PATANI : PETERPAN, HUMVEE, DAN KECEK NAYU
Dunia Melayu di Tanah Siam
Oleh : Heru Susetyo1
Suara Ariel、 vokalis group musik Peterpan, yang melantunkan hit Ada Apa Denganmu mengalun dari pojok hypermarket. Beberapa pramuniaga pria yang bertugas di soundsystem section tampak menikmati lagu ini. Mereka turut bersenandung mengikuti hentakan vokal Ariel. Di Jakarta-kah? Bukan. Di Kuala Lumpur? Ternyata juga bukan. Ini pemandangan nyata yang kami jumpai di Big C Supercenter di kota Patani, provinsi Patani, Thailand Selatan pada awal Desember 2007..
Dan bukan hanya itu infiltrasi budaya Melayu di Patani. Jangan heran kalau di pasar tradisional Patani kita mudah menemukan lagu-lagu Indonesia dan Malaysia dijual oleh pedagang kaki lima. Yang menjadi favorit adalah lagu dangdut dan lagu pop romantis. Nama-nama seperti Krisdayanti atau Rhoma Irama sudah tak asing bagi telinga mereka. “Lagu-lagu dangdut Indonesia sangat populer disini. Orang disini suka dengan dangdut Indonesia,” ujar Sasudong Dosomy, warga asli Patani、 dalam bahasa Melayu. Tapi apakah mereka paham dengan artinya? Sekitar lima puluh persen saja bahasa Indonesia yang dapat mereka tangkap dan pahami melalui lagu. Selebihnya tak paham. Mereka senang dengan lagu Indonesia dan Malaysia karena di Patani sendiri tak banyak seniman ataupun penyanyi yang mewakili kultur mereka,” ujar Zakariya Amataya, warga asli Narathiwat yang tengah studi di Bangkok.
Sinetron dan film Indonesia juga termasuk yang diminati oleh warga Patani. Mereka mudah mengakses produk tersebut via antena parabola ataupun VCD yang dijual murah di pasar-pasar. Pada saat remaja Thai yang tinggal di Bangkok menggila-gilai film dan artis Korea, remaja dan pemuda Patani lebih condong pada artis Indonesia ataupun Malaysia. Tak perlu heran, karena di Malaysia-pun grup musik seperti Peterpan, Dewa 19, Samson, ataupun Ungu dan artis seperti Dian Sastro, Luna Maya, hingga Nia Ramadhani mendapat sambutan luar biasa besar dari warga muda Malaysia. Alasan kedua adalah, sebagai minoritas di Thailand, mereka tak memiliki cukup ruang untuk mengekspresikan kultur dan keseniannya. Tak ada stasiun TV Patani. Hanya beberapa radio lokal dengan siaran lokal berbahasa Melayu saja.
Sama halnya dengan busana harian. Kendati di hypermarket besar seperti Big C, yang hampir sama dengan Carrefour atau Giant di Indonesia, rata-rata pembelanja mengenakan busana muslim. Ada yang menggunakan sarung Samarinda, baju gamis (tob dalam bahasa Melayu Patani), ataupun baju koko (talo blago) . Yang wanita rata-rata menggunakan jilbab dan baju muslim yang bervariasi. Mulai dari yang berjilbab pendek, baju kurung ala Malaysia, hingga. yang mengenakan cadar (niqab) ada semua. Mereka yang tak berbusana muslimah adalah minoritas disini. Biasanya adalah warga Thai Buddhist ataupun Chinese Thai.
Namun ada satu pemandangan yang berbeda dengan hypermarket di Indonesia. Disini tentara berpakaian tempur dan menyandang senapan mesin M-16 tampak ikut berbelanja. Melihat-lihat barang sambil mengenakan kacamata hitam. Tak jelas apa tugasnya, mengamankan tempat atau karena memang ingin berbelanja.
Di luar hypermarket pemandangan lebih seram. Tentara berpatroli dengan menunggang humvee armoured vehicle (jeep tempur Amerika yang tersohor karena Perang Teluk) berseliweran dimana-mana. Hampir di setiap jalan besar, setiap beberapa kilometer, ada posko militer (military checkpoint) dan posko polisi (police checkpoint). Disana setiap kendaraan mesti berjalan pelan dan melapor pada penjaga posko. Persis kondisi di Aceh sebelum tsunami 2004.
