SUAKA PALSU WNI DI AS
Heru Susetyo
Aktivis Pusat Advokasi Hukum dan HAM Indonesia (PAHAM)
Di pertengahan November 2004, masyarakat Indonesia di pantai timur Amerika Serikat dikejutkan dengan penangkapan 26 orang Warga Negara Indonesia (WNI) yang mayoritas keturunan Tionghoa atas tuduhan pemalsuan dokumen-dokumen keimigrasian dan pengajuan permohonan suaka politik palsu.
Majalah Tempo 5 Desember 2004 mengungkapkan bahwa pada 22 November 2004 pemerintah AS telah menggerebek anggota sindikat pemalsu dokumen suaka secara serentak di lebih dari 10 negara bagian di AS. Dari 26 tersangka, 23 di antaranya adalah WNI, sisanya dua orang warga negara AS dan seorang warga Australia. Pimpinan sindikat ini adalah Hans Gouw, WNI yang permohonan suakanya dikabulkan pada 1999.
Semua tersangka dikenai tuduhan sama : memalsukan dokumen suaka dan berkonspirasi dalam pemalsuan dokumen. Antara lain dokumen Surat Izin Mengemudi (Driving License), Kartu Identitas Penduduk (ID Card), sertifikat permanent resident (green card), Social Security Number (SSN), sampai dengan pengurusan suaka politik (political asylum).
Pengajuan suaka (asylum application) palsu ini bukan berita baru bagi masyarakat Indonesia yang tinggal di AS. Sejak kerusuhan 1998, hampir selalu isu ini yang sering digunakan. Bahwa mereka adalah WNI yang terzhalimi karena beretnis keturunan, karena minoritas, dan karena non muslim.
Mereka menyiapkan skenario pengakuan bohong seperti diperkosa atau dianiaya dalam kerusuhan etnis atau agama. Sayangnya, mereka tak cukup cantik dalam mengemas cerita ini. Dalam beberapa permohonan suaka, ceritanya cenderung seragam. Para pelamar menghafalkan kata demi kata secara persis seperti yang diajarkan, juga diajari menangis dan memohon secara emosional untuk mengundang simpati petugas.
Dari observasi penulis langsung ketika studi di AS, penulis menemukan sejumlah kasus permohonan suaka yang diajukan oleh WNI keturunan Tionghoa yang tinggal di AS. Dalam satu kasus permohonan suaka yang diajukan di negara bagian Illinois dan kemudian dikabulkan oleh pengadilan setempat (district court), memang cerita yang dikemukakan hampir serupa dengan kisah karangan Hans Gouw dkk. Disebutkan disitu bahwa sang pemohon (WNI Keturunan Tionghoa) dilahirkan di Jawa Timur di tengah masyarakat mayoritas muslim. Ia sering mengalami perlakuan diskriminatif sejak lahir. Sering di –Cina-Cina-kan, dilecehkan, sulit untuk beribadah di gereja, dianiaya, dan puncaknya pada kerusuhan Mei 1998, dimana gerejanya dibakar, rumahnya dibakar, keluarganya disiksa, dan ia nyaris diperkosa… Benarkah cerita tersebut? Wallahua’lam. Yang pasti, hakim kemudian memanggil saksi ahli yang mengerti kondisi Indonesia, kemudian kasusnya diperiksa, dan akhirnya permohonan suakanya dikabulkan. Ia akan menjadi warga negara AS dalam waktu tak terlalu lama.
Antara Pencari Suaka dan Pengungsi
Mengajukan suaka (politik) memang adalah suatu perbuatan yang legal dan merupakan bagian dari hak asasi manusia. Apalagi jika memang tersedia alasan yang cukup untuk itu. Pasal 28 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa : “setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain.”
Sementara itu, pasal 13 paragraf 2 Deklarasi HAM Universal 1948 menyebutkan bahwa “Everyone has the right to leave any country, including his own, and to return to his country’. Hak atas kebebasan untuk memilih tempat tinggal (negara) ini dipertegas oleh Declaration of Territorial Asylum 1967yang menyatakan : (1). Everyone has the right to seek and to enjoy in other countries asylum from persecution (2). This right may not be invoked in the case of prosecutions genuinely arising from non-political crimes or from acts contrary to the purposes and principles of the United Nations.
