PENDIDIKAN HAK ASASI MANUSIA
Heru Susetyo
Staf Pengajar Fakultas Hukum UI/
Alumnus Program Master of International Human Rights Law Northwestern University Chicago dan Human Rights Education Training Kaohsiung Taiwan
“I am certain that after the dust of centuries has passed over our cities, we too will be remembered not for victories or defeats in battle or in politics, but for our contribution to the human spirit”- John F. Kennedy
Diterbitkannya buku pendidikan berbasis hak asasi manusia oleh Departemen Pendidikan Nasional (KOMPAS 13/1 -2006) sungguh suatu langkah maju dalam penegakkan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Untuk negara yang punya pengalaman panjang dengan pelanggaran HAM, diskriminasi ras dan etnis, dan minim toleransi terhadap perbedaan, sungguh buku tersebut bak angin segar. Permasalahannya, bukankah pendidikan hak asasi manusia dengan bentuk yang lain telah lama diajarkan di Indonesia? Bukankah sejak di Sekolah Dasar murid-murid kita telah mempelajari agama, etika, budi pekerti, pendidikan moral pancasila dan sebagainya? Pendidikan hak asasi manusia seperti apa yang dimaksud? Tulisan berikut tidak hendak meresensi buku tersebut di atas, namun ingin menyuguhkan perspektif tentang Pendidikan Hak Asasi Manusia (human rights education) dalam situasi Indonesia kontemporer.
Perspektif Pendidikan HAM
Pendidikan HAM (human rights education) secara sederhana dapat diartikan sebagai mendidik setiap individu untuk dapat memperjuangkan hak-haknya sekaligus untuk dapat menghargai hak-hak orang lain. Sang individu diharapkan dapat membangun suatu ‘budaya hak asasi manusia’ dan peduli dengan pembangunan sosial, budaya, dan politik masyarakatnya, serta mengarahkan pembangunan tersebut ke arah keadilan (MOE Taiwan, 2003).
People Movement for Human Rights Education (PDHRE), suatu Organisasi Non Pemerintah (Ornop) yang bermarkas di New York, memaknai human rights education sebagai suatu pembelajaran HAM (human right learning) lebih daripada pendidikan HAM (human rights education) (Pimple, 2005). Pembelajaran (learning) dimaknai sebagai suatu proses untuk memodifikasi pengetahuan, ketrampilan, dan kebiasaan yang telah eksis melalui pengalaman, praktik, dan latihan-latihan. Sedangkan pendidikan (education) adalah proses belajar yang berlokasi di sekolah ataupun lingkungan seperti sekolah, atau dalam arti luas adalah proses transmisi nilai-nilai dan pengetahuan yang telah terakumulasi dalam suatu masyarakat(Britannica, 2003).
Pilihan pada pembelajaran HAM ala PDHRE mengacu pada pedagogik kritis dan transformatif. Pedagogik kritis melihat masyarakat, pendidikan, persekolahan, merupakan arena-arena dimana terjadi kontestasi kekuasaan dan kontrol dalam masyarakat. Kendati tidak bersifat netral dalam kontestasi tersebut, namun pedagogik kritis mempunyai komitmen untuk memberdayakan yang tertindas atau kelompok-kelompok yang disubordinasikan. Dalam kaitan ini, pedagogik kritis adalah pedagogik transformatif yang bertujuan untuk mengubah proses pendidikan sebagai proses yang mengubah status quo dan memberikan kesadaran akan kebebasan manusia dari berbagai jenis penindasan (Tilaar, 2005).
Maka, mengacu pada pedagogik kritis, sasaran dari pendidikan ataupun pembelajaran HAM adalah pada transformasi sosial baik pada level individu maupun kelompok. Transformasi disini mencakup perubahan dalam aspek (1) pengetahuan (knowledge) (2) ketrampilan (skill) (3) sikap (attitude) (4) perspektif (perspective) dan (5) kesadaran diri (self awareness).
Kemudian, dalam suatu pendidikan/ pembelajaran HAM, nilai dan prinsip dasar yang mendasarinya antara lain : persamaan (equality), keadilan (justice), kemerdekaan (freedom), martabat manusia (dignity), universalitas (universality) , inalienability (tak dapat dikecualikan), indivisibility (tak dapat dipisahkan) dan non diskriminasi (non-discriminative).
Pendidikan HAM dalam Multikulturalisme Indonesia
Indonesia yang majemuk adalah sebuah aset sosial budaya yang tak ternilai harganya. Dimana lagi di dunia ada negara kepulauan yang sarat dengan pluralisme namun tetap terbingkai dalam wadah negara kesatuan. Namun demikian, pada sisi lain pengalaman sejarah menunjukkan bahwa kebhinekaan terkadang malah menimbulkan konflik. Konflik multikultur berlatar rasial, etnis, ekonomi, agama, sosial, dan politik sarat terjadi di Indonesia. Terutama dalam sepuluh tahun terakhir.
Konflik multikultur secara nyata telah mencederai nilai-nilai keadilan, kemerdekaan, persamaan, martabat, dan hak untuk hidup bebas dari diskriminasi. Iklim yang muncul kemudian adalah syak wasangka, curiga mencurigai, ketidakpercayaan, kemarahan dan kekecewaan yang semuanya amat tidak sehat untuk bangsa yang baru pulih dari derita politik berkepanjangan ini
Maka, pendidikan HAM dan pendidikan multikulturalisme, kalau ini bisa disebut dalam satu napas, adalah satu kebutuhan mendasar bangsa ini. Karena, hidup dalam masyarakat majemuk adalah teramat penting untuk memiliki kesadaran akan : keragaman, kesetaraan, kemanusiaan, keadilan, dan nilai-nilai demokrasi. Secara lebih konkrit, penanaman kesadaran multikultural tersebut disasarkan pada antara lain : toleransi dalam beragama, memahami keragaman bahasa, membangun sikap sensitif jender, membangun pemahaman kritis terhadap ketidakadilan dan perbedaan status sosial, membangun sikap anti diskriminasi etnis dan rasial, menghargai perbedaan kemampuan fisik, dan menghargai perbedaan usia (Ainul Yaqin, 2005).
Catatan Akhir
Diterbitkannya buku tentang pendidikan berbasiskan HAM jelas adalah satu upaya positif untuk memajukan HAM di Indonesia. Namun itu saja tidak cukup. Negeri ini membutuhkan suatu pendekatan pendidikan HAM yang lebih integral, terstruktur, dan transformatif. Tidak hanya menyentuh ranah kognitif, namun juga afektif dan psikomotorik.
Pendidikan HAM juga tidak harus dimonopoli pemerintah dengan perangkat Depkehham, Depdiknas, ataupun Komnas HAM-nya, namun juga dapat dikelola oleh individu, masyarakat, bahkan korporasi.
Apalagi, sebenarnya modal ke arah sana sudah tersedia. Seperangkat peraturan Perundang-Undangan mulai dari UUD 45 hingga Undang-Undang telah banyak mengatur dan menjamin HAM manusia Indonesia. Kemudian, kendati belum ideal, hadirnya institusi seperti Komnas HAM, Pengadilan HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Yudisial (KY) adalah langkah maju dalam penegakkan HAM.
Maka, negara dan bangsa Indonesia-pun sudah semestinya lebih menaruh perhatian dan ikhtiar dalam menggesa pendidikan HAM. Seperti kata Kennedy, manusia akan senantiasa diingat tidak semata-matanya karena karirnya dalam berperang dan berpolitik, namun juga karena kontribusinya dalam membangun semangat kemanusiaan.
Leave a Reply