JANGAN PANGGIL AKU ALLY MC BEAL
By : Heru Susetyo
Di atas Langit Australia, 8 Oktober 2002
Richard Gere dan Winona Ryder berjalan perlahan di sepanjang Central Park, New York. Mereka bergandengan tangan dengan sesekali berbisik pelan. Di sela-sela keduanya nampak matahari musim gugur menerabas melalui dedaunan yang makin hilang dari pepohonan. Musim gugur (Autumn/ Fall) di New York memang amat romantis. Kendati dingin sangat menusuk, sering di bawah nol derajat celcius, namun suasana hati seringkali malah menghangat. Apalagi ditingkahi dedaunan yang kerap jatuh memenuhi taman. Pantas saja, bagi Richard dan Winona dunia sepertinya hanya milik mereka berdua.
Satu jam kemudian Richard Gere mendadak keluar dari rumah sakit dengan pandangan tertunduk. Sorot matanya seredup matahari musim gugur. Beberapa pasang mata menatapnya penuh tanya. Hampir semuanya tak ingin menyapa. Mereka semua mafhum. Nampaknya sang kekasih telah pergi selama-lamanya.
Aku turut terperangah menyaksikan bagian akhir film Autumn in New York ini. Tragis dan menyedihkan. Tak seperti biasanya film drama romantik seperti ini berakhir tragis. Richard Gere yang melakonkan Will Keane, juragan restoran di New York, akhirnya harus menangis karena kekasihnya Winona Ryder yang melakonkan Charlotte Fielding harus meninggal karena penyakit kronis yang dideritanya sejak kecil. Uniknya percintaan Will Keane dan Charlotte adalah percintaan antar generasi. Will berusia 50 tahun dan selama ini terkenal sebagai lelaki ‘gunung es’ yang ‘pantang’ jatuh cinta. Sebaliknya, Charlotte lebih pantas jadi anaknya, berusia 21 tahun dan tengah menggelegak semangatnya memasuki usia muda.
Film Hollywood besutan Joan Chen, sutradara asal China, yang dibuat akhir 90-an ini tak urung telah mengusir kebosananku. Tujuh jam perjalanan dari Sydney ke Jakarta dengan Ansett Aussie 245 biasanya sangat menjemukan. Daratan Australia Utara yang kering sama sekali bukan pemandangan yang indah. Begitu pula dengan flight entertainment yang seringkali monoton. Beruntung, Boeing 777-500 ini dipersenjatai dengan layar monitor di setiap kursi yang memutar film-film anyar.
Tapi, bukan itu masalah utamanya. Roman klasik ala Richard Gere- Winona Ryder ini mengingatkanku pada kisah antara aku dengan Cindy, istri Australia-ku yang kunikahi empat tahun silam. Empat tahun kami menikah, dan tak sekalipun ia mau aku ajak ke Indonesia. Pun saat ini, dimana aku harus ke Bandung karena Sarah, adik bungsuku yang baru lulus dari Unpad akan menikah. Aku akan jadi wali nasab untuk Sarah karena ayah telah berpulang dua tahun silam. “It’s unnecessary to go to Bandung, honey. If you love her, send her money or just call her. You won’t be her brother forever. Trust me! Begitu katanya.
Cindy adalah tipikal perempuan Aussie. Mandiri, tegas, praktis, independen, humanis, fair, assertif, disiplin, namun terkadang begitu cuek dengan keluarga. Jangankan untuk urusan pernikahan, ketika ayah meninggal dua tahun silam-pun Cindy enggan ke Jakarta. Bahkan, jangankan ayah kandungku. Ayahnya meninggal-pun dia enggan berta’ziah. Katanya, semua orang akan mengalami kematian. “Take it easy, Tommy,” katanya santai.
Sangat beralasan bagi Cindy untuk bersikap seperti itu. Seperti kebanyakan keluarga Australia lainnya, ia tumbuh di tengah keluarga broken home. Ayah ibunya bercerai ketika ia berusia tiga tahun, dan Brad, adiknya, berusia satu tahun. Ayahnya yang gemar mabuk-mabukkan dan lama menganggur kemudian menikah lagi dengan wanita New Zealand. Ibunya-lah yang membesarkan ia dan adiknya dengan bekerja sebagai jurnalis di koran negara bagian New South Wales. Sydney. Kendati beberapa kali gonta- ganti pacar, ibunya tak pernah menikah lagi hingga kini. Pun untuk hidup bersama tanpa menikah. Ibunya memilih menikah dengan karirnya dan membesarkan kedua anaknya sendiri, tanpa bantuan laki-laki.
Cindy remaja adalah Cindy yang matang dan mandiri. Pendidikan keras ala ibunya membuatnya menjadi pelajar dan pekerja keras. Ia bekerja 16 jam sehari. Belajar 16 jam sehari. Tanpa rasa capai, tanpa keluhan, tanpa rasa, dan tanpa hati. Hidupnya bak sebuah robot yang disetel secara mekanis untuk mengerjakan pekerjaan yang sama secara rutin, berulang-ulang, bertahun-tahun lamanya. Pagi hari ia bersekolah. Sore dan malam hari ia menjadi pelayan di restoran Italia. Ia menamatkan high school-nya di Woolongong, kota kecil 75 kilometer di selatan Sydney. Kemudian ia melanjutkan ke University of New South Wales, School of Law, di Sydney hingga mencapai gelar master bidang hukum internasional dengan predikat summa cum laude. Sesudahnya, dunia begitu ramah bagi Cindy. Hampir semua law firm besar di kota ini melamarnya. Cindy memilih salah satu yang terbesar. Semuanya berjalan begitu lugas, sampai suatu waktu ia bertemu pemuda Indonesia bernama Tommy…
Dan akulah si Tommy itu. Pria Indonesia beruntung yang dikirim ke Sydney untuk studi Doktor di bidang hukum. Kantor pengacara-ku di Jakarta memandang aku sangat prospektif untuk melanjutkan firma ini di kemudian hari. Dengan senang hati mereka mengirimku untuk studi S-3 dan magang di kantor mitra asing kami di Sydney, Krueger and Associates.
