ROAD TO MANDALAY
Catatan Perjalanan Myanmar 2009
By : Heru Susetyo
By the old Moulmein Pagoda, lookin’ eastward to the sea,
There’s a Burma girl a-settin’, and I know she thinks o’ me;
For the wind is in the palm-trees, and the temple-bells they say:
“Come you back, you British soldier; come you back to Mandalay!”
Come you back to Mandalay,
Where the old Flotilla lay:
Can’t you ‘ear their paddles chunkin’ from Rangoon to Mandalay?
On the road to Mandalay,
Where the flyin’-fishes play,
An’ the dawn comes up like thunder outer China ‘cross the Bay!
(Road to Mandalay, Rudyard Kipling)
Apa persamaan antara Bajaj dengan Myanmar? Perbedaannya jelas, yang satu alat transportasi umum di Jakarta dan yang lainnya Negara di bilangan Asia Tenggara. Persamaannya? Sama-sama misterius. Bajaj ataupun supir Bajaj tak diketahui kapan akan mengerem, memacu, memutar, dan berbelok. Myanmar juga sama, lebih dari 60 tahun merdeka dari jajahan Inggris, tapi pengetahuan orang tentang Myanmar (dulu Burma atau Birma) tak jauh dari U Nu (PM Pertama), U Thant (Sekjen PBB dari Myanmar), Rangoon (kini bernama Yangoon, mantan Ibukota Myanmar sebelum pindah ke Naypidaw), dan Aung San Suu Kyi (tokoh perlawanan legendaris Myanmar, putra Bogyoke Aung San, pendiri Myanmar).
Belakangan, memori orang tentang Myanmar tertuju melulu kepada dua peristiwa tragis, masing-masing topan alias Cyclone Nargis yang menghantam Irawady Division dan Yangoon dan menelan ribuan jiwa, serta terusirnya etnis minoritas Rohingya dari Northern Rakhine State karena rezim militer Jenderal Than Shwee tak kunjung mengakui mereka sebagai warga Negara Myanmar (stateless persons).
Maka, Bajaj di Jakarta jauh lebih beruntung. Kendati pendapatan supir bajaj jauh dari cukup, namun sebagian publik Jakarta, tetap merindukan kendaraan jingga boros asap ini untuk menempuh perjalanan jarak dekat. Benci tapi rindu.
Dua tahun terakhir eksistensi etnis Rohingya mulai menyita perhatian ASEAN dan juga masyarakat Indonesia. Utamanya ketika sebagian dari mereka terdampar di Laut Andaman, Samudera Hindia hingga Selat Melaka dalam rangka mencari suaka karena terusir dari tanah air mereka, Myanmar.
Selain etnis minoritas Rohingya, satu sisi gelap Myanmar yang jarang diketahui publik adalah eksistensi masyarakat muslim non Rohingya yang ternyata berjumlah cukup banyak.
Begitu menjejakkan kaki di Yangoon setelah menempuh perjalanan udara dari Bangkok dengan Air Asia, dengan mudah mata saya menemukan sejumlah masjid di Yangoon. Tak hanya masjid, ada juga restoran halal India lengkap dengan nasi Biryani-nya, samosa, dan lain-lain.
Terus terang, pemandangan seperti itu sukar ditemukan di Ibukota Mekong River States lainnya seperti Vientiene (Lao PDR), Hanoi (Vietnam), dan Phnom Penh (Cambodia). Hanya Bangkok ibukota Thailand yang mengalahkan Yangoon dalam banyaknya jumlah masjid.
Dan ternyata tak hanya di Yangoon, kota terbesar dan mantan Ibukota Myanmar, muslim dan masjid juga terserak di Mandalay Division, provinsi indah yang terletak di Myanmar bagian tengah.
Perjalanan menuju Myanmar bisa ditempuh dengan tiga cara. Via sungai melalui Irrawaddy atau Ayyeyarwady river, jalan darat, ataupun udara. Bagi penyuka backpacking dan traveling, dua cara di depan bolehlah ditempuh. Apalagi bumi Myanmar amatlah indah. Bagi yang tak suka dengan perjalananan panjang dan lama (jalanan di Myanmar tidak lebih baik dari Indonesia dan bis –pun berjalan lambat, perjalanan udara dari Yangoon ke Mandalay boleh jadi pilihan.
