Hukuman Mati Terpidana Narkoba |
![]() |
Oleh : Heru Susetyo Akhirnya saat tersebut tiba juga. Setelah dua tahun terakhir dunia hukum Indonesia disibukkan dengan pertanyaan apakah hukuman mati masih dapat terjadi di Indonesia di tengah gencarnya penegakkan HAM, Ayodya Prasad Chaubey (66) terpidana mati kasus narkoba, dieksekusi oleh aparat Brimob pada dinihari Kamis, 5 Agustus 2004 (Republika, 6 Agustus 2004). Sebelumnya, dalam jumpa pers di Puskominfo-Lembaga Informasi Nasional Senin (24 Mei 2004), Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional Togar M Sianipar mengatakan bahwa pemerintah hendaknya membuktikan keseriusan dalam memberantas narkoba dengan mengeksekusi satu terpidana mati pada 26 Juni 2004. Kenyataannya, eksekusi tersebut baru terjadi lima pekan kemudian, dengan Ayodya Prasad selaku ‘pemecah telur’-nya. Ayodya ditangkap pada 21 Februari 1994 atas tuduhan menyelundupkan 12,29 kilogram heroin di Medan. Ia tertangkap bersama-sama dua warga negara Thailand, masing-masing Sealow Preaseant (62) dan Namsong Sirilak (32). Kini keduanya juga sedang menanti saat-saat eksekusi (death row) karena grasi mereka berdua juga telah ditolak presiden. Eksekusi Ayodya nyaris luput dari perhatian publik. Apalagi waktu pelaksanaannya mundur lima pekan dan dilakukan dengan amat sangat rahasia di tengah kegelapan malam. Tujuh permintaan Ayodya sebelum eksekusi, nyaris semua dipenuhi, kecuali menghadirkan keluarganya pada saat eksekusi. Kehati-hatian aparat dalam pelaksanaan eksekusi ini sedikit bisa dipahami. Dalam kurun waktu hampir 10 tahun terakhir, baru dua terpidana kasus narkoba yang dieksekusi hukuman mati (termasuk Ayodya). Selebihnya masih ada 30 terpidana yang belum dieksekusi. Bahkan ada seorang terpidana yang mengajukan dua kali permohonan peninjauan kembali (PK), melebihi ketentuan PK yang seharusnya, yang akhirnya tidak jadi dieksekusi. Saat ini, ada empat terpidana mati narkoba WNA yang telah ditolak grasinya dan tiga lagi yang tengah mengajukan Peninjauan Kembali (PK), termasuk dua wanita muda asal Jawa Barat, yaitu Meirika Franola dan Rani Andriani. Di luar terpidana mati narkoba, ada puluhan lagi terpidana mati akibat kasus pembunuhan dan kekerasan seksual yang tengah menanti eksekusi, tengah mengajukan PK, ataupun memohon grasi kepada presiden. Kehati-hatian aparat juga boleh jadi karena iklim penegakkan hukum Indonesia saat ini amat lekat dengan semangat menegakkan HAM. Apalagi setelah diintrodusirnya Tap MPR No 17 tahun 1998 dan UU No 39 tahun 1999 yang sama-sama bicara tentang HAM. Di sisi lain, undang-undang tentang narkotika dan psikotropika tahun 1997 memang memungkinkan jatuhnya pidana mati bagi para pelanggarnya. Dalam kenyataan sosial pun, banyak pihak di Indonesia yang bersepakat dengan hukuman mati karena amarah yang memuncak terhadap dampak keji narkoba yang menghancurkan masa depan anak-anak bangsa. Masalahnya adalah, haruskah para terpidana mati kasus narkoba betul-betul dieksekusi? Bagaimanakah hukum HAM internasional mengatur masalah ini? Perspektif hukum internasional Amnesty International (2003) menyebutkan bahwa sampai saat ini ada 111 negara yang telah menghapuskan hukuman mati (death penalty). Dari jumlah tersebut, 76 negara menghapus hukuman mati secara total, 15 negara memberlakukannya secara sangat spesifik, yaitu hanya untuk kejahatan di waktu perang (war time), dan 20 negara masih mempertahankannya dalam hukum nasionalnya namun tak pernah lagi melaksanakannya dalam praktik. Uniknya, tak ada satu pun negara Eropa yang masih memberlakukan hukuman mati kecuali Armenia, Turki (hanya untuk kejahatan di waktu perang/war time), dan Rusia (data Amnesty dan UNHCR, 2003). Kendati demikian, pemberlakuan hukuman mati tidak otomatis berdampak pada tingginya angka eksekusi. Amnesty (2003) mencatat bahwa para terpidana yang akhirnya benar-benar dieksekusi mati tidak sebanyak angka penjatuhan hukuman matinya. Pada tahun 2001, 3.048 terpidana telah dieksekusi di 31 negara. Sementara itu 5.265 dijatuhi hukuman mati di 69 negara. Sembilan puluh persen dari eksekusi mati yang terjadi di tahun 2001 berlangsung hanya di empat negara yaitu Cina (2.468), Iran (139), Arab Saudi (79), dan Amerika Serikat (66). Amerika Serikat adalah fenomena menarik. Dari 84 negara yang masih memberlakukan hukuman mati, hanya Amerika bersama Jepang, Korea Selatan, dan Singapura yang tergolong negara ‘maju’, di samping beberapa negara petrodolar di Timur Tengah. Karena, selebihnya adalah negara-negara ‘dunia ketiga.’ Sejak 1977, saat hukuman mati dihidupkan kembali di AS, tak kurang dari 820 jiwa telah dieksekusi. Pada 2002, 71 jiwa telah dieksekusi. Kemudian, per 1 Januari 2002, 3.700 jiwa telah dijatuhi hukuman mati (belum dieksekusi). Hukuman mati masih berlaku di 38 negara bagian di AS. Instrumen penghapus hukuman mati Dari empat instrumen di atas, hanya instrumen pertama yang bersifat internasional, sedangkan ketiga instrumen berikutnya bersifat regional. Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights (SOP) yang memiliki kekuatan secara hukum (entry into force) sejak 11 Juli 1991 hingga kini telah diratifikasi oleh 49 negara dan ditandatangani oleh 7 negara lainnya. Protokol ini mewajibkan bagi negara-negara yang telah meratifikasinya (state parties) untuk menghapuskan eksekusi dan hukuman mati dalam legislasi maupun dalam praktiknya. Second Optional Protocol mendalilkan perlunya hukuman mati dihapus, dengan merujuk pada pasal 3 Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights) yang berbunyi: “Setiap orang memiliki hak untuk hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas keamanan (life, liberty, and security of person), juga pada pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights ICCPR) yang berbunyi: “Setiap orang mempunyai hak yang tak terpisahkan dan dilindungi oleh hukum, yaitu hak untuk hidup. Tak seorang pun boleh diambil nyawanya secara semena-mena. Deklarasi Universal HAM (HAM) memang bukanlah dokumen hukum yang mengikat (legally binding). Namun demikian, ia merupakan pedoman standar penyelenggaraan hak asasi manusia bagi warga dunia. Akan halnya ICCPR dan SOP adalah dua instrumen hukum yang mengikat bagi para pihak yang telah meratifikasinya (state parties). Sampai saat ini, sudah 144 negara yang meratifikasi ICCPR dan 60 negara telah menandatanganinya (signatory). Sedangkan untuk SOP, baru 49 negara yang meratifikasinya dan 7 negara yang menandatanganinya. Protocol to the American Convention on Human Rights to Abolish the Death Penalty sampai saat ini baru diratifikasi oleh 8 negara di benua Amerika, dan ditandatangani oleh 1 negara (Cile). Amerika Serikat sendiri belum menjadi pihak baik dalam American Convention on Human Rights maupun dalam protokolnya yang menghapus hukuman mati ini. Sementara itu, protocol No 6 to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms tahun 1982 dan protocol No 13 to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms tahun 2003, keduanya sama-sama menghapuskan hukuman mati. Perbedaannya, protocol No 6 masih membolehkan hukuman mati secara sangat terbatas yaitu untuk pelaku kejahatan di waktu perang (war time), sedangkan protocol No 13 menghapuskan hukuman mati secara total. Hampir semua negara Eropa meratifikasi protocol No 6 tahun 1982 kecuali Rusia, Armenia, dan Turki yang telah menandatangani (signatory) namun belum meratifikasinya. Sedangkan, protocol No 13 tahun 2002 telah diratifikasi 5 negara dan ditandatangani 34 negara. Indonesia dan hukum HAM internasional Kemudian, Indonesia sampai saat ini belum merupakan pihak (party) pada Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik 1966 (ICCPR) maupun Second Optional Protocol ICCPR 1989 yang menghapuskan hukuman mati. Karena sampai saat Ini Indonesia belum menandatangani maupun meratifikasi kedua instrumen tersebut. Dengan demikian, Indonesia belum terikat secara hukum internasional untuk menghapus hukuman mati sesuai mandat kedua instrumen tersebut. Kendati demikian, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) pada 28 Oktober 1998. Tunduknya Indonesia pada Konvensi ini mewajibkan Indonesia untuk mengambil semua langkah baik di bidang administratif, legislatif, dan yudikatif untuk mencegah terjadinya penyiksaan di dalam wilayah Indonesia (sesuai pasal 1 konvensi ini). Juga untuk menyelenggarakan due process of law dalam penyelenggaraan sistem peradilan pidana. Dalam arti menciptakan peradilan yang fair, independen, imparsial, dan berkomitmen pada perlindungan hak-hak korban maupun tersangka sejak proses penangkapan hingga penahanan (Pasal 9- 6 Konvensi Anti Penyiksaan). Penutup Kejahatan narkoba sudah terbukti termasuk kejahatan berat terhadap umat manusia utamanya bagi bangsa Indonesia. Banyak pihak bersepakat dengan hukuman mati bagi para pelakunya. Pasalnya adalah, sejauh mana pertimbangan kesalahan penerapan hukum/pemidanaan dalam peradilan dipertimbangkan? Apalagi citra pengadilan sebagai adil, jujur, bersih, independen, dan imparsial, masih jauh panggang dari api? Kemudian, sejauh mana perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) turut dipertimbangkan dalam eksekusi terpidana mati kasus narkoba tersebut (apabila jadi)? Memang, pelaku kejahatan narkoba telah melanggar bahkan merusak HAM orang lain, utamanya para korban-korban mereka. Mungkin seorang Ayodya ataupun calon-calon tereksekusi mati terpidana narkoba lainnya adalah penjahat HAM kelas wahid. Namun, bukankah mereka (para pelaku) adalah juga ‘korban’ dari kekerasan struktur yang lain? Alumnus Program Master of International Human Rights Law Northwestern University, Chicago |
Leave a Reply