MENANTI LAHIRNYA UU MANAJEMEN BENCANA*
Heru Susetyo
Staf Pengajar Fakultas Hukum UI
& Peneliti Manajemen Bencana
Musibah gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara 26 Desember 2004 silam adalah suatu momentum berharga bagi pemerintah dan bangsa Indonesia. Nyata betul bahwa negara ini begitu tidak berdaya menghadapi musibah tersebut.
Belum habis luka tsunami mendera bangsa, pada akhir 2005 dan awal 2006 tanah air ini kembali dilanda bencana banjir di Jember, Situbondo, Pantura, juga bencana tanah longsor di Kabupaten Bandung, Banjarnegara, Kebumen, dan lain-lain. Kesemuanya menelan korban jiwa yang tak sedikit. Belum lagi kerugian materil seperti rumah, bangunan , lahan dan tanaman produktif, hewan ternak, dan harta berharga lainnya.
Di sisi lain, kita melihat bahwa negara ini selama enam puluh tahun usianya terkesan begitu jumawa. Karena, sampai hari ini kita belum memiliki Undang-Undang (UU) ataupun kebijakan terpadu yang berkekuatan hukum untuk menangani bencana dan pengungsi (disaster management act). Dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2005 – 2009 pemerintah dan DPR cenderung lebih memprioritaskan pengundang-undangan RUU bidang ekonomi (sebanyak 28 RUU) dan bidang politik (sebanyak 14 RUU). Rancangan Undang-Undang tentang Manajemen/ Penanganan Bencana tidak diprioritaskan dan tidak disebutkan sama sekali. Barulah ketika bencana tsunami 2004 terjadi, desakan untuk lahirnya UU ini begitu mengemuka dan kini UU ini tengah dalam proses pembahasan.
Pertanyaannya sekarang, kapan UU ini akan lahir? Mengapa setelah memasuki tahun kedua setelah tsunami UU ini belum juga lahir? Apa signifikansi dari kelahiran UU ini?
Kebijakan Penanganan Bencana di Indonesia
Salah satu pangkal permasalahan dari ketidakefektifan penanganan bencana adalah minimnya kebijakan dan regulasi di tingkat pusat mengenai penanganan bencana. Regulasi yang ada hanyalah Keppres No. 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana dan Penanggulangan Pengungsi, Keppres No. 111 tahun 2001 tentang Perubahan atas Keppres RI No. 3 tahun 2001, dan Pedoman Umum Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang ditetapkan melalui Keputusan Sekretaris Bakornas PBP No. 2 tahun 2001.
Di masa silam, pemerintah Indonesia pernah membentuk Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (BAKORNAS PBA) dengan Keputusan Presiden No. 28 tahun 1979. Pada tahun 1990, melalui Keppres No. 43 tahun 1990, Badan tersebut disempurnakan menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (BAKORNAS PB) yang tidak hanya berfokus pada bencana alam belaka, namun juga berfokus pada bencana oleh ulah manusia (man made disaster) (Sekretariat Bakornas PBP, 2001 : 1).
Kemudian, musibah kebakaran hutan dan gangguan asap di Sumatera dan Kalimantan pada 1997-1998, bencana kekeringan di Papua, dan eksodus besar-besaran warga Timor Leste ke Timor Barat menyusul konflik pasca jajak pendapat, membuat pemerintah berfikir bahwa Keppres No. 43 tahun 1990 tidak efektif lagi. Akhirnya, Keppres ini disempurnakan dengan Keppres Nomor 106 tahun 1999 yang memberikan tugas tambahan kepada Bakornas PBP untuk juga menangani dampak kerusuhan sosial dan pengungsi.
Namun demikian, Keppres No. 106 tahun 1999 menjadi tidak efektif lagi, setelah Departemen Sosial yang menjadi leading sector dalam penanganan pengungsi dibubarkan, yang disusul kemudian dengan pembubaran Kantor Menko Kesra dan Taskin, Karena Bakornas PBP kehilangan ketuanya. Hal ini telah menyebabkan adanya kevakuman kepemimpinan Bakornas PBP yang menyebabkan kevakuman mekanisme koordinasi yang selama ini telah berjalan sangat baik dalam penanganan berbagai bencana dan dampak kerusuhan termasuk pengungsi.
Menyadari kejadian tersebut, Pemerintah menerbitkan Keppres No. 3 tahun 2001 tentang Bakornas Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang diketuai oleh Wakil Presiden dan Sekretaris Wakil Presiden secara ex officio menjadi Sekretaris Bakornas PBP. Keppres ini merupakan penyempurnaan dari Keppres No. 106 tahun 1999.