Menggunakan jasa transportasi udara di Myanmar seperti kembali ke Indonesia di tahun 1970-an. Maskapai penerbangan dan jumlah pesawat amat sedikit. Pesawat lebih banyak yang berbaling-baling seperti ATR 72 ketimbang bermesin jet seperti Airbus atau Boeing 737. Beberapa airlines yang terkenal antara lain Air Bagan, Myanmar Airways, Myanmar Airways International, Yangoon Airways, dan Air Mandalay. Dan jangan samakan jumlah armada pesawat mereka seperti yang dimiliki Garuda, Singapore Airlines ataupun Thai Airways. Paling banyak jumlah pesawat mereka adalah lima buah, termasuk yang berbaling-baling tentunya.
Sama halnya dengan bandara, bandara international Yangoon tak lebih baik dari Bandara Kelas II di Indonesia. Apalagi terminal domestiknya. Amat memprihatinkan. WC-nya penuh kotoran, tak ada fasilitas pengiriman bagasi dari check in counter ke pesawat (dan sebaliknya) selain tenaga manusia (bagasi kita didorong dan diseret). Tak ada pula kursi tersedia di terminal bagian luar. Walhasil, sebelum calon penumpang masuk ke terminal, mereka menunggu di emperan jalan sambil jongkok, karena pintu belum lagi terbuka di subuh hari tersebut dan tak ada kursi tersedia di pelataran bandara.
Terminal Internasional Yangoon Airport sedikit lebih baik, namun counter imigrasinya cukup aneh. Ada dua orang yang melayani di setiap counter. Satu mengecek dan memverifikasi dan yang lainnya memberikan stamp. Petugas imigrasinya menggunakan baju hijau, persis tentara. Lucunya, airport tax yang dibayarkan bagi outgoing passengers, lebih disukai apabila dalam bentuk US $ Dollar dan tidak lecek.
Dengan menumpang ATR 72 Air Bagan, di pagi hari tersebut saya menuju Mandalay. Di tengah jalan pesawat sempat transit di Naypidhaw, ibukota baru Myanmar, untuk menurunkan sejumlah pejabat dan tentara, tanpa memberitahukan dulu kepada penumpang. Maka, dengan entengnya saya keluar pesawat dan berjalan meninggalkan pesawat. Belakangan saya sadar, kok airport ini sepi sekali, tak ada pesawat dan bangunan apapun selain terminal. Airport-nya pun seperti masih baru. Karena penasaran saya tanya seorang opsir, dan dia bilang ini memang belum Mandalay ! gubrakk ! sekali-sekalinya seumur hidup saya turun dari pesawat di bandara bukan tujuan.
Ajaibnya, Airport Mandalay jauh lebih cantik dan modern dari Airport Yangoon. Ada garbarata yang menyambungkan terminal ke pesawat (walaupun tak terpakai karena pesawat jarang mendarat dan biaya mengoperasikannya mahal). Kecantikan dan kemegahan yang mubazir. Ruangan-pun agak gelap karena lampu-lampu tak dinyalakan semua. Pengiritan listrik barangkali. Toiletnya ditunggui oleh cleaning service yang berbaju tak seperti CS. Tissue tak tersedia di wastafel atau tergantung di dinding, melainkan diberikan langsung oleh sang cleaning service.
Disamping itu, banyak dijumpai porter ngganggur. Karena jarang pesawat mendarat dan tak ramai penumpang yang memerlukan jasa pengangkat barang. Agak mirip dengan bandara Soekarno Hatta. Bedanya di bandara Soeta frekuensi penerbangannya jauh lebih banyak
Bumi Mandalay sendiri mirip dengan Sulawesi atau Kalimantan. Tanah pertanian, hutan, pegunungan, danau dan sungai bergeletakkan dimana-mana. Jalan dari bandara Mandalay ke Mandalay city jauh dari mulus, malah dipenuhi oleh sapi, gerobak, sepeda, mobil-mobil era 70-an. Mobil seperta Toyota DX, Corolla GL, Nissan Sunny, era 70 – 80-an masih amat mudah ditemui di Mandalay. Belum lagi Mazda kotak sabun RX 600 produksi tahun 1960-an. Di Indonesia mobil ‘culun’ ini nyaris masuk museum. Di Mandalay malah jadi angkutan umum, semacam angkot di Indonesia dengan ukuran seluas bemo sahaja.