Studi di University of New South Wales (UNSW) dan pada saat bersamaan magang di Krueger and Associates bukanlah pekerjaan yang mudah. Aku hampir tak memiliki waktu untuk kehidupan sosialku. Hari-hariku terbenam dalam riset dan studi di perpustakan kampus maupun di firma. Kawan akrabku hanyalah kopi pahit Starbuck dan PC Notebook. Aku nyaris tak punya waktu untuk manusia. Kecuali tiga jam saja setiap pekan, ketika shalat Jum’at di Masjid Indonesia Wabash Street, dan pengajian Ahad juga di tempat yang sama.
Allah Maha Mengatur Segala Sesuatu. Pada saat-saat terbenam di perpustakaan UNSW dan Kruger and Associates, ternyata ada sepasang mata yang selalu memperhatikanku. Aku nyaris tak sadar sampai suatu waktu pemilik mata biru ini menegurku dengan bahasa Inggris aksen Australia yang khas. “Mengapa anda selalu menggelar kain merah dan sujud ke arah barat laut setiap pukul dua siang, lima sore, delapan sore, dan sembilan malam? Saya memperhatikan anda sudah tiga bulan ini, di library UNSW maupun di Krueger and Associates, dan anda selalu seperti itu. Apakah anda pengikut suatu aliran kepercayaan di Asia Selatan?” Tanya pemilik mata biru tersebut setengah menyelidik. “Oh No. Saya seorang muslim. Islam agama saya. Seorang muslim wajib melaksanakan ibadah yang kami sebut shalat lima kali setiap hari pada waktu-waktu yang tadi anda sebutkan.”, aku menjawab sambil terheran-heran. Agak tak biasa seorang wanita Aussie membuka percakapan dengan pria asing yang tak dikenal.
“Oh ya. Saya pernah mendengar Islam, tapi saya baru tahu bahwa cara anda menyembah Tuhan anda seperti ini,” tambahnya lagi.
Kemudian dialog pun mengalir lancar. Hingga, dinginnya perpustakaan UNSW seperti tak terasa. Si Aussie bermata biru ini ternyata bernama Cindy Stuart Masterson. Ia seorang junior lawyer di Krueger sekaligus kandidat Doktor di UNSW. “Pardon, Miss….?” Just call me, Cindy!” ujarnya riang.
Laiknya roman Indonesia, perjumpaan kami yang teramat sering membuat kami saling tertarik satu sama lain. Sampai suatu hari Cindy menanyaiku serius, “Tommy, will you marry me?” Ditanya mendadak seperti itu aku kontan gelagapan. Kendati aku sudah kenyang hidup di negeri orang, namun sebagai pria yang besar di kultur Jawa puritan aku masih berpegang pada nilai bahwa lelaki-lah yang berhak ofensif dan perempuan pasif saja. Akhirnya aku hanya mengatakan, “ Ah, ya. I am. Insya Allah!”
Dan kamipun menikah pada 21 Februari 1997. Sepekan saja setelah Iedul Fitri 1417 H. Dua hari sebelumnya Cindy mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan komunitas muslim Indonesia di Masjid Wabash Street. Imam masjid memberinya nama Aisyah Muthmainah. Sehingga namanya menjadi Cindy Aisyah Muthmainah Masterson.
Pada setahun pertama pernikahan, kami adalah pasangan yang amat harmonis. Kami sering menyusuri taman di seberang Gedung Opera Sydney dan duduk menatap Sydney Bridge sambil menunggu matahari terbenam. Sepekan sekali kami ke pantai Bondi untuk menanti matahari terbit dan saling melempar pasir ke tubuh masing-masing.
Petaka mulai timbul setelah anak pertama kami lahir. Aku ngotot memberinya nama Islam, Faiz atau Raihan. Cindy protes. “Nama Islam kurang akrab di telinga Australia. Terlalu kearab-Araban,” ujarnya dengan nada tinggi. “Aku akan memberinya nama Ian.” Mudah-mudahan ia akan menjadi pemuda ganteng, tegap, dan sportif seperti Ian Thorpe, perenang juara Olympiade kebanggaan Australia.”
Aku malas berdebat. Apalah arti sebuah nama kataku menghibur diri sendiri. Sayang, sebuah nama akhirnya menjadi berarti sekali. Karena setelah itu Cindy menjadi sangat berkuasa. Cindy-lah yang menentukan Ian sekolah dimana. Makan apa. Boleh ke masjid atau tidak. Bermain dengan anak Indonesia atau tidak.
Pun untuk anak kedua kami yang lahir dua tahun kemudian. Aku memberinya pilihan nama Nadia atau Yasmin, yang kurasa agak akrab dengan telinga Australia. “No, Tommy. No Arabian name anymore. “Nicole nama bayi cantik ini. Lihatlah badannya tinggi semampai seperti Nicole Kidman, mantan istri Tom Cruise. Mudah-mudahan ia akan mulus menapak Hollywood seperti Nicole Kidman.”, lanjut Cindy santai.
