PEKERJA HAM TAK MEMILIKI HAM
Oleh : Heru Susetyo
Pekerja HAM pada PAHAM Indonesia
Pekerja HAM Minim Perlindungan HAM
Dunia telah mencatat, para pembela dan pekerja Hak Asasi Manusia (HAM) di semua negara seringkali adalah juga orang-orang yang tak terlindungi hak-haknya. Utamanya hak atas rasa aman dan bebas dari rasa takut (freedom from fear). Mereka bekerja keras untuk menegakkan HAM masyarakat, bangsa, ataupun kelompoknya. Bersabung nyawa untuk menegakkan demokrasi bagi masyarakat tertindas dan minoritas. Namun sayang sekali, mereka kerap mengalami kekerasan, penganiayaan, penculikan, bahkan berujung pada hilangnya nyawa.
Almarhum Munir adalah salah satu ikon kelompok ini. Pertarungan panjangnya sejak tahun 1980-an membela HAM kelompok buruh, petani, rakyat miskin, korban kekerasan Negara, dan orang-orang hilang (disappeared persons), berakhir tanggal 7 September 2004 silam ketika ia dijumpai tewas karena diracun di atas pesawat Garuda di atas langit Hongaria.
Dan Munir tidak sendirian. Di Indonesia ada tokoh-tokoh seperti Marsinah yang tewas setelah aksi buruh di Sidoarjo. Wartawan harian Bernas, Udin, yang tewas karena kerap memberitakan hal-hal yang membuat merah kuping penguasa diYogyakarta, dan masih banyak lagi. Lembaga HAM Frontlinedefenders (2004)mencatat bahwa hampir di setiap Negara, tak kenal Negara maju ataupun Negara terbelakang, hampir selalu ada pejuang HAM yang menjadi korban atau dikorbankan baik oleh struktur Negara/ militer, korporasi, maupun oleh kelompok politik/ social tertentu,
Nelson Mandela di Afrika Selatan mendekam hampir 28 tahun di penjara karena kegigihannya menentang rezim apartheid yang mendiskriminasikan warga Negara berdasarkan warna kulit. Marthin Luther King, Jr., Doktor dan pendeta sekaligus pejuang hak-hak sipil (civil rights) bagi kelompok hitam (black people) di Amerika Serikat, tewas ditembak pada 4 April 1968 oleh James Earl Ray setelah aktif menggelar sejumlah aksi menolak segregasi antar kelompok ras di AS. Aung San Suu Kyi, pemimpin kelompok oposisi di Myanmar (Burma) telah nyaris sepuluh tahun dikenakan tahanan rumah karena menentang kebijakan otoriter junta militer di negaranya. Bahkan, ketika suaminya meninggal, Suu Kyi tetap tak diperkenankan menjenguk. Hingga dunia internasional turun tangan dan mengutuk otoritasMyanmar.
Di Iran, Mahboobeh Abbasgholizadeh, aktivis perempuan dan editor majalahFarzaneh (Jurnal studi perempuan pertama di Iran) , ditangkap dan ditahan tanpa alasan yang jelas oleh Kejaksaan Teheran pada 2004 serta tanpa sedikipun akses pada pengacara dan keluarganya. Irene Fernandez, aktivis perempuan Malaysia, yang telah lama berjuang untuk menegakkan hak-hak pekerja wanita, ditahan dan dihukum penjara oleh otoritas Malaysia karena dianggap membocorkan situasi penahanan terhadap pekerja migran dalam penjara-penjara Malaysia.
Claudia Duque, seorang jurnalis dan pekerja HAM di Colombia telah menerima sejumlah ancaman mati. Pada 17 November 2004 ia menerima telepon gelap yang mengancam akan membunuh anak perempuannya. “”Kami tak punya pilihan lain selain membunuh anakmu. Meskipun ia berlindung di balik mobil lapis baja kami tetap akan membunuhnya. Kami akan membakarnya hidup-hidup dan akan memotong dan menyebarkan jari-jarinya ke semua tempat” (frontlinedefenders, 2004).
Di Aceh, aktivis perempuan Raihana Diani ditangkap dan ditahan selama 33 hari setelah mengorganisir demonstrasi anti hukum militer di Banda Aceh pada 16 Juli 2002. Ia kemudian dipidana selama enam bulan penjara tanpa tuduhan dan alat bukti yang jelas. Selama ditahan, ia ditempatkan pada sel kecil berukuran 3 X 4 meter bersama-sama dengan tahanan yang hampir semuanya laki-laki.
Uniknya, tak semua pekerja HAM yang terzhalimi berasal dari negara miskin dan terbelakang. Negara ‘kampiun demokrasi dan HAM’ seperti Amerika Serikat banyak menyimpan cerita kekerasan terhadap warganegaranya. Pasca serangan WTC 9/11, puluhan pekerja kemanusiaan muslim warga AS diciduk aparat, ditahan tanpa akses ke pengacara dan keluarganya selama berbulan-bulan, dan diadili dengan tuduhan terorisme tanpa alat bukti yang jelas. Hanya karena mereka pernah menggalang dana kemanusiaan untuk membantu pengungsi Chechnya atau Palestina, maka mereka dituduh telah membantu mendanai terorisme.
Dan, tak hanya muslim. Lynne Stewart, pengacara kulit putih warga AS yang tinggal di New York tak luput dari kekerasan. Ia adalah pengacara Sheik Omar Abdul Rahman dan Mummia Abu Jamal, dua tersangka ‘teroris’ versi AS. Karena kegiatan pembelaan dan pendampingannya terhadap dua ‘teroris muslim’ ini, ia yang notabene non muslim dikenakan tuduhan telah membantu kegiatan terorism (aiding terrorism), antara lain karena menyebarkan press release kepada Reuters. Federal Bureau of Investigation (FBI) menggerebek rumahnya, menggeledah dan menyita semua dokumennya, setelah terlebih dahulu menyadap telepon dan semua saluran komunikasinya. Akhirnya ia ditahan dan dicap sebagai ‘teroris yang berprofesi sebagai pengacara.’ Beruntung, karena ketangguhan pengacaranya, ia dibebaskan dari tuduhan membantu terorisme (terrorism charges), kendati masih menghadapi tuduhan lain dengan ancaman pidana sepuluh tahun penjara.