Dari penegasan deklarasi ini, kata kunci untuk memohon suaka (asylum) adalah adanya ketakutan ataupun kekhawatiran akan menjadi korban dari suatu penyiksaaan/ penganiayaan (persecution) di suatu negeri, sehingga ia memilih untuk mencari perlindungan (suaka) ke negara lain. Termasuk disini adalah bagi para pejuang/ orang-orang yang berjuang melawan kolonialisme (persons struggling against colonialism). Namun, permohonan suaka ini dibatasi hanya untuk ketakutan yang timbul dari suatu kejahatan politik dan tidak untuk selainnya (non political crimes), apalagi apabila permohonan tersebut berlawanan dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dari PBB. Termasuk dalam golongan mereka yang diharamkan untuk menerima suaka politik adalah mereka yang diduga keras telah melakukan kejahatan terhadap perdamaian (crime against peace), kejahatan perang (war crime), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).
Batasan terminologi ‘suaka’ ini nyaris beririsan dengan batasan terminologi ‘pengungsi’. Terminologi ‘pengungsi’ menurut Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 (Convention Relating to the Status of Refugees) adalah mereka yang : seseorang yang “oleh karena rasa takut yang wajar akan kemungkinan dianiaya berdasarkan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada suatu kelompok sosial tertentu, atau pandangan politik, berada di luar negeri kebangsaannya, dan tidak bisa atau, karena rasa takut itu tidak berkehendak berada di dalam perlindungan negeri tersebut.
Dalam istilah lain, ‘refugee’ adalah pengungsi yang lari ke negara lain, yang sudah jelas diatur statusnya melalui konvensi 1951 dan protokol PBB 1967 yang telah diratifikasi oleh 136 negara.
Disamping itu, belakangan hadir pula istilah ‘pengungsi internal’ (Internally Displaced Persons) yang memiliki makna sebagai berikut : Orang-orang atau kelompok-kelompok orang yang telah dipaksa atau terpaksa melarikan diri atau meninggalkan rumah mereka atau tempat mereka dahulu biasa tinggal, terutama sebagai akibat dari, atau dalam rangka menghindarkan diri dari dampak-dampak konflik bersenjata, situasi-situasi rawan yang ditandai oleh maraknya tindak kekerasan secara umum, pekanggaran-pelanggaran hak asasi manusia, bencana-bencana alam, atau bencana-bencana akibat ulah manusia, dan yang tidak meliintasi perbatasan negara yang diakui secara internasional (The Guiding Principles of Internal Displacement, 1998).
Jenis pengungsi terakhir inilah yang kini paling banyak didapati di Indonesia. Yaitu, mereka yang terpaksa mengungsi akibat konflik vertikal (Aceh, Timor Timur, Papua) ataupun konflik horizontal bernuansa etnis dan agama (Poso, Maluku, Sampit, dan Sambas). Pada tahun 2002, jumlah mereka mencapai 1,4 juta jiwa (IDPProject, 2002).
Dasar Hukum Memohon Suaka
Kata kunci dari permohonan Suaka yang sah adalah adanya rasa takut/ ancaman terhadap keselamatan diri dari penganiayaan/ penyiksaaan (persecution). Kemudian, mengutip definisi dari ‘pengungsi’, alasan tambahan dari permohonan suaka adalah adanya cukup alasan/ bukti bahwa yang bersangkutan terancam keselamatannya karena alasan rasial, agama, kebangsaan, keanggotaannya dalam suatu kelompok sosial atau kelompok politik. Dan, dimana ia tak mendapatkan jaminan ataupun perlindungan yang seharusnya di dalam negerinya (well founded fear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, is outside the country of his nationality and is unable, or owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country).
Kasus-kasus permohonan suaka oleh para pencari suaka (asylum seekers) yang telah terjadi di dunia dan dianggap layak oleh hukum internasional antara lain pengungsi Vietnam pasca konflik AS – Vietnam tahun 60 – 70 –an, pengungsi Afghanistan era Taliban, pengungsi Irak era Saddam Hussein, pengungsi Kamboja era Pol Pot, pengungsi Haiti, dan lain-lain.
Seringkali, para pengungsi (refugees) adalah sekaligus pencari suaka (asylum seekers), karena mereka tak punya pilihan hidup lain selain mengadu nasib di negeri orang. Namun, ada juga pencari suaka yang tak mendapat status sebagai ‘pengungsi.’ Berbeda halnya dengan pengungsi domestik (internally displaced persons- IDPs) yang memang tak hendak mencari suaka di negeri orang. Mereka hanya merasa tidak aman dan nyaman untuk tetap bertahan di daerahnya sendiri.
