SUAKA WARGA PAPUA DI AUSTRALIA
Heru Susetyo
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia/
Alumnus Program Master of International Human Rights Law Northwestern University –Chicago
Beberapa pekan terakhir suhu politik Indonesia-Australia kembali meninggi. Sebabnya adalah mendaratnya 43 orang warga Papua ke Australia pada pertengahan Januari 2006 di Cape York, Australia, setelah enam hari berlayar dari Papua (Koran TEMPO, 26/1-2006). Tujuan mereka antara lain adalah memohon suaka politik dari pemerintah Australia dengan dalih khawatir menjadi korban kekerasan dan ‘genocide’ di Papua.
Mereka -yang terdiri dari 30 pria dewasa, 6 perempuan, dan 7 anak-anak berasal dari sekitar Nabire Papua- kemudian diterbangkan dengan pesawat Hercules AU Australia ke pulau Christmas sebagai tahanan imigrasi, untuk kemudian diproses kelayakan aplikasi suaka-nya di pulau di selatan Pelabuhan Ratu tersebut.
Permohonan suaka ke negera lain oleh WNI telah terjadi beberapa kali. Beberapa tahun silam ada warga Timor Timur (ketika masih bergabung ke NKRI) yang memohon suaka ke kedubes Vatican, juga beberapa pemuda asal Aceh memohon suaka ke kedubes Swedia. Di Amerika, tak berbilang banyaknya, warga keturunan Tionghoa yang memohon suaka ke pemerintah AS, terutama setelah kerusuhan Mei 1998, dengan dalih khawatir menjadi korban kekerasan kalau kembali ke Indonesia.
Khusus untuk permohonan suaka warga Papua ini, apakah permohonannya layak diterima dari perspektif hukum internasional, atau tidak? Apalagi Presiden SBY dan Menlu Hasan Wirayudha sebelumnya telah menyatakan bahwa mereka bukanlah target pencarian dan takkan ditangkap sekiranya kembali ke Indonesia.
Dasar Memohon Suaka
Mengajukan asylum (suaka) memang adalah perbuatan yang legal dan merupakan bagian dari hak asasi manusia. Apalagi jika memang tersedia alasan yang cukup untuk itu. Pasal 28 UU RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa : “setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain.”
Sementara itu, pasal 13 (2) Deklarasi HAM Universal 1948 menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk meninggalkan Negara, termasuk negaranya sendiri, ataupun untuk kembali ke negaranya.” Hak atas kebebasan mencari suaka ini dipertegas oleh Declaration of Territorial Asylum 1967 yang menyatakan bahwa: (1). Setiap orang memiliki hak untuk mencari dan menikmati suaka di Negara lain karena kekhawatiran mengalami penyiksaan (2) Hak ini tak dapat dimohonkan dalam kasus-kasus yang sifatnya non politis ataupun karena tindakan-tindakan yang bertentangan dengan maksud dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam piagam PBB.
Dari penegasan deklarasi ini, kata kunci untuk memohon suaka adalah adanya ketakutan ataupun kekhawatiran akan menjadi korban dari suatu penyiksaaan/ penganiayaan (persecution) di suatu negara, sehingga ia memilih untuk mencari perlindungan (suaka) ke negara lain. Termasukdisini adalah bagi para pejuang/ orang-orang yang berjuang melawan kolonialisme (persons struggling against colonialism).
Namun, permohonan suaka ini dibatasi hanya untuk ketakutan yang timbul dari suatu kejahatan politik atau yang bernuansa SARA dan tidak untuk selainnya (non political crimes), apalagi apabila permohonan tersebut berlawanan dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dari PBB. Termasuk dalam golongan mereka yang diharamkan untuk menerima suaka politik adalah mereka yang diduga keras telah melakukan kejahatan terhadap perdamaian (crime against peace), kejahatan perang (war crime), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).
Pencari suaka (asylum seekers) sering diposisikan secara beririsan denganrefugees (pengungsi). Karena, terminologi ‘pengungsi’ menurut Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 (Convention Relating to the Status of Refugees) adalah: “seseorang yang“oleh karena rasa takut yang wajar akan kemungkinan dianiaya berdasarkan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada suatu kelompok sosial tertentu, atau pandangan politik, berada di luar negeri kebangsaannya, dan tidak bisa atau, karena rasa takut itu tidak berkehendak berada di dalam perlindungan negeri tersebut.”
Namur, pencari suaka berbeda dengan pengungsi. Seringkali para pencari suaka adalah sekaligus pengungsi juga, utamanya ketika mereka meninggalkan negerinya karena rasa takut yang wajar akan penganiayaan. Namun, tak semua pengungsi adalah pencari suaka. Karena banyak juga pengungsi yang ingin pulang ke negerinya ketika kondisi negeri telah relatif aman.
Prinsip Non Refoulement Bagi Australia
Menarik melihat sikap Australia kali ini yang memberi peluang bagi warga Papua untuk diproses dulu permohonan suakanya di Pulau Christmas. Karena pada Agustus 2001 negara ini pernah menolak masuknya para pencari suaka asal Afganistán dan Irak ke daratan Australia setelah sebelumnya mereka transit dan menumpang kapal dari Indonesia. Bedanya, ketika itu, para pencari suaka yang kemudian terdampar dan diselamatkan kapal barang Norwegia, Tampa, tak diperkenankan masuk Australia. Pun, untuk diproses dahulu permohonan suakanya. Mereka malah dikirimkan ke Nauru untuk diproses permohonannya, untuk kemudian ditampung di New Zealand, Canada, dan di beberapa negara Scandinavia.
