MENGENANG DAN MENYONGSONG BENCANA
REPUBLIKA, Kamis 28 September 2006
Heru Susetyo
Visiting Researcher Disaster Prevention Research Institute Kyoto University, Staf Pengajar Fakultas Hukum UI
Dua tahun sudah gempa dan tsunami akbar di Aceh dan Sumatera Utara akan dijelang. Setahun setengah sudah gempa Nias telah berlalu. Gempa Yogyakarta belum lama menyita hati dan pikiran. Namun sepertinya negara dan sebagian masyarakat Indonesia sudah mulai lupa akan semua bencana akbar itu.
Sama seperti tragedi-tragedi sebelumnya. Manusia Indonesia tewas satu ataupun ratusan ribu sepertinya tidak berjejak dan tidak berbekas. Konflik etnis dan agama di Kalimantan Barat (1996, 1997, dan 1999) menyisakan ribuan orang tewas. Konflik Poso (1998-2002) dan Maluku (1999-2002) ataupun DOM di Aceh (1989-1998) meninggalkan ribuan warga tak berdosa sebagai korban, ribuan kaum ibu dan anak-anak sebagai janda dan yatim piatu. Namun bangsa ini begitu mudah mengalami amnesia sejarah dan kehilangan memori akan semua tragedi tersebut. Kecuali mungkin, bagi mereka yang mengalami langsung penderitaan tersebut. Maka, tidak dapatkah kita belajar mengenang bencana yang telah terjadi dan mempersiapkan diri untuk menyongsong ‘bencana-bencana’ berikutnya?
AS dan Jepang
Dua negara yang memiliki pengalaman cukup baik dalam mengenang dan menyongsong bencana adalah Jepang dan Amerika Serikat (AS). Jepang, sama seperti Indonesia, adalah negeri yang sarat dengan bencana alam, utamanya gempa bumi. Dua di antara gempa bumi yang sampai saat ini masih dikenang oleh negeri ini adalah Great Kanto Earthquake (sekitar Tokyo area) pada 1 September 1923 yang menewaskan kurang lebih 142.000 jiwa dan Great Hanshin Awaji (lebih dikenal sebagai gempa Kobe) pada 17 Januari 1995 yang menewaskan 6400 jiwa.
Sampai saat ini, di kedua tanggal tersebut (1 September dan 17 Januari) diperingati warga Jepang sebagai hari bencana alam. Bahkan, sejak 1 September 1960 melalui persetujuan kabinet, pemerintah Jepang mengukuhkan tanggal tersebut sebagai Disaster Prevention Day.
Kemudian, pada tahun 1982 kabinet Jepang juga menetapkan bahwa tanggal 30 Agustus-5 September setiap tahunnya sebagai Disaster Management Week. Pada pekan pencegahan bencana tersebut kegiatan yang umumnya dilakukan adalah latihan pencegahan bencana, seminar, dan festival penanganan bencana.
Latihan pencegahan bencana telah dilakukan secara komprehensif di seluruh Jepang sejak tahun 1971. Tujuannya adalah untuk mengetahui dan memverifikasi kesiapan aparat, lembaga terkait dan masyarakat dalam penanganan bencana. Latihan ini dilakukan baik secara nasional (setiap tanggal 1 September) yang dipimpin langsung oleh perdana menteri Jepang dan diikuti semua komponen penanganan bencana terkait. Di tingkat prefektur (setingkat propinsi), maupun citypelatihan pencegahan dilaksanakan dengan melibatkan pemerintah lokal, perusahaan swasta, dan penduduk sekitar. Total partisipan yang terlibat setiap tahunnya sekitar 1,9 juta jiwa.
Tak hanya bersiaga terhadap bahaya kebakaran, tsunami dan gempa bumi, pemerintah Jepang juga melaksanakan pelatihan yang sama untuk menghadapi musim hujan yang biasanya mendatangkan badai dan banjir. Pelatihan ini dilaksanakan pada bulan Juni dan Juli, bulan-bulan yang dikenal sebagai musim sarat hujan di Jepang.
Hampir di setiap kota besar dan prefektur di Jepang terdapat pusat pelatihan pencegahan bencana (bousaikan/bousaisenta). Di kota Tokyo bahkan pusat pelatihan seperti ini terdapat minimal di empat tempat. Pusat pelatihan ini menyediakan latihan dan simulasi secara cuma-cuma kepada setiap warga negara maupun para pengunjung.
Tidak sekadar menyediakan tempat, bagi pelajar usia SD (shogakko) ada kewajiban untuk mendatangi, mengenal, dan mengikuti simulasi pencegahan bencana di pusat pencegahan bencana terdekat. Semua telah diintegrasikan dengan kurikulum belajar di SD. Sehingga tak heran, sebagian besar pengunjung pusat pencegahan bencana adalah anak-anak usia SD.
