhtiar menjadikan Kaohsiung sebagai kota HAM ini semakin mengkristal pada 9 Desember 2003. Saat itu, berdirilah Kaohsiung Human Rights City Association (KHRCA), yang bertugas memonitor dan mengembangkan Kaohsiung sebagai kota HAM.
Uniknya, aktivis HAM di negeri ini datang dari berbagai kalangan. Bila di Indonesia kebanyakan aktivis HAM adalah mahasiswa, pemuda, akademisi, ataupun aktivis gerakan buruh, di Kaohsiung lebih bervariasi. Kami menjumpai seorang polisi yang bertugas di Kaohsiung County, bernama Jerry Chen, yang sekaligus adalah seorang human rights educator. Di waktu-waktu senggangnya sering ia manfaatkan untuk memberikan training kepada siswa sekolah maupun warga kota tentang apa itu HAM. Hebatnya, Jerry memilih tidak memiliki pistol, kendati ia berhak memilikinya. “Memiliki pistol membuat kami cenderung pada kekerasan,” ujarnya santai.
Banyak juga dari kalangan aktivis HAM ini yang berasal dari profesi guru. Ada guru TK, guru SD, SMP dan SMA. Doktor Su Ing Wang misalnya, pimpinan NGO NAFIA (NGO Association for International Affairs) adalah guru TK yang mendapatkan pendidikan early childhood education –nya di Boston. Kate Kuo, pimpinan KHRCA adalah pensiunan guru. Belum lagi beratus-ratus aktivis yang berasal dari Kaohsiung Teacher Association, Youth Knowledge Network, Taipei Elementary School, dan lain-lain.
Ibu rumah tangga dan warga pensiunan juga adalah bagian dari aktivis HAM di negeri ini. Seorang warga tua (senior citizen) bernama Ching Fu misalnya, ia telah berusia enam puluh tahun dan sudah pensiun dari pekerjaannya. Lazimnya di Indonesia pada umur demikian orang lebih banyak tinggal di rumah. Sebaliknya dengan Ching Fu, ia mendirikan sebuah NGO di bidang pendidikan. Mengikuti training HAM dan selalu aktif dalam bertanya dan menjelaskan segala hal tentang Taiwan pada rekan-rekan non Taiwan.
Budaya Bersih, Aman, dan Peduli Lingkungan
Hampir sama dengan kebanyakan negara-negara maju (developed countries), Taiwan memiliki budaya bersih yang mengagumkan. Mereka menyebutnya enviromental friendly country. Hampir di semua tempat publik tersedia tempat sampah yang dibedakan atas sampah kering, basah, dan daur ulang (recycling garbage). Anak-anak sejak dini telah diajar bagaimana cara membuang sampah yang tepat. Hebatnya, petugas kesehatan nyaris tak kelihatan berkeliaran di tempat-tempat publik namun kotanya tetap bersih.
Kemudian, negeri ini juga memiliki budaya aman dan selamat yang baik (public safety). Hampir di semua tempat publik tersedia akses yang cukup terhadap hidran, kalau-kalau terjadi kebakaran. Di dalam gedung tersedia tabung pemadam kebakaran. Di setiap lift tersedia petunjuk yang jelas kalau-kalau terjadi gempa dan kebakaran. Bahkan di dalam perahu turis yang melaju di sepanjang Love River di pusat kota Kaohsiung, juga tersedia minimal satu pelampung untuk setiap penumpang, dimana sebelum berlayar, sang petugas memperagakan teknik mengenakan pelampung kepada penumpang. Persis seperti pramugari di pesawat terbang. Padahal ini hanya perjalanan 20 menit di sungai yang dangkal pula!
Budaya Menjunjung Tinggi HAM
Perlindungan HAM yang paling nyata adalah pada kelompok cacat (differently abled) pengguna motor, serta perlindungan terhadap penduduk asli (aboriginal people). Penduduk yang cacat memiliki akses yang sama terhadap fasilitas publik seperti halnya mereka yang normal. Hampir semua tempat publik memiliki tempat parkir khusus, lift khusus, WC khusus, bahkan komputer khusus bagi orang cacat. Di airport, tersedia counter informasi khusus untuk orang cacat dimana mereka dapat membaca dan menerima pesan dalam bahasa yang mereka pahami.