Astagafirullah! Kataku dalam hati.
Semakin banyak bilangan tahun pernikahan yang kami gapai, Cindy semakin sulit diatur. Janjinya untuk belajar Islam, belajar Al Qur’an, dan belajar shalat tak pernah terwujud. Iapun membatasi Ian dan Nicole untuk berinteraksi dengan komunitas muslim Indonesia. Rencanaku untuk membawanya pindah dari apartemen kami sekitar Darling Harbour ke kawasan muslim Lakemba ditolaknya mentah-mentah. Padahal, niatku baik, ingin mendekatkan keluargaku dengan muslim mancanegara di Lakemba. Formally, I’m muslim, but I‘m Australian!” teriaknya.
Hari demi hari kujalani dengan setengah hati. Aku masih berharap rumah tanggaku kembali normal. Aku ingin mengajak mereka tinggal di Bandung. Kalaupun tidak, sekedar bertemu ayah dan ibu ketika Lebaran-pun cukup. Dari surat-suratnya, ayah dan ibu terkesan sangat ingin bertemu dengan cucu Australia-nya. Namun Allah berkehendak lain, sampai ayah dipanggilNya, Cindy, Ian, dan Nicole, tak sekalipun mengunjunginya.
Disitulah juga letak habisnya kesabaranku. Cindy enggan diajak ta’ziah ke Bandung. Pekerjaannya terlalu berharga baginya. Mertuanya tak lebih berharga dari appointment dan contract-contract yang harus dibuatnya. Tragisnya, Cindy-pun melarang aku membawa Ian dan Nicole dengan alasan takut sakit terkena virus tropis Indonesia. Ia lebih percaya tempat penitipan anak di Belmore dengan perawat-perawat yang tak pernah tersentuh air wudhu ketimbang aku, ayah kandung Ian dan Nicole!
Sejujurnya, aku sudah tak betah di rumah ini. Satu-satunya alasanku untuk tetap tinggal adalah Ian dan Nicole, dua makhluk mungil ciptaan Allah yang innocent, yang dipercayakanNya kepadaku. Sesekali aku memang mencoba merayu Cindy dengan kata-kata mesra. “Honey, darling, sweetheart, sampai panggilan manja ya..Aisyah, ya Humairah..”. Apa jawab Cindy? Don’t call me Aisyah, listen, I’m Australian. Call me Ally Mc Beal! Esoknya, akupun meninggalkan rumah tersebut tanpa pamit.
Kini, di dalam kabin Boeing 777 Ansett Aussie 245 yang ada dalam pikiranku hanyalah Cindy, Ian, dan Nicole. Dua pekan sudah aku meninggalkan mereka. Aku tinggal ‘menggelandang’ dari rumah ke rumah teman-teman Indonesiaku. Malam hari aku tidur di masjid, siang belajar di UNSW. Aku tak pernah lagi ke Krueger and Associates. Aku belum sanggup bertemu Cindy disana sekarang-sekarang ini.
Permintaan Sarah untuk menjadi wali nasab di pernikahan dadakannya di e-mail sepekan silam menghentikan petualanganku. Aku senang pulang ke Indonesia. Satu saja yang membuatku resah. Delapan kalimat terakhir Sarah : bawa Teh Cindy, Ian, dan Nicole, ya Mas!
Seiring tertunduknya pandangan Richard Gere dan diselimutinya jenazah Winona Ryder yang mengakhiri film Autumn in New York, akupun termenung. Apakah rumah tanggaku sudah berakhir ? Masih dapatkah aku melihat tawa renyah Ian dan senyum mungil Nicole?
Bandung, 11 Oktober 2002
“Terimakasih Mas Tommy, hatur nuhun pisan Mas mau jadi wali Sarah,” . Mas jauh-jauh dari Sydney hanya untuk nikahin Sarah sama Kang Syamsul,” Sarah adikku berbisik haru sambil memelukku. “Sudah lah, Sarah. Aku kan kakak laki-lakimu yang tertua. Sudah sepantasnya aku menjadi pengganti Ayah. Semoga Allah SWT meridhoi pernikahan kamu dan semoga ayah-pun turut tersenyum senang di akhirat karena kamu mendapat jodoh yang baik,” sahutku setengah kebapakkan. Mendengar kata ‘ayah’ aku sebut mendadak Sarah menangis. Hingga, ruang utama Masjid Istiqomah ini mendadak mencekam. Syamsul, suami yang baru menikahinya sepuluh menit silam segera meredakan tangis Sarah. Ibu, yang sejak tadi menangis terharu di sisi kiri mihrab masjid turut terdiam lama sambil sesekali menengadahkan tangannya. Berdoa.
Acara pernikahan Sarah dan Syamsul ini memang unik. Wali nasabnya baru tiba dari Sydney. Mempelai wanitanya baru enam hari kembali dari Poso-Sulawesi Tengah, ikut misi kemanusiaan disana. Mempelai pria-nya, Syamsul, baru lima hari tiba dari Hannover-Jerman, karena ia masih tercatat sebagai mahasiswa program Doktor disana. Nikah kilat memang. Semuanya instan. Perkenalan, lamaran, dan akad nikah semuanya berlangsung kilat. Tukar menukar biodata plus foto berlangsung via internet, telepon dan teleconference. Baru empat hari silam Syamsul berjumpa dengan Sarah. Alhamdulillah mereka cocok. Keduanya memang profil muslim shaleh dan shalehah. Allah menyatukan hati mereka kendati mereka tak sempat mengenal lama satu sama lain.
