JILBAB SHABINA VS HAK-HAK DASAR*
Heru Susetyo
Staf Pengajar Fakultas Hukum UI
dan Ketua Dewan Pengurus Pusat Advokasi Hukum dan HAM Indonesia (PAHAM)
Gadis Shabina, muslimah Inggris berusia enam belas tahun, dilarang mengenakan jilbab disekolahnya di Luton Inggris sejak September 2002. (REPUBLIKA, 13 Februari 2005). Ia berjuang di semua lini hukum untuk melegalkan hak berjilbab-nya dengan dalil bahwa mengenakan jilbab adalah bagian dari kemerdekaan beragama yang juga merupakan hak-hak dasar (basic human rights) yang dijamin oleh hukum negara Inggris.
Sebelumnya, pada awal tahun 2004 pemerintah Perancis juga melansir suatu regulasi yang membatasi penggunaan simbol-simbol agama di sekolah negeri di Perancis. Walhasil, muslimah berjilbab, pelajar pengguna salib, hingga pelajar Yahudi Perancis tak lagi dapat mengekspresikan bagian dari kepercayaan agamanya. Kebijakan itu menuai kecaman dunia internasional, utamanya umat muslim.
Dalil pemerintah Perancis adalah hal tersebut dilakukan untuk memelihara sekularisme Perancis. Padahal, hampir semua orang tahu bahwa negara Perancis ditegakkan di atas tiga semboyan dasar revolusi Perancis, yaituliberte (kebebasan), egallite (persamaan), dan fraternite (persaudaraan). Ketika warga tak bebas mengekspresikan agamanya, kebebasan seperti apa yang dimaksud Perancis?
Terakhir, kontroversi sayembara dan karikatur Nabi Muhammad SAW yang digelar oleh harian Jylland-Posten di Denmark lagi-lagi berlindung di balik asas kebebasan pers, kebebasan berekspresi, dan kemerdekaan berfikir, yang lagi-lagi mengatasnamakan hak-hak dasar.
Apa yang disebut hak-hak dasar? Mengapa hak-hak ini ini sedemikian digdaya dan menjadi justifikasi bagi tindakan sementara pihak ? Bagaimanakah penerapan hak-hak dasar dalam kasus Jilbab Shabina di Inggris?
Batasan Hak-Hak Dasar
Batasan hak-hak apa saja yang disebut sebagai hak dasar tak terumus secara jelas dalam hukum internasional. Namun, istilah lain yang sering digunakan untuk meyebut hak-hak dasar adalah ‘kebebasan dasar’ (basic freedom) ataupun ‘inalienable rights’ (hak yang bersifat absolut, berasal dari Tuhan, tak dapat dilanggar manusia dalam keadaan apapun)
Misalnya Amerika Serikat (AS), Hak-Hak Dasar di AS termaktub antara lain dari US Declaration of Independence yang ditubuhkan pada 4 Juli 1776, dimana pada paragraf 2 –nya menyatakan sebagai berikut : We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable Rights, that among these are Life, Liberty and the pursuit of Happiness. Maka, hak-hak yang tak dapat diganggu gugat menurut deklarasi ini antara lain adalah hak hidup, hak atas kebebasan, dah hak untuk mendapatkan kebahagiaan.
Kemudian, dalam amandemen pertama dari konstitusi AS tahun 1791, secara khusus menyoroti tentang kemerdekaan beragama, kebebasan pers, dan kebebasan berekspresi dengan menyatakan : “Congress shall make no law respecting an establishment of religion, or prohibiting the free exercise thereof; or abridging the freedom of speech, or of the press; or the right of the people peaceably to assemble, and to petition the Government for a redressof grievances.”
Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) yang diproduksi PBB pada tahun 1966 dan telah diratifikasi pemerintah RI pada tahun 2005, pada pasal 4 menegaskan bahwa sejumlah hak-hak dapat dikurangi penikmatannya pada saat negara ataupun masyarakat dalam keadaan bahaya ataupun darurat, terkecuali untuk hak-hak hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan (torture), bebas dari perbudakan (slavery), bebas dari penghukuman atas dasar hukum yang berlaku surut (retroaktif), hak untuk diakui sebagai manusia dimanapun di mata hukum, dan hak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan, dan beragama (freedom of thought, conscience, and religion).
Sementara itu, di Indonesia padal tentang kebebasan dasar diatur oleh pasal 28 (i) UUD 45 jo pasal 4 UU No. 39 tahun 1999 yang menegaskan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Kemudian, pada pasal 2 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM ditegaskan bahwa : Negara RI mengakui dan menjunjung tinggi HAM dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi,dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Penerapan Hak-Hak Dasar pada Kasus Jilbab Shabina
Apabila mengacu pada International Covenant on Civil and Political Rights(ICCPR) sudah sangat jelas bahwa ada hak-hak tertentu yang tak dapat dikurangi penikmatannya dalam situasi apapun (inalienable rights). Termasuk dalam hal ini adalah kebebasan berfikir, berkeyakinan, dan beragama (freedom of thought, conscience, and religion).
Dalam perundang-undangan Inggris, utamanya pasal 9 ayat (1) Human Rights Act 1998 disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama, termasuk kebebasan untuk mengganti agama atau kepercayaannya, dan untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan peribadatan dan pembelajaran.
Namun, pada pasal 9 ayat (2) nya disebutkan juga bahwa kebebasan untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dapat dibatasi sebagaimana telah ditentukan dalam hukum dan apabila memang diperlukan dalam masyarakat yang demokratis, demi kepentingan publik, demi melindungi keteraturan publik, kesehatan, ataupun moral, ataupun dalam rangka melindungi hak-hak dan kebebasan orang lain. Pasal 9 ayat (1) dan (2) ini diadopsi langsung dariEuropean Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms tahun 1953 yang kurang lebih memuat ketentuan yang sama.
Apakah pasal 9 ayat (2) ini dijadikan dalil oleh pihak sekolah Denbigh di Luton untuk menolak gadis Shabina menggunakan jilbab di sekolahnya? Menurut hemat kami, alasan tersebut agak sumir. Karena, pada kenyataannya sekolah Shabina tersebut delapan puluh persen siswanya adalah muslim. Dan, mayoritas gurunya-pun muslim (REPUBLIKA, 13/02 -2005). Kemudian masalah yang lebih esensial adalah apakah dengan mengenakan jilbab, Shabina telah mencederai demokrasi, kepentingan public, keteraturan, moral dan mengganggu kebebasan dan hak-hak orang lain? Hak-hak orang lain dan demokrasi mana yang telah dilanggar oleh Shabina dengan keputusannya mengenakan jilbab?
Catatan Akhir
Sebagai negara demokratis yang melindungi hak-hak asasi manusia, sudah semestinya hak Shabina untuk mengenakan jilbab di sekolahnya dapat diakomodir oleh Pemerintah Inggris. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) telah menjamin bahwa hak atas kebebasan beragama adalah bagian dari hak-hak dan kebebasan dasar yang tak dapat dikurangi oleh siapapun dalam kondisi bagaimanapun (inalienable rights).
Pembatasan yang diberikan oleh pasal 9 ayat (2) Human Rights Act 1998yang diacu di negara Inggris adalah berpotensi menyimpangi hak-hak dasar yang termaktub dalam ICCPR. Dan, kalaupun pembatasan ini diterapkan, parameter-nya akan cenderung absurd dan biased. Kapan seseorang dianggap mengganggu demokrasi, ketentraman dan keteraturan publik tidak jelas batasannya. Maka, biarkanlah gadis Shabina mengenakan jilbab di sekolahnya. Bukankah jibabnya tidak sekali-sekali mengganggu hak-hak orang lain?
Wallahua’lam
* telah dimuat di Harian REPUBLIKA Maret 2006
Leave a Reply