Dunia Melayu di Tanah Siam
Kendati mereka adalah warganegara Thailand, sebagian besar masyarakat Patani, utamanya kalangan dewasa hingga tua, lebih banyak menggunakan bahasa Melayu Patani atau Kecek Nayu. Telinga Indonesia mungkin agak sulit menangkap percakapan dalam Kecek Nayu apabila mereka berbicara cepat. Namun apabila berbicara lambat, maka banyak kesamaan bahasa dengan Melayu Malaysia ataupun Bahasa Indonesia. Mereka menyebut `Babo` untuk memanggil `Bapak.` Menyebut `Toh Ayah` untuk memanggil Kakek dan `Siti` untuk memanggil `Nenek.` Menyebut dirinya sendiri sebagai Orae Nayu (orang Melayu). Warga Thai non muslim menyebut muslim sebagai `khek` (orang asing), walaupun belakangan panggilan ini jarang digunakan karena bertendensi merendahkan. Secara bahasa maupun kultural, Melayu Patani amat dekat dengan Melayu Kelantan (Malaysia). Karena secara geografis mereka bersisian dan secara historis adalah bagian dari kesultanan yang sama lima abad silam.
Warga Melayu Patani juga mengenal apa yang disebut dengan Bahasa Kampong dan Bahasa Tengoh ataupun bahasa tulisan. Bahasa Kampong adalah bahasa Melayu khas Patani yang digunakan penduduk sehari-hari. Bahasa ini sukar ditangkap telinga Indonesia. Bahasa Tengoh adalah bahasa Melayu yang biasa digunakan untuk keperluan formal seperti pada tulis menulis ataupun khutbah Jum`at. Kami mengikuti khutbah Jum`at di masjid desa Tiraya, Patani dan Sang Khatib menyampaikan khutbah dengan membaca buku khutbah dalam bahasa Melayu Tengoh. Amat mirip dengan bahasa Melayu Malaysia sehingga cukup akrab dengan telinga Indonesia.
Disamping bahasa percakapan, warga muslim Patani mulai kembali menghidupkan aksara Yawi(Arab Melayu) sebagai aksara dalam tulis menulis. Aksara Yawi menggunakan aksara Arab (huruf Hijaiyah) namun untuk menuliskan kata-kata dalam bahasa Melayu. Aksara Yawi dahulu sempat populer di negeri-negeri yang kini menjadi wilayah negara Malaysia, propinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, hingga Sumatera Selatan, sebagian wilayah Kalimantan dan bagian Indonesia lain yang dahulu dikuasai oleh kesultanan-kesultanan Islam. Di hypermarket BigC Patani sendiri misalnya, kami menjumpai tulisan `Selamat Datang` dalam aksara Yawi berdampingan dengan `Selamat Datang` dalam bahasa Thai.
Warna budaya muslim Melayu memang sangat kental disini. Lebih dari budaya Thai Buddhist. Tidak hanya di Patani. Sejak kita mendarat di Hat Yai, propinsi Songkla, yang sering disebut sebagai pintu gerbang ke Patani, warna muslim Melayu sudah sangat terasa. Pemandangan para muslimah berjilbab, tua muda berseliweran dengan jalan kaki, naik motor tanpa helm, ataupun dengan angkutan umum amat mudah dijumpai. ”It`s a Malay world!” ujar Virginia, rekan peneliti asal Belgia, ketika ditanyakan impresi pertamanya terhadap Patani.
Memang, bagi mereka yang sering singgah ke Malaysia dan Aceh, sepintas pemandangan di Patani tak jauh berbeda. Yang menandakan bahwa ini masih wilayah Thailand hanyalah potret Raja Bhumibol yang masih bertebaran disana sini, juga bendera merah putih biru Thailand serta bendera kuning kerajaan yang bertengger di semua institusi formal. Yang unik, di kubah masjid Jami Patani, dipasang pula bendera Thailand persis di bawah tiang bulan bintang.