Pekerja HAM memang seringkali bekerja lintas sektoral. Mengangkangi sekat-sekat geografis, kewarganegaraan, kebangsaan, agama, etnisitas, rasial, jender, keyakinan kelompok, kelompok politik dan sosial. Ini adalah nilai tambah bagi mereka sekaligus nilai minus bagi lawan-lawanya. Disamping Lynne Stewart, yang notabene non muslimd dan warga AS, ada juga Rachel, gadis yang menjadi tumbal kekerasan Israel. Ia tewas dibuldoser Israel yang memaksa membangun pemukiman Yahudi di Palestina pada 2003. Padahal ia non muslim dan warganegara AS. Bahkan di Chicago, AS, ada sekelompok warga Yahudi AS yang kerap menggelar aksi menolak kekerasan AS di sekitar Water Tower – Michigan Avenue, setiap hari Ahad, Mereka memprotes kekerasan otoritas Israel terhadap warga Palestina dengan mengatakan : “Not in Our Name.”
Di Amerika, paling tidak ada dua organisasi yang concern dengan situasi HAM di Indonesia. Masing-masing adalah ETAN (East Timor Action Network), dan satu lagi adalah NGO untuk HAM di Aceh. Keduanya diawaki oleh aktivis yang tak semuanya orang Timtim ataupun Aceh. Banyak diantaranya adalah warga AS berkulit putih atau hitam yang sama sekali tak pernah ke Indonesia, tak bisa berbahasa Indonesia, dan tak punya kepentingan apapun di Indonesia selain bahwa negara Indonesia harus menegakkan HAM dan bersih dari kekerasan.
Di New Zealand, ada IHRC –NZ (Indonesian Human Rights Committee in New Zealand), lembaga yang hampir sepenuhnya diawaki orang-orang asli New Zealand. Mereka concern dengan penegakkan HAM di Aceh, Papua, Maluku, Papua,East Timor, dan lain-lain. Uniknya, mayoritas juga tak pernah ke Indonesia dan tak bisa berbahasa Indonesia. Lembaga yang dikomandoi Maire Leadbeater, mantan anggota parlemen Auckland ini, concern dengan masalah kemanusiaan di Indonesia tanpa pretensi politik maupun mendukung gerakan separatisme.
Menyikapi Perlindungan Pekerja HAM
Karena sikap perlawanan terhadap kekuasaan yang otoriter dan a-demokratis, apakah bernama negara, tentara, polisi, multi national corporations (MNCs), pemilik modal, kelompok agama, kelompok politik, kelompok sosial, dan lainnya, wajar apabila kehidupan pekerja HAM selalu dekat dengan ancaman, intimidasi, dan kekerasan. Mereka acapkali dicap sebagai ‘pengkhianat negara dan bangsa,’ ‘pemberontak’, ‘agen-agen sosialis-komunis,’ dan sebagainya. Merekapun kerap dituduh telah ‘mengencerkan’ (baca : men-dekonstruksi) nilai-nilai nasionalisme, patriotisme, nilai sosial-budaya, ideologi politik, sampai keyakinan agama.
Sesungguhnya pekerja HAM yang orisinil bekerja semata-mata untuk kemanusiaan dan HAM. Mereka bekerja lintas sektoral dan lintas geografis semata-mata karena memandang bahwa HAM adalah persoalan yang universal yang dimiliki secara sama oleh semua anak cucu Adam. Nelson Mandela dan Munir adalah dua contoh baik dari pekerja HAM. Setelah 27 tahun dipenjara, langkah pertama Nelson bukanlah menjumpai keluarganya, ia malah mempersiapkan gerakan baru untuk mempersiapkan pemerintahan baru yang lebih demokratis. Sama halnya dengan almarhum Munir. Ia beberapa kali mendapat award dan reward dari lembaga dalam dan luar negeri. Namun, hanya sedikit kucuran rupiah dan dollar tersebut yang mampir di rekeningnya. Ia mendermakan sebagian besarnya untuk lembaga dan kegiatan penegakkan HAM. Wajar, sampai meninggalnya, Munir masih tampak sangat sederhana dengan tunggangan Honda bebek dan Toyota butut 80-an –nya. Maka, merujuk Mandela dan Munir, ketika ada pekerja HAM yang menggadaikan HAM untuk tujuan-tujuan politis dan materiil semata, sesungguhnya ia telah kehilangan eksistensinya sebagai pekerja HAM.
Terlepas apakah pekerja HAM memberikan kontribusi positif terhadap HAM, ataukah malah mendekonstruksi ideologi, nilai-nilai sosial, budaya, dan agama, ia tetaplah manusia biasa yang perlu perlindungan. Ia tetap manusia yang punya rasa takut dan butuh rasa aman. Maka, sudah semestinya negara, korporasi, swasta, kelompok hingga individu, baik yang berposisi sebagai mitra maupun berseberangan, memberikan perlindungan bagi mereka. Karena, merekapun memiliki hak untuk dilindungi, berdasarkan Declaration on the Right and Responsibility of Individuals,
Groups and Organs of Society to Promote and Protect Universally
Recognized Human Rights and Fundamental Freedoms, yang disahkan Majelis Umum PBB pada 9 Desember 1998.
Wallahua’lam
Leave a Reply