Sama halnya dengan pengguna motor. Apabila di Indonesia pengguna motor dapat dikatakan sebagai ‘warga negara kelas dua.’ Yang sulit menemukan tempat parkir, kalaupun ada harus memutar ke belakang ataupun berada di tempat yang paling bawah di suatu gedung, maka di Taiwan hal seperti itu tak terlihat. Pengguna motor dapat memarkir motornya dimana saja. Di depan toko, gedung, di emperan, bahkan di muka kantor-kantor pemerintah. Tampaknya motor memang salah satu moda transportasi favorit di Taiwan. Tidak mereka yang muda saja, orang dewasa dan penduduk tua-pun menggemarinya. Bedanya, motor disini hampir semuanya seragam. Kalau tidak bermerk Kymco ya Yamaha. Dan semuanya motor otomatis yang tak memerlukan kopling dan perseneling. Maka, benar-benar user friendly.
Taiwan adalah juga tempat bagi dua belas penduduk asli (lazim disebut aboriginal people/ tribes). Mereka adalah penghuni asli pulau Formosa sebelum bangsa China dari China daratan datang ke pulau ini pada abad ke 16. Kini, kebanyakan mereka tinggal di pegunungan di Taiwan bagian tengah dan selatan. Kendati hampir semuanya dapat berbicara Mandarin, namun mereka tetap mempertahankan bahasa dan kultur asli. Data antropologi menunjukkan bahwa suku asli Taiwan ini justru lebih memiliki kedekatan genealogis dengan ras proto-Malaya dari rumpun Austronesia daripada etnis China.
Tak heran, ketika kami bertemu dengan Ibu (‘Ibu’ adalah nama orang) dan Ijebaw, keduanya adalah wanita yang berasal dari suku asli Taiwan, kami seperti melihat orang Indonesia atau orang Philipina. Wajah mereka mirip orang Philipina atau Thailand, mata tak terlalu sipit dan warna kulit sawo matang mirip orang Indonesia. Uniknya, ketika berdialog, kami mencatat paling tidak ada beberapa kata yang mirip dengan bahasa Indonesia. Misalnya kata ‘Ibu’ dalam bahasa asli Aborigin adalah sama artinya dengan ‘Ibu’ dalam bahasa Indonesia. Kata ‘lima’ sama dengan ‘lima’ dalam bahasa Indonesia. Uniknya mereka menyebut angka tujuh sebagai ‘pitu’ yang sama artinya dengan tujuh dalam bahasa Jawa.
Ibu berasal dari etnis Bunun, sedangkan Ijebaw dari etnis Taiwan. Keduanya bekerja sebagai pedagang yang memasarkan hasil kerajinan tangan etnis asli Taiwan ke pusat-pusat keramaian. Selain sebagai pedagang, Ijebaw ternyata adalah juga seorang aktivis pada Kaohsiung County Indigenous Women Growth Association. Yang peduli pada pengembangan dan perlindungan wanita etnis asli Taiwan.
Secara kultur, etnis asli Taiwan ini agak berbeda dengan etnis China. Mereka tak begitu gemar menari ataupun minum anggur. “Saya tak pernah menari di kampung saya,” ujar Ibu. Kendati demikian, perlakuan yang baik dari pemerintah terhadap warga minoritas ini membuat mereka merasa ‘feel at home’ dan tak merasa dibedakan dibandingkan dengan warga pendatang yang mayoritas dari etnis China.
Wajah Islam di Kaohsiung
Kalau ada yang kurang dari Kaohsiung, barangkali adalah jumlah penduduk muslimnya.
Kendati nilai-nilai Islam seperti kebersihan, kedisiplinan, dan keamanan begitu terlihat nyata dalam keseharian warga Kaohsiung, namun dari sisi kuantitas dan fisik wajah Islam nyaris tak terlihat di kota ini. Banyak yang tak tahu Islam sama sekali. “Saya tak pernah punya teman orang Islam di Taiwan,” ujar Sandy Wu, peserta training yang juga adalah guru SD di Kaohsiung.
