TAHUN KUNJUNGAN WISATA 2008, SIAPKAH?
Heru Susetyo
Mahasiswa Program Doktor bidang Human Rights and Peace Studies
Mahidol University, THAILAND
Tahun 2008 baru saja dijelang. Ada yang spesial kali ini. Pemerintah mencanangkan tahun 2008 sebagai tahun kunjungan wisata (Visit Indonesia Year-VIY). Indonesia pernah mencanangkan Visit Indonesia Year 1991, yang ketika itu mendongkrak jumlah wisatawan 400.000 jiwa saja daripada tahun sebelumnya. Maka, ketika di tahun 2008 ini VIY dicanangkan kembali sewajarnya kita patut berbangga. Karena negara ini masih memiliki semangat, percaya diri, dan optimisme untuk menjadi daerah tujuan wisata. Namun, keberanian ini sekaligus mengundang pertanyaan, seberapa siap kita menghela gawean akbar tersebut?. Apalagi dengan tema yang cukup menantang : `visit Indonesia year 2008, memperingati seratus tahun kebangkitan nasional` (celebrating 100 years of national awakening).
Mudah-mudahan pencanangan ini bukan semata-mata karena provokasi Malaysia. Malaysia menjadikan tahun 2007 sebagai tahun kunjungan wisata dengan tema akbar : ”memperingati limapuluh tahun kebangsaan Malaysia (nationhood)”. Karena, persis pada tahun 2007 Malaysia memperingati lima puluh tahun kemerdekaannya.Dan kita tahu, Malaysia memaknai betul tahun kunjungan wisata ini dengan berinvestasi dan berpromosi besar-besaran lintas negara.
Pertanyaan tentang Kesiapan Indonesia
Bagaimana dengan kita? Paling tidak ada sejumlah pertanyaan tentang kesiapsiagaan bangsa dan negara ini untuk menyongsong tahun kunjungan wisata. Bukan suatu kebetulan bahwa pencanangan tahun kunjungan wisata 2008 adalah bertepatan dengan peringatan tiga tahun tsunami Aceh-Sumut, yaitu pada 26 Desember 2007 (Media Indonesia, 28/12/07). Alias, memori dunia pada Indonesia masih sangat terbayang pada negeri yang luluh lantak karena terjangan gempa dan ombak yang maha dahsyat. Juga, pekan-pekan ini adalah musim-musim terjadinya bencana di Indonesia, apakah banjir, tanah longsor, pohon tumbang, gelombang pasang, dan lain-lain. Apabila kita menonton siaran TV asing pekan-pekan ini, maka berita tentang Indonesia tak lebih daripada bencana alam, epidemi flu burung, ataupun kecelakaan transportasi. Sungguh bukan suatu promosi yang baik untuk para calon turis.
Maka, pertanyaan pertama adalah bagaimana mereduksi stigma Indonesia sebagai negari rawan bencana (disaster prone country). Hal ini menjadi penting, karena wisatawan, apakah lokal maupun mancanegara, hanya akan datang ketika mereka merasa yakin akan keselamatan dan kenyamanan mereka. Kenyamanan juga berawal dari pintu masuk. Sebagai contoh, jangankan berlabuh ke Pantai Anyer, Pelabuhan Ratu, ataupun Pangandaran, terkadang untuk keluar dari Bandara Soekarno Hatta saja sudah persoalan besar, karena terhadang bencana banjir di jalan tol yang berujung pada kemacetan yang dahsyat.
Tengoklah juga, betapa terpukulnya ribuan pengusaha jasa perhotelan dan pariwisata di pantai Anyer, Carita, Pelabuhan Ratu, Parangtritis, hingga di Bali, akibat gelombang pasang yang berdampak menyusutnya wisatawan akhir-akhir ini.Padahal, liburan Natal dan Tahun baru adalah saat-saat emas menuai rupiah dari kocek wisatawan.
Pertanyaan kedua adalah bagaimana mereduksi stigma Indonesia sebagai negeri yang rawan terorisme dan kriminalitas. Tidak hanya rawan bagi bagi turis asing, namun juga turis lokal. Memang, besaran terorisme Indonesia belum menandingi Irak, Irlandia Utara, ataupun Pakistan yang bergelimang teror bom dan kekerasan, namun cukup membuat ngeri negeri-negeri asing. Kedubes Amerika dan Australiaadalah diantara perwakilan negara asing yang rajin merilis travel warning untuk warganya yang hendak bertandang ke Indonesia. Peristiwa Bom Bali, bom JW Marriot, bom Kedubes Australia Rasuna Said, rentetan konflik di Poso, Ambon, hingga Papua tak pelak telah mendera pariwisata bangsa. Cukup lama luka ekonomi, sosial dan budaya yang menganga akibat kekerasan tersebut harus disembuhkan.