Betul, sepertinya sepeda adalah moda transportasi utama di Mandalay. Dimana-mana orang bersepeda, tua muda, laki perempuan. Untuk keperluan bersekolah, pergi dan pulang kerja, dan urusan apapun. Bukan semata-mata karena mereka hobi bersepeda, namun karena penduduknya relatif miskin dan tak mampu membeli motor apalagi mobil. Sepedanya-pun tidak bermerk Federal atau Wim Cycle, tapi mirip sepeda jengki yang digunakan di Jawa pada zaman penjajahan doeloe.
Bagaimana dengan kehidupan warga muslimnya? Inilah ajaibnya Mandalay. Di antara Negara-negara Mekong River States (kecuali Thailand Selatan tentunya), terdapat 52 masjid di Mandalay City dan 6 masjid di kota indah di sisi timurnya Pyin Oo Lwin (sampai saat ini saya masih gagal melafazkan nama kota tersebut dengan benar, anda bisa?). Keterangan ini disampaikan oleh Muhammad Yusuf, seorang imam masjid keturunan Tionghoa yang kami jumpai di Masjid Pyin Oo Lwin. “There are eight lakh (80.000) muslim in Mandalay city and another two lakh (sama dengan 20.000) in Pyin Oo Lwin,” tambah Imam Muhammad Yusuf dengan ramah.
Kota Mandalay indah di waktu siang, namun gelap di waktu malam. Kendati ia kota nomor dua terbesar di Myanmar (seperti halnya Surabaya di Indonesia atau Chiang Mai di Thailand) dengan keramaian dan kepadatan penduduk yang lumayan, namun di malam hari seperti kota mati. Penerangan jalan umum amat minim. Pasokan listrik amat terbatas. Listrik nyala sebentar untuk kemudian mati. Tak heran, hampir di seluruh fasilitas publik (hotel, toko, masjid) sampai rumah pribadi, selalu tersedia genset di muka rumahnya. Suara genset bersahut-sahutan menjadi menu lain dari malam hari di Mandalay.
Masjid di Mandalay city amat banyak. Dari hotel tempat kami menginap, dalam radius satu kilometer tak kurang kami menemukan enam buah masjid. Ukurannya –pun benar-benar berukuran masjid (bukan seperti mushalla yang tak dipakai untuk shalat Jum’at). Beberapa bahkan sangat megah dan berusia lumayan lanjut.
Penamaan dan penomoran jalan di Mandalay sepertinya mengadopsi sistem di Amrik. Pemukiman dipetak-petak dan diblok-blok ala persegi panjang dan jalan dinomori secara sederhana seperti 1st street, 2nd street, 3rd street dan seterusnya. Nah, masjid-masjid tersebut terletak hampir di setiap jalan atau berselang seling dua atau tiga jalan.
Jama’ah masjid rata-rata berwajah seperti orang Bengali (Bangladesh dan sekitarnya), kulit agak hitam tapi tidak legam. walaupun tidak berarti mereka etnis Rohingya (yang memang keturunan Bengali). Ada juga yang keturunan Tionghoa, seperti Imam Muhammad Yusuf di Pyin Oo Lwin, juga yang berwajah Melayu. Jangan salah, orang Burma banyak yang berwajah layaknya orang Melayu. Dua teman Burma saya dan para petugas hotel tempat saya menginap di Yangoon mengatakan wajah saya mirip orang Burma. Dan mereka percaya ketika saya bilang : “I am Burmese but can not speak Burmese.”
Penasaran ingin tahu model shalat di Mandalay? saya mencoba ikut shalat di empat masjid berbeda di radius satu kilometer dari penginapan saya. Dua kali shalat jama’ah di waktu Isya dan Subuh, dan dua kali shalat sendiri karena sudah di luar waktu shalat jama’ah.
Rata-rata jama’ah masjid mengenakan busana yang serius untuk pergi ke masjid. Bergamis putih, atau baju model Pakistan – India yang panjangnya selutut plus celana panjang dengan warna senada, ada juga yang mengenakan sarung. Jarak antara waktu adzan dengan shalat jama’ah cukup lama, sekitar tiga puluh menit. Menunggu jama’ah berkumpul dahulu, barangkali. Jama’ah pun tak bersuara keras menyuarakan ‘amin’ ketika imam usai membaca Al Fatihah. Berbeda sekali dengan shalat jama’ah model Indonesia dimana para jama’ah mengumandangkan ‘amin’ dengan lantang, apalagi anak-anak..
Mencari makanan halal juga tidak terlalu sulit di Mandalay. Mau versi mahal atau murah tersedia semua. Saya sendiri pilih versi murah, yaitu kedai halal di pinggir jalan yang cukup mudah dikenali dari stiker Allah, Muhammad, Bismillah, ataupun kaligrafi yang bertempelan di dinding.