Di sudut masjid Istiqomah yang temaram ini aku ‘cemburu’ berat melihat kemesraan Sarah dan Syamsul. Terlihat sekali Sarah begitu hormat pada Syamsul, dan Syamsul begitu melindungi Sarah. Sedangkan aku? Pergi dari Sydney seorang diri setelah ‘terusir’ dari rumah. Meninggalkan istri dan dua anak yang masih balita tanpa pamit. Ternyata, lima tahun mengenal Cindy tak cukup dapat membuat kami lebih mesra.
Dan, aku lebih tercekik lagi mendengar komentar Ibu ketika kami menuruni tangga masjid. “Kunaon atuh Teh Cindy, sareng putu Ibu nu kasep, nu geulis, Ian sareng Nicole teu dicandak Mas Tommy? Ibu hoyong pisan ningali dua-duana. Ditingalian di foto aduh meni kasep, meni geulis. Kawas urang Australia,pisan “ ujar Ibu dengan logat Sunda-nya yang masih kenceng. Yah, kendati sudah menikah empat puluh tahun dengan Ayah yang asli Malang, Ibu masih sangat Garut sekali.
Kenapa Cindy tidak diajak? Kenapa Ian dan Nicole ditinggal di Sydney? Ya kenapa aku pergi seorang diri? Hampir semua saudara Sunda-ku mengeroyokku dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dan, akupun terjerembab dalam kubangan rasa bersalah. Lama sekali.
Akhirnya, karena khawatir diberondong dengan pertanyaan sejenis, aku memutuskan pulang ke Sydney esok harinya, Sabtu 12 Oktober 2002. “Kenapa harus buru-buru, Mas Tommy, ikan-ikan di balong rumah kita nungguin dipancing sama Mas tuh, “ Tanya Sarah keheranan. “Iya, Aa Tommy, engke heula atuh. Ibu masih keneh sono ka Aa. Hoyong keneh ningali foto Ian sareng Nicole, “ lanjut Ibu . “Aduh, Gimana ya Bu, Sar,. Aku kangen banget nih sama Cindy, Ian dan Nicole !” jawabku asal. Hah kangen? Benar nih Tommy?
Sabtu, 12 Oktober 2002
Aku sedang berkemas-kemas. Satu jam lagi aku harus ke Jakarta. Sore nanti flight Ansett Aussie 247 tujuan Sydney telah menungguku di Bandara Soekarno Hatta. Tengah aku memasukkan rempeyek dan ketan hitam oleh-oleh Ibu ke dalam tas, mendadak suara keras penyiar SCTV merobek gendang telingaku dari pesawat televisi di ruang tengah :.”Laporan terkini dari Bali, pagi ini sekitar jam 11.30 sebuah bom berkekuatan dahsyat meledak di sebuah café di Bali. Diduga keras bom ini berasal dari mobil L-300 yang diparkir di depan café. Dilaporkan korban jiwa lebih dari 100 orang. Sebagian besar adalah warga Australia yang tengah berlibur…
Innalillahi, Bali diserang? Pulau teraman di dunia diserang ? Aku setengah tak percaya. How come? Gimana bisa? Aku pernah tinggal empat bulan di sana, untuk memantapkan nilai TOEFL- ku. Aku merasa aman dan enjoy tinggal disana. Kendati tinggal di tengah-tengah komunitas non muslim. Kini Bali hancur, dan kebanyakan korbannya warga Australia lagi. Negeri keduaku…tanah tumpah darah istriku.
Belum habis rasa terkejutku, mendadak ‘gempa susulan’ terjadi setengah jam kemudian. Semua penerbangan ke Australia dari Indonesia ditunda sampai waktu yang tak ditentukan, demikian berita dari televisi. Semua penerbangan ke Australia ditunda? Lalu bagaimana dengan penerbanganku nanti sore? Setengah tergesa aku menghubungi kantor perwakilan Ansett Aussie di Jakarta. Dua menit kemudian aku terhenyak di sofa. Seluruh penerbangan Ansett Aussie, termasuk Jakarta – Sydney ditunda sampai batas waktu yang tak ditentukan. Innalillahi…
Senin, 14 Oktober 2002
Headlines Sydney News yang aku baca via internet sungguh mengejutkanku. Gelombang anti muslim dan anti Indonesia yang merebak di seluruh Australia pasca ledakan bom di Bali memakan korban warga muslim mancanegara yang tinggal disana. Islamic Center dan Masjid di Brisbane-Queensland diserang. Juga di Perth, Western Australia. Kotoran manusia dilemparkan ke masjid. Tak cukup kotoran, kata-kata kotor-pun turut dituliskan di tembok masjid.
Beberapa muslim Indonesia di Sydney, Melbourne, dan Perth diinterograsi oleh dinas intelijen Australia. Beberapa diinterogasi dan digeledah rumahnya dengan sangat tidak manusiawi. Ditanya-tanya dengan kasar di hadapan anak dan istrinya tanpa kehadiran kuasa hukumnya. Juga, seorang muslim di Melbourne disita computer beserta segala perangkatnya dengan dalih mengandung data-data yang terkait dengan satu Jama’ah Islam yang diduga menjadi otak tragedi bom Bali.