Maraknya kriminalitas juga mesti cepat disikapi. Beberapa peristiwa yang menimpa tamu asing seperti kriminalitas di Bandara, penganiayaan di dalam taksi, pencopetan hingga penipuan di kota besar sungguh bukan promosi yang sedap bagi pariwisata Indonesia. Berbusa-busanya promosi pariwisata di luar negeri akan tenggelam begitu saja dengan kabar dari mulut ke mulut tentang turis Jepang yang dirampok dan dianiaya di dalam taksi selepas Bandara Soekarno Hatta, misalnya.
Pertanyaan ketiga adalah bagaimana menyikapi realita bahwa Indonesia sarat dengan epidemi dan bencana kesehatan semisal flu burung ataupun SARS. Karena, cukup banyak calon wisatawan asing yang membatalkan kunjungannya ke Indonesia hanya karena isu meluasnya flu burung ataupun buah dari menonton siaran TV tentang Indonesia yang melulu berkisah tentang flu burung.
Pertanyaan keempat adalah sejauh mana Indonesia mumpuni dalam hal ketersediaan fasilitas dan sarana penunjang pariwisata. Bagaimana ketersediaan alat transportasi, kemudahan berkomunikasi, akses terhadap pos, bank, internet,money changer, ATM, tourist information center, ketersediaan peta lokasi pariwisata, dan lain-lain, yang harus betul-betul diperhatikan.
Dalam hal kemudahan transportasi, Bandara Soekarno Hatta adalah contoh yang buruk. Lebih dari dua dekade usianya namun bandara ini hanya dapat ditempuh dengan mobil. Itupun terancam dengan banjir di jalan tol di musim penghujan. Belum ada moda transportasi lain semisal kereta api ataupun MRT. Sebagai perbandingan, KL International Airport yang masih berusia muda sudah memiliki akses transportasi express train yang langsung terhubung dengan pusat kota. Bandara Suvarnabhumi Bangkok, belum genap dua tahun usianya, namun tak lama lagi akan memiliki MRT yang terhubung langsung ke pusat kota, disamping jalan tol luas berlajur delapan yang sudah lama dibuka. Penumpang-pun diberi banyak pilihan dalam memilih angkutan umum, apakah airport bus, bus kota biasa, taxi, hingga limousine taxi dengan biaya yang amat terjangkau.
Ketersediaan layanan perbankan, ATM, dan money changer tak kalah pentingnya. Di Thailand, beberapa bank yang memiliki cabang di mall membuka layanan di hari Sabtu dan Ahad. Perangkat ATM dan layanan money changer begitu banyak dan tersedia hampir di semua tempat-tempat publik seperti pasar, terminal, stasiun, dan hampir di semua lokasi wisata.
Selanjutnya adalah ketersediaan informasi dalam bahasa asing seperti bahasa Inggris, misalnya. Begitu banyak rambu-rambu lalu lintas, papan informasi, peta, hingga brosur tempat wisata yang hanya menyajikan informasi dalam bahasa Indonesia. Jelas, akan menimbulkan kesulitan bagi wisatawan mancanegara yang tak pandai berbahasa Indonesia. Belum lagi, tidak semua personil di lokasi wisata lancar berbahasa Inggris. Bandingkan dengan Thailand, kendati warganya juga banyak yang gagap berbahasa Inggris, namun hampir semua rambu-rambu lalu lintas, papan informasi, hingga brosur tempat wisata menyediakan informasi tambahan dalam bahasa Inggris. Disamping bahasa Thai yang menggunakan aksara Pali. Di Penang Malaysia, bahkan, demi mengakomodasi penduduk Penang yang multietnis dan para wisatawan asing, papan informasi tersedia dalam empat bahasa : Inggris, Melayu, Mandarin, dan Tamil
Pusat informasi wisata (tourist information center) adalah juga hal yang penting. Di Bandara Suvarnabhumi Bangkok terdapat beberapa Tourist Information Center dan Tourist Police yang siaga setiap saat melayani tamu asing. Di pojok-pojok penting kota Bangkok tersedia banyak tourist information center dengan petugas yang lihai berbahasa Inggris dan siap memberikan peta jalan dan bis kota secara cuma-cuma. Sebaliknya, tamu asing yang ingin menggunakan bis kota di Indonesia akan bingung karena tak tersedia banyak pusat informasi turis, tak jelasnya peta rute bis, tak jelas metode pembayaran tiket-nya, dan tempat perhentian bis yang seenaknya.