Apabila tersedia cukup alasan untuk mencari suaka, maka perlindungan terhadap para asylum seekers dan refugees tersebut sungguh kuat di sisi hukum pengungsi internasional. Seperti pasal berikut :
Pasal 3 Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture) : “Negara peserta dari Konvensi ini dilarang untuk mengusir atau mengembalikan, ataupun mengekstradisikan (non refoulement) ke negara lain seseorang atau sekelompok orang yang memiliki cukup alasan bahwa ia berada dalam ancaman penyiksaan/ kekerasan.
Juga, pada pasal 31 Konvensi tentang Status Pengungsi tahun 1951 disebutkan bahwa : “Negara peserta dari Konvensi ini tidak akan menjatuhkan hukuman kepada seseorang/ sekelompok orang yang memasuki suatu negara secara tidak sah (ilegal) karena mengungsi ataupun karena keselamatannya terancam.“
Mensikapi Suaka Palsu WNI di AS
Memang, tak semua kisah permohonan suaka WNI keturunan Tionghoa di AS adalah fiktif. Banyak juga yang benar walaupun pada banyak bagian dilebih-lebihkan. Kenyataannya, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa memang masih terjadi di Indonesia. Namun, kalau disebutkan bahwa korban kerusuhan Mei 1998 adalah hanya etnis Tionghoa, kenyataannya tidak juga. Banyak juga etnis non Tionghoa yang menjadi korban kekerasan fisik maupun seksual pada peristiwa tersebut. Di sisi lain, permohonan asylum yang diajukan dengan menggunakan alasan tersebut lebih dari 300 permohonan. Padahal tidak semua pemohon adalah perempuan (korban perkosaan), pun tidak ada bukti menjadi korban langsung dari peristiwa tersebut. Wajarlah apabila orang menilai bahwa aroma fiktif dari permohonan-permohonan tersebut amat kentara.
Yang lebih memprihatinkan, demi mendapat suaka, yang kemudian akan berujung pada permanent resident (green card) dan akhirnya sebagai citizen(warganegara), pemohon tak segan-segan mendiskreditkan agama dan umat Islam Indonesia. Terkesan, masyarakat muslim Indonesia sangat fanatik, intolerance, tak memberi ruang pada agama lain, dan akhirnya gemar menyiksa dan menghancurkan prasarana ibadah agama lain. Padahal, seperti telah kita ketahui, bagian terbesar umat Islam Indonesia justru adalah mereka yang ‘abangan’ alias tidak terlalu ketat dengan keislamannya. Memang, ada beberapa kelompok yang ‘tidak toleran’ dengan umat lain, namun hal ini tidak dapat digunakan untuk menggeneralisir bahwa umat IslamIndonesia sebagai tidak toleran.
Yang juga janggal, pemohon suaka dari WNI yang berada di AS sebenarnya punya banyak pilihan selain di AS. Mereka bisa ke Singapura, Hongkong,Taiwan, Australia, ataupun New Zealand. Mengapa harus ke AS yang jaraknya jauh lebih jauh. Mengapa mereka tak memilih negara Scandinavia yang terkenal ramah dengan pencari suaka dan pengungsi? Siapapun tahu, untuk ke AS perlu visa yang harus dimohon jauh-jauh hari, juga biaya transportasi yang tidak sedikit. Artinya, ada perencanaan, ada biaya, dan ada waktu yang dimiliki oleh para ‘pencari suaka’ sebelum pergi ke AS. Padahal, biasanya para pencari suaka ataupun pengungsi adalah orang-orang yang terusir secara paksa dari negerinya tanpa sempat membawa apapun yang berharga. Sering hanya membawa badan dan pakaian saja di tubuhnya. Maka, motif untuk mencari kenikmatan ekonomi dan materiil di AS nampak lebih kentara, dari para WNI keturunan ini dalam memohon suaka, ketimbang untuk mencari tempat perlindungan yang aman dari ancaman penyiksaan dan penganiayaan rasial dan agama (persecution).
Maka, pemerintah AS tak terlalu salah untuk mendeportasi mereka kembali ke Indonesia, ataupun untuk membatalkan suaka mereka, serta membatalkangreencard ataupun citizenship mereka. Juga untuk menghukum mereka dengan hukuman pidana ala AS. Kemudian, di Indonesia mereka-pun harus siap menerima sanksi. Karena, mereka telah menggadaikan negara dan bangsa, utamanya umat Islam, dengan menyebar cerita fitnah demi keuntungan dan kenikmatan pribadi.
Wallahua’lam
Leave a Reply