Dan akupun murka. Napasku mendengus kesal. Sekaligus sedih. Aku teringat shohib-shohibku di Masjid Buranda-Holland Park. Terbayang wajah Imam Masjid Brother Abdul Quddus, pria asal Madras yang amat ramah, bersahabat, dan soleh. Juga Brother Dwi dan Seno di University of Queensland, Brother Kiki di Gold Coast. Ah, brother, gimana nasib kalian? Are you O.K ?
Selasa, 15 Oktober 2002
Akhirnya kabin Ansett Aussie 247 ini aku injak juga. Tertunda tiga hari lebih dari jadwal semula. Tiga hari memang bukan waktu yang lama, namun cukup lama untuk menyiksa batinku. Empat hari di Bandung di tengah kepungan pertanyaan tentang anak dan istri sungguh mengerikan. Belum lagi harus melihat begitu banyak pasangan suami istri yang mesra dan harmonis berseliweran di depanku. Sungguh mengerikan.
Ada yang berbeda kali ini. Pemeriksaan di Bandara sangat ketat. Tidak cukup dengan metal detector, akupun nyaris di geledah petugas Imigrasi kalau saja aku tak teriak bahwa aku asli Indonesia. Mereka bilang, mereka terpaksa melakukan ini karena permintaan sejumlah Kedubes negara barat di Jakarta. Hmmm….kok nurut sih, komentarku dalam hati.
Senyum pramugari juga tampak berbeda, dan diskriminatif. Ketika mereka menjumpai penumpang bule, mereka tersenyum lebar. Giliran penumpang Melayu hanya diberi senyum tipis. Kenapa sih, apa aku ada tampang pembajak?
Rabu, 16 Oktober 2002
Boeing 777 ini sungguh laju. Jakarta – Sydney diterabas hanya dalam enam jam saja. Hingga, Sabtu subuh ini aku tiba kembali di tanah air. Tanah air? Tanah air Cindy tepatnya. Airport Sydney subuh hari ini tampak indah. Airport yang terletak persis di di pinggir laut ini tampak indah dengan banyaknya runway dan taxiway berseliweran di sela-sela padang rumput yang indah. Berpuluh Airbus Qantas dan Boeing Ansett Aussie bergantian take off dan landing. Sementara, di sisi timur nampak sang surya mulai menguak fajar melalui segaris cahaya jingga yang merobek permukaan laut. Ah, seandainya aku di Pantai Bondi saat ini, tentu sunrise akan lebih indah lagi. Apalagi, jika Cindy menemaniku. Dan kamipun berjalan kaki sepanjang pantai sambil bergandengan tangan dengan mesranya …
Excuse me, Sir ! Astagafirullah, nyanyian fajar-ku seketika tersendat. Seorang petugas imigrasi bertubuh tinggi besar menegurku, persis ketika aku menyodorkan paspor hijauku. Are you Indonesian? Are you muslim? Are you belong to a group of terrorist? Bla..bla… sembarangan kawan satu ini, aku diinterogasi habis-habisan. Aku terroris, aku pembajak, enak aja. Istriku orang Australia tahu! Dan anakku setengah Australia. Satu jam habis untuk berdebat dengan dia. Dia bertahan bahwa aku tak bisa masuk ke Australia karena status visa-ku tidak jelas. Aku ngotot. Bahwa aku ini permanent resident dan bisa menjadi citizen karena aku menikah dengan wanita Australia. Bahwa aku telah enam tinggal di Sydney. Bahkan akupun hapal dialek slank Sydney. Bahwa aku ini lawyer dan kandidat doktor di bidang hukum dan bisa menggugat kamu ke pengadilan karena melecehkan statusku.
Ternyata yang terakhir itu mujarab. Setelah aku mengaku sebagai seorang lawyer dan kandidat Doktor iapun menyurut. Dan akupun melenggang bebas melewati pintu imigrasi dan bea cukai Sydney. Heran aku. Berpuluh kali aku menghadapi imigrasi dan baru kali ini aku dihina seperti ini. Aku mirip pembajak, namaku kearab-araban, aku adalah bagian dari terorisme internasional. Huh!
Sabtu, 19 Oktober 2002
Hari ini aku giliran jaga malam di masjid Wabash Street. Jaga malam? Ya. Karena masjid ini berulangkali menerima ancaman akan di bom-lah, akan dibakar-lah, akan dirusak-lah. Komunitas Indonesia di Wabash Street memutuskan bahwa ancaman tersebut harus dianggap serius. Apalagi, Jum’at kemarin satu grup pemuda botak, bertatto dan bermotor besar bolak-balik di depan masjid sambil menunjuk-nunjuk masjid. Mereka dikenal sebagai kelompok pemuda rasis yang benci orang asing, apalagi yang kulit berwarna. You’re next ! teriak mereka.
Malam ini aku ditemani Brother Faris, Imam masjid yang hafidz Qur’an dan masih muda, dan Brother Bahri, pemuda Indonesia yang telah lama tinggal di Sydney. Bertiga kami mengobrol. Tentang Indonesia. Tentang langit yang tak pernah mendung. Matahari yang tak pernah redup. Adzan yang selalu terdengar. Senandung Al Qur’an yang makin marak mengalun. Indonesia yang lama kami tinggalkan. Dan konon, sekarang sedang sekarat akibat krisis total, dan bom Bali….