Sebaliknya, gairah belajar Kristiani begitu membara di negeri ini. Gereja mudah ditemukan. Banyak penduduk, utamanya kaum muda mengenakan kalung salib. Produk-produk pelengkap Natal seperti kartu, pohon cemara, boneka St. Claus dijual bebas di pasar malam. Ini karena, misionaris Kristiani memang proaktif menyebarkan agamanya di negeri ini.
Sebaliknya, di Kaohsiung dan Tainan (kota yang berdekatan dengan Kaohsiung) hanya ada satu masjid dan dua bangunan apartemen yang dijadikan masjid. Total di Taiwan ada sekitar enam masjid. Terbanyak ada di Taipei dengan tiga masjid. Pada tahun 1999 penduduk muslim berjumlah 53.000 jiwa. Padahal akar dari warga muslim di Taiwan dapat dirunut ke belakang sejak abad ke 17. Ketika itu migran pertama dari China daratan termasuk diantaranya sejumlah migran muslim. Bahkan, pada hijrah kaum nasionalis dari China daratan pada tahun 1949, turut diantaranya sekitar 20.000 warga muslim yang sebagian besar adalah tentara, pegawai negeri, dan pekerja catering.
Warga Indonesia di Taiwan
Salah satu kelompok warga muslim terbesar di Taiwan tak pelak lagi adalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Pada bulan Juni tahun 2000 tercatat 52.000 orang Indonesia bekerja sebagai TKI di Taiwan. Sebagian besar bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT) di Taipei dan Kaohsiung. Dalam perjalanan pergi dan pulang dari Taiwan kami menjumpai beberapa TKW yang pergi dan pulang ke dan dari Indonesia. Bahkan sejak mengurus visa di perwakilan Taiwan di Jakarta-pun permohonan visa TKI untuk Taiwan banyak sekali.
Memang, bekerja di Taiwan cukup menggiurkan. Sukamti, salah seorang TKW asal Solo yang kami jumpai di pesawat, menuturkan bahwa ia cukup betah bekerja di Taiwan. Ia telah tiga tahun bekerja sebagai PRT di Kaohsiung dan belum terpikir untuk berhenti bekerja. Berganti majikan mungkin tapi tidak berhenti bekerja di Taiwan. Dua rekannya sama nasibnya. “Saya disini bekerja sebagai Pembantu Mas. Ya enak gak enak sih. Kalau ketemu majikan yang baik ya alhamdulillah. Saya punya anak di Indramayu yang harus saya biayai. Makanya saya harus bekerja disini,” ujar Wiwin (sebut saja begitu).
Belajar dari Taiwan
Hikmah adalah harta benda kaum muslimin, dimanapun ia berada kita wajib mendapatkannya. Demikianlah yang kami dapatkan selama sembilan hari di Taiwan. Nilai-nilai Islam, utamanya tentang kebersihan, keamanan, keselamatan publik, anti diskriminasi, keadilan, dan kesetaraan terasa betul disini. Kendati warganya mayoritas non muslim dan fisik Islam tak kentara betul disini, namun tak pelak kehidupan keseharian mereka cukup mencerminkan sebagian dari nilai Islam. Nilai utama yang kami dapatkan adalah bagaimana mereka menghargai Hak Asasi Manusia. Menghargai kaum Ibu, anak-anak, orang cacat, pengendara motor, dan kelompok rentan lainnya. Menghargai kerja keras dan belajar keras. Anak sekolah disini belajar hampir dua belas jam sehari. Pekerja disini bekerja nyaris dua belas jam dalam sehari. Waktu begitu dihargai. Sesuatu yang juga merupakan bagian dari Islam. Maka, di luar segala kekurangan mereka, barangkali kita bisa mulai menggeser kiblat belajar HAM kita, tak lagi ke Amerika Serikat ataupun Eropa Barat, namun juga ke Jepang, Korea, dan (tentunya) Taiwan. Sesuai dengan hadits dhaif, tuntutlah ilmu sampai ke negeri China…
Wallahua’lam
*telah dimuat di majalah UMMI tahun 2006
Leave a Reply