KISAH COBRA DI LP ANAK PRIA TANGERANG
LP Anak Tangerang 22 Mei 2007
Namanya Cobra. Bukan nama asli memang. Nama aslinya adalah Dhani Ahmad. Cobra adalah nama julukan teman-temannya, sesama napi anak di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Anak Pria di Tangerang.
Tapi jangan bayangkan ia ganas ataupun berwibawa laksana ular Cobra ataupun gesit dan cepat seperti motor Yamaha RX King Cobra. Cobra yang satu ini justru amat mengundang iba.
Cobra adalah napi anak (istilah yang lebih manusiawi adalah ‘andipas’- Anak Didik Pemasyarakatan) yang memiliki cacat berlipat. Sejak lahir ia memiliki keterbelakangan mental. Belakangan, didapati pula ia sulit berbicara. Apalagi ia nyaris tidak memiliki gigi di bagian depan. Belum lama berselang iapun tertimpa penyakit katarak permanen, yang membuat kedua matanya nyaris tak bisa melihat lagi. “Kami menyebutnya multiple handicap,” ujar F. Haru Tamtomo, kepala Lapas Anak Pria Tangerang.
Derita Cobra yang berujung di LP Anak Pria Tangerang tak lahir dengan sendirinya. Cobra dilahirkan di Poso, Sulawesi Tengah. Ketika konflik berlatar etnis dan agama merobek Poso kedua orangtuanya tewas terbunuh. Jadilah ia hidup sebatang kara. Gencarnya arus pengungsian mengantar Cobra hingga ke Balikpapan. Di tanah yang baru dijamahnya ini ia mesti berjuang sendirian. Tak ada orang tua, tak ada sanak keluarga. Dan hidup semakin tidak mudah bagi Cobra karena iapun memiliki cacat ganda. Jadilah Cobra mencuri kesana kemari demi menyambung hidup. Sampai suatu waktu petualangannya berakhir di terali besi. Kondisi Cobra yang special membuatnya ditransfer ke LP Anak Pria Tangerang. Pada usia yang amat muda. Sekitar tiga belas tahun.
Di LP Anak Pria Tangerang Cobra hidup ‘relatif lebih baik’ daripada di luar penjara. Disini ia punya banyak teman. Bahkan ia dijadikan maskot oleh teman-temannya. Setiap ada kunjungan dari tamu-tamu LP ia selalu didaulat teman-temannya untuk menyanyi ataupun menerima hadiah. Relatif lebih baik? “Coba Bapak pikirkan, siapa yang memikirkan nasib Cobra sekarang, dia tak punya siapa-siapa. Kalaupun keluar penjara iapun tak tahu harus pergi kemana,” tambah Haru Tamtomo lagi.
Namun penjara tetaplah penjara. Dan Cobra tetaplah anak-anak. Kendati ia terkesan senang berada di LP Anak namun ia juga sering frustrasi. “Saya sering melihat dia shalat . Dia rajin sekali shalat. Namun di saat lain saya juga mendapat laporan bahwa ia sering membentur-benturkan kepalanya ke tembok. Sepertinya ia frustrasi. Ia ingin berbicara normal seperti teman-temannya yang lain namun tak dapat berbicara. Ingin melihat normal seperti teman-temannya yang lain namun tak dapat melihat normal karena katarak permanen,” papar Haru Tamtomo.
penyakit katarak Cobra bukannya belum pernah ditangani. “Kami sudah membawanya ke Jakarta Eye Center, tapi mereka mengatakan bahwa penyakit kataraknya sudah parah. Retinanya sudah rusak. Ada memang donor mata dari Sri Lanka, tapi baru siap enam tahun dari sekarang,” sambung Kalapas Bapak Haru Tamtomo.
Mendengar komplitnya kisah duka Cobra tak terasa mata saya mulai basah. Apalagi menyaksikan ia menyanyi lagu kebangsaan penjara guna menyambut kami, para mahasiswa. “Apa kabar hari ini?” luar biasa dahsyat, yes yes yes !!! ujar Cobra. Ia berteriak dan bernyanyi penuh semangat kendati tak jelas apa yang digumamkan.
LP Anak Tangerang, 19 April 2008
Setahun berselang saya kembali mengunjungi LP Anak Pria Tangerang. Memang ini sudah kegiatan rutin tahunan kami sebagai bagian dari perkuliahan Hukum Perlindungan Anak dan Viktimologi. Mengantar para mahasiswa supaya lebih akrab dengan dunia hukum dalam kenyataannya.