Tak jelas siapa mendominasi siapa. Sepertinya profil Melayu di Patani kerap bertukar kultur dengan Melayu di Malaysia ataupun Indonesia. Warga Melayu Patani juga akrab dengan pakaian batik (dengan bahasa yang sama : batik) dan dengan kesenian wayang. Untuk keperluan ibadah, banyak warga Patani yang mengenakan sarung asli Samarinda. Bahkan, menurut Sasudong Dosomy, salah satu kontribusi positif muslim Indonesia ke Patani adalah mengenalkan metode pembelajaran Al Qur`an ala qira`ati. ”Sejak metode qiraati diperkenalkan di Patani, banyak anak kecil yang sudah dapat membaca Al Qur`an. Dahulu dengan metode konvensional belajar Al Qur`an terasa sukar,” ujar Sasudong.
Apa dan Siapa Patani
Apabila kita menyebut nama `Patani` (atau `Pattani` dalam bahasa Thai) maka harus jelas dalam konteks apa. Karena nama Patani bisa punya empat makna : kota Patani, propinsi Patani, kesultanan Patani ataupun Patani Darussalam (Patani Raya). Kota Patani dan Propinsi Patani adalah bentukan pemerintah Thailand. Kesultanan Patani adalah kerajaan Islam Patani yang sempat eksis sejak pertengahan abad 16 hingga awal abad 20 (sebelum dipaksa bergabung dengan Siam/ Thailand). Istilah Patani Darussalam atau Patani Raya adalah istilah tidak resmi untuk gabungan dari empat propinsi mayoritas muslim di Selatan Thailand yaitu Patani, Yala, Narathiwat, dan sebagian Songkla. Sebenarnya dua provinsi selatan Thailand lain yaitu Satun dan Trang adalah berpenduduk mayoritas muslim. Namun karena secara kultural dan historis mereka lebih dekat ke kultur Thai, maka tak tergabung dalam Patani Darussalam.
Asal usul nama `Patani` cukup unik. Berdasarkan cerita rakyat setempat (folklore) nama Patani ditemukan oleh Sultan Ismail Shah, raja Patani ketika itu, ketika ia tengah mencari calon ibukota kerajaan. Ketika tiba di wilayah (yang sekarang bernama Patani) ia menyebut : ”Pantai ini” (karena memang Patani berada di tepi laut teluk Thailand), dan akhirnya menjadi `Patani` dalam bahasa orang setempat.
Kerajaan Patani masa silam bertahan sekitar lima abad sejak awal abad 16 hingga awal abad 20. Saat itu Patani adalah kerajaan Islam terpandang di Asia Tenggara, bersama-sama dengan kesultanan di Semenanjung Malaya, Aceh dan pantai timur Sumatera. Patani mulai dikenal dunia barat ketika petualang Portugis Godinho de Eradia mendarat di Patani pada tahun 1516.
Patani sempat berjaya pada era Sultan Muzaffar Shah (pertengahan abad 16). Sultan ini mendirikan masjid pertama di provinsi Patani yang berarsitektur Timur Tengah. Masjid ini bernama ‘Krisek‘ atau ‘Krue Se‘ dalam bahasa Thailand. Hingga kini masjid Krue Se masih berdiri di tepi jalan raya Patani dan tetap digunakan untuk beribadah. Masjid ini sebenarnya sederhana. Hanya berupa masjid kecil yang disusun dari ribuan batu merah tanpa plesteran. Namun nilai historisnya luar biasa. Sejak tahun 1935 diabadikan sebagai monumen bersejarah oleh Kementerian Pariwisata Thailand. Maka, bagi siapapun turis yang ke Patani, menjadi semacam `kewajiban` untuk melongok tempat ini.
Zaman keemasan Patani berlanjut pada era empat Ratu Patani yang memerintah sejak tahun 1584 masing-masing adalah Ratu Hijau, Ratu Biru, Ratu Ungu, dan Ratu Kuning. Ketika itu kekuatan ekonomi dan militer Patani begitu dahsyat hingga bisa melawan empat kali invasi kerajaan Siam dengan bantuan Kesultanan Pahang dan Johor (kini bagian dari Malaysia). Suatu bukti bahwa pemimpin muslimah zaman dahulu begitu perkasa.
Patani mulai mengalami keruntuhan setelah era Ratu yang keempat pada abad 17. Sultan Muhammad yang berkuasa ketika itu terbunuh dalam pertempuran melawan kerajaan Siam dan kota Patani dibumi hanguskan. Empat ribu orang rakyat Patani kemudian diperbudak dan dibawa ke Bangkok untuk membuat khlong (kanal-kanal air/ sungai).