Memang, sejatinya, Australia dan semua negara yang kedatangan para pemohon suaka, tak menolak masuknya para pencari suaka pada kesempatan pertama. Apalagi ketika alasan mereka memohon suaka adalah masuk akal. Langkah terbaik adalah memproses dahulu permohonan tersebut apakah beralasan atau tidak. Karena, dalam hal ini berlaku prinsip non refoulement (tidak mengusir/ mengembalikan).
Pasal 3 Konvensi PBB tentang Anti Penyiksaan (Convention Against Torture) menyebutkan bahwa : “Negara peserta dari Konvensi ini dilarang untuk mengusir atau mengembalikan, ataupun mengekstradisikan (non refoulement) ke negara lain seseorang atau sekelompok orang yang memiliki cukup alasan bahwa ia berada dalam ancaman penyiksaan/ kekerasan.
Juga, pada pasal 31 Konvensi tentang Status Pengungsi (Convention Relating to the Status of Refugees) tahun 1951 menyebutkan bahwa : “Negara peserta dari Konvensi ini tidak akan menjatuhkan hukuman kepada seseorang/ sekelompok orang yang memasuki suatu negara secara tidak sah (ilegal) karena mengungsi ataupun karena keselamatannya terancam.“
Kelayakan Warga Papua Beroleh Suaka
Apakah warga Papua yang sudah terlanjur tiba di Australia berhak atas suaka politik? Kata kunci dari permohonan Suaka adalah adanya rasa takut/ ancaman terhadap keselamatan diri dari penganiayaan/ penyiksaan (persecution). Juga, tersedia cukup alasan/ bukti bahwa yang bersangkutan terancam keselamatannya karena alasan rasial, agama, kebangsaan, keanggotaannya dalam suatu kelompok sosial atau kelompok politik. Dan, dimana ia tak mendapatkan jaminan ataupun perlindungan yang seharusnya di dalam negerinya (vide Konvensi tentang Status Pengungsi tahun 1951).
Apabila alasan para pencari suaka adalah karena telah terjadi ‘genocide’ (pembersihan etnis) di Papua, ini kurang beralasan. Karena, genocide terkait dengan setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, ataupun kelompok agama (vide pasal 8 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
Sejauh pengetahuan kami, kekerasan Negara (state violence) ataupun kekerasan tentara/ polisi terhadap warga sipil memang kerap terjadi di Papua namun itu tidak identik dengan genocide. Karena yang menjadi korban seringkali tidak mewakili etnis ataupun kelompok tertentu. Juga kekerasan tersebut terjadi tidak dengan niat untuk ‘menghilangkan’ etnis/ kelompok tertentu. Barangkali yang lebih tepat adalah telah terjadi kejahatan yang memenuhi kualifikasi kejahatan terhadap kemanusiaan(crime against humanity) ataupun pelanggaran berat HAM yang kualifikasinya sama dengan genocide, yang mengancam dan membuat takut warga yang masih hidup, sehingga memerlukan memohon suaka ke negeri lain.
Tapi, sekali lagi hal tersebut harus dibuktikan. Bahwa benar sang pencari suaka benar-benar merasa terancam akan mengalami penyiksaan sekiranya mereka tetap berada atau kembali ke daerah asal. Bahwa keanggotaan mereka dalam kelompok politik, sosial, rasial, etnis dan agama tertentu memang membuat mereka betul-betul berada dalam bahaya. Pembuktian tersebut tak menjadi monopoli imigrasi saja, namun juga hingga pem-proses-an ke pengadilan.
Catatan Akhir
Kendati, pemerintah RI telah menjamin bahwa para pencari suaka bukanlah target operasi dan takkan ditangkap kalau mereka pulang ke Indonesia. Dan, para pencari suaka-pun tetap bertahan pada keyakinan bahwa mereka akan menjadi target penyiksaan apabila tetap bertahan di Papua, bola kini berada pada pemerintah Australia.
Australia telah menjadi pihak (party) dalam Konvensi Status Pengungsi 1951 dan Konvensi Anti Penyiksaan 1984. Artinya mereka mesti memperlakukan para pencari suaka dengan layak dan tidak begitu saja mengusir atau memulangkan ke negeri asal pada kesempatan pertama (non refoulement) seperti yang pernah dilakukan pada pencari suaka dari Afghanistan-Irak tahun 2001 dalam Tampa Affair, yang menuai kecaman dunia internasional. Pem-proses-an di Pulau Christmas adalah suatu langkah awal yang positif.
Bagi pemerintah RI, semestinya kasus ini menjadi evaluasi mengapa ada warga negara yang tidak nyaman dan ingin hengkang dari bumi Indonesia. Harus diakui bahwa kekerasan negara yang dilakukan oknum tentara/ polisi kerap terjadi di daerah konflik, peristiwa mana membuat banyak warga di daerah konflik amat gerah dan ingin menyelamatkan diri.
Bagi para pencari suaka, mesti betul-betul ditelaah alasan mereka mencari suaka. Apakah benar-benar beralasan sesuai Konvensi Internasional atau lebih karena alasan-alasan non politis dan non SARA. Karena, pengalaman menunjukkan bahwa permohonan suaka yang tidak beralasan takkan dapat diterima, dan sang pencari suaka kemudian dapat menjadi subyek untuk ditahan, dikenakan denda, atau bahkan di-deportasi.
Leave a Reply