Pusat pencegahan bencana yang paling besar dan monumental adalah The Great Hanshin Awaji Earthquake Memorial dan Human Renovation Museum yang terdapat di kota Kobe. Museum ini didirikan memang dalam rangka memperingati gempa Kobe. Di dalam dua gedung besar yang bersebelahan ini, pengunjung dapat merasakan simulasi gempa, mengetahui penanganan bencana ketika gempa Kobe, belajar membangun rumah yang tahan gempa, menempatkan barang yang baik, dan lain-lain.
Sementara itu di AS, kendati pusat pelatihan bencana tak tersedia sebaik dan sebanyak di Jepang, namun negeri ini juga memiliki kesiapan menghadapi bencana yang sangat baik. Hampir di setiap gedung bertingkat, sekolah, perkantoran, maupun tempat-tempat umum lainnya telah tersedia mekanisme penanganan bencana. Apakah berupa alarm peringatan, tanda-tanda pengenal bahaya yang dipasang di lift, tangga, papan pengumuman, peletakkan hidran untuk pasokan air ketika terjadi kebakaran dan lain-lain.
Di AS bagian tengah misalnya hampir setiap bangunan publik dilengkapi alarm peringatan terjadinya tornado. Karena daerah ini memang kerap dilanda tornado. Juga, secara berkala diadakan latihan evakuasi ketika terjadi tornado yang mesti diikuti oleh warga sekitar. Kesiapsiagaan AS menghadapi bencana semakin meningkat setelah terjadi badai Katrina yang menghentakkan pantai selatan AS pada 23-31 Agustus 2005 dan memakan korban 1.800 jiwa dan menimbulkan kerugian sekitar 81,2 miliar dolar AS.
Contohnya, pada September 2006 ini dijadikan sebagai national preparedness month. Ini adalah suatu upaya menyiapkan seluruh rakyat AS untuk bersiaga menghadapi bencana, baik di rumah, sekolah, kantor juga tempat lain. Ikhtiar ini dikelola langsung oleh Department of Homeland Security melalui organnya Federal Emergency Management Agency (FEMA) bekerja sama dengan pemerintah lokal, negara bagian, maupun federal. Kemudian, dalam rangka mengenang badai Katrina, tak kurang dari 43 tempat di seluruh AS menyelenggarakan acara hurricane Katrina memorial. Presiden AS terjun langsung untuk bersafari ke banyak tempat demi melihat langsung kesiapsiagaan pemerintah dan rakyat AS setelah setahun badai Katrina terjadi.
Konteks Indonesia
Bagaimana dengan kegiatan mengenang dan mempersiapkan bencana di Indonesia? Gempa bumi dan tsunami Aceh 26 Desember 2004 memang telah menghentakkan pemerintah dan rakyat Indonesia, namun tak dipungkiri bahwa upaya mengenang maupun mempersiapkan diri untuk menyongsong bencana berikutnya masih amat minim. Padahal, skala kerusakan akibat gempa dan tsunami Aceh jauh lebih dahsyat daripada gempa Kobe maupun badai Katrina.
Contoh yang paling nyata adalah hingga kini kebijakan penanggulangan bencana setingkat UU belum juga dilahirkan. Koordinasi antarlembaga penanggulangan bencana juga belum padu. Bahkan, banyak masyarakat yang masih bingung untuk bersiap menghadapi bencana. Setiap lembaga bergerak sendiri-sendiri.
Sama halnya dengan masyarakat, hingga kini, tanggal 26 Desember barangkali hanya berkesan di hati para korban dan keluarga korban tsunami. Media massa memang menayangkan liputan dan kenangan terhadap peristiwa tragis tersebut, namun tak juga menggelorakan energi dan semangat massa untuk mengenang dan mempersiapkan diri menghadapi bencana berikutnya.
Bencana alam memang takdir Ilahi. Kita tak dapat mencegahnya. Namun manusia diberikan akal dan kekuatan untuk bisa mereduksi dan mengurangi skala kerusakan akibat bencana. Caranya dengan mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghadapi bencana berikutnya.
Ikhtisar
– Bencana-bencana besar di Indonesia terlihat mulai dilupakan masyarakat.
– AS dan Jepang memiliki sistem mengenang dan mempersiapkan diri menghadapi bencana yang patut diteladani.
– Mengenang dan mempersiapkan diri menghadapi bencana, penting untuk mengurangi korban saat terjadi bencana.
– Indonesia belum memiliki sistem penanggulangan bencana yang jelas.
Leave a Reply