Saya kembali bertemu Pak Haru Tamtomo, Kalapas Tangerang yang sangat kebapakan dan ramah tersebut. Di tangannya LP Anak tak terkesan seperti LP. Kini bertaburan warna-warna cerah dan lukisan tembok anak-anak didik disana-sini. Lalu saya teringat Cobra yang saya temui tahun lalu. “Apa kabar Cobra, Pak?” tanya saya. “Wah Cobra sudah tidak disini Pak. Sudah kami pindahkan ke Panti Asuhan Tanmiyah di Bekasi. Memang masa hukumannya masih belum habis, tapi kalaupun disini kamipun tak banyak dapat menolong karena ia menderita cacat berlipat,” papar Pak Haru. “Tapi ia masih bisa melihat kan, pak, tahun lalu ia masih dapat melihat?” tanya saya lagi penasaran. “Cobra sekarang sudah tuna netra total Pak. Ia menderita katarak parah yang tak dapat disembuhkan. Operasi pun tak dapat menolong dia terkecuali ada donor mata,” jawab Pak Haru. Jawaban yang sama dengan tahun lalu.
Saya sedih tak menemukan Cobra. Saya semakin sedih menyadari bahwa kalaupun saya menemukannya saya pun tak banyak dapat menolongnya. Kecuali dengan doa tentunya. Namun ternyata saya salah. Setelah kembali menjumpai adik-adik Andipas (Anak Didik Pemasyarakatan) di aula LP Anak siang hari ini, ternyata saya menjumpai ‘Cobra” – “Cobra” baru yang tak kalah menyedihkan nasibnya.
Saya berjumpa dengan Ilham, seorang anak berusia 12 tahun yang berwajah sangat innocent. Berbadan kurus dan bertubuh pendek. Memang masih sangat anak-anak ia. “Mengapa Ilham sampai disini Pak?” iseng saya bertanya pada sipir LP di sebelah saya. “Oh dia terlibat pencurian motor bersama dua temannya,” jawab sang sipir. “Mencuri motor? How come Pak? Kan badannya kecil begitu?” tanya saya keheranan. “Kenyataannya bisa Pak. Dia tertangkap tangan oleh polisi di Tangerang. Ia sendiri berasal dari Lampung. Sampai sekarang tak ada satupun keluarganya yang mem-bezuknya. Pun sejak ia diperiksa di kepolisian. Tak jelas juga siapa ayah dan ibunya. Ilham sendiri bingung ketika ditanya siapa ayah dan ibunya,” tutur Pak Sipir. Tak terasa kedua mata saya mulai sembab menahan air mata.
Akhirnya air mata di pelupuk mata saya benar-benar jatuh ketika saya menangkap wajah “Cobra” yang lain. Sama seperti Ilham. Badannya kecil, berwajah innocent (bisa dibilang “culun”), berkaus warna oranye dan selalu menunduk. Namanya, sebut saja D. Saya duga ia terjebak pencurian motor juga. Karena penasaran akhirnya saya bertanya juga pada Pak Sipir. “Kalau dia kenapa sampai disini Pak, mencuri motor juga?” tanya saya hati-hati takut terdengar D. “Oh tidak Pak, dia mah kena pasal 289, korbannya anak umur sembilan tahun. Dia sendiri masih berusia sebelas tahun,” jawab Pak Sipir tenang.
Innalillahi wa ina ilaihi raajiiunn… Pasal 289 di KUHP adalah pasal perkosaan! Anak sekecil itu melakukan perkosaan?
Tiba-tiba saya menjadi begitu bersyukur karena masa kecil saya begitu indah, sekaligus bersedih bahwa mereka tak sempat mengecap keindahan masa kecil seperti saya, ataupun seperti anak-anak saya yang seusia mereka…fabiayyi alaa i Rabbikumaa tukadzzibaan…
Jakarta, 19 April 2008
– Heru Susetyo-
Subhanalloh, jadi merinding bacanya, meskipun tulisannya mgkn dibuat udh lama, tapi skrg pasti lebih banyak lagi anak2 senasib dgn Cobra, Ilham..dll….semoga mereka menemukan jalan terbaik….