Malam semakin larut. Jarum jam menunjukkan pukul dua dinihari. Akupun menyeruput sisa teh terakhirku. Membangunkan Brother Bahri untuk bergantian ronda. Lalu, akupun berjalan ke tempat wudhu. Bersiap untuk shalat malam.
Kejadian itu berlangsung begitu cepat. Dari samping tempat wudhu kudengar suara-suara slank Australia dan bunyi cat disemprotkan. Aku tersentak. Ah, ini pasti graffiti yang menghina Islam. Cepat aku menyeret Brother Bahri keluar masjid. “Stop, you’re under arrest!” seru kami meniru lagak polisi. “What you’re doing here?” Tanya kami semakin keras. Tak usah dijawab kami sudah tahu jawabannya. Sederet kata-kata kotor di tembok mesjid yang dibuat dengan cat pylox yang masih basah. “Hey, you’re bloody foreigner, you won’t live here any longer, “ kata-kata kasar tersebut keluar dari empat mulut berbau minuman keras. Dengan cepat mereka mengeluarkan double stick-nya. Yang paling tinggi memainkan pisau-nya. Yang bertatto ular mengatupkan gerahamnya sambil menginjak rokok putih-nya.
Dengan bekal sabuk hitam karate dan sedikit jurus silat ala Jawa Barat Brother Bahri dan aku menerjang duluan. Tak percuma Brother Bahri ini pernah jadi atlit nasional, karena hanya dengan tiga kali tendangan keras si tattoo ular rebah ke tanah. Si tinggi besar menyerangku. Aku mengelak walau sempat limbung karena kuda-kudaku tak tertata baik. Kemudian aku menyerang balik dengan kombinasi pukulan dan tendangan yang cepat dan nyaris tak pernah ada dalam sejarah silat dunia (maklum jarang latihan). Syukurlah, kawan bertanding kami tak begitu lihai bersilat. Dalam dua menit si tinggi besar-pun roboh. Tragisnya, pisau si tinggi besar masih dipegangnya dan ia jatuh ke arah yang salah. Senjata makan tuan. Sang pisau menikam tuannya sendiri. Melihat pemimpinnya roboh dengan darah berceceran dua rekannya ambil langkah seribu. Kabur !
Akupun terhenyak. Darah. Air mata. Suara mengerang. Kenapa sampai sejauh ini? Aku tak bermaksud… . Sementara itu, raungan sirene polisi-pun semakin dekat. Rupanya tetangga sekitar yang terusik karena perkelahian tak seimbang ini menelepon polisi. Tenang, aku tak hendak lari. “Stop, you’re all under arrest !” innalillahi kali ini yang datang polisi betulan. Kamipun di borgol. Digelandang ke kantor polisi terdekat. Mirip pesakitan. “You have the right to remain silent, Anything you say or do may be used against you in a court of law. You have the right to consult an attorney before speaking“ tambah si polisi galak tersebut.
Selasa, 22 Oktober 2002
Tiga hari sudah kami menginap di kantor polisi. Tuduhannya : penganiayaan dan percobaan pembunuhan ! Tiga hari polisi mencoba menginterogasi kami namun kami tetap bungkam. “I’m gonna talk if my attorney here with me, “ ujarku. Ya, aku hanya mau bicara kalau aku didamping oleh pengacara. Dan, hal itu memang diatur dalam konstitusi Australia. Polisi memberi waktu hingga Kamis jam dua belas siang. Jika kami tak juga mendapat pengacara maka polisi akan menyediakan pengacara negara untuk mendampingi kami. Pengacara negara? Akankah mereka berpihak pada kami, dua pemuda kulit berwarna yang nyaris menewaskan seorang Aussie? Aku tidak yakin.
Teman-teman kami bukannya tinggal diam. Mereka kelabakan mencari pengacara buat kami. Hampir semua pengacara berkelas hingga tak berkelas telah dihubungi. Sampai ke pelosok-pelosok negeri. Tapi hasilnya nihil. Sebenarnya ini perkara biasa. Tapi setting social politik-nya memang tidak biasa. Betapa tidak, tiga hari lebih kami menghiasi headlines suratkabar. Dihubung-hubungkan-lah dengan Osama bin Laden, dengan jaringan teroris internasional, dengan penyerangan WTC. Beribu orang mencaci kami. Gelombang aksi massa menyerbu kantor polisi. Mayoritas adalah massa rasis dan massa ultranasionalis. Dan, para pengacara-pun enggan menyentuh kami. Kendati kami siap membayar mahal mereka. It’s a hard and sensitive case, ujar mereka.
Kamis, 24 Oktober 2002
Setengah jam lagi pukul 12.00. Tenggang waktu yang diberikan polisi nyaris berakhir. Dan aku masih belum punya pengacara. Aku pasrah. Artinya aku akan didampingi oleh pengacara negara yang tak kukenal dan tak pernah kulihat. Dan tak kuketahui juga komitmen kemanusiaannya.
Semenit sebelum pukul dua belas. Langkah-langkah panjang polisi penjara memasuki lorong. Semakin dekat semakin jelas bahwa itu adalah langkah dari dua orang. Benar dua orang. Yang pertama pasti polisi penjara. Yang kedua? “Yeah, lady ini mengajukan diri untuk menjadi pengacara anda,” ujar sang Polisi setibanya di sel kami. « Namanya Lady Cindy Stuart Masterson!”
“Yeah, If you don’t mind. I’m gonna be your attorney Mr. Tommy. My name is Cindy!”