Pertanyaan kelima adalah tentang kesiapan budaya dan mental menghadapi tamu-tamu asing ataupun tamu berbeda daerah. Thailand melansir slogan negerinya sebagai `land of smile`. Mengklaim bahwa warganya murah senyum, ramah, dan bersahabat dengan tamu asing. Di taksi-taksi Bangkok, misalnya, ditempeli stiker we love farang (orang asing), we can speak English. Dan ini cukup efektif, karena kendati teror bom dan kudeta terus menghinggapi Bangkok, namun toh turis asing tak perduli, tetap berdatangan. Negeri Indonesia sudah sejak lama, minimal dalam buku pelajaran SD, mengklaim dirinya sebagai negeri yang ramah tamah, namun kenyataannya jauh panggang daripada api. Masih banyak ditemukan pelayanan yang lambat, mahal senyum dan kurang professional dari penyelenggara jasa wisata.
Pertanyaan keenam adalah kesiapan promosi dan investasi untuk tahun kunjungan wisata 2008 ini. Malaysia mengucurkan sekitar US$80 juta untuk Visit Malaysia 2007. Sementara untuk VIY 2008, pemerintah RI hanya mengucurkan dana promosi US $ 10-15 juta. Tak heran, begitu mudah menemukan iklan pariwisata Malaysia di media-media Indonesia sepanjang tahun 2007. Sama halnya dengan Singapura, pariwara `great Singaporean sale` mewarnai banyak media Indonesia sepanjang tahun 2007. Hebatnya lagi, ekspansi Malaysia tak berhenti sebatas iklan koran, billboard berukuran raksasa bertema Visit Malaysia 2007 berdiri tegak justru di pintu masuk Thailand, yaitu di Bandara Suvarnabhumi Bangkok dan Bandara Phuket, barat laut Thailand.
Zen Umar Purba dalam kolomnya di Media Indonesia (31/12/07) menyajikan hasil survey peraturan menyangkut investasi asing di 178 negara yang dimuat dalamDoing Business 2008 yang dilansir World Bank. Hasilnya cukup menyedihkan. Dalam hal kemudahan melakukan bisnis, Indonesia menduduki peringkat yang kurang bagus, 123. Jauh di bawah negeri jiran Singapura (peringkat 1), Thailand(15), Malaysia (24), ataupun Vietnam (91). Juga kalah dengan negeri-negeri sarat masalah di Afrika seperti Namibia (43), Kenya (72), Ethiopia (102), Nigeria (109), ataupun Uganda (118). Sungguh suatu promosi yang buruk untuk merangsang investasi asing di bidang pariwisata di Indonesia.
Pertanyaan ketujuh adalah dukungan dari eksponen pemerintah, swasta, dan masyarakat. Semua perwakilan Malaysia di luar negeri mendukung kampanye akbar Visit Malaysia 2007. Semua berperan sebagai marketer sekaligus information center. Mahasiswa Malaysia yang tengah studi di luar negeri juga dilibatkan untuk mendukung program ini melalui pentas budaya ataupun keterlibatan dalaminternational cultural events. Maskapai penerbangan Malaysia, apakah MAS ataupun AirAsia turut menjadi duta-duta bangsa dalam mempromosikan tahun kunjungan tersebut. Bagaimana keterlibatan pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat Indonesia?
Pelajaran dari Thailand, Singapura, dan Malaysia
Tak perlu belajar jauh-jauh ke Emirat Arab, Jepang, ataupun Swiss dalam hal mendulang wisatawan asing. Negeri jiran Thailand, Singapura, dan Malaysia adalah tempat belajar yang baik. Malaysia dengan promosi Truly Asia-nya mampu menjaring 10,6 juta turis dengan pertumbuhan 24,4 persen per tahun. Thailand mampu menarik kunjungan 10,1 juta turis dengan pertumbuhan rata-rata 8,3 persen. Negeri mini Singapura yang tak lebih besar dari DKI Jakarta mampun menjaring 6,1 juta turis (pertumbuhan 4,9 persen). Sementara, Indonesia dengan 4,4 juta turis serta pertumbuhan 1,6 persen, jauh tertinggal dari Vietnam yang mencapai angka pertumbuhan 15 persen per tahun (LNI Community, 28/9/07).