Menu apa yang tersedia? Karena tak tersedia menu dalam bahasa Inggris, semuanya dalam bahasa Myanmar, maka melulu saya makan nasi goreng. Rasanya dahsyat. Terkesan dibuat sembarangan namun mak nyus. Untuk minum saya pilih Teh. Terus terang teh Mandalay amat nikmat. Berkali-kali saya meminumnya tanpa gula. Apalagi gelasnya memang ukuran mini, maka segelas saja tak cukup untuk membasahi tenggorokan. Sayangnya, orang Myanmar punya kebiasaan mengunyah sirih hingga mulutnya merah, dan membuang muntahan sirih merah tersebut dengan sembarangan saja. Termasuk di kedai saya. Kenikmatan memangsa nasi goring Mandalay sedikit terganggu dengan pemandangan orang meludah sirih dan sisa sirih merah di sekitar kedai.
Tapi sebutan kedai halal hanya namanya saja, karena sajian hiburannya ternyata ‘kurang halal’. Beberapa kali saya disuguhi tayangan teve dengan program utama lagu dan tarian Bollywood dalam bahasa India. Semua tamu, termasuk banyak anak kecil, tampak memelototi layar. Apalagi para pelantun dan penari-penarinya memang berwajah cantik dan berbusana pas-pasan pula. Tampaknya tayangan Bollywood tersebut memang jadi jualan dan salah satu daya tarik utama kedai disana. Bagaimana tidak, teve-nya berlayar lebar dan pengeras suara yang digunakan bisa terdengar hingga puluhan meter jauhnya. Padahal, tak jelas betul apakah mereka memahami bahasa India (Hindi) atau tidak.
Tapi lagi, tak semua muslim Mandalay ala Muslim Bollywood. Di Pyin Oo Lwin, kota cantik di dataran tinggi timur Mandalay yang dulu merupakan ibukota musim panas British Burma, dan dapat ditempuh dalam 2 – 3 jam dari Mandalay City, tersedia enam masjid dan satu pondok penghafal qur’an (tahfidzul qur’an). Ada juga satu kedai halal persis di samping masjid jami yang terletak di jalan utama (downtown) Pyin Oo Lwin. Uniknya, kedai ini dikelola oleh muslim keturunan Tionghoa. Berbeda dengan di Mandalay city yang kebanyakan dikelola oleh muslim berparas Bengali.
Di Pyin Oo Lwin juga saya bertemu dengan seorang muslim berhati malaikat. Namanya Kamrun. Dia bilang dalam bahasa Arab nama dia sepadan dengan Kamaruddin. Kamrun adalah penjual barang antik bernilai tinggi di pasar Pyin Oo Lwin. Semua barang dijual Kamrun. You name it. Uang dan koin kuno, senjata tajam, buku dan foto-foto masa silam, peta jaman dahulu, dan ribuan barang-barang antik lainnya. Customer-nya bukan orang setempat, tapi banyak dari Thailand bahkan Inggris. Maklum, kota sejuk di puncak gunung ini adalah mantan summer capital British Burma era kolonial silam.
Tapi bukan itu saja keistimewaan Kamrun, ia amat lancar berbahasa Inggris dan amat ramah. Bertemu sekali di masjid jami Pyin Oo Lwin, langsung ia mengantar saya mencari kendaraan pulang ke airport. Bercerita banyak tentang pekerjaan dan kotanya. Termasuk mengoleh-olehi saya mata uang kuno Myanmar. Tak ingin mengecewakannya, sayapun tertarik untuk membeli setrika besi kuno ukuran mini yang ditawarkan ke saya dengan harga amat murah. “I got it from villager around here Brother, you will not easily find it in other areas,” tukasnya.
Kepada Kamrun, Sayapun bercerita tentang kehidupan muslim di Indonesia. Bahwasanya muslimah di Indonesia pergi shalat ke masjid juga, tidak hanya yang laki-laki. Apa komentarnya? “Muslim’s belief in Indonesia is so strange,”. Karena di Mandalay, tak umum perempuan shalat di masjid.
Akhirnya, di penghujung perjumpaan kami, saat saya mesti mengejar sedan yang akan mengantar saya balik ke Mandalay Airport, Kamrun mendekap erat saya disaksikan Omar, salah seorang pekerjanya. Dengan lirih ia mengatakan : “Allah hafidz Brother…”
Leave a Reply