Pada tahun 1902, Pattani secara resmi dianeksasi oleh Siam. Tujuh tahun kemudian Perjanjian Bangkok antara Inggris (Great Britain-penguasa Malaya ketika itu) dan Siam menetapkan bahwa Patani secara resmi diakui di bawah kedaulatan Siam, dan negeri Kelantan secara resmi diserahkan kepada Inggris (pada tahun 1957 Kelantan bergabung dalam Federasi Malaysia).
Konfik di Patani
Konflik di Patani, Yala, dan Narathiwat sebenarnya sudah berlangsung puluhan tahun. Sama tuanya dengan ketika ketiga propinsi tersebut dilebur ke dalam kerajaan Siam secara sepihak pada tahun 1909. Berbagai organisasi perlawanan muncul di Patani dan sekitarnya apakah dengan nama PULO (Patani United Liberation Organization), BERSATU, BRN, BNP, BNPP, GMIP, ataupun RKK (Runda Kumpulan Kecil). Oleh pemerintah Thai mereka dicap sebaga gerakan militan separatis dan belakangan, pasca tragedy 9/11, dicap sebagai teroris yang dianggap berhubungan dengan Al Qaida dan Jama`at Islamiyah (JI). Suatu klaim yang sukar dibuktikan. Tapi bahwasanya mereka punya hubungan dengan Libya, MILF di Mindanao Philippina dan GAM di Aceh, tidaklah terlalu salah.
Kendati ratusan konflik telah lama melanda Patani. Konflik pasca tragedi 9/11 berlangsung lebih buruk. Konflik berskala meluas dan massif berlangsung mulai Januari 2004 di Narathiwat ketika gudang senjata dan amunisi tentara Thailand diserbu kelompok militan. Dilanjutkan dengan penyerbuan Masjid Krue Se di Patani pada April 2004 yang menewaskan 31 aktivis muslim dan penganiayaan di Tak Bai, propinsi Narathiwat pada 25 Oktober 2004 yang menewaskan 78 warga muslim. Kedua peristiwa tersebut menambah eskalasi konflik Thailand Selatan dan memaksa pemerintah Thai era Thaksin berpikir keras cara mengintegrasikan warga Thai beretnis Melayu (yang tak pernah merasa sebagai orang Thai ini) ke dalam Negara Thailand yang mayoritas Buddhist.
Menurut Sutthida, warga Thai Buddhist asli Patani konflik mulai meninggi pasca 9/11 dan sejak tahun 2004. “Sejak dahulu sebenarnya sudah ada konflik. Namun hanya menyerang tentara dan polisi saja. Namun entah mengapa sejak tahun 2004 sudah mulai mengorbankan rakyat sipil. Termasuk guru, monk (pendeta Budha), ulama Islam, bahkan anak kecil.”
Sutthida tak habis pikir, kini kehidupan di Patani tak lagi nyaman baginya. “Dulu ketika saya masih kecil, kami hidup bertetangga dengan rukun dengan tetangga kami yang muslim. Orangtua saya sering menyumbangkan makanan untuk buka puasa orang muslim ketika Ramadhan. Merekapun datang ke tempat kami ketika ada perayaan Buddhist. Saya punya banyak teman orang muslim ketika kecil. Kami bersekolah dan bermain bersama-sama. Kini yang tertinggal di Patani hanyalah saling curiga dan tak percaya. Sesama muslim sekalipun,” ujarnya dalam bahasa Inggris yang sangat lancar.
Sampai kini konflik masih berlangsung. Terjadi sekitar 2300 insiden yang menelan korban tewas 2500 jiwa sejak awal 2004 hingga kini. Bahkan, pada akhir November 2007, sebuah karaoke dibom oleh orang tak dikenal di luar kota Patani hingga tujuh orang tewas. Bulan Agustus 2007 dua rumah dibakar di desa Tiraya, tak jauh dari kota Patani. Penduduk hidup dalam cengkeraman ketakutan. Kendati kehidupan sepintas lalu berjalan normal. Mahasiswa tetap pergi kuliah ke kampus, pedagang berjualan ke pasar, pegawai bekerja di kantor, jama`ah shalat tetap pergi ke masjid. Namun setelah maghrib kondisi berubah, jalanan menjadi makin lengang, kedai menjadi semakin sepi. Minoritas China dan Buddhist tak tampak di jalan-jalan umum. Sekali lagi, mirip Aceh di era sebelum tsunami 2004 dan Perjanjian Helsinki.