Kamis, 5 Desember 2002
Hari ini sidang terakhir. Setelah sebulan lebih menghadiri sidang sebagai pesakitan di District Court Sydney atas tuduhan penganiayaan dan percobaan pembunuhan, kini aku dan Brother Bahri menanti putusan hakim. Tahu apa tuntutan jaksa? Aku dituntut tujuh tahun penjara atas tuduhan penganiayaan dan percobaan pembunuhan. Brother Bahri dituntut empat tahun penjara atas tuduhan penyertaan dalam penganiayaan dan percobaan pembunuhan. Alhamdulillah, sejak pemeriksaan polisi, pemeriksaan district attorney (kejaksaan) hingga pengadilan di district court aku selalu didampingi Cindy. Wanita pengacara muda lulusan terbaik School of Law UNSW dan sebentar lagi menggaet Ph.D di bidang hukum. Dan, yang terpenting adalah, ia masih istriku secara hukum!
Cindy memang luar biasa. Kemampuan beracara-nya sangat piawai, nyaris seperti Ally McBeal. Aku nyaris tak mengenal istriku sendiri. Ah tidak. Ia bukan Ally Mc Beal. Dalam benakku, ia hampir seperti Hillary Clinton yang mati-matian membela Bill Clinton kendati sang Presiden terlibat skandal murahan di kanan kiri. Hingga Clinton-pun lolos dari impeachment. Tapi sorry, aku bukan Bill Clinton. Insya Allah aku tak gemar berskandal ria seperti Clinton. Aku hanya Tommy Firmansyah, pria Indonesia beruntung yang terdampar di hutan rimba Sydney.
Tapi Cindy memang seperti Hillary. Keduanya sama, lulusan terbaik dari sekolah hukum nomor wahid. Menjadi pengacara nomor wahid, juga di usia muda. Lihatlah betapa ia membelaku habis-habisan di pengadilan.
“Yang mulia, terdakwa harus dibebaskan dari semua tuduhan karena telah terbukti dalam persidangan ia tak sedikitpun memiliki niat untuk menganiaya ataupun membunuh. Ia hanya self defense, membela diri karena empat orang berandal menyerang masjid-nya.”
“Yang mulia, terdakwa harus dibebaskan dari semua tuduhan, pisau itu tidak digenggamnya, bukan miliknya dan tidak diarahkan untuk menusuk korban. Lihat, tak ada satupun sidik jarinya di pisau tersebut. Pisau itu menancap ke tubuh korban oleh peran korban sendiri.
“Yang mulia, ini tak adil. Terdakwa hanya membela diri dan rumah ibadahnya. Sementara keempat penyerangnya merusak rumah ibadahnya dan menyerangnya denga pisau dan double stick. Kedua terdakwa hanya melawan dengan tangan kosong. Ini tidak seimbang. Ini bela paksa. Sekarang mereka berdua jadi pesakitan, sementara sang penyerang masih bebas berkeliaran.
“Yang mulia, korban sekarang sudah sembuh dari lukanya. Ia telah bersaksi bahwa memang ia yang menyerang terlebih dahulu karena ia benci orang muslim. Ia benci semua muslim setelah tragedy WTC 11 September. Dan semakin benci setelah ratusan warga Australia tewas pada tragedi bom di Bali. Ia berfikir semua muslim adalah sama. Jahat, militan, dan kejam. Tapi, Yang Mulia, itu adalah prasangka, prejudice, kita ingat bahwa sampai kini biro investigasi federal belum dapat membuktikan bahwa pelakunya adalah muslim. Kalaupun memang benar muslim, bolehkah kita menggeneralisir? menghukum seluruh muslim di seluruh dunia atas kejahatan sekelompok radikal muslim saja yang mengatasnamakan Islam? Ini absurd, irrasional, Yang Mulia. Saya keberatan sekali. Muslim berbeda dengan Islam. Islam adalah agama peace !
“Yang Mulia, masjid bagi umat Islam adalah tempat yang sakral. Mereka memang tidak menyembah masjid, tapi masjid adalah tempat menyembah Tuhan, yang mereka panggil Allah. Sehingga menghina masjid berarti menghina Tuhan. Karena masjid adalah rumah Tuhan. Baa-itu-llah, demikian mereka menyebutnya. Mereka membela kehormatan diri sebagai seorang muslim dan seorang hamba dari Tuhannya, Allah. Justru yang lebih keji adalah para penyerangnya. Menyerang tempat ibadah adalah kejahatan HAM Yang Mulia. Crime against humanity and Gross Violation of Human Right. Kejahatan HAM berat. Mari kita simak Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Hak-Hak Politik………
Puas di’ceramahi’ Cindy, sang hakim hanya manggut-manggut saja, sambil berkata lirih..I understand. Saya akan memberikan putusan seadil-adilnya…
Dan, sekarang –lah saatnya. Saat sang hakim menjatuhkan ‘putusan seadil-adilnya.’ Setengah jam kemudian terbuktilah. Sang Hakim memang adil. Tepatnya, Allah-lah Yang Maha Adil. Karena Hakim District Court Sydney menjatuhkan putusan….
“Menyatakan kedua Terdakwa tak terbukti telah sengaja dan melawan hukum melakukan penganiayaan ataupun percobaan pembunuhan atas diri korban Billy Douglas. Menyatakan tindakan kedua terdakwa adalah semata-mata self defense. Membebaskan kedua Terdakwa dari semua tuduhan dengan Bebas murni….