Strategi penanggulangan bencana berdasarkan Pedoman Umum Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang ditetapkan melalui Keputusan Sekretaris Bakornas PBP No. 2 tahun 2001 meliputi empat tahapan yaitu : (1) tahap penyelamatan; (2) tahap pemberdayaan; (3) tahap rekonsiliasi; dan (4) tahap penempatan. Sedangkan, kegiatan penanganan pengungsi meliputi kegiatan-kegiatan : (1) penyelamatan (2) pendataan (3) bantuan tanggap darurat; dan (4) pelibatan masyarakat/ LSM (Sekretariat Bakornas PBP, 2001 : 2).
Penanganan Bencana di Dunia Internasional
Kritik terhadap kebijakan penanggulangan bencana Indonesia seperti tercantum di atas adalah ketentuannya yang tidak operasional. Tidak memberikan landasan bertindak yang jelas. Yang ada adalah pedoman dan strategi-strategi umum. Itupun dituangkan dalam bentuk Keppres. Bakornas PBP juga ditaburi oleh para pejabat tinggi negara yang tidak jelas apakah benar-benar dapat bekerja efektif ataukah hanya sekedar portofolio saja. Kesan elitisnya lebih terlihat daripada efektifitasnya.
Bandingkan dengan India. Pada tingkat negara bagian Gujarat saja telah memiliki Gujarat State Disaster Management Policy (GSDMP) yang dikeluarkan oleh Gujarat State Disaster Management Authority. Regulasi ini mengatur secara lengkap prinsip-prinsip penanganan bencana lengkap dengan langkah-langkah penanganan di tahap sebelum bencana (pre disaster phase), selama bencana (impact phase), dan pasca bencana (post disaster phase). Ini baru di tingkat negara bagian, belum di tingkat negara federal-nya.
Afrika Selatan, republik yang baru sembuh dari diskriminasi rasial selama berpuluh tahun, juga memiliki kebijakan penanggulangan bencana yang komprehensif, yaitu Disaster Management Act 2002. Kebijakan ini mengatur hubungan antar lembaga pemerintah (intergovernmental structures), hirarki penanganan mulai dari pusat (national disaster management centre), propinsi (provincial disaster management centres), hingga kota/ kabupaten (municipal disaster management centre).
Jangan lagi apabila dibandingkan dengan negara maju. Pemerintah negara bagian Queensland, Australia memiliki department of emergency services. Departemen ini memiliki the Disaster Management Act 2003 dan memiliki struktur hierarkhis mulai dari state government agencies, district, hingga local disaster management group.
UU Manajemen Bencana Amat Mendesak
Rasanya tak ada alternatif lain bagi Indonesia dalam hal penanganan bencana selain mempercepat proses lahirnya UU Manajemen Bencana. Kami memantau bahwa banyak sekali pihak-pihak yang sebenarnya telah memberi masukan bahkan membantu membuatkan draft UU tersebut ke DPR.
Disamping itu, pedoman tentang manajemen bencana telah terserak dalam pelbagai instrumen internasional seperti pada Humanitarian Charter and Minimum Standards in Humanitarian/ Disaster Relief yang disponsori oleh Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional dan beberapa NGO internasional yang bergerak di bidang bantuan kemanusiaan.
Selain itu, secara simultan mestinya Pemerintah dan DPR dapat meratifikasi Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 (Convention Relating to the Status of Refugees) Karena, tak jarang dari korban konflik dan bencana di Indonesia yang kemudian mengungsi dan terlantar di negara lain.
Selain pengungsi, masalah yang juga urgent adalah menangani pengungsi dalam negeri (Internally Displaced Persons – IDPs) yang keberadaannya di luar yurisdiksi dari Konvensi Pengungsi 1951 yang hanya mengatur pengungsian antara negara. Masalah perlindungan pengungsi dalam negeri ini harus diintegrasikan dengan UU Manajemen Bencana atau dibuatkan Undang-Undang tersendiri. Rujukannya adalah pada The Guiding Principles on Internal Displacement yang diproduksi oleh Office for Coordinating of Humanitarian Agencies (OCHA) PBB pada tahun 1998.
Apabila semua upaya di atas tidak dilakukan. Kita khawatir buruknya penanggulangan bencana ini akan terus melembaga dan berdampak pada penanganan-penanganan selanjutnya. Karena banjir demi banjir, dan tanah longsor demi tanah longsor juga terus terjadi. Akhirnya, kredibilitas pemerintah semakin terpuruk dan masyakat, utamanya korban bencana, akan terus hidup dalam ketidakpastian, kemiskinan, kelaparan, dan ketidakberdayaan. Haruskah kita terus menerus menanggung dosa kolektif ini?
* telah dimuat di Jurnal Hukum Indonusa Esa Unggul
platihan mitigasi bencana sangat diperlukan agar berkurangnya korban jiwa
Bersatu Hadapi Bencana