Konflik Patani secara tak langsung mengusir warga Thai non muslim keluar dari ketiga provinsi tersebut. Juga mengusir warga muslim Patani sendiri yang bingung mengungsi kemana. Mengungsi ke Bangkok tak lebih baik karena juga tak merasa sebagai negeri sendiri. Ke Malaysia kendati secara kultural sama, namun juga mengundang masalah karena negaranya berbeda dan tak cukup ramah menampung ’pendatang haram.’. Sebagian kecil pengungsi akhirnya memang mengungsi ke Malaysia hingga kini.
Konflik membuat warga Patani kesulitan pulang kampung ke rumahnya sendiri. Hafidz,seorang muslim asli Patani, dan Lek seorang Buddhist asli Yala, Mengaku bahwa apabila mereka ingin pulang ke kampong mereka di Betong, Yala, harus memutar dahulu melalui Negara bagian Perlis dan Kedah di Malaysia sebelum tiba di Betong, yang memang berbatasan dengan Kedah. Mereka takut melalui Patani dan Yala yang sebenarnya jauh lebih dekat. “Ini demi keamanan, walaupun saya asli Betong, Yala, tapi saya minoritas Buddhist disana. Maka lebih baik memutar via Malaysia, jauh lebih aman,” ujar Lek.
Kampus Prince of Songkla University (PSU), Patani Campus, kini 90% mahasiswanya muslim dari ketiga provinsi sekitar. Padahal dahulu sebelum konflik, mahasiswa dari seantero Thai yang berbeda agama datang studi kesana. Tak heran, pemandangan di PSU Patani Campus mirip dengan kampus Indonesia . Banyak mahasiswi berjilbab, ada masjid, ada banyak tempat shalat, makanan semua halal. Sangat berbeda dengan wajah kampus-kampus di Bangkok .
Kendati infrastruktur Patani amatlah baik, jalan luas dan mulus, listrik dan lifelines tersedia. Jauh lebih baik dari Aceh dan propinsi terpencil Indonesia lainnya. Tapi tidaklah lebih baik dari propinsi Thai yang lain. Patani, Yala, dan Narathiwat adalah di antara provinsi termiskin di Thailand.
Sekitar 69.80% warga muslim di tiga propinsi tersebut hanya mengenyam pendidikan dasar (sementara warga Thai Buddhist sekitar 49.6%). Hanya 9.20% yang menamatkan sekolah menengah (Thai Buddhist sekitar 13.20%). Dan hanya 1.70% yang bergelar sarjana (bandingkan dengan Thai Buddhist yang 9.70%). Alasan utama rendahnya angka melek sekolah ini adalah karena mereka enggan bersekolah di sekolah Thai. Alih-alih di sekolah Thai, sebagian dari mereka lebih suka menyekolahkan anaknya ke Malaysia ataupun Indonesia. Tak heran, mudah menemukan warga Patani di Gontor, Yogyakarta ataupun di LIPIA dan UIN Jakarta.
Jumlah muslim yang bekerja sebagai pegawai pemerintah juga amat rendah. Hanya 2.4% berbanding dengan 19.2% warga Thai Buddhist. Pekerjaan di pemerintah amat sulit didapatkan bagi mereka yang tak berbahasa Thai dan tak pernah mengenyam sistem pendidikan Thai.
Ada banyak cerita tentang Patani, kisah tentang semangat kaum minoritas bertahan di tengah mayoritas. Perjalanan kebingungan menentukan jatidiri. Wajah kekerasan yang menahun dan melegenda. Ketidakpastian dan kecemasan yang selalu mendominasi hari-hari. Hidup terasing di negerinya sendiri. Patani memang terbilang dekat dari Bangkok, tapi bagi sebagian besar warga Thai terasa begitu jauh (di hati). Karena, Patani adalah Dunia Melayu di Tanah Siam.
Wallahua�lam
Salaya, Nakhorn Pathom 13 Desember 2550 (Tahun Siam)
Leave a Reply