Aku menangis terharu. Juga Brother Bahri. Cindy memelukku lama sekali. Pers berebutan memotret kami. Gelombang massa rasis dan ultranasionalis berteriak riuh memprotes putusan hakim. Aku bersujud syukur. Bersama Bahri. Hilang sudah kekhawatiran mendekam tujuh tahun di bui. Allah Maha Adil. Allahu Akbar !
Aku merasa seperti tokoh Cameron Poe dalam film Con Air. Tokoh US Ranger (tentara AS) yang diperankan oleh Nicholas Cage ini mendekam di bui selama delapan tahun. Sama sepertiku ia dipenjara karena membela diri dari serangan berandalan yang mengganggu istrinya. Karena ketrampilan militernya, sang penyerang tewas akibat pisau yang digenggamnya sendiri. Senjata makan tuan. Ketika dibebaskan, Cameron Poe terseret dalam pembajakan pesawat jailbird yang penuh berisi Napi kelas berat. Lewat pertarungan berat hidup mati akhirnya Poe berhasil mendaratkan pesawat yang dibajak tersebut di tengah keramaian kota Las Vegas. Jagoan memang selalu menang. Para Napi hilang atau tewas. Dan Poe keluar sebagai pahlawan.
Jum’at, 6 Desember 2002
Sydney di akhir musim semi. Tepat di sore hari 1 Syawal 1423 H. ‘Cameron Poe’ dan ‘Ally Mc Beal’ berjalan beriringan di taman seberang Gedung Opera Sydney. Di sisi barat nampak kapal perang angkatan laut Australia bersandar di dek. Di sisi utara Sydney Bridge berdiri dengan gagahnya. Di kejauhan, nampak Darling Harbour bermandi cahaya senja.
“Cindy, honey, kenapa kamu mau membela aku di pengadilan, di saat pengacara-pengacara sebangsamu menjauhi aku hanya karena aku berkulit coklat dan muslim, kamu malah menghampiriku,” tanyaku dalam bahasa Inggris yang paling santun.
“Kamu lupa, my dear Tommy. Aku masih istrimu. Kendati kita berpisah tempat berbulan lamanya, aku masih sayang sama kamu, my dear, “ Cindy menyahut mesra.
Deg! Hatiku berdebar tak karuan. “Really, Honey? Be honest ! Hanya itu?” tanyaku gelisah.
“Tidak hanya itu. Aku salut sama kamu. Kamu begitu mencintai Islam. Kamu begitu mencintai masjid. Kamu mati-matian menjaga agama kamu kendati kerap diintimidasi dan dihina. Ingat, saat pertama aku ketemu kamu di library UNSW lalu di library Krueger and Associates? Apa yang aku tanyakan? Ya aku bertanya tentang ibadah kamu. Tentang shalat kamu, kenapa kamu sujud selama lima waktu. Dan dalam lima tahun perkawinan kita, kamu tak sekalipun meninggalkan shalat. Aku malah yang jarang yang shalat.
Honestly, honey, kami ini yang sering kamu sebut sebagai ‘orang barat’ dan lebih civilized, sudah lama tak peduli lagi dengan apa yang disebut agama. Buat kami agama adalah ilusi. Formally, kami memang punya agama. Tapi dalam kenyataannya agama tak lebih dari urusan pribadi. Bukan urusan masyarakat, apalagi negara. You can’t interfere anyone’s belief. It’s a part of civil rights. Di negara ini ada dua pertanyaan yang tabu, kamu juga tahu, apa agama kamu dan apakah kamu sudah menikah. That’s pretty privacy ! oleh karena itu, jika ada orang yang nampak sangat patuh dengan ajaran agamanya kami biasanya sangat penasaran. Apa yang membuat dia sangat patuh? Apa yang membuat dia komit dengan Tuhan-nya?
Aku terharu mendengar penjelasan Cindy. Sudah lama aku ingin mendengar penuturan jujur dan terus terang seperti ini. Tak terasa guliran air mengalir pelan dari pelupuk mataku. Matahari senja 1 Syawal 1423 H bersinar semakin temaram. Tengah aku sibuk dengan segala perasaan dalam hatiku, mendadak Ian dan Nicole yang sejak tadi membuntuti kami berteriak-teriak. Mommy, Daddy, Mommy, Daddy. Look Mommy, Daddy is crying !
Cindy tersenyum haru. Ia juga menangis. Ian kembali berteriak, No Nicole ! Mommy is also crying ! Aku dan Cindy tertawa. Terimakasih ya Allah, Engkau memberiku istri dan anak-anak yang menjadi penyejuk mata bagiku. Izinkan aku menjadi salah seorang pemimpin dari orang-orang bertaqwa. Rabbana hablana min azwajiina wazurriyatina qurrataa’yun waj’alna lil muttaqiina imaaama.
Aku segera merengkuh mereka bertiga dan berbisik lirih pada Cindy : thank you so much my dear, thank you so much my Ally Mc Beal. Cindy menjawab cepat : Don’t call me Ally Mc Beal anymore, sweetheart ! Panggil aku Aisyah Humaira, seperti dulu kamu selalu memanggil aku…
Taqaballahu minna wa minkum sweetheart !
Chicago, 13 November 2002
NB : Buat kawan-kawan di Sydney dan Brisbane, salam hangat dan tetap semangat, taqabalallahu minna wa minkum !
Leave a Reply