Sejatinya, dibandingkan dengan tiga negeri jiran, Thailand, Singapura, dan Malaysia, sejatinya Indonesia sungguh tak terkalahkan dari sisi kekayaan budaya dan lokasi wisata. Ketika Thailand hanya menawarkan keindahan pantai Phuket, Krabi, Phang Nga, Koh Samui, Pattaya, Ayyutthaya, dan Chiang Mai, Malaysia dengan pulau Langkawi, Pulau Pinang, Cameron Highlands, Genting Highlands, dan Labuan, Singapura hanya dengan iming-iming surga belanja, maka Indonesia memiliki banyak pilihan dan tawaran yang jauh lebih menarik.
Mulai dari kekayaan kultural Aceh, indahnya Danau Toba, panorama alam Danau Singkarak dan budaya Minang, keindahan pantai Carita dan Anyer di Banten, Pelabuhan Ratu, Pangandaran, kemegahan candi Borobudur-Prambanan, eksotisme Kraton Yogyakarta dan Surakarta, kekayaan alam dan budaya Bali-Lombok, pulau Komodo, taman nasional dan suaka margasatwa orang utan di Kalimantan, pasar terapung di Banjarmasin, Danau Poso di Sulteng, Bunaken di Manado, taman laut Banda, kekayaan coral di kepulauan Raja Ampat Papua, hingga puncak-puncak Jayawijaya di Papua, menyajikan ribuan alternatif kunjungan wisata yang sungguh berbeda satu sama lain.
Apabila Thailand hanya menawarkan warisan budaya Siam, Ayyuthaya, dan Khmer, Malaysia hanya dengan warisan budaya Melayu, Portugis, dan Inggris, Singapura dengan budaya Tionghoa, Peranakan, India dan Melayu, maka turis asing sungguh dibuat bingung dengan Indonesia. Karena terlalu banyak alternatif warisan etnis dan kultur yang ditawarkan dengan karakteristik yang seringkali sangat berbeda.
Namun, mengapa pariwisata Indonesia terpuruk dibandingkan ketiga negeri jiran tersebut? Sekali lagi bukan karena Indonesia tidak cantik dan tidak layak untuk dikunjungi. Permasalahan ada pada antara lain masalah keseriusan dan kreativitas.
Keseriusan. Bagaimana caranya bangsa dan negara ini mengelola pariwisata secara serius. Menata alam maupun kultur. Bersikap profesional sekaligus berinvestasi besar dan tepat di bidang pariwisata. Salah satu contoh keseriusan adalah Malaysia dengan Pulau Sipadan-nya. Pulau kecil di timur Kalimantan Timur ini kini adalah salah satu tujuan wisata utama Malaysia di negara bagian Sabah. Padahal, hingga tahun 2002 pulau ini belum jelas milik siapa, akibat sengketa kepemilikan antara Indonesia dan Malaysia. Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, akhirnya memutuskan Sipadan (dan Ligitan) menjadi milik Malaysia, dimana salah satu alasannya adalah Malaysia terbukti lebih mengurusi dan memelihara pulau tersebut dibandingkan Indonesia. Padahal, klaim hukum dan historis kedua negara tersebut sama-sama kuat.
Berikutnya adalah masalah kreativitas. Karena pariwisata tidak berdiri sendiri. Ia berhubungan dengan masalah pendidikan, ekologi, kesehatan, ataupun event-event internasional. Sebagai contoh, warga Indonesia datang ke Malaysia dan Singapura tidak sekedar untuk belanja dan menonton Grandprix F-1 di Sepang, tapi juga untuk sekolah dan berobat. Dalam lima tahun terakhir, ribuan mahasiswa Indonesia, kebanyakan dari Sumatera dan Jawa membanjiri kampus-kampus Malaysia untuk belajar. Juga ribuan lainnya berobat di rumah sakit internasional di Penang, Kuala Lumpur, ataupun ke Singapura.
Selanjutnya adalah bagaimana mengemas pariwisata melalui tema-tema cerdas semisal `truly Asia` -nya Malaysia, `Land of Smile`-nya Thailand, ataupun `Great Singaporean Sale`-nya Singapore. Karena, mengemas pariwisata tak sekedar menonjolkan kekayaan alam semata, tapi bagaimana mengemas citra, menyajikan kenyamanan dan keamanan, menyuguhkan pelayanan yang tulus dan profesional, harga yang bersaing, yang kesemuanya berawal dari keseriusan bangsa dan negara bahwasanya pariwisata adalah sesuatu yang penting, penting bagi devisa negara sekaligus penting sebagai manifestasi harga diri bangsa.
Sukseskan Visit Indonesia Year 2008 !
Bangkok, 9 Januari 